Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
1. Pacaran
Sebelum
melangsungkan pernikahan, sebagian besar orang biasanya ‘berpacaran’
terlebih dahulu. Hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan
individu atau masa penjajagan atau dianggap sebagai perwujudan rasa
cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Dengan
adanya anggapan seperti ini, maka akan melahirkan konsensus di
masyarakat bahwa masa pacaran adalah hal yang lumrah dan wajar, bahkan
merupakan kebutuhan bagi orang-orang yang hendak memasuki jenjang
pernikahan. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru.
Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berdua-duaan
antara dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan
terjadi sentuh menyentuh. Perbuatan ini sudah jelas semuanya haram
hukumnya menurut syari’at Islam.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ.
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, kecuali si wanita itu bersama mahramnya.” [1]
Jadi, dalam Islam tidak ada kegiatan untuk berpacaran, dan berpacaran hukumnya haram.
Contoh
lain yang juga merupakan pelanggaran, yaitu sangkaan sebagian orang
bahwa kalau sudah tunangan (khitbah), maka laki-laki dan perempuan
tersebut boleh jalan berdua-duaan, bergandengan tangan, bahkan ada yang
sampai bercumbu layaknya pasangan suami-isteri yang sah. Anggapan ini
adalah salah! Dan perbuatan ini adalah dosa dan akan membawa kepada
perzinaan yang merupakan perbuatan dosa besar!
2. Tukar Cincin (Pertunangan)
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan. Hal ini juga bukan dari ajaran Islam.[2]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum laki-laki untuk memakai cincin yang terbuat dari emas.
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيْرُ ِلإِنَاثِ أُمَّتِي وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُوْرِهَا.
“Emas dan sutra dihalalkan untuk wanita dari ummatku dan diharamkan atas laki-lakinya.”[3]
Cincin pertunangan adalah tradisi orang-orang Nasrani, dimana mereka biasa memberikan cincin kepada calon pengantin sebelum dilangsungkannya pernikahan.
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullaah berkata, “Kami
tidak mengetahui dasar amalan ini dalam syari’at. Dan yang paling utama
adalah meninggalkan hal tersebut, baik cincin itu terbuat dari emas,
perak, atau selainnya.” [4]
3. Menuntut Mahar yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah,
tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam
menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu yang membatasi mahar wanita adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah.[5]
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu yang membatasi mahar wanita adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah.[5]
4. Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara, dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk ditinggalkan dan dihilangkan. Sebagian ummat Islam dalam cara pernikahan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan. Padahal Sunnah Rasul shallal-laahu ‘alaihi wa sallam merupakan cahaya dalam agama ini.
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara, dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk ditinggalkan dan dihilangkan. Sebagian ummat Islam dalam cara pernikahan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan. Padahal Sunnah Rasul shallal-laahu ‘alaihi wa sallam merupakan cahaya dalam agama ini.
Di
antara contoh upacara-upacara adat yang jelas-jelas syirik seperti
upacara menginjak telur, pasang sesaji, pasang janur, dan lainnya
dengan tujuan untuk mengusir jin dan menganggap supaya “berkah”.
Ada
pula yang mengharuskan berpakaian adat yang membuat mempelai wanita dan
para pendampingnya memamerkan aurat, memamerkan rambut, bahu dan bagian
tubuh lainnya kepada hadirin. Perbuatan ini adalah maksiat. Ingat,
setiap wanita yang sudah baligh maka seluruh tubuhnya adalah aurat
kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Ada
juga ritual “sungkeman”, yaitu kedua mempelai berlutut menghadap kepada
orang tua mereka untuk meminta maaf dan memohon restu yang biasanya
dilakukan seusai akad nikah. Padahal, perbuatan ini mengajarkan orang
untuk tunduk dan sujud kepada selain Allah, bahkan dapat menjerumuskan
seseorang kepada kesyirikan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan hormat kepada orang tua, akan tetapi bukan dengan cara
ruku’, berlutut atau bersujud, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah mengajarkan untuk melakukan hal-hal tersebut kepada
anak-anak dan para Shahabatnya. Yang disyari’atkan adalah berjabat
tangan ketika berjumpa dan berpelukan ketika pulang dari safar, justru
hal ini banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin.
Mudah-mudahan
para orang tua atau para wali sadar untuk tidak mengikuti
upacara-upacara adat yang mengandung perbuatan syirik dan kemaksiatan.
Dan mudah-mudahan mereka sadar untuk kembali mengikuti ajaran Islam
yang mudah dan tidak menyulitkan agar pernikahan anaknya diberkahi oleh
Allah Ta’ala.
Sungguh
sangat ironis…! Kepada mereka yang masih mengagungkan adat istiadat
Jahiliyyah dan melecehkan ajaran Islam, berarti mereka belum yakin
sepenuhnya kepada kebenaran agama Islam.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah
hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” [Al-Maa-idah : 50]
Orang-orang
yang mencari konsep, peraturan, ajaran, dan tata cara selain Islam,
maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan kelak
di akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana
firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” [Ali ‘Imran : 85]
5. Mencukur Jenggot bagi Laki-laki
Sebagian laki-laki yang akan menikah mencukur jenggotnya dengan alasan supaya tampil lebih rapi ketika merayakan pernikahannya.
Sebagian laki-laki yang akan menikah mencukur jenggotnya dengan alasan supaya tampil lebih rapi ketika merayakan pernikahannya.
Dalam
syari’at Islam, laki-laki tidak boleh mencukur jenggotnya dan hukumnya
haram, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
laki-laki untuk memelihara dan memanjangkan jenggotnya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَي:خَالِفُوا الْمَجُوْسَ.
“Rapikanlah kumis, biarkanlah jenggot; selisihilah orang Majusi.” [6]
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Mencukur
jenggot bagi kaum laki-laki adalah perilaku yang buruk karena mereka
seringkali meniru perilaku orang-orang kafir Eropa yang selalu mencukur
jenggotnya. Mereka merasa malu jika mereka memelihara jenggot, apalagi
ketika mereka menemui pengantin wanita tanpa bercukur. Dalam hal ini
mereka telah melakukan hal-hal yang dilarang. Di antaranya:
1. Merubah ciptaan Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
Allah Ta’ala berfirman:
لَعَنَهُ
اللَّهُ ۘ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ
فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ
خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ
اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
“Syaitan
dilaknat Allah, dan ia berkata, ‘Aku pasti akan mengambil bagian
tertentu dari hamba-hamba-Mu, dan pasti akan aku sesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka,
dan akan aku suruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak,
(lalu mereka benar-benar memotongnya), dan akan aku suruh mereka merubah ciptaan Allah,
(lalu mereka benar-benar merubahnya).’ Barangsiapa menjadikan syaitan
sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh ia menderita kerugian yang
nyata.” [An-Nisaa’ : 118-119]
Mencukur jenggot termasuk perilaku merubah apa yang ditetapkan oleh ajaran Islam.
2. Melanggar perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنْهِكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى.
“Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.” [7]
Kita
mengetahui bahwa perintah tersebut tidak menunjukkan wajib, kecuali ada
qarinah atas yang menegaskan hal itu, yaitu sebagaimana yang ada pada
point ketiga berikut ini.
3. Menyerupai orang kafir.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوْسَ.
“Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot. Bedakanlah diri kalian dengan orang-orang Majusi.” [8]
4. Menyerupai kaum wanita.
لَعَنَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَّبِّهِيْنَ مِنَ
الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ.
“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai
wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” [9]
Oleh karena itu, laki-laki yang mencukur jenggotnya telah terbukti berusaha menyerupai wanita.” [10]
Nomor 5 tidak ada, mungkin nomor berikut salah tik..{=dass}
6. Mencukur Alis Mata bagi Wanita
Begitu pula sebagian wanita mencukur bulu alis matanya menjelang pesta pernikahan dengan alasan supaya tampil lebih cantik. Perbuatan ini adalah dosa dan dilarang dalam syari’at Islam.
Begitu pula sebagian wanita mencukur bulu alis matanya menjelang pesta pernikahan dengan alasan supaya tampil lebih cantik. Perbuatan ini adalah dosa dan dilarang dalam syari’at Islam.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ
اللهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالنَّامِصَاتِ
وَالْمُتَنَمِّصَاتِ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ
خَلْقَ اللهِ.
“Allah
melaknat wanita yang bertato, wanita yang minta ditato, wanita yang
mengerik alis dan yang meminta dikerik alisnya, dan wanita yang
mengikir giginya agar tampak cantik, mereka telah mengubah ciptaan
Allah.” [11]
Dalam
riwayat lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita
yang menyambung rambut dan yang meminta disambung rambutnya.[12]
7. Kepercayaan terhadap Hari Baik dan Sial dalam Menentukan Waktu Pernikahan.
Sebagian kaum muslimin masih mempercayai adanya hari baik atau hari sial, bulan baik atau bulan sial ketika mereka menentukan tanggal pernikahan putera-puteri mereka. Mereka mendatangi dukun, orang pintar, peramal atau paranormal untuk minta nasihatnya tentang penentuan tanggal tersebut. Ini adalah perbuatan tathayyur yang sangat dilarang dalam Islam! Agama Islam tidak mengenal adanya hari sial.
Sebagian kaum muslimin masih mempercayai adanya hari baik atau hari sial, bulan baik atau bulan sial ketika mereka menentukan tanggal pernikahan putera-puteri mereka. Mereka mendatangi dukun, orang pintar, peramal atau paranormal untuk minta nasihatnya tentang penentuan tanggal tersebut. Ini adalah perbuatan tathayyur yang sangat dilarang dalam Islam! Agama Islam tidak mengenal adanya hari sial.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ
بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Barangsiapa
mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang
diucapkannya, maka sungguh dia telah kafir dengan wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [13]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
“Thiyarah
adalah syirik, thiyarah adalah syirik; dan tidak ada seorang pun di
antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini),
hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” [14]
Thiyarah
yaitu menganggap sial dengan sesuatu yang dilihat, didengar atau
diketahui. Bisa juga berarti merasa bernasib sial atau buruk karena
melihat burung atau apa saja. Seperti kepercayaan orang Jahiliyyah yang menganggap sial dengan bulan Shafar. Atau juga menganggap sial dengan hari-hari tertentu.
8. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Ucapan Kaum Jahiliyyah
Kaum Jahiliyyah selalu menggunakan kata-kata, “Birrafaa’ wal Baniin (semoga rukun dan banyak anak),” ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birrafaa’ wal Baniin telah dilarang dalam agama Islam.
Kaum Jahiliyyah selalu menggunakan kata-kata, “Birrafaa’ wal Baniin (semoga rukun dan banyak anak),” ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birrafaa’ wal Baniin telah dilarang dalam agama Islam.
Dari
al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu menikah dengan
seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan
Jahiliyyah: “Birrafaa’ wal Baniin.” Maka ‘Aqil bin Abi Thalib
radhiyallaahu ‘anhu melarang mereka seraya berkata, “Janganlah kalian mengucapkan demikian! Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian.” Para tamu bertanya: “Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid?” ‘Aqil menjawab, “Ucapkanlah:
بَارَكَ اللهُ لَكُمْ وَبَارَكَ عَلَيْكُمْ.
‘Baarakallaahu lakum wabaaraka ‘alaikum (mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan).’”
Demikianlah ucapan selamat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. [15]
Do’a yang biasa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai adalah:
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ.
“Semoga
Allah memberikan berkah kepadamu dan kepada pernikahanmu serta
mengumpulkan kalian berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam
kebaikan.”
Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَّأَ
اْلإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ
عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ.
Bahwasanya
jika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan selamat kepada
seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a: “Baarakallaahu laka
wabaaraka ‘alaika wa jama’a bainakumaa fii khair (Semoga
Allah memberikan berkah kepadamu dan kepada pernikahanmu serta
mengumpulkan kalian berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam
kebaikan).” [16]
[Disalin
dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke
II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/222), al-Bukhari (no. 1862) dan Muslim (no. 1341) dan lafazh ini menurut riwayat Muslim, dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 99), cet. Daarus Salaam, th. 1423 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/392, 393, 394, 407), at-Tirmidzi (no. 1720) dan an-Nasa-i (VIII/161), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 277).
[4]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/129).
[5]. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (VI/347-348) dan al-Insyirah fi Adabin Nikah (hal. 35).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 260 (55)) dan Abu ‘Awanah (I/188), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5893) dan Muslim (no. 260).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 260 (55)) dan Abu ‘Awanah (I/188), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5885, 6834), at-Tirmidzi (no. 2784) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[10]. Adabuz Zifaf (hal. 207-210).
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5931) dan Muslim (no. 2125 (120)), dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Lihat keterangan lengkap dalam Adabuz Zifaf (hal. 202-210).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2124), dari Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[13]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/429), al-Hakim (I/8) dan al-Baihaqi (VIII/135). Al-Hakim berkata, “Shahih atas syarat al-Bukhari dan Muslim,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3910), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (lihat Shahiih Adabul Mufrad no. 698), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (no. 1427—al-Mawaarid) dan al-Hakim (I/17-18), dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[15]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (VI/252, no. 17381), ad-Darimi (II/134), an-Nasa-i (VI/128), Ibnu Majah (no. 1906), Ahmad (I/201 dan III/451), dan yang lainnya.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/38), at-Tirmidzi (no. 1091), ad-Darimi (II/134), al-Hakim (II/183), Ibnu Majah (no. 1905), Abu Dawud (no. 2130) dan al-Baihaqi (VII/148).
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/222), al-Bukhari (no. 1862) dan Muslim (no. 1341) dan lafazh ini menurut riwayat Muslim, dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 99), cet. Daarus Salaam, th. 1423 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/392, 393, 394, 407), at-Tirmidzi (no. 1720) dan an-Nasa-i (VIII/161), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 277).
[4]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/129).
[5]. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (VI/347-348) dan al-Insyirah fi Adabin Nikah (hal. 35).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 260 (55)) dan Abu ‘Awanah (I/188), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5893) dan Muslim (no. 260).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 260 (55)) dan Abu ‘Awanah (I/188), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5885, 6834), at-Tirmidzi (no. 2784) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[10]. Adabuz Zifaf (hal. 207-210).
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5931) dan Muslim (no. 2125 (120)), dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Lihat keterangan lengkap dalam Adabuz Zifaf (hal. 202-210).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2124), dari Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[13]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/429), al-Hakim (I/8) dan al-Baihaqi (VIII/135). Al-Hakim berkata, “Shahih atas syarat al-Bukhari dan Muslim,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3910), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (lihat Shahiih Adabul Mufrad no. 698), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (no. 1427—al-Mawaarid) dan al-Hakim (I/17-18), dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[15]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (VI/252, no. 17381), ad-Darimi (II/134), an-Nasa-i (VI/128), Ibnu Majah (no. 1906), Ahmad (I/201 dan III/451), dan yang lainnya.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/38), at-Tirmidzi (no. 1091), ad-Darimi (II/134), al-Hakim (II/183), Ibnu Majah (no. 1905), Abu Dawud (no. 2130) dan al-Baihaqi (VII/148).