Islam Pedoman Hidup: Mengenal Taklid

Senin, 12 Juni 2017

Mengenal Taklid







Dalam bahasa arab taklid bermakna meletakkan sesuatu yang melingkar di leher semisal kalung.

Secara syariat, taklid bermakna mengikuti orang yang ucapannya bukanlah hujjah dalam agama.

Oleh karena itu tidaklah tergolong taklid orang yang mengikuti Nabi, mengikuti ijma dan mengikuti pendapat shahabat pada saat pendapat shahabat ketika itu adalah hujjah dalam agama.

Mengikuti hal hal di atas tidaklah disebut taklid karena yang diikuti adalah hujjah.  Namun boleh juga hal di atas disebut hujjah dalam makna majaz.

Taklid itu dibenarkan dalam dua kondisi.

Pertama, untuk orang awam yang tidak mampu mengetahui hukum agama secara langsung, taklid hukumnya adalah WAJIB mengingat firman Allah QS an Nahl:43.

Orang awam tidaklah diperintahkan untuk bertanya kepada para ulama kecuali agar dia mengambilkan fatwa sang ulama. Jika bukan karena tujuan ini lantas apa manfaat bertanya kepada ulama jika fatwa dan penjelasannya tidak kita amalkan.

Dianjurkan bagi orang awam tersebut untuk taklid kepada orang yang paling berilmu dan paling wara yang bisa dia jumpai. Jika menurutnya orang yang ada sama ilmu dan wara’ nya maka dia bebas memilih untuk bertanya kepada siapa saja yang dia kehendaki.

Kedua, ada suatu permasalahan yang ditanyakan kepada ulama mujtahid yang harus segera dijawab dan tidak ada waktu yang cukup bagi sang ulama untuk mengkaji sendiri permasalahan tersebut maka boleh baginya dalam situasi ini untuk taklid dengan fatwa ulama lain.

Sebagian ulama mempersyaratkan bolehnya taklid hanya dalam masalah non akidah dengan alasan akidah itu harus pasti sedangkan taklid itu hanya menghasilkan prasangka kuat saja.

Namun yang benar, boleh taklid dalam masalah akidah mengingat firman Allah QS an Nahl:43 itu bersifat umum tanpa membeda bedakan masalah akidah ataukah non akidah. Bahkan konteks ayat di atas membahas kerasulan yang ini tentu saja termasuk bahasan akidah.

Alasan logika juga mengatakan bahwa orang awam itu tidak mungkin mengetahui kebenaran berdasarkan dalil secara langsung baik dalam masalah akidah ataupun non akidah. Jika dia tidak bisa mengetahui kebenaran secara langsung maka jalan satu satunya yang tersedia adalah taklid mengingat QS at Taghabun:16.

Dua Jenis Taklid 

Taklid ada dua macam, total dan parsial.

Pertama, taklid total adalah mengikatkan diri secara total dengan mazhab tertentu dalam semua permasalahan agama.

Hukum taklid semacam ini diperselisihkan oleh para ulama.
Ada ulama yang mewajibkannya menimbang bahwa orang belakangan itu tidak mungkin bisa sampai tingkatan ijtihad.
Ada juga ulama yang mengharamkannya mengingat dalam hal terdapat tindakan mengikatkan diri secara mutlak untuk mengikuti manusia selain Nabi.

Abul Abbas al Harani mengatakan, “Pendapat yang mewajibkan itu berkonsekuensi mentaati manusia selain Nabi dalam semua perintah dan larangannya dan ini adalah tindakan yang menyelisihi ijma. Sedangkan membolehkannya mengandung banyak masalah” [al Fatawa al Kubro 4/625].

Beliau juga mengatakan, “Barang siapa yang mengikatkan diri pada suatu mazhab tertentu lalu dia menyelisihi mazhabnya  bukan karena taklid kepada ulama lain yang memberikan fatwa kepadanya, bukan pula karena menjumpai dalil yang mengharuskannya untuk menyelisihi pendapat lama yang dia ikuti bukan pula karena udzur syar’i yang menyebabkan bolehnya apa yang dia lakukan maka dia mengikuti hawa nafsunya, melakukan yang haram tanpa udzur syari dan ini adalah kemungkaran.
Namun jika dia mengetahui hal yang menyebabkan dia bisa memastikan bahwa satu pendapat itu lebih kuat dari pada pendapat yang lain boleh jadi dalil{?} jika dia bisa mengetahui dan memahami dalil atau karena melihat bahwa satu ulama itu lebih berilmu dalam masalah tersebut dari pada ulama yang lain dan ulama tersebut namun lebih hati hati dan bertakwa kepada Allah dalam ucapannya oleh karena itu dia tinggalkan pendapatnya yang lama karena faktor semacam ini. Tindakan semacam ini hukumnya mubah bahkan wajib sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad”.

Kedua, taklid parsial adalah mengikuti suatu pendapat tertentu dalam suatu permasalahan. Hukum taklid semacam ini adalah boleh bagi orang yang tidak mampu untuk mengetahui kebenaran melalui jalan ijtihad baik tidak mampu karena memang tidak mampu atau sebenarnya mampu namun menimbulkan kesulitan yang besar.

Bolehkah Orang Yang Bertaklid Memberikan Fatwa? 

Ahli dzikr adalah ahli ilmu sedangkan orang yang bertaklid bukanlah termasuk ahl ilmu yang diikuti karena dia hanyalah sekedar orang yang mengikuti orang lain.

Abu Umar Ibnu Abdil Barr al Maliki mengatakan, “Seluruh ulama bersepakakat bahwa orang yang bertaklid tidaklah terhitung ulama karena ilmu adalah mengenal kebenaran berdasarkan dalil”.
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Benarlah apa yang dikatakan oleh Abu Umar karena ulama tidaklah berselisih bahwa ilmu adalah pengetahuan yang didapatkan dari dalil. Jika tanpa dalil maka itulah taklid”.

Setelah itu Ibnul Qoyyim menceritakan adanya tiga pendapat mengenai hukum memberikan fatwa dengan dasar taklid.
Pertama, tidak boleh berfatwa tanpa taklid karena taklid bukanlah ilmu sedangkan fatwa tanpa ilmu hukumnya haram. Inilah pendapat mayoritas Hanabilah dan jumhur Syafiiyyah.
Kedua, boleh untuk diri sendiri namun tidak boleh untuk orang lain.
Ketiga, boleh jika ada kebutuhan dan tidak ada ulama mujtahid di daerah tersebut. Inilah pendapat yang paling kuat dan inilah pendapat yang dipraktekkan oleh kaum muslimin [I’lam al Muwaqqiin 1/7]

Kewajiban orang yang bertanya 

Pertama, bertanya dengan tujuan mencari kebenaran dan mengamalkannya bukan mencari cari pendapat yang enak dan mudah, memojokkan orang yang ditanya atau maksud buruk selainnya.

Kedua, tidak bertanya kecuali kepada orang yang diyakini atau ada sangkaan kuat bahwa orang tersebut layak untuk memberikan fatwa. Dianjurkan untuk memilih orang yang paling dipercaya ilmu dan wara’nya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa hal ini hukumnya adalah wajib.

Ketiga, mengajukan pertanyaan secara utuh sesuai dengan realita yang terjadi.

Keempat, perhatian dengan seksama penjelasan yang disampaikan. Tidak pergi kecuali setelah paham dengan baik dan utuh.

Syaikh al Albani mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa dalil haramnya taklid? Apa hukum bermazhab?”

Jawaban beliau, “Aku tidak mengetahui adanya dalil yang itu {?} mengharamkan taklid bahkan taklid adalah sebuah keharusan bagi orang yang tidak memiliki ilmu, QS an Nahl:42.

Dalam ayat ini Allah membagi kaum muslimin dalam masalah ilmu menjadi dua, ulama yang berkewajiban untuk menjawab pertanyaan orang yang bertanya dan orang yang tidak berilmu yang berkewajiban untuk bertanya kepada ulama.

Jika ada orang awam yang mendatangi seorang ulama dan bertanya kepadanya lalu sang ulama memberikan jawaban maka orang ini telah melaksanakan ayat di atas.

Mungkin yang ditanyakan bukanlah yang secara lugas disebutkan dalam teks pertanyaan yaitu haramnya fanatik mazhab yang bermakna mengamalkan agama berdasarkan salah satu mazhab yang diikuti oleh kaum muslimin lantas sama sekali tidak mau menoleh pendapat yang ada di mazhab yang lain dan perkataan ulama lain di luar mazhabnya. Praktek beragama dengan bermazhab semacam ini lah yang tidak diperbolehkan karena tindakan ini menyelisihi dalil al Quran dan sunnah.

Para ulama membagi manusia menjadi tiga bagian:
  • Ulama mujtahid
  • Muttabi’, yang mengikuti suatu pendapat berdasarkan ilmu.
  • Orang yang bertaklid, inilah kewajiban orang yang awam.
Jika demikian maka kita tidak bisa mengatakan secara mutlak bahwa taklid itu haram kecuali jika taklid itu dijadikan sebagai agama [bukan sekedar sarana belajar agama, pent]. Sedangkan semata mata taklid itu tidak boleh diharamkan” [Majmu Fatawa al Madinah al Munawwarah hal 50].


*Materi ini disampaikan di Kajian Ilmiah di Masjid Abu Bakar ash Sdiddiq, Pisangan, Bontang Kalimantan Timur pada hari Sabtu 27 April 2013
__________
Sumber= https://ustadzaris.com/mengenal-taklid