Oleh
Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif
Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif
Mahrom
merupakan masalah yang penting dalam Islam karena ia memiliki beberapa
fungsi yang penting dalam tingkah laku, hukum-hukum halal/haram. Selain
itu juga, Mahrom merupakan kebijaksanaan Allah dan kesempurnaan
agama-Nya yang mengatur segala kehidupan. Untuk itu, seharusnya kita
mengetahui siapa-siapa saja yang termasuk mahrom dan hal-hal yang
terkait dengan mahrom.
Banyak
sekali hukum tentang pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat
dengan masalah mahrom, Seperti hukum safar, kholwat (berdua-duaan),
pernikahan, perwalian dan lain-lain.
Ironisnya,
masih banyak dari kalangan kaum muslimin yang tidak memahaminya, bahkan
mengucapkan istilahnya saja masih salah, misalkan mereka menyebut
dengan “Muhrim” padahal muhrim itu artinya adalah orang
yang sedang berihrom untuk haji atau umroh.
Dari sinilah, maka kami mengangkat masalah ini agar menjadi bashiroh (pelita) bagi ummat. Wallahu Al Muwaffiq
Definisi Mahrom
Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah : Mahrom adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan. [1]
Berkata Imam Ibnu Atsir rahimahullah : Mahrom adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman dan lain-lain. [2]
Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan : Mahrom
wanita adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi
selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya,
atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara sepersusuannya,
ayah ataupun anak tirinya. [3]
Macam-Macam Mahrom
Dari pengertian di atas, maka mahrom itu terbagi menjadi tiga macam:
Mahrom Karena Nasab (Keluarga)
Mahrom dari nasab adalah yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam surat An-Nur ayat 31.
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ
Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan menjaga kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah
suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau
saudara-saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara laki-laki mereka
atau putra-putra saudara perempuan mereka ….
Para
ulama’ tafsir menjelaskan: “Sesungguhnya lelaki yang
merupakan mahrom bagi wanita adalah yang disebutkan dalam ayat ini,
mereka adalah: .
1. Ayah
Termasuk
dalam kategori bapak yang merupakan mahrom bagi wanita adalah kakek,
baik kakek dari bapak maupun dari ibu. Juga bapak-bapak mereka ke atas.
Adapun bapak angkat, maka dia tidak termasuk mahrom berdasarkan firman
Allah Ta’ ala.
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ
“….Dan Alloh tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu … ” [Al-Ahzab : 4]
Dan ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya:
ادْعُوهُمْ
لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا
آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama
bapak-bapak’mereka, itulah yang lebih adil disisi Alloh, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka
sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu…. [Al-Ahzab : 5]
Berkata Imam Al Qurthubi rahimahullah: “Seluruh
ulama tafsir sepekat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin
Haritsah. Para imam hadits telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau
berkata: “Dulu tidaklah kami memanggil Zaid bin Haritsah kecuali
dengan Zaid bin Muhammad sehingga turun firman Allah Taala: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka….”[4]
Berkata Imam Ibnu Katsir: “Ayat
ini menghapus hukum yang terdapat di awal Islam yaitu bolehnya
mengambil anak angkat, yang mana dahulu kaum muslimin memperlakukan
anak angkat seperti anak sendiri dalam masalah kholwah dan yang lainnya”.
Maka
Allah memerintahkan mereka untuk mengembalikan nasab mereka kepada
bapak-bapak mereka yang sebenarnya. Oleh karena itulah Alloh
membolehkan menikah dengan bekas istri anak angkat. Dan Rosululloh
menikah dengan Zainab binti Jahsy setelah di ceraikan oleh Zaid bin
Haritsah. Alloh berfirman:
فَلَمَّا
قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ
“Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mu’min untuk mengawini istri-istri anak
angkat mereka… [Al Ahzab : 37]
Oleh karena itu Allah berfirman tentang wanita-wanita yang diharamkan menikah dengannya:
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
“Dan istri anak kandungmu… [An Nisa’ : 23]
Jadi tidak termasuk yang diharamkan istri anak angkat. [5]
Berkata Imam Muhammad Amin Asy Syinqithi: “Difahami
dari firman Allah Ta’ala : “Dan istri anak kandungmu”
[An Nisa’: 23]. Bahwa istri anak angkat tidak termasuk yang
diharamkan, dan hal ini ditegaskan oleh Alloh dalam surat Al Ahzab ayat
4, 37, 40.” [6 ]
Adapun bapak tiri dan bapak mertua akan kita bahas pada babnya.
Setelah
mengetahui definisi mahrom dari para ulama’ dan sebagian dari
jenis mahrom (yakni mahrom karena nasab keluarga), maka pembahasan
selanjutnya adalah mengenai contoh-contoh dari mahram dengan sebab
keluarga. Juga, berikut ini akan dibahas secara singkat tentang
persusuan. Bagaimana definisinya dan batasan-batasannya?
2. Anak Laki-Laki
Termasuk
dalam kategori anak laki-laki bagi wanita adalah cucu, baik cucu dari
anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunan mereka. Adapun anak
angkat, maka dia tidak termasuk mahrom berdasar pada keterangan di
atas. Dan tentang anak tiri dan anak menantu laki-laki akan kita bahas
pada babnya.
3. Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki kandung maupun saudara sebapak ataupun seibu saja.
4. Anak laki-laki saudara (keponakan), baik keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan dan anak keturunan mereka. [7]
5. Paman, baik paman dari bapak ataupun paman dari ibu.
Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: “Tidak
disebutkan paman termasuk mahrom dalam ayat ini [An Nur: 31] di
karenakan kedudukan paman sama seperti kedudukan kedua orang tua,
bahkan kadang-kadang paman juga disebut sebagai bapak. Allah
Ta’ala berfirman:
أَمْ
كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ
مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ
آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ
“Adakah
kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia
berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah
Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu Ibrahim, Ismail dan Ishaq….” [Al-Baqarah: 133]
Sedangkan Isma’il adalah paman dari putra-putra Ya’qub. [8]
Dan
bahwasanya paman termasuk mahrom adalah pendapat jumhur ulama’.
Hanya saja imam Sya’bi dan Ikrimah, keduanya berpendapat bahwa
paman bukan termasuk mahrom karena tidak disebutkan dalam ayat ini juga
dikarenakan hukum paman mengikuti hukum anaknya (padahal anak paman
atau saudara sepupu bukan termasuk mahrom -pent).[9]
Mahrom Karena Persusuan
Pembahasan ini kita bagi menjadi beberapa fasal sebagai berikut:
Definisi Hubungan Persusuan
Persusuan : Adalah masuknya air susu seorang wanita kepada anak kecil dengan syarat-syarat tertentu. [10]
Persusuan : Adalah masuknya air susu seorang wanita kepada anak kecil dengan syarat-syarat tertentu. [10]
Sedangkan
persusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahrom adalah lima kali
persusuan, berdasar pada hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau
berkata : “Termasuk yang di turunkan dalam Al Qur’an bahwa
sepuluh kali persusuan dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus
dengan lima kali persusuan.” [11]
Ini adalah pendapat yang rajih di antara seluruh pendapat para ulama’. [12]
Dalil Tentang Hubungan Mahrom Dari Hubungan Persusuan
1. Dari Al Qur’an : Firman Allah Ta’ala tentang wanita-wanita yang haram dinikahi: “…Juga ibu-ibu yang menyusui kalian serta saudarasaudara kalian dari persusuan… [An Nisa’: 23]
2. Dalil dari Sunnah: Dari Abdullah Ibnu Abbas ia berkata : Rasululloh bersabda: Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab. [13]
Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata. “Sesungguhnya
Aflah saudara laki-laki Abi Qu’ais meminta izin untuk menemuiku
setelah turun ayat hijab, maka saya berkata: “Demi Allah, saya
tidak akan memberi izin kepadamu sebelum saya minta izin kepada
Rasulullah, karena yang menyusuiku bukan saudara Abi Qu’ais, akan
tetapi yang menyususiku adalah istri Abi Qu’ais. Maka tatkala
Rosululloh datang, saya berkata: Wahai Rasululloh, sesungguhnya lelaki
tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah
istrinya. Maka Rasululloh bersabda: “Izinkan baginya, karena dia
adalah pamanmu” [14]
Siapakah Mahrom Wanita Sebab Persusuan?
Berdasarkan ayat dan hadits di atas maka kita ketanui bahwa mahrom dari sebab persusuan seperti mahrom dari nasab yaitu:
1.
Bapak persusuan (suami ibu susu). Termasuk mahrom juga kakek persusuan
yaitu bapak dari bapak atau ibu persusuan, juga bapak-bapak mereka
keatas.
2. Anak laki-laki dari ibu susu. Termasuk anak susu adalah cucu dari anak susu baik lakilaki maupun perempuan. Juga anak keturunan mereka.
3. Saudara laki-laki sepersusuan. Baik dia saudara susu kandung, sebapak maupun cuma seibu.
4. Keponakan persusuan (anak saudara.persusuan). Balk anak saudara persusuan laki-laki maupun perempuan, juga keturunan mereka.
5. Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu). [15]
2. Anak laki-laki dari ibu susu. Termasuk anak susu adalah cucu dari anak susu baik lakilaki maupun perempuan. Juga anak keturunan mereka.
3. Saudara laki-laki sepersusuan. Baik dia saudara susu kandung, sebapak maupun cuma seibu.
4. Keponakan persusuan (anak saudara.persusuan). Balk anak saudara persusuan laki-laki maupun perempuan, juga keturunan mereka.
5. Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu). [15]
Pada
bagian ketiga tentang mahrom, akan dibahas jenis mahrom selanjutnya,
yaitu mahrom karena mushoharoh. Apa yang dimaksud dengan mushoharoh,
dari mana dalil-dalil penyebab mahrom-nya serta siapa sajakah mereka
itu? Berikut jawabannya secara singkat mengenai hal itu semua.
Mahrom Karena Mushoharoh
Pembahasan ini kita bagi menjadi beberapa fasal, yaitu:
Pembahasan ini kita bagi menjadi beberapa fasal, yaitu:
Definisi Mushoharoh
Mushoharoh berasal dari kalimat : Ash-Shihr. Berkata Imam Ibnu Atsir : “Shihr adalah mahrom karena pernikahan”. [16]
Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: “Mahrom
wanita yang disebabkan mushoharoh adalah orang-orang yang, haram
menikah dengan wanita tersebut selama-lamanya seperti ibu tiri, menantu
perempuan, mertua perempuan”. [17]
Maka
mahrom yang disebabkan mushoharoh bagi ibu tiri adalah anak suaminya
dari istrinya yang lain (anak tirinya), dan mahrom mushoharoh bagi
menantu perempuan adalah bapak suaminya (bapak mertua), sedangkan bagi
ibu istri (ibu mertua) adalah suami putrinya (menantu
laki-laki).” [18]
Dalil Mahrom Sebab Mushoharoh
Firman Allah Ta’ala:
وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ
آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ
أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ
“…Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami
mereka ,atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra
mereka, atau putra-putra suami mereka… [An Nur : 31]
Firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)… [An Nisa’ : 22]
Firman Allah Ta’ala:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ
اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ
اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) … ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
istrimu (anak: tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan
istri-istri anak kandungmu (menantu)… [An Nisa’: 23]
Siapakah Mahrom Wanita Dari Sebab Mushoharoh?
Berdasarkan
ayat-ayat di atas maka dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang haram
dinikahi selama-lamanya karena sebab mushoharoh ada lima yaitu:
1. Suami
Berkata Imam Ibnu Katsir, ketika menasirkan firman Alloh ta’ala surat An Nur: 31 “Adapun
suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan, perintah
menundukkan pandangan dari orang lain -pent) memang diperuntukkan
baginya: Maka seorang istri berbuat sesuatu untuk suaminya yang tidak
dilakukannya dihadapan orang lain.” [19]
Berkata Imam Qurthubi dan Syaukani: “Makna
[bu’uulatihinna] adalah suami dan tuan bagi seorang budak wanita
sebagaimana firman Alloh: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluan
mereka kecuali kepada istri dan budak mereka, maka mereka itu tidak
tercela” [Al Mu’minun: 5-6].[20]
2. Ayah Mertua (Ayah Suami)
Mencakup ayah suami atau bapak dari ayah dan ibu suami juga bapak-bapak mereka keatas. [21]
3. Anak Tiri (Anak suami dari istri lain)
Termasuk anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri laki-laki maupun perempuan, begitu juga keturunan mereka. [22]
Maka
haram bagi seorang wanita untuk menikah dengan anak tirinya, begitu
juga sebaliknya. Berkata Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Alloh
: “Janganlah kalian menikah dengan wanita-wanita yang (pernah) dinikahi oleh bapak-bapak kalian” [An Nisa’: 22] “Allah
Ta’ala mengharamkan menikah dengan istri-istri bapak (ibu tiri)
demi menghormati mereka, dengan sekedar terjadi akad nikah baik terjadi
jima’ ataupun tidak, dan masalah ini telah disepakati oleh para
ulama’.” [23]
4. Ayah Tiri (Suami ibu tapi bukan bapak kandungnya).
Maka
haram bagi seorang wanita untuk dinikahi oleh ayah tirinya, kalau sudah
berjima’ dengan ibunya. Adapun kalau belum maka hal itu
dibolehkan. [24]
Berkata Abdullah Ibnu Abbas: “Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu, maka dia haram bagimu.” [25]
5. Menantu Laki-Laki (Suami putri kandung) [26]
Dan kemahroman ini terjadi sekedar putrinya di akadkan kepada suaminya. [27]
Alhamdulillah,
setelah tuntas membahas mengenai definisi mahrom, jenis-jenis dan
siapa-siapa saja yang dihukumi mahrom, maka yang akan dibahas
berikutnya adalah menepis anggapan sebagian kaum muslimin yang salah
dalam menentukan mahrom. Siapa-siapa saja yang biasa mereka menganggap
mahrom, padahal bukan?
[Disalin
dari Majalah Al Furqon, Edisi 3 Th. II, Dzulqo’idah 1423, hal
29-31. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat
Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jawa Timur]
_______
Footnote
[1]. Al-Mughni 6/555.
[2]. An-Nihayah 1/373.
[3]. Tanbihat ‘Ala Ahkam Takhtashu bil mu’minat, hal. 67.
[4]. Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an: 14/79.
[5]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/435 dengan sedikit perubahan dan Tafsir As-Sa’di hal: 613.
[6]. Adlwaul Bayan 1/232.
[7]. Lihat Tafsir Qurthubi 12/232-233.
[8]. Lihat Al-Mufashal Fi Ahkamil Mar’ah 3/159.
[9]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/267, Tafsir Fathul Qodir 4/24 dan Tafsir Qurthubi 12/155.
[10]. Al Mufashol Fi Ahkamin Nisa’ 6/235.
[11]. HR. Muslim 2/1075/1452, Malik 2/608/17, Abu Dawud 2/551/2062, Turmudzi 3/456/1150 dan lainnya.
[12]. Lihat Nailul Author 6/749, Raudloh Nadiyah 2/175.
[13]. HR. Bukhori 3/222/ 2645, Muslim: 2/1068/ 1447, Abu Dawud 1/474, Nasa’i 6/82, Darimi 2/156, Ahmad 1/27.
[14]. HR. Bukhori: 4796; Muslim: 1445.
[15]. Lihat Al Mufashol 3/160 dengan beberapa tambahan.
[16]. An Nihayah 3/63.
[17]. Lihat Syarh Muntahal Irodat 3/7.
[18]. Lihat Al Mufashshol 3/162.
[19]. Tafsir Ibnu Katsir 3/267.
[20]. Lihat Tafsir Al Qurthubi 12/153 dan Tafsir Fathul Qodir 4/23.
[21]. Lihat Tafsir Sa’di hal: 515 dan Tafsir Fathul Qodir 4/24 dan Tafsir Qurthubi 12/154.
[22]. Lihat Tafsir Qurthubi 12/154 dan Fathul Qodir 4/24.
[23]. Tafsir Ibnu Katsir 1/413 dengan sedikit perubahan, lihat juga Tafsir Qurthubi 5/75.
[24]. Lihat Tafsir Qurthubi 5/74.
[25]. Tafsir Thobari 3/318.
[26]. Lihat Al Mufashshol 3 /162.
[27]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/417.
_______
Footnote
[1]. Al-Mughni 6/555.
[2]. An-Nihayah 1/373.
[3]. Tanbihat ‘Ala Ahkam Takhtashu bil mu’minat, hal. 67.
[4]. Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an: 14/79.
[5]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/435 dengan sedikit perubahan dan Tafsir As-Sa’di hal: 613.
[6]. Adlwaul Bayan 1/232.
[7]. Lihat Tafsir Qurthubi 12/232-233.
[8]. Lihat Al-Mufashal Fi Ahkamil Mar’ah 3/159.
[9]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/267, Tafsir Fathul Qodir 4/24 dan Tafsir Qurthubi 12/155.
[10]. Al Mufashol Fi Ahkamin Nisa’ 6/235.
[11]. HR. Muslim 2/1075/1452, Malik 2/608/17, Abu Dawud 2/551/2062, Turmudzi 3/456/1150 dan lainnya.
[12]. Lihat Nailul Author 6/749, Raudloh Nadiyah 2/175.
[13]. HR. Bukhori 3/222/ 2645, Muslim: 2/1068/ 1447, Abu Dawud 1/474, Nasa’i 6/82, Darimi 2/156, Ahmad 1/27.
[14]. HR. Bukhori: 4796; Muslim: 1445.
[15]. Lihat Al Mufashol 3/160 dengan beberapa tambahan.
[16]. An Nihayah 3/63.
[17]. Lihat Syarh Muntahal Irodat 3/7.
[18]. Lihat Al Mufashshol 3/162.
[19]. Tafsir Ibnu Katsir 3/267.
[20]. Lihat Tafsir Al Qurthubi 12/153 dan Tafsir Fathul Qodir 4/23.
[21]. Lihat Tafsir Sa’di hal: 515 dan Tafsir Fathul Qodir 4/24 dan Tafsir Qurthubi 12/154.
[22]. Lihat Tafsir Qurthubi 12/154 dan Fathul Qodir 4/24.
[23]. Tafsir Ibnu Katsir 1/413 dengan sedikit perubahan, lihat juga Tafsir Qurthubi 5/75.
[24]. Lihat Tafsir Qurthubi 5/74.
[25]. Tafsir Thobari 3/318.
[26]. Lihat Al Mufashshol 3 /162.
[27]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/417.
Posting Ulang: Cisaat, Nengkelan, Ciwidey