Dalam bahasa arab taklid bermakna meletakkan sesuatu yang melingkar di leher semisal kalung.
Secara syariat, taklid bermakna mengikuti orang yang ucapannya bukanlah hujjah dalam agama.
Oleh
karena itu tidaklah tergolong taklid orang yang mengikuti Nabi,
mengikuti ijma dan mengikuti pendapat shahabat pada saat pendapat
shahabat ketika itu adalah hujjah dalam agama.
Mengikuti hal hal
di atas tidaklah disebut taklid karena yang diikuti adalah hujjah.
Namun boleh juga hal di atas disebut hujjah dalam makna majaz.
Taklid itu dibenarkan dalam dua kondisi.
Pertama,
untuk orang awam yang tidak mampu mengetahui hukum agama secara
langsung, taklid hukumnya adalah WAJIB mengingat firman Allah QS an
Nahl:43.
Orang awam tidaklah diperintahkan untuk bertanya kepada
para ulama kecuali agar dia mengambilkan fatwa sang ulama. Jika bukan
karena tujuan ini lantas apa manfaat bertanya kepada ulama jika fatwa
dan penjelasannya tidak kita amalkan.
Dianjurkan bagi orang awam
tersebut untuk taklid kepada orang yang paling berilmu dan paling wara
yang bisa dia jumpai. Jika menurutnya orang yang ada sama ilmu dan wara’
nya maka dia bebas memilih untuk bertanya kepada siapa saja yang dia
kehendaki.
Kedua, ada suatu permasalahan yang ditanyakan kepada
ulama mujtahid yang harus segera dijawab dan tidak ada waktu yang cukup
bagi sang ulama untuk mengkaji sendiri permasalahan tersebut maka boleh
baginya dalam situasi ini untuk taklid dengan fatwa ulama lain.
Sebagian
ulama mempersyaratkan bolehnya taklid hanya dalam masalah non akidah
dengan alasan akidah itu harus pasti sedangkan taklid itu hanya
menghasilkan prasangka kuat saja.
Namun yang benar, boleh taklid
dalam masalah akidah mengingat firman Allah QS an Nahl:43 itu bersifat
umum tanpa membeda bedakan masalah akidah ataukah non akidah. Bahkan
konteks ayat di atas membahas kerasulan yang ini tentu saja termasuk
bahasan akidah.
Alasan logika juga mengatakan bahwa orang awam itu
tidak mungkin mengetahui kebenaran berdasarkan dalil secara langsung
baik dalam masalah akidah ataupun non akidah. Jika dia tidak bisa
mengetahui kebenaran secara langsung maka jalan satu satunya yang
tersedia adalah taklid mengingat QS at Taghabun:16.
Dua Jenis Taklid
Taklid ada dua macam, total dan parsial.
Pertama, taklid total adalah mengikatkan diri secara total dengan mazhab tertentu dalam semua permasalahan agama.
Hukum taklid semacam ini diperselisihkan oleh para ulama.
Ada ulama yang mewajibkannya menimbang bahwa orang belakangan itu tidak mungkin bisa sampai tingkatan ijtihad.
Ada
juga ulama yang mengharamkannya mengingat dalam hal terdapat tindakan
mengikatkan diri secara mutlak untuk mengikuti manusia selain Nabi.
Abul
Abbas al Harani mengatakan, “Pendapat yang mewajibkan itu
berkonsekuensi mentaati manusia selain Nabi dalam semua perintah dan
larangannya dan ini adalah tindakan yang menyelisihi ijma. Sedangkan
membolehkannya mengandung banyak masalah” [al Fatawa al Kubro 4/625].
Beliau
juga mengatakan, “Barang siapa yang mengikatkan diri pada suatu mazhab
tertentu lalu dia menyelisihi mazhabnya bukan karena taklid kepada
ulama lain yang memberikan fatwa kepadanya, bukan pula karena menjumpai
dalil yang mengharuskannya untuk menyelisihi pendapat lama yang dia
ikuti bukan pula karena udzur syar’i yang menyebabkan bolehnya apa yang
dia lakukan maka dia mengikuti hawa nafsunya, melakukan yang haram tanpa
udzur syari dan ini adalah kemungkaran.
Namun jika dia mengetahui
hal yang menyebabkan dia bisa memastikan bahwa satu pendapat itu lebih
kuat dari pada pendapat yang lain boleh jadi dalil{?} jika dia bisa
mengetahui dan memahami dalil atau karena melihat bahwa satu ulama itu
lebih berilmu dalam masalah tersebut dari pada ulama yang lain dan ulama
tersebut namun lebih hati hati dan bertakwa kepada Allah dalam
ucapannya oleh karena itu dia tinggalkan pendapatnya yang lama karena
faktor semacam ini. Tindakan semacam ini hukumnya mubah bahkan wajib
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad”.
Kedua, taklid parsial
adalah mengikuti suatu pendapat tertentu dalam suatu permasalahan.
Hukum taklid semacam ini adalah boleh bagi orang yang tidak mampu untuk
mengetahui kebenaran melalui jalan ijtihad baik tidak mampu karena
memang tidak mampu atau sebenarnya mampu namun menimbulkan kesulitan
yang besar.
Bolehkah Orang Yang Bertaklid Memberikan Fatwa?
Ahli
dzikr adalah ahli ilmu sedangkan orang yang bertaklid bukanlah termasuk
ahl ilmu yang diikuti karena dia hanyalah sekedar orang yang mengikuti
orang lain.
Abu Umar Ibnu Abdil Barr al Maliki mengatakan,
“Seluruh ulama bersepakakat bahwa orang yang bertaklid tidaklah
terhitung ulama karena ilmu adalah mengenal kebenaran berdasarkan
dalil”.
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Benarlah apa yang dikatakan oleh
Abu Umar karena ulama tidaklah berselisih bahwa ilmu adalah pengetahuan
yang didapatkan dari dalil. Jika tanpa dalil maka itulah taklid”.
Setelah itu Ibnul Qoyyim menceritakan adanya tiga pendapat mengenai hukum memberikan fatwa dengan dasar taklid.
Pertama,
tidak boleh berfatwa tanpa taklid karena taklid bukanlah ilmu sedangkan
fatwa tanpa ilmu hukumnya haram. Inilah pendapat mayoritas Hanabilah
dan jumhur Syafiiyyah.
Kedua, boleh untuk diri sendiri namun tidak boleh untuk orang lain.
Ketiga,
boleh jika ada kebutuhan dan tidak ada ulama mujtahid di daerah
tersebut. Inilah pendapat yang paling kuat dan inilah pendapat yang
dipraktekkan oleh kaum muslimin [I’lam al Muwaqqiin 1/7]
Kewajiban orang yang bertanya
Pertama,
bertanya dengan tujuan mencari kebenaran dan mengamalkannya bukan
mencari cari pendapat yang enak dan mudah, memojokkan orang yang ditanya
atau maksud buruk selainnya.
Kedua, tidak bertanya kecuali kepada
orang yang diyakini atau ada sangkaan kuat bahwa orang tersebut layak
untuk memberikan fatwa. Dianjurkan untuk memilih orang yang paling
dipercaya ilmu dan wara’nya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa hal ini
hukumnya adalah wajib.
Ketiga, mengajukan pertanyaan secara utuh sesuai dengan realita yang terjadi.
Keempat, perhatian dengan seksama penjelasan yang disampaikan. Tidak pergi kecuali setelah paham dengan baik dan utuh.
Syaikh al Albani mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa dalil haramnya taklid? Apa hukum bermazhab?”
Jawaban
beliau, “Aku tidak mengetahui adanya dalil yang itu {?} mengharamkan taklid
bahkan taklid adalah sebuah keharusan bagi orang yang tidak memiliki
ilmu, QS an Nahl:42.
Dalam ayat ini Allah membagi kaum muslimin
dalam masalah ilmu menjadi dua, ulama yang berkewajiban untuk menjawab
pertanyaan orang yang bertanya dan orang yang tidak berilmu yang
berkewajiban untuk bertanya kepada ulama.
Jika
ada orang awam yang mendatangi seorang ulama dan bertanya kepadanya
lalu sang ulama memberikan jawaban maka orang ini telah melaksanakan
ayat di atas.
Mungkin
yang ditanyakan bukanlah yang secara lugas disebutkan dalam teks
pertanyaan yaitu haramnya fanatik mazhab yang bermakna mengamalkan agama
berdasarkan salah satu mazhab yang diikuti oleh kaum muslimin lantas
sama sekali tidak mau menoleh pendapat yang ada di mazhab yang lain dan
perkataan ulama lain di luar mazhabnya. Praktek beragama dengan
bermazhab semacam ini lah yang tidak diperbolehkan karena tindakan ini
menyelisihi dalil al Quran dan sunnah.
Para ulama membagi manusia menjadi tiga bagian:
- Ulama mujtahid
- Muttabi’, yang mengikuti suatu pendapat berdasarkan ilmu.
- Orang yang bertaklid, inilah kewajiban orang yang awam.
Jika
demikian maka kita tidak bisa mengatakan secara mutlak bahwa taklid itu
haram kecuali jika taklid itu dijadikan sebagai agama [bukan sekedar
sarana belajar agama, pent]. Sedangkan semata mata taklid itu tidak
boleh diharamkan” [Majmu Fatawa al Madinah al Munawwarah hal 50].
*Materi
ini disampaikan di Kajian Ilmiah di Masjid Abu Bakar ash Sdiddiq,
Pisangan, Bontang Kalimantan Timur pada hari Sabtu 27 April 2013
__________Sumber= https://ustadzaris.com/mengenal-taklid