العبد إذا فعل الذنب مع اعتقاد أن الله حرمه عليه ، واعتقاد انقياده لله فيما
حرمه وأوجبه : فهذا ليس بكافر.
فأما إن اعتقد أن الله لم يحرمه ، أو أنه حرمه لكن امتنع من قبول هذا التحريم
، وأبى أن يذعن لله وينقاد : فهو إما جاحد ، أو معاند.
ولهذا قالوا: من عصى مستكبرا كإبليس كفر بالاتفاق.
ومن عصى مشتهيا لم يكفر عند أهل السنة والجماعة، وإنما يكفره الخوارج.
فإن العاصي المستكبر وإن كان مصدقا بأن الله ربه ، فإن معاندته له ومحادته
تنافي هذا التصديق.
وبيان هذا : أن من فعل المحارم مستحلا لها فهو كافر بالاتفاق ، فإنه ما آمن
بالقرآن من استحل محارمه ، وكذلك لو استحلها بغير فعل.
“Seorang
hamba apabila melakukan suatu dosa namun berkeyakinan Allah mengharamkannya dan
berkeyakinan untuk tunduk/patuh kepada Allah terhadap apa yang dilarang dan
diwajibkan-Nya; maka orang ini tidak kafir.
Adapun jika
hamba tersebut berkeyakinan Allah tidak mengharamkannya, atau Allah
mengharamkannya akan tetapi tidak mau menerimanya pengharaman ini, serta enggan
mentaati dan mematuhi Allah, maka bisa jadi ia adalah orang yang ingkar atau
orang menentang/membangkang.
Oleh karena
itu mereka (ulama) berkata : Barangsiapa yang melakukan maksiat dengan
kesombongan seperti Iblis, kafir menurut kesepakatan.
Barangsiapa
yang melakukan maksiat karena menginginkannya (dorongan hawa nafsu), maka tidak
dikafirkan menurut Ahlus-Sunnah. Hanya kelompok Khawaarij yang mengkafirkannya.
Sesungguhnya
orang yang bermaksiat dengan kesombongan - meskipun dirinya membenarkan Allah
adalah Rabbnya, maka sikap pembangkangan dan penentangannya terhadap-Nya
menafikkan pembenaran ini.
Penjelasannya
: orang yang melakukan hal-hal yang diharamkan dengan menghalalkannya, maka ia
kafir menurut kesepakatan. Ia bukan seorang yang beriman kepada Al-Qur’an
akibat penghalalannya terhadap apa yang diharamkan-Nya. Begitu pula seandainya
dirinya menghalalkannya meski tanpa melakukannya.
والاستحلال : اعتقاد أنها حلال له ، وذلك يكون تارة باعتقاد أن الله أحلها ،
وتارة باعتقاد أن الله لم يحرمها ، وتارة بعدم اعتقاد أن الله حرمها . وهذا يكون
لخلل في الإيمان بالربوبية ، أو لخلل في الإيمان بالرسالة ، ويكون جحدا محضا غير
مبني على مقدمة.
وتارة يعلم أن الله حرمها ، ويعلم أن الرسول إنما حرم ما حرمه الله ، ثم يمتنع
عن التزام هذا التحريم، ويعاند المحرِّم فهذا أشد كفرا ممن قبله.
وقد يكون هذا مع علمه أن من لم يلتزم هذا التحريم عاقبه الله وعذبه.
Dan
penghalalan (istihlaal) itu adalah : keyakinan bahwasannya sesuatu halal
baginya. Hal tersebut kadang disertai dengan keyakinan bahwa Allah (memang)
menghalalkannya, kadang dengan keyakinan bahwa Allah tidak mengharamkannya, dan
kadang dengan ketiadaan keyakinan Allah mengharamkannya. Ini terjadi karena
kerusakan imannya terhadap Rubuubiyyah atau kerusakan imannya terhadap
risalah; sehingga terjadi pengingkaran murni yang tidak terbangun atas muqaddimah.
Dan kadang,
orang bersangkutan mengetahui bahwa Allah telah mengharamkannya dan mengetahui
bahwa Rasulullah ﷺ hanyalah mengharamkan apa yang
diharamkan Allah, kemudian ia tidak mau ber-iltizaam (berkomitmen)
terhadap pengharaman ini dan menentang/membangkang apa yang diharamkan
tersebut; maka ini lebih kufur daripada orang sebelumnya.
Dan kadang
orang seperti ini mengetahui bahwa orang yang tidak berkomitmen terhadap
pengharaman ini akan dihukum dan diadzab oleh Allah.
ثم إن هذا الامتناع و الإباء إما لخلل في اعتقاد حكمة الآمر و قدرته فيعود هذا
إلى عدم التصديق بصفة من صفاته.
و قد يكون مع العلم بجميع ما يصدق به تمردا أو اتباعا لغرض النفس و حقيقة كفر
هذا لأنه يعترف لله و رسوله بكل ما أخبر به و يصدق بكل ما يصدق به المؤمنون لكنه
يكره ذلك و يبغضه و يسخطه لعدم موافقته لمراده و مشتهاه و يقول : أنا لا أقر بذلك
و لا ألتزمه و أبغض هذا الحق و أنفر عنه فهذا نوع من غير النوع الأول و تكفير هذا
معلوم بالاضطرار من دين الإسلام و القرآن مملوء من تكفير مثل هذا النوع بل عقوبته
أشد.
“Kemudian,
sesungguhnya penolakan dan keengganan ini, mungkin disebabkan karena kerusakan
pada keyakinan hikmah dan kekuasaan Allah ta’ala. Maka hal ini kembali
pada peniadaan tashdiiq (pembenaran) terhadap sifat dari
sifat-sifat-Nya.
Kadangkala
penolakan dan keengganan dilakukan dengan pengetahuannya terhadap seluruh
perkara yang ia benarkan/imani, namun ia durhaka atau mengikuti keinginan hawa nafsunya.
Dan hakekat perbuatan ini adalah kekufuran, karena ia mengakui apa yang
dikhabarkan Allah dan Rasul-Nya, dan membenarkan semua perkara yang dibenarkan
oleh kaum mukminin, akan tetapi ia malah benci, marah, dan tidak rela padanya
karena adanya ketidaksesuaian pada keinginan dan hawa nafsunya. Orang tersebut
berkata : ‘Aku tidak mengakuinya, tidak akan menjalankannya, aku membenci
kebenaran ini dan akupun lari/menghindar darinya’. Jenis kekufuran ini beda
dengan jenis kekufuran yang disebut di awal, dan kekafirannya sudah ma’lum lagi
aksiomatik dalam agama Islam. Dan Al-Qur’an dipenuhi dengan bentuk pengkafiran
semacam ini, dan bahkan hukumannya lebih keras” [Ash-Shaarimul-Masluul,
hal. 521-522].
Dari
penjelasan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di atas
diketahui, istihlaal yang menyebabkan kekufuran adalah keyakinan (i’tiqaad)
penghalalan terhadap sesuatu yang diharamkan Allah. Istihlaal ini ada
beberapa bentuk:
1. Menghalalkan apa yang diharamkan dengan melakukannya.
2. Menghalalkan apa yang diharamkan tanpa melakukannya.
3. Tidak mau komitmen terhadap apa yang diharamkan Allah
dan Rasul-Nya dengan penolakan dan keengganan yang disertai rasa benci, marah,
dan tidak rela.[1]
Allah ta’ala berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ * ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah
menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka
benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan
amal-amal mereka” [QS. Muhammad : 8-9].
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
من كره ما جاء به النبي صلّى الله عليه وسلّم أو شيء منه فهو مرتد، قال تعالى:
(ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ) ،
ولا يحبط العمل إلاَّ بالردة
“Barangsiapa
yang membenci syari’at yang dibawa oleh Nabi ﷺ, maka ia murtad. Allah ta’ala berfirman : ‘Yang
demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan
Allah (Al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan amal-amal mereka’ (QS. Muhammad :
9). Dan tidaklah amal terhapus kecuali dengan kemurtadan” [Asy-Syarhul-Mumti’,
15/66].
Maka, tidak
boleh dipahami sekedar terus-menerus melakukan perbuatan kemaksiatan atau
berhukum dengan selain hukum Allah dan meninggalkan hukum Allah dikafirkan
pelakunya karena dianggap sebagai penghalalan (istihlaal).
Dalilnya:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: " أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ، وَكَانَ يُلَقَّبُ
حِمَارًا، وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي
الشَّرَابِ، فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا، فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ
الْقَوْمِ: اللَّهُمَّ الْعَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ، مَا
عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Dari ‘Umar
bin Al-Khaththaab : Ada seorang laki-laki di jaman Nabi ﷺ bernama ‘Abdullah, yang dijuluki
keledai (himaar). Ia suka membuat Rasulullah ﷺ tertawa. Nabi ﷺ pernah mencambuknya karena ia
mabuk. Suatu hari ia dihadapkan ke hadapan Nabi ﷺ, lalu beliau memerintahkan agar ia dicambuk. Lalu ada seorang
laki-laki dari satu kaum berkata : “Ya Allah, laknatilah ia, betapa sering ia
dihukum”. Maka Nabi ﷺ bersabda : "Janganlah
kalian melaknatnya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahuinya kecuali ia mencintai
Allah dan Rasul-Nya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6780].
Hadits ini
adalah dalil yang jelas yang menunjukkan orang yang terus-menerus melakukan
kemaksiatan tidak dihukumi dengan kekafiran[2].
Al-Imaam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
ومن لَـقِيـَه مُصِـرّا غير تائب من الذنوب التي استوجب بها العقوبة فأمره إلى
الله ، إن شاء عذّبه ، وإن شاء غفر له ، ومن لَـقِـيَـه وهو كافر عذّبه ولم يغفر
له
“Barangsiapa
yang berjumpa (dengan Allah) dalam keadaan (sewaktu di dunia) terus-menerus
melakukan dosa tanpa (sempat) bertaubat dari dosa-dosa yang mengkonsekuensikan
hukuman tersebut, maka perkaranya diserahkan kepada Allah. Apabila Ia
berkehendak, maka Ia akan mengadzabnya, dan apabila Ia berkehendak, maka Ia
akan mengampuninya. Dan barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan
kafir, maka Allah akan mengadzabnya dan tidak mengampuninya” [Ushuulus-Sunnah,
hal. 110 – syarh : Ibnu Jibriin].
Ibnu
Abiz-Zamaniin Al-Maalikiy rahimahullah berkata:
ومَن مات مِن المؤمنين مُصِرًّا على ذنبه فهو في مشيئته وخياره، وليس لأحدٍ أن
يَتسَوَّر على الله في علم غَيْبه وبجحود قضائه؛ فيقول: أَبَى ربُّك أن يَغْفِر
للمُصرِّين، كما أَبَى أن يُعَذِّب التائبين {مَا يَكُونُ لَنَا أَن نَتَكَلَّمَ
بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ}
“Barangsiapa
yang meninggal dari kalangan orang-orang yang beriman yang terus-menerus
melakukan dosa, maka ia berada dalam kehendak-Nya. Tidak boleh bagi seorang pun
untuk mendahului Allah dalam ilmu ghaib-Nya dan mengingkari ketetapan-Nya lalu
berkata : ‘Rabbmu enggan untuk memberikan ampunan terhadap orang-orang yang
terus-menerus berbuat dosa sebagaimana Dia enggan mengadzab orang-orang yang
bertaubat’. Allah ta’ala berfirman: ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi
kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang
besar’ (QS. An-Nuur : 16)” [Ushuulus-Sunnah, hal. 257].
Al-Khathiib
Asy-Syarbiiniy rahimahullah berkata:
الْكَبِيرَة لَا تَصِيرُ بِالْمُوَاظَبَةِ كُفْرًا
“Dosa besar
tidak berubah menjadi kekufuran dengan giat terus-menerus melakukannya” [Mughnil-Muhtaj,
6/346].
Asy-Syaikh
Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah berkata:
الإصرار على الكبيرة التي هي دون الشرك لا يصير المصر عليها كافرا ، لأنها ما
دامت دون الشرك ودون الكفر : فإنه يعتبر فاسقا ولا يخرج من الملة ، ولو أصر عليها
“Terus-menerus
berbuat dosa besar di bawah kesyirikan, maka orang yang melakukannya tersebut
tidak menjadi kafir. Karena selama dosa besar itu di bawah kesyirikan dan
kekufuran (akbar), maka dirinya hanya dihukumi sebagai orang fasiq saja dan
tidak keluar dari agama (murtad) meskipun terus-menerus melakukannya” [Dhaahiratut-Tabdii’
wat-Tafsiiq wat-Takfiir wa Dlawaabithuhu, hal. 60-61].
Seandainya
pun suatu perbuatan dihukumi sebagai istihlaal, maka wajib iqaamatul-hujjaah
sebelum pengkafiran terhadap pelakunya.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
الاستحلال إذاً: استحلال فعلي واستحلال عقدي بقلبه.
فالاستحلال الفعلي: ينظر فيه للفعل نفسه ، هل يكفر أم لا ؟ ومعلوم أن أكل
الربا لا يكفر به الإنسان ، لكنه من كبائر الذنوب ، أما لو سجد لصنم فهذا يكفر
لماذا ؟ لأن الفعل يكفر؛ هذا هو الضابط ولكن لابد من شرط آخر وهو: ألا يكون هذا
المستحل معذوراً بجهله، فإن كان معذوراً بجهله فإنه لا يكفر، مثل أن يكون إنسان
حديث عهد بالإسلام لا يدري أن الخمر حرام، فإن هذا وإن استحله فإنه لا يكفر، حتى
يعلم أنه حرام؛ فإذا أصر بعد تعليمه صار كافراً.
“Maka istihlaal
itu (ada dua) : istihlaal fi’liy (perbuatan) dan istihlaal ‘aqdiy
(keyakinan) dengan hatinya.
Istihlaal fi’liy, perlu dilihat dulu tentang jenis dzat perbuatannya, apakah (termasuk)
dikafirkan ataukah tidak ?. Dan telah diketahui bahwasannya orang yang memakan
riba tidak dikafirkan, akan tetapi perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Adapun jika ia sujud kepada berhala, maka ini dikafirkan. Mengapa ? Karena
(dzat) perbuatannya sendiri memang dikafirkan. Inilah kaedahnya. Akan tetapi
tetap harus memenuhi syarat yang lain (dalam pengkafirannya), yaitu orang yang
menghalalkan ini bukan orang yang diberikan udzur karena kejahilannya. Apabila
ia adalah orang yang diberikan udzur karena kejahilannya, maka tidak
dikafirkan. Seperti misal orang yang baru masuk Islam yang tidak tahu khamr
diharamkan. Apabila orang ini menghalalkannya, tidak dikafirkan hingga ia
mengetahui khamr itu haram. Apabila ia bersikeras/terus-menerus (dalam
penghalalannya) setelah diberitahu/diajari, maka kafir” [Liqaa’ul-Baab
Al-Maftuuh, 16/50].
Wallaahu a’lam bish-shawaab.
Semoga ada
manfaatnya.
[1] Termasuk kufur ‘inaad dan istikbaar.
Silakan baca penjelasan macam-macam kekufuran pada artikel : Macam-Macam Kekufuran.
[2] Meski demikian, kita tidak boleh meremehkan
karena dosa besar dapat mengantarkan kepada kekufuran. Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
ولا ريب أن المعصية قد تكون سببا للكفر كما قال بعض السلف المعاصى بريد الكفر
“Dan tidak
diragukan bahwa kemaksiatan kadang menjadi sebab kekufuran sebagaimana
dikatakan sebagian salaf : ‘Kemaksiatan adalah pengantar menuju kekufuran” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 7/494].
Share Ulang:
- from= http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2017/05/bentuk-bentuk-istihlaal.html
- Jl. Pal Merah Utara No.3