Sebagian ulama Najd rahimahumullah berkata:
فنقول:
إذا كان يعمل بالكفر والشرك، لجهله، أو عدم من ينبهه، لا نحكم بكفره حتى تقام عليه
الحجة؛ ولكن لا نحكم بأنه مسلم، بل نقول عمله هذا كفر، يبيح المال والدم، وإن كنا لا
نحكم على هذا الشخص، لعدم قيام الحجة عليه؛ لا يقال: إن لم يكن كافرا، فهو مسلم،
بل نقول عمله عمل الكفار، وإطلاق الحكم على هذا الشخص بعينه، متوقف على بلوغ الحجة
الرسالية.
“Kami katakan : Apabila seseorang melakukan
perbuatan kekufuran dan kesyirikan karena kejahilannya atau karena ketiadaan
orang yang memberikan peringatan kepadanya, kami tidak menghukuminya dengan
kekufuran (kafir) hingga ditegakkan padanya hujjah, tetapi kami juga tidak
menghukuminya muslim. Namun kami katakan perbuatannya ini kufur yang
menghalalkan harta dan darahnya. Meskipun kami tidak menghukumi orang tersebut
(dengan kekufuran/kafir) dikarenakan ketiadaan penegakan hujjah kepadanya, tidak
lantas dikatakan : ‘Seandainya ia bukan orang kafir, maka ia muslim’. Namun
yang kami katakan perbuatannya itu adalah perbuatan orang kafir. Dan
memutlakkan hukum atas orang ini secara individu tergantung pada sampainya
hujjah risaaliyyah[1]”
[Ad-Durarus-Saniyyah, 10/136].
Ini adalah kekeliruan dalam prinsip-prinsip
pengkafiran. Bagaimana bisa seorang mukallaf yang melakukan dosa besar
tidak berstatus muslim dan tidak pula kafir ?.
Adapun prinsip pengkafiran Ahlus-Sunnah diantaranya
dinyatakan bahwa seseorang yang telah tetap keislamannya secara yakin, maka
tidak boleh dikeluarkan dari wilayah Islam hanya karena keraguan. Jika ada
keraguan, maka kembali ke hukum asalnya (yaitu muslim). Juga, seorang muslim
yang melakukan kekufuran dan belum sampai kepadanya hujjah, ia tidak dikafirkan
dan statusnya tetap sebagai seorang muslim sebagaimana hukum asalnya.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
أن كلَّ مَن ثبت له عقدُ الإسلام
في وقتٍ بإجماعٍ من المسلمين ، ثم أذنبَ ذنباً أو تأوَّل تأويلاً ، فاختلفوا بعدُ
في خروجه من الإسلام ؛ لم يكُن لاختِلافهم بعد إجماعهم معنىً يوجبُ حُجَّةً ، ولا
يخرجُ من الإسلام المتفقِ عليه إلا باتفاقٍ آخر ، أو سنةٍ ثابتةٍ لا مُعارِضَ لها
“Setiap orang dari kalangan muslimin yang telah tetap
keislamannya dalam satu waktu berdasarkan ijma’/kesepakatan, kemudian ia
berbuat satu dosa atau menta’wilkan satu ta’wil (yang diharamkan), lalu
orang-orang berselisih tentang murtad tidaknya orang itu (akibat perbuatan dosa
yang ia lakukan); maka perselisihan mereka setelah kesepakatannya itu tidak ada
artinya sebagai hujjah (akan kekafirannya). Tidaklah seseorang dikeluarkan dari
wilayah Islam yang keislamannya itu telah disepakati, kecuali dengan
kesepakatan yang lain, atau sunnah yang shahih yang bertentangan baginya” [At-Tamhiid,
16/315].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata:
وليس لأحد ان يكفر أحدا من
المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين
لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة
“Dan tidak boleh bagi seorangpun mengkafirkan orang
lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan
padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang
telah tetap keislamannya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya
karena sebuah keraguan [2].
Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan
darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/466].
Adz-Dzahabiy berkata tentang madzhab Ibnu Taimiyyah
rahimahumallah dalam pengkafiran:
ومذهبه توسعة العذر للخلق، ولا
يُكفِّر أحدًا إلا بعد قيام الدليل والحجة عليه، ويقول: هذه المقالة كفرٌ وضلالٌ،
وصاحبها مجتهدٌ جاهلٌ لم تقم عليه حجة الله، ولعله رجع عنها أو تاب إلى الله
ويقول: إيمانه ثبت له بيقين فلا نخرجه منه إلا بيقين، أما من عرف الحق وعانده وحاد
عنه فكافرٌ ملعونٌ كإبليس، وإلا من الذي يسلم من الخطأ في الأصول والفروع
“Dan madzhab beliau (Ibnu Taimiyyah) luas dalam
pemberian udzur kepada makhluk. Beliau tidak mengkafirkan seorangpun kecuali
setelah ditegakkannya dalil dan hujjah terhadapnya. Beliau berkata : ‘Perkataan
ini kufur lagi sesat, sedangkan orang yang mengucapkannya adalah mujtahid yang
jahil yang belum tegak padanya hujjah Allah. Barangkali ia telah rujuk darinya
atau bertaubat kepada Allah’. Beliau juga berkata : ‘Keimanannya telah tetap
dengan yakin, sehingga kami tidak mengeluarkannya dari Islam kecuali dengan
keyakinan. Adapun orang yang mengenal kebenaran namun menentangnya dan
menyimpang darinya, maka ia kafir seperti Iblis. Jika tidak demikian, maka ia
termasuk orang yang selamat dari kekeliruan dalam ushul maupun furu’” [Al-Masaail
wal-Ajwibah, hal. 246-247].
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata:
وَإِذْ وَقَعَ الشَّكّ فِي ذَلِكَ
لَمْ يُقْطَع عَلَيْهِمْ بِالْخُرُوجِ مِنْ الْإِسْلَام ، لِأَنَّ مَنْ ثَبَتَ
لَهُ عَقْد الْإِسْلَام بِيَقِينٍ لَمْ يَخْرُج مِنْهُ إِلَّا بِيَقِينٍ
“Dan ketika timbul keraguan dalam hal itu [3],
maka tidak memastikan mereka keluar dari Islam, karena orang yang telah tetap
baginya perjanjian Islam dengan yakin, maka ia tidak keluar darinya kecuali
dengan keyakinan pula” [Fathul-Baariy, 12/301].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah
berkata:
النوع الثاني : أن يكون من شخص
يدين بدين الإسلام ولكنه عاش على هذا المكفر ولم يكن يخطر بباله أنه مخالف
للإسلام، ولا نبهه أحد على ذلك فهذا تجري عليه أحكام الإسلام ظاهرا، أما في الأخرة
فأمره إلى الله - عز وجل - وقد دل على ذلك الكتاب والسنة وأقوال أهل العلم
“Jenis yang kedua : Orang yang memeluk agama Islam,
akan tetapi ia hidup dengan melakukan kekafiran ini tanpa terlintas dalam
pikirannya bahwasannya dirinya menyelisihi (syari’at) Islam, serta tidak ada
seorang pun yang memberikan peringatan kepadanya tentang hal tersebut; maka
berlaku padanya hukum-hukum Islam secara lahir. Adapun kelak di akhirat, maka
urusannya diserahkan kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal itu ditunjukkan
oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, dan perkataan para ulama” [Syarh
Kasyfisy-Syubuhaat, hal. 51-52].
Kaedah ini adalah seperti kaedah-kaedah fiqhiyyah
lainnya yang masyhur seperti:
اليقين لا يزول بالشك
“Keyakinan tidak hilang dengan sebab keraguan”.
Juga kaedah:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Asal dari sesuatu adalah tetap dalam keadaan
semula”.
Contohnya : Apabila ada orang yang berwudlu, lalu
kemudian ditimpa keraguan ketika hendak shalat apakah ia sudah batal ataukah
belum, maka dikembalikan pada asalnya yaitu suci[4].
Dalil dari kaedah ini adalah:
1.
Firman Allah ta’ala:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا
ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali
persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk
mencapai kebenaran” [QS. Yuunus : 36].
2.
Hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا،
فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ، أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ، أَمْ لَا، فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ
الْمَسْجِدِ، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدَ رِيحًا "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah ﷺ : “Apabila salah seorang diantara kalian
mendapatkan sesuatu dalam perutnya, lalu timbul keraguan terhadapnya : ‘Apakah ada
sesuatu (angin) yang keluar darinya atau tidak?’, maka janganlah ia keluar dari
masjid (untuk membatalkan shalatnya) hingga mendengar suara (kentut) atau
mencium baunya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 362].
3.
Hadits:
عَنْ عبد الله بن زيد الأنصاري،
أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ
أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ: لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا
يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari ‘Abdullah bin Zaid Al-Anshaariy : Bahwasannya
ada seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah ﷺ bahwa dirinya seakan-akan mendapatkan sesuatu (dalam dirinya) ketika
shalat. Maka beliau ﷺ bersabda : “Janganlah ia keluar (dari shalat)
hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 137].
4.
Hadits:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ
يَدْرِ كَمْ صَلَّى، ثَلَاثًا، أَمْ أَرْبَعًا، فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ، وَلْيَبْنِ
عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah ﷺ : “Apabila salah seorang diantara kalian
ragu dalam shalatnya, sehingga ia tidak tahu berapa raka’at yang telah ia
kerjakan, tiga raka’at ataukah empat raka’at; maka buanglah keraguan dan
ikutilah yang diyakini….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 571].
Oleh karena itu, pengkafiran tidak boleh ditetapkan
berdasarkan kemungkinan atau dugaan kuat (ghalabatudh-dhann). Seandainya
ada 99 kemungkinan untuk mengkafirkan seseorang dan ada 1 kemungkinan
menafikkannya (tidak kafir/muslim); maka yang diambil adalah yang sebaliknya.
Maka di sini yang dibutuhkan adalah kepastian dan keyakinan.
‘Aliy Al-Qaariy rahimahullah berkata:
ذكروا أنّ المسألة المتعلقة بالكفر
إذا كان لها تسعة وتسعون احتمالاً للكفر واحتمال واحد في نفيه، فالأولى للمفتي
والقاضي أن يعمل بالاحتمال النافي، لأنً الخطأ في إبقاء ألف كافر أهون من الخطأ في
إفناء مسلم واحد
“Para ulama menyebutkan bahwa permasalahan yang
terkait dengan kekafiran apabila ia memiliki 99 kemungkinan kekafiran dan 1
kemungkinan yang menafikkannya, maka yang lebih utama bagi seorang mufti atau
qadli (hakim) untuk mengambil kemungkinan penafikkan (yaitu tidak kafir –
Abul-Jauzaa’). Karena keliru dalam membiarkan seribu orang kafir lebih
ringan daripada keliru dalam membunuh satu orang muslim” [Syarh
Al-Fiqhil-Akbar, hal. 162].
Dalilnya adalah
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ،
قَالَ: بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي سَرِيَّةٍ، فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ
مِنْ جُهَيْنَةَ، فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا، فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ، فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِيِّ ﷺ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: أَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَقَتَلْتَهُ؟
قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ،
قَالَ: " أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ، حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ
لَا؟ " فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي
أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ،
Dari Usaamah bin Zaid, ia berkata : Rasulullah ﷺ pernah mengutus kami dalam sekelompok pasukan kecil. Pada waktu pagi kami
mendatangi huruqat[5]
Juhainah. Maka aku dapati seorang laki-laki. Lalu tiba-tiba ia mengucapkan :
‘Laa ilaha illallaah’. Aku menikamnya, namun aku merasakan sesuatu dalam diriku
atas kejadian itu. Kemudian, aku menceritakannya kepada Nabi ﷺ. Maka
Rasulullah ﷺ bersabda : ‘Apakah setelah ia mengucapkan Laa
ilaha illallaah engkau membunuhnya?’. Aku katakan : “Wahai Rasulullah, ia
mengucapkannya hanya karena takut tertebas pedang’. Beliau ﷺ bersabda : ‘Tidakkah engkau belah hatinya saja hingga engkau mengetahui
apakah ia benar-benar mengatakannya karena takut pedang ataukah tidak’.
Beliau ﷺ senantiasa mengulang perkataan itu kepadaku hingga
aku berangan-angan seandainya aku baru masuk Islam pada waktu itu…..”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 96].
Dari hadits ini nampak bahwa Usaamah mempunyai
dugaan kuat bahwa orang yang dibunuhnya mengucapkan kalimat Laa ilaha illallaah
hanya karena takut mati/dibunuh. Namun kemudian dirinya ada sedikit keraguan
sehingga menceritakan hal itu kepada Nabi ﷺ. Hadits ini juga menunjukkan
bahwa keislaman dhahir seseorang cukup dengan pengucapan kalimat syahadat.
Statusnya muslim. Nabi ﷺ mengambalikan hukum dhahir orang tersebut (yaitu
Islam) dan menolak alasan yang dikemukakan Usaamah bin Zaid radliyallaahu
‘anhumaa.
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
ومن المعلوم بالضرورة أنَّ
النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يقبل مِنْ كل منْ جاءه يريدُ
الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط ، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك ، ويجعله مسلماً ، فقد
أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال : لا إله إلا الله ، لما رفع عليه السيفَ ،
واشتدَّ نكيرُه عليه
“Dan termasuk hal yang telah diketahui dengan pasti
bahwasannya Nabi ﷺ menerima siapa saja yang datang
kepada beliau yang ingin masuk Islam hanya dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat saja. Beliau ﷺ melindungi darahnya dan
menjadikannya seorang muslim. Nabi ﷺ pernah mengingkari dengan sangat keras terhadap Usaamah bin Zaid yang
membunuh orang yang mengucapkan Laa ilaha illallaah ketika ia (Usaamah)
mengangkat pedang kepadanya. Pengingkaran beliau ﷺ ini sangat keras terhadapnya” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 207].
Tidak boleh ada status quo bagi seorang mukallaf
setelah diutusnya Nabi ﷺ. Yang ada hanyalah muslim atau kafir,
tidak ada yang ketiga. Menetapkan status seorang mukallaf tidak mukmin
(Islam) dan pula tidak kafir, secara lafadh mirip dengan Mu’tazilah dalam
penamaan mereka terhadap para pelaku dosa besar, yaitu al-manzilah
bainal-manzilatain.
Abu Ishaaq Al-Isfiraayiiniy rahimahullah berkata:
قولهم بمنزلة بين المنزلتين
وزعمهم أن الفاسق – مرتكب الكبيرة - لا مؤمن ولا كافر، وأن الفساق من أهل
الملة خرجوا من الإيمان ولم يبلغوا الكفر، وأنهم مع الكفار في النار خالدين
مخلدين، لا يجوز لله تعالى أن يغفر لهم، وأنه لو غفر لهم لخرج من الحكمة
“Perkataan mereka (Mu’tazilah) tentang manzilah
bainal-manzilatain dan sangkaan mereka bahwa orang fasiq – pelaku dosa
besar – tidak berstatus mukmin tidak pula kafir, yaitu orang-orang fasiq dari
kalangan kaum muslimin keluar dari keimanan namun tidak sampai pada kekufuran.
Namun mereka bersama orang-orang kafir di neraka kekal di dalamnya. Tidak boleh
bagi Allah ta’ala untuk mengampuni mereka, karena seandainya Allah
mengampuni mereka, niscaya keluar dari hikmah” [At-Tabshiir fid-Diin,
hal. 22].
Al-Qaadliy Abu Ya’laa Al-Hanbaliy rahimahullah
menjelaskan prinsip Ahlus-Sunnah:
وأن سائر المكلفين لا يخلو من أن
يكونوا كفارا أو مؤمنين كاملي الإيمان أو ناقصي الإيمان أو بعضهم كفار وبعضهم
مؤمنين. ولا يجوز كون مكلف ليس بمؤمن ولا كافر
“Dan bahwasannya seluruh mukallaf (yang
dibebani syari’at) tidak lepas dari statusnya sebagai orang-orang kafir ataukah
orang-orang mukmin yang sempurna imannya atau kurang imannya; atau sebagian
diantara mereka orang-orang kafir dan sebagian yang lain orang-orang mukmin.
Tidak boleh dikatakan seorang mukallaf tidak berstatus mukmin tidak pula kafir”
[Al-Mu’tamad fii Ushuulid-diin, hal. 276].
Perkataan Mu’tazilah al-manzilah
bainal-manzilatain adalah perkataan diada-adakan yang tidak pernah
diucapkan oleh salaf. Status mukallaf hanyalah mukmin atau kafir. Adapun
munafiq (yang menyembunyikan kekafiran dalam hatinya dengan menampakkan
keislaman secara lahiriah), apabila yang bersangkutan menampakkan apa yang ia
sembunyikan, maka ia kafir. Namun apabila tidak ia nampakkan, maka ia
diperlakukan/dihukumi dengan muamalah orang Islam.
Terakhir, para ulama Najd adalah ulama Ahlus-Sunnah
yang tinggi kedudukannya. Wajib untuk dihormati tanpa fanatik. Sebagaimana
ulama lain, jika benar kita ambil perkataannya dan jika salah kita tolak dengan
adab-adab Islam.
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
إِذَا ثَبَتَ الْخَبَرُ عَنِ
النَّبِيِّ ﷺ وَأَصْحَابِهِ فَلَيْسَ فِي الأَسْوَدِ وَنَحْوِهِ حُجَّةٌ، وَقَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ، وَمُجَاهِدٌ: لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ ﷺ إِلا يُؤْخَذُ
مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلا النَّبِيُّ ﷺ
“Apabila telah shahih khabar dari Nabi ﷺ dan para shahabatnya, maka Al-Aswad dan yang semisalnya bukanlah hujjah.
Ibnu ‘Abbaas dan Mujaahid pernah berkata : “Tidak ada seorangpun setelah Nabi ﷺ, kecuali
perkataannya dapat diambil ataupun ditinggalkan, kecuali Nabi ﷺ” [Khalqu
Af’aalil-‘Ibaad, hal. 213].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 1 Ramadlaan 1438]
NB : Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel
: Kekeliruan dalam Penafikan ‘Udzur Kejahilan : ‘Jika Kami
Tidak Mengkafirkannya, Bukan Berarti Kami Menghukuminya Muslim’.
[1] Artinya, sebagian ulama Najd rahimahullah mengakui
takfir mu’ayyan itu ditetapkan setelah adanya penegakan hujjah secara
khusus, yaitu sampainya hujjah kepada yang bersangkutan tentang kekafiran atau
kesyirikan yang ia lakukan. Bukan sekedar hujjah umum dengan diutusnya
Rasulullah ﷺ dan diturunkannya Al-Qur’an.
[2]
Tentang perkataan Syaikhul-Islaam
rahimahullah ini, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil-Hamiid Al-Atsariy hafidhahullah
mengomentari:
اتفق أئمة أهل السنة والجماعة على هذه القاعدة؛ فكانوا أعظم الناس ورعاً؛ لأن
تكفير المسلم مسألة خطيرة، يجب عدم الخوض فيها دون دليل وبرهان، وينبغي الاحتراز
من التكفير ما وجد إلى ذلك سبيلاً، فباب التكفير باب خطير، وقد حذر النبي صلى الله
عليه وسلم أن يكفر أحد أحداً دون برهان.
قال النبي صلى الله عليه وسلم : (أيما امرئ قال لأخيه : يا كافر. فقد باء بها
أحدهما. إن كان كما قال. وإلا رجعت عليه).
وقال النبي صلى الله عليه وسلم : (لا يرمي رجل رجلاً بالفسوق، ولا يرميه
بالكفر؛ إلا ارتدت عليه، إن لم يكن صاحبه كذلك).
“Para imam Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sepakat tentang
kaedah ini. Mereka adalah orang yang paling besar sikap wara’-nya,
karena pengkafiran seorang muslim merupakan permasalahan yang berbahaya/berat.
Wajib untuk tidak menceburkan diri ke dalamnya apabila tidak memiliki dalil dan
bukti (yang jelas), serta harus mencegah pengkafiran selama didapatkan jalan
untuk hal tersebut. Maka bab pengkafiran adalah bab yang berbahaya, karena Nabi
ﷺ telah memperingatkan seseorang untuk tidak mengkafirkan yang lainnya
tanpa bukti (yang jelas).
Nabi ﷺ bersabda : ‘Siapapun orangnya
yang berkata kepada saudaranya : Wahai kafir, sungguh ia akan menuju salah
seorang di antara keduanya. Apabila saudaranya itu seperti yang dikatakan (maka
kekafiran itu ada pada saudaranya). Jika tidak, akan kembali kepadanya (si
pengucap)’.
Dan Nabi ﷺ juga bersabda : ‘Janganlah
seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan, dan jangan pula menuduh
kekufuran, karena tuduhan tersebut akan berbalik kepada dirinya jika orang
tersebut tidak seperti yang dituduhkan’” [Al-Iimaan, Haqiiqatuhi wa
Khawaarimuhu wa Nawaaqidluhu, hal. 261].
Begitu pula
dengan Asy-Syaikh ‘Aliy bin Hasan Al-Halabiy Al-Atsariy hafidhahullah.
Beliau menyebutkan perkataan Syaikhul-Islaam rahimahullah ini dalam
catatan kaki terhadap perkataan beliau:
ولما كان مَرَدُّ حكم التكفير إلى الله ورسوله : لم يجز أن نكفر إلا من دل
الكتاب والسنة على كفره - دلالةً واضحةً -؛ فلا يكفي في ذلك مجرد الشبهت والظن؛
لما يترتب ذلك من الأحكام الخطيرة.
“Dan
sehubungan hukum pengkafiran dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya : Tidak
diperbolehkan kita mengkafirkan kecuali orang yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an
dan As-Sunnah tentang kekufurannya – dengan penunjukkan yang jelas - , sehingga
tidak mencukupi dalam hal tersebut sekedar syubhat dan prasangka saja, sebab
akan mengkonsekuensikan hukum-hukum yang berbahaya” [Kalimatun Sawaa’,
hal. 27].
إذا تطهَّرَ الرَّجُلُ فهو على طهارته ، إلا أن تَدُلَّ حُجَّةٌ على نقضِ
طهارته
“Apabila
seseorang bersuci, maka ia tetap dalam kesuciannya kecuali ada hujjah/dalil
yang menunjukkan atas batalnya kesucian orang tersebut” [Al-Ausath,
1/230].
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2017/05/tidak-berstatus-kafir-tapi-tidak-juga.html