Belum lama ini saya mendengarkan dan menyimak
sebuah rekaman video di Youtube berjudul “Manhaj Tarjih Muhammadiyah VS Salafi”
dengan durasi 1 jam 18 menit dan 54 detik. Dibawakan oleh seorang tokoh Muhammadiyyah
Banjarmasin yang merupakan guru besar sebuah universitas terpandang kota
tersebut. Dalam ceramahnya, beliau bercerita tentang ihwal salafi, sejarah dan
perkembangannya. Sayang, beliau yang punya kebiasaan memaparkan sesuatu secara
ilmiah (namanya juga guru besar), mendadak mempunyai ilusi tentang “Salafi”.
Karangan bebas yang disampaikan kepada jama’ah tentang Salafi. Saya tidak
mengatakan apa yang beliau sampaikan dari A sampai Z keliru semua. Tidak. Akan
tetapi substansi materi yang beliau sampaikan perlu kiranya untuk diluruskan.
Jangan sampai masyarakat kebablasan mengkonsumsi makanan kadaluarsa,
beracun. Insya Allah, di sini saya akan sedikit dua dikit
menuliskan tanggapan/catatan yang barangkali dapat menjadi pembanding dari
salah paham yang beredar.
Adapun pokok-pokok tanggapan saya rangkum sebagai
berikut:
1. Periodisasi
Salafi
Bapak Profesor hafidhahullah membuka dengan
definisi salaf: “Salafi itu secara umum adalah ingin
kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman dan praktek
salaf. Ar-rujuu’ ilal-Qur’an was-sunnah dengan mengikuti pemahaman
dan praktek salaf. Nah salaf ini ada yang tiga generasi, ada yang shahabat
saja” [09:50 – 10:22]
Bapak Profesor hafidhahullah melanjutkan: “Salafi ini baru dimulai pada masa
Ahmad bin Hanbal…… yang wafat tahun 855 H. Nah pada masa beliau, Pemerintah
yang berkuasa memaksakan teologi Mu’tazilah. ‘Aqidah Mu’tazilah…… Yang intinya,
memaksa kepada rakyat, khususnya ulama, untuk berkeimanan, berkeyakinan,
bahwasannya Al-Qur’an itu makhluk. Al-Qur’an itu makhluk. Nah, Ahmad bin Hanbal
sebagai seorang ulama, beliau tidak mau. Tapi beliau (ingin kembali) kepada
ajaran Al-Qur’an…. Al-Qur’an mengatakan bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk dan
juga bukan tidak makhluk. Al-Qur’an itu adalah Kalamullah. Nah, beliau ini
yang pertama kembali kepada paham yang pertama. Karena di jaman itu, tahun
800-an itu, Bani ‘Abbas berpaham madzhab Mu’tazilah….
Lalu setelah Ahmad bin Hanbal, Ibnu
Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah mengikuti Ahmad bin Hanbal. Juga paham salaf. Setelah
Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim. Paham salaf. Kemudian setelah itu, ini di tahun
800-an ya. Ibnu Taimiyyah di tahun 1328, kemudian Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
wafat tahun 1350. Nah, beliau-beliau ini, paham salafnya lebih cenderung kepada
‘aqidah tauhid. Madzhabnya madzhab Hanbali, tetapi tidak fanatik” [10:56 – 13:22]
Starting beliau dalam memetakan dan memahami permasalahan
sudah keliru, bahkan fatal. Jika beliau sendiri di awal telah mengatakan salafi
itu adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman dan praktek
salaf, apakah perkara tersebut tidak pernah muncul sebelum Ahmad bin Hanbal ?
Bukankah ini memang perintah Allah ta’ala dalam firman-Nya:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalan
orang-orang mukmin menyebabkan seseorang jatuh dalam kesesatan dan diancam
dengan Jahannam. Tidak ada kaum mukminiin saat ayat ini turun kecuali para
shahabat Nabi radliyallaahu ‘anhum.
Bukankah ini juga merupakan perintah Nabi ﷺ dalam
sabdanya:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي
فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Barangsiapa diantara kalian yang hidup
setelahku, niscaya ia melihat perselisihan yang banyak. Maka, berpeganglah
kalian kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang mendapat
petunjuk. Berpegang-teguhlah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi
geraham. Dan waspadalah kalian terhadap hal-hal yang baru (dalam urusan
agama), karena setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah kesesatan”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih].[1]
Solusi nabawi ketika terjadi perselisihan
sepeninggal beliau ﷺ adalah kembali kepada (Al-Qur’an),
As-Sunnah, serta pemahaman dan praktek para shahabat, terutama Al-Khulafaaur-Raasyiduun.
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu pernah
menjelaskan sebab mengapa kaum muslimin perlu meneladani para shahabat:
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّيًا
فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛
فَإِنَّهُمْ كَانُوا أَبَرَّ هَذِهِ الأُمَّةِ قُلُوبًا وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا
وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا وَأَحْسَنَهَا حَالا، قَوْمًا
اخْتَارَهُمُ اللَّهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَاعْرِفُوا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوهُمْ فِي آثَارِهِمْ ؛ فَإِنَّهُمْ
كَانُوا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيمِ
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin mengambil
keteladanan, hendaklah ia mengambil teladan dari para shahabat Muhammad ﷺ, karena
mereka adalah orang yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling
sedikit takalluf-nya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik
keadaannya. Orang-orang yang telah Allah pilih untuk menemani/mendampingi
Nabi-Nya ﷺ. Maka ketahuilah keutamaan mereka dan
ikutilah atsar-atsar mereka, karena mereka berada di atas petunjuk yang lurus”
[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’u Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih,
no. 1810; sanadnya laa’ ba’sa bih].
Mereka adalah kaum yang diridlai Allah ta’ala,
sebagaimana firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhaajirin dan Anshaar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan
mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya” [QS.
At-Taubah : 100].
Mereka – dan dua generasi setelahnya – adalah umat
terbaik, sebagaimana hadits:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَأَلَ
رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ
الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ ثُمَّ الثَّانِي ثُمَّ الثَّالِثُ
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Seorang laki-laki
pernah bertanya kepada Nabi ﷺ : ‘Manusia manakah yang paling baik ?’.
Beliau ﷺ menjawab : ‘Generasi manusia yang aku masih
ada di dalamnya. Kemudian yang kedua (setelahnya), kemudian yang ketiga
(setelahnya lagi)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2536 dan Ahmad 6/156].
Perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ untuk
mengembalikan cara beragama kita kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan
pemahaman as-salafush-shaalih sangat logis. Mereka adalah generasi yang
mendapat pengajaran langsung dari Rasulullah ﷺ,
sehingga mereka lebih mengetahui makna-maknanya, maksudnya, dan
praktek/impelementasinya.
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa pernah
berkata saat mendatangi kaum Khawaarij di Harura’ dalam rangka menasihati
mereka agar mau kembali kepada ajaran Nabi ﷺ:
أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ الْمُهَاجِرِينَ، وَالأَنْصَارِ، وَمِنْ عِنْدِ ابْنِ
عَمِّ النَّبِيِّ ﷺ وَصِهْرِهِ، وَعَلَيْهِمْ نُزِّلَ الْقُرْآنُ، فَهُمْ أَعْلَمُ
بِتَأْوِيلِهِ مِنْكُمْ، وَلَيْسَ فِيكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ....
“Aku datang kepada kamu dari shahabat-shahabat Nabi
ﷺ, yaitu kaum Muhaajiriin dan Anshaar, serta
dari anak paman Nabi ﷺ dan menantu beliau (yaitu ‘Aliy bin Abi
Thaalib radliyallaahu ‘anhu). Al-Qur’an diturunkan atas mereka,
sehingga mereka lebih mengetahui tafsirnya daripada kalian. Tidak ada
seorangpun diantara kalian yang termasuk dari mereka (yaitu shahabat Nabi ﷺ).
Sedangkan diantara kalian tidak ada seorangpun (yang termasuk) dari sahabat
Nabi….” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8522,
Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 1/285-286, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak
2/150, dan yang lainnya; hasan].
Barangsiapa yang menyimpang dari jalan mereka
(salaf), maka ia termasuk orang yang sesat.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Tidak ada kaum mukminiin saat ayat ini turun
kecuali para shahabat Nabi radliyallaahu ‘anhum.
Pemahaman mereka adalah pemahaman yang dijamin Nabi
ﷺ akan keselamatannya. Siapapun yang
berpegang pada ajaran Nabi ﷺ yang dipahami dan dipraktekkan para
shahabat, surga adalah tempat kembalinya.
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى
ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً،
قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ
وَأَصْحَابِي
“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh
tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu”. Mereka (para shahabat)
bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau ﷺ menjawab
: “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Hakim 1/218-219, Ath-Thabaraniy dalam Ash-Shaghiir
(melalui Ar-Raudlud-Daaniy) 2/29-30 no. 724), dan yang lainnya; hasan[2]].
Apakah ada alasan untuk tidak meneladani mereka ?
Muhammad bin Siiriin rahimahumallah (w. 110
H), seorang pembesar dari kalangan taabi’iin dan murid utama Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu[3], berkata:
كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ عَلَى
الطَّرِيقِ مَا كَانُوا عَلَى الأَثَرِ
“Mereka (yaitu taabi’iin dan shahabat yang
sejaman dengannya) berpendapat bahwa diri mereka berada di atas jalan
(kebenaran) selama berada di atas atsar” [Diriwayatkan oleh
Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 109-112].
Maksud selama berada di atas atsar adalah
berada di atas sunnah Nabi ﷺ dan para shahabatnya radliyallaahu
‘anhum.
Abu Haniifah An-Nu’maan bin Tsaabit rahimahullah
(w. 150 H) – salah seorang imam madzhab yang empat – berkata:
عليك بالأثر وطريقة السلف، وإياك
وكل محدثة فإنها بدعة
“Wajib bagimu untuk berpegang pada atsar dan
jalan yang ditempuh salaf. Dan berhati-hatilah engkau terhadap semua hal yang
diada-adakan, karena itu adalah bid’ah” [Ahaadiits fii Dzammil-Kalaam
hal. 81, melalui perantaraan Al-Ittibaa’ lis-Salafish-Shaalih hal. 10].
Al-Auzaa’iy rahimahullah (w. 157 H) - imam
penduduk Syaam di jamannya – berkata:
اصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى
السُّنَّةِ، وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ، وَقُلْ بِمَا قَالُوا، وَكُفَّ
عَمَّا كَفُّوا عَنْهُ، وَاسْلُكْ سَبِيلَ سَلَفِكَ الصَّالِحِ، فَإِنَّهُ
يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ
“Bersabarlah diri kalian di atas sunnah, berhentilah
sebagaimana mereka (para shahabat) berhenti. Katakanlah apa-apa yang mereka
katakan, dan tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya.
Ikutilah jalan para pendahulu kalian yang shaalih (as-salafush-shaalih),
karena akan mencukupimu apa-apa yang telah mencukupi mereka” [Diriwayatkan oleh
Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 315 dan Abu Nu’aim
dalam Hilyatul-Auliyaa’ 6/143-144].
عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ
وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَرَأْيَ الرِّجَالِ، وَإِنْ زَخْرَفُوهُ
بِالْقَوْلِ
“Wajib bagimu untuk berpegang pada atsar-atsar
salaf meskipun orang-orang menolakmu. Dan berhati-hatilah dengan pendapat
orang-orang, meskipun mereka menghiasinya dengan perkatan (yang indah)”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 233, Ibnu
‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2077, dan yang
lainnya].
Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah (w.
179 H) berkata:
وَلَا يُصْلِحُ آخرَ هذه الأمة إلا
ما أصْلَحَ أَوَّلَهَا
“Tidaklah baik umat akhir ini melainkan dengan apa
yang telah menjadi baik pada awal umat ini” [Ar-Radd ‘alal-Bakriy,
2/259].
Mereka adalah para ulama yang hidup sebelum era
Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Mereka semua mendakwahkan dan
menganjurkan untuk berpegang teguh kepada jalan salaf. Bukan hal yang
mengherankan jika kemudian Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w.
241 H) pun mengatakan hal serupa:
أُصُولُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا :
التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ والاقْتِدَاءُ بِهِمْ
“Pokok-pokok/pondasi sunnah menurut kami adalah
berpegang teguh pada ajaran/jalan hidup para shahabat Rasulullah ﷺ dan
meneladani mereka”…. [Ushuulus-Sunnah li-Ahmad bin Hanbal, hal. 25].
Bukan hanya berhenti pada Ahmad bin Hanbal, tapi
terus terwariskan hingga generasi ke generasi.
Abul-Mudhaffar As-Sam’aaniy (w. 489 H) dan
Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahumallah (w. 535 H) berkata:
وشعار أهل السنة اتباعهم السلف
الصالح، وتركهم كل ما هو مبتدع محدث
“Dan syiar-syi’ar Ahlus-Sunnah adalah ittibaa’
mereka kepada as-salafush-shaalih dan meninggalkan semua hal yang
diada-adakan (dalam agama)” [Al-Intishaar li-Ashhaabil-Hadiits hal. 31
dan Al-Hujjaah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/364].
Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah (w.
620 H) berkata:
فقد ثبت وجوب اتباع السلف -رحمة
الله عليهم- بالكتاب والسنة والإجماع، والعبرة دلت عليه ،فإنّ السلف لا يخلوا من
أن يكونوا مصيبين أو مخطئين ،فإن كانوا مصيبين وجب اتباعهم لأنّ اتباع الصواب واجب
وركوب الخطأ في الاعتقاد حرام ،ولأنهم إذا كانوا مصيبين كانوا على الصراط المستقيم
ومخالفهم متبع لسبيل الشيطان الهادي إلى صراط الجحيم ،وقد أمر الله تعالى باتباع
سبيله وصراطه ونهى عن اتباع ما سواه فقال :{وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً
فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}[الأنعام:153]
“Dan telah tetap kewajiban untuk mengikuti salaf –
rahmatullaahi ‘alaihim – berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’.
Dan ‘ibrah ditunjukkan padanya. Hal itu dikarenakan salaf tidaklah lepas
statusnya sebagai orang yang benar atau orang yang salah. Apabila diri mereka
adalah orang-orang yang benar, maka wajib untuk mengikutinya karena mengikuti
kebenaran adalah wajib, sedangkan melakukan kekeliruan dalam ‘aqidah adalah
haram. Apabila status mereka adalah orang yang benar, maka mereka berada di
atas jalan yang lurus. Menyelisihi mereka artinya mengikuti jalan setan yang
menghantarkan ke neraka. Allah ta’ala telah memerintahkan (kita) untuk
mengikuti jalan mereka mereka (salaf) dan melarang mengikuti selain jalan
mereka. Allah ta’ala berfirman : ‘dan bahwa (yang Kami perintahkan)
ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa’
(QS. Al-An’aam : 153)” [Dzammut-Ta’wiil hal. 53].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (w.
728 H) berkata:
لا عيب على من أظهر مذهب السلف
وانتسب إليه واعتزى إليه بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق فإن مذهب السلف لا يكون إلا
حقا
“Tidak tercela bagi orang yang menampakkan madzhab
salaf, serta menisbatkan diri dan bangga kepadanya. Bahkan wajib untuk menerima
hal tersebut darinya menurut kesepakatan ulama, karena madzhab salaf itu tidak
lain merupakan kebenaran” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/149].
Ibnul-Haaj Al-Maalikiy rahimahullah (w. 737
H) berkata:
إن الثواب إنما يترتب على امتثال
الكتاب والسنة واتباع السلف الماضين رضي الله عنهم
“Sesungguhnya pahala hanyalah disebabkan karena
mematuhi Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mengikuti (jalan) salaf yang lampau radliyallaahu
‘anhum” [Al-Madkhal, 4/261].
Dan lainnya dari perkataan para ulama jaman ke
jaman……
Maka, kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
mengikuti pemahaman dan praktek salaf – sesuai bahasa yang Bapak Profesor pakai di atas – merupakan:
a. perintah
Allah ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ,
b. dakwah para
shahabat radliyallaahu ‘anhum;
c. dakwah para taabi’iin
rahimahumullah;
d. dakwah para atbaa’ut-taabi’iin
rahimahumullah; dan
e. dakwah para
ulama setelahnya.
Inilah dakwah salafi secara substansial berdasarkan
definisi Bapak Profesor.
Substansi ‘salafi’ telah ada semenjak Nabi dan para
shahabatnya masih hidup, dan terus berlaku hingga jaman taabi’iin, atbaa’ut-taabi’iin,
dan para ulama setelahnya hingga sekarang. Tidak ada kekosongan pemahaman
salaf/salafi antara masa Nabi ﷺ, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah, dan
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah.
Apakah pemahaman salaf itu salah ? Tentu tidak.
Bahkan itu merupakan inti manhaj beragama Islam bagi setiap muslim.
Jika demikian, analisis periodisasi Bapak Profesor
yang mengatakan ‘paham Salafi’ muncul pertama kali pada jaman Ahmad bin Hanbal
saat fitnah Mu’tazillah, kemudian diteruskan oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah,
dan setelah itu Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah tidak
valid.
2. Paham Salaf
(Cenderung) Hanya dalam Masalah ‘Aqidah
Bapak Profesor hafidhahullah berkata: “Lalu setelah Ahmad bin Hanbal, Ibnu
Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah mengikuti Ahmad bin Hanbal. Juga paham salaf. Setelah
Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim. Paham salaf. Kemudian setelah itu, ini di tahun
800-an ya. Ibnu Taimiyyah di tahun 1328, kemudian Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
wafat tahun 1350. Nah, beliau-beliau ini, paham salafnya lebih cenderung
kepada ‘aqidah tauhid. Madzhabnya madzhab Hanbali, tetapi tidak fanatik” [12:40 - 13:22]
“Ini salaf. Pahamnya salaf, yaitu
kembali kepada Al-Qur’an. Tetapi cenderung kepada aspek aqidah. Asalnya ini
aqidah…” [15:39 –
15:47].
Paham salaf memang fokus pada masalah ‘aqidah dan
manhaj. Ini adalah yang pokok.
Tapi bukan kemudian dikatakan boleh Salafi dalam
‘aqiidah, boleh tidak Salafi dalam fiqh. Yang penting menabuh genderang melawan
TBC, penyimpangan dalam hal fiqh ditoleransi.
Seperti contoh seorang oknum (yang katanya
‘mantan’) kiyai NU yang pernah menulis buku gugatan amalan kesyirikan seperti
istighatsah dan ziarah kubur (bid’iy/syirkiy). Dipuji dan dicap
banyak orang sebagai Salafi. Tapi belakangan baru ketahuan ada prosesor
yang soak dalam dirinya. Muncul berbagai fatwa aneh dan nyleneh,
seperti ayam haram, telur haram, cuka haram, shalat tidak boleh beralas tikar
atau sejenisnya, dan yang lainnya. Manhaj istidlaal dan istinbath-nya
super aneh. Salafi kah ? Dan akhirnya semakin ke belakang, keanehan dirinya
bertambah hingga masuk ke ranah ‘aqidah. Lebih mirip ke ‘aqlaniy.
Jadi prinsip kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunah dengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf meliputi semua permasalahan, termasuk fiqh,
muamalah, adab, dan akhlaq.
Masak ada orang ‘aqidahnya salafi, tapi fiqh dan
akhlaqnya Khaariji (penganut paham Khawaarij). Orang yang berprinsip
mengembalikan pemahaman dan amalan agamanya kepada jalan salaf, pasti tidak
membatasi pada ranah ‘aqidah. Automatically …
Maka yang perlu ditekankan dalam permasalahan ini
adalah : tidak keluar dari dari perkataan/pendapat salaf dan apa yang telah
mereka sepakati (ijmaa’), serta meninggalkan keanehan/kenylenehan (syudzdzuudz)
dengan pemahaman yang tidak mereka pahami dari nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah,
baik dalam masalah ‘aqidah maupun masalah lainnya.
Apabila salaf berselisih pada suatu permasalahan
dalam dua pendapat, maka kita tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga.
Tidak mungkin kebenaran lepas dari kalangan salaf dan baru ditemukan di masa
belakangan. Dalilnya adalah:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ
أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ، ظَاهِرِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku
berada di atas kebenaran yang selalu menang hingga hari kiamat”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 156 & 1923 dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu].
Hadits ini menunjukkan bahwa akan senantiasa ada di
setiap masa orang yang mengatakan kebenaran dari umat ini, baik sedikit maupun
banyak. Tidak mungkin ada satu masa/waktu yang kosong akan kebenaran.
Terlebih dalam permasalahan yang telah mereka
(salaf) sepakati (ijmaa’). Kesepakatan mereka adalah pasti benar, karena
Allah ta’ala tidak mungkin mengumpulkan umat Islam dalam
kekeliruan/kesesatan selamanya. Nabi ﷺ
bersabda:
لا يَجْمَعُ اللَّهُ أُمَّتِي
عَلَى ضَلالَةٍ أَبَدًا
“Allah tidak akan mengumpulkan umatku di atas
kesesatan selamanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah
no. 80, Al-Haakim 1/115-116, dan yang lainnya dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa. Hadits ini diperselisihkan para ulama, namun Asy-Syaikh
Al-Albaaniy menshahihkannya di beberapa tempat dalam kitabnya karena banyak
jalan penguatnya, diantaranya Dhilaalul-Jannah no. 80-84, tahqiq Bidaayatus-Suul
hal. 70, dan Shahiihul-Jaami’ 1/378 no. 1848].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
ومحال أن تجمع الأمة على خلاف نص
له إلا أن يكون له نص آخر ينسخه
“Dan mustahil umat berkumpul/bersepakat dalam
penyelisihan terhadap nash, kecuali apabila ada nash lain yang meng-nasakh-nya”
[I’laamul-Muwaqqi’iin, hal. 367].
Maka, tidak boleh keluar dari perkataan salaf; baik
yang mereka perselisihkan, terlebih yang mereka sepakati. Baik dalam
permasalahan ‘aqiidah, maupun permasalahan lainnya (termasuk fiqh).
Bukan kata saya, tetapi kata para ulama.
Maalik bin Anas rahimahullah berkata:
فيه حديث رسول الله صلى الله عيه و
سلم وقول الصحابة والتابعين ورأيهم ، وقد تكلمت برأيي على الإجتهاد ، وعلى ما
أدركت عليه أهل العلم ببلدنا ولم أخرج عن جملتهم إلى غيره
“Di dalamnya terdapat hadits-hadits Rasulullah ﷺ,
perkataan shahabat dan tabi’iin, serta pendapat-pendapat mereka. Dan aku
sungguh berbicara dengan pendapatku berdasarkan ijtihad dan berdasarkan apa
saja yang aku dapatkan dari perkataan ahli ilmu di negeri kami. Aku tidak
pernah keluar dari perkataan mereka (beralih) ke yang lainnya” [Tartiibul-Madaarik,
1/193].
Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
إِذَا اجْتَمَعُوا أَخَذْنَا
بِاجْتِمَاعِهِمْ، وَإِنْ قَالَ وَاحِدُهُمْ وَلَمْ يُخَالِفْهُ غَيْرُهُ
أَخَذْنَا بِقَوْلِهِ، فَإِنِ اخْتَلَفُوا أَخَذْنَا بِقَوْلِ بَعْضِهِمْ وَلَمْ
نُخَرِّجْ مِنْ أَقَاوِيلِهِمْ كُلِّهِمْ
“Apabila para shahabat bersepakat, maka kami ambil
kesepakatan mereka tersebut. Apabila salah seorang di antara mereka berpendapat
tanpa ada yang menyelisihi, kami pun mengambil pendapatnya. Apabila mereka
berselisih, maka kami mengambil perkataan sebagian di antara mereka dan kami
tidak keluar dari perkataan-perkataan mereka itu semuanya” [Al-Madkhal
ilas-Sunan Al-Kubraa, 1/45].
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
إذا كان في المسألة عن النبي ﷺ
حديث لم نأخذ فيها بقول أحد من الصحابة ولا من بعدهم خلافه وإذا كان في المسألة عن
أصحاب رسول الله ﷺ قول مختلف نختار من أقاويلهم ولم نخرج عن أقاويلهم إلى قول
غيرهم ، وإذا لم يكن فيها عن النبي ﷺ ولا عن الصحابة قول نختار من أقوال التابعين
“Apabila dalam suatu permasalahan terdapat hadits
Nabi ﷺ, maka kami tidak mengambil perkataan salah
seorang dari shahabat dan tidak pula dari orang-orang setelah mereka yang
menyelisihinya. Dan apabila dalam suatu permasalahan ada perbedaan di antara
para shahabat Rasulullah ﷺ, maka kami memilih salah satu dari
perkataan mereka, dan kami tidak keluar dari perkataan-perkataan mereka kepada
perkataan yang selain mereka. Apabila kami tidak mendapatkan dalam permasalahan
tersebut perkataan Nabi ﷺ dan para shahabatnya, maka kami memilih
ucapan para taabi’iin” [Al-Musawwadah, hal. 276].
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata:
وعلى أنه لا يجوز لأحد أن يخرج عن
أقاويل السلف فيما أجمعوا عليه، وعما اختلفوا فيه، أو في تأويله، لأن الحق لا يجوز
أن يخرج عن أقاويلهم
“(Kaum muslimin sepakat)….. dalam
permasalahan tidak diperbolehkannya seorangpun untuk keluar dari
perkataan-perkataan salaf dalam hal yang mereka sepakati dan yang mereka
perselisihkan, atau dalam ta’wilnya; karena kebenaran tidak mungkin keluar dari
perkataan-perkataan mereka” [Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr, hal. 306-307].
Contoh sangat banyak, diantaranya adalah
permasalahan tidak adanya kewajiban makmum untuk mengulangi shalat apabila imam
tidak mengetahui atau lupa bahwa dirinya berhadats.
Setelah membawakan atsar-atsar shahabat, Ibnu
‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وهذا في جماعتهم من غير نكير من
واحد منهم
“Dan ini adalah pendapat yang ada pada jama’ah
shahabat tanpa ada pengingkaran seorang pun di antara mereka” [Al-Istidzkaar
3/117 dan At-Tamhiid 1/181].
Al-Maawardiy dalam Al-Haawiy (2/239) dan
Ibnu Qudaamah rahimahumallah dalam Al-Mughniy (2/504) menegaskan
adanya ijmaa’ shahabat dalam permasalahan ini.
Namun demikian, ternukil dari Abu Haniifah dan ulama
madzhabnya menyelisihi pendapat ini dimana mereka berpendapat makmum mengulangi
shalatnya. Dalam hal ini, Abu Ya’laa rahimahullah berkomentar:
وهذا يدل على حصول الإجماع منهم -
أي الصحابة - على ذلك قبل أبي حنيفة
“Dan ini menunjukkan terjadinya ijmaa´dari mereka
–yaitu para shahabat– dalam permasalahan tersebut sebelum Abu Haniifah” [At-Ta’liiqul-Kabiir,
1/354].
Ketika telah tercapai ijmaa’, maka tidak
boleh terjadi penyelisihan setelahnya. Ibnu ‘Abdil-Barr adalah ulama madzhab
Maalikiyyah, Ibnu Qudaamah Hanaabilah, dan Al-Maawardiy Syaafi’iyyah. Secara
fiqh, mereka salafi. Fiqh salafi yang tidak tersentral pada madzhab Hanabilah.
Abu Haniifah rahimahullah yang berpendapat
demikian bukan berarti ia bukan salafi secara fiqh. Kemungkinan beliau rahimahullah
belum mengetahui secara keseluruhan pendapat-pendapat dari kalangan salaf,
sehingga beliau berijtihad dengan ijtihadnya.
Benar, ada kalanya ulama menyelisihi pendapat yang
ternukil dari ulama sebelumnya, sehingga muncul pendapat ‘baru’. Tidak ada yang
ma’shum. Ada banyak faktor yang menyebabkan. Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahulah telah menjelaskan permasalahan itu dalam kitab Raf’uul
Malaam ‘an Aimmatil-A’laam (download di sini).
Secara umum, mereka semua menyepakati prinsip ini,
yaitu tidak keluar dari nash dan atsar salaf.
Jikalau Bapak Profesor menyebut fiqh manhaji untuk
Muhammadiyyah, maka inilah fiqh manhaji yang mesti dipegang.
Kesimpulan : Anggapan Bapak Profesor hafidhahullah
bahwa ‘paham salafi’ cenderung pada aspek ‘aqidah (saja) dan kalaupun
terpengaruh madzhab, maka madzhabnya Hanabilah; tidak valid.
3. Rekayasa
Paham Salafi Kontemporer
Bapak Profesor hafidhahullah setelah
berhalusinasi tentang macam-macam salafi, berkata: “Nah Ikhwan (IM) ini setelah
dikejar-kejar di Mesir – di Mesir kan dilarang – beralih ke Saudi. Oleh Saudi
ditampung juga karena sama salafi. Tetapi bumerangnya di tahun 1978 di bawah
kepemimpinan Juhaiman ada pemberontakan. Anda pasti tahu itu. Pemberontakan
Masjidil-Haram. Bahkan Masjidil-Haram dapat dikuasai sampai 1 minggu. Nah ini
salafi yang mempunyai pandangan politik. Nah salafi ini ada salafi politik,
yaitu mereka sangat politis, selalu mengkritisi rejim penguasa, dan kalau perlu
mengambil kekuasaan. Nah itu salah satunya Ikhwanul-Muslimin. Nah maka mulai
tahun 1978 ini, Saudi ini...(tidak jelas)... paham agamanya harus dipola. Salah
satunya apa ? agar mereka tunduk, patuh, tanpa reserve (?) kepada Pemerintah.
Nah itu. Jadi dipola. Paham agama. Yaitu salafi hambali yang dipola.
Maka kemudian, di situ muncullah ulama-ulama yang kebetulan mempunyai paham
yang demikian. Nah di sini juga ulamanya berpaham demikian,… barangkali kalau
dalam pendekatan politik, dikooptasi oleh Pemerintah. Kemudian dijadikan
alat. Dijadikan alat. Punya paham yang sedemikian ini. Mereka itu siapa ?.
Mereka itu yang kita kenal misalnya ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz yang wafat tahun
1999. Kemudian Nashiruddin Al-Albani wafat tahun 1999. Muhammad bin Shaalih
Al-‘Utsaimiin, wafat tahun 2001. Nah kemudian yang di belakang ini ada Rabii’
bin Hadiy Al-Madkhaliy. Kemudian kalau yang di Yaman yang disebut sebagai
Salafi Yamani, yaitu Syaikh Muqbil yang taat kepada Pemerintah…..” [22:47 – 25:08].
Salafi yang ada sekarang – menurut Bapak Profesor –
merupakan evolusi dari Salafi hasil rekayasa Pemerintah Saudi untuk
mempertahankan rezim, yaitu pengalaman menghadapi pemberontakan Juhaiman tahun
1978.
Menyedihkan juga, sekelas beliau menurunkan
analisis kelas Pos Kota dan Lampu Merah. Nilai riuhnya 90, sedangkan kontennya
5 (skala 0 – 100).
Bagaimana bisa disimpulkan kewajiban tunduk dan
patuh kepada Penguasa (muslim) merupakan paham yang lahir setelah era Juhaiman
? Sule akan tertawa, jika ia paham.
Tunduk, patuh, mendengar, dan taat kepada Pemerintah
atau penguasa merupakan perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ. Allah ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ :
59].
Diantara makna ulil-amri adalah umaraa’
(penguasa).
Nabi ﷺ juga
bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ،
فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan
taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai dan yang ia benci, selama
tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat
kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat (pada perintah
maksiat tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7144].
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي
أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ؟، قَالَ: أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
“Sesungguhnya kelak sepeninggalku kalian akan
melihat atsarah[4] dan perkara-perkara yang kalian
mengingkarinya”. Para sahabat bertanya : “Lantas apa yang engkau
perintahkan kepada kami wahai Rasulullah ?”. Beliau ﷺ bersabda
: “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan mintalah hak kalian
kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7052 dan Muslim no.
1843].
عن علقمة بن وائل الحضرمي عن أبيه
قال سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول الله ﷺ فقال : يَا نَبِيَّ اللهِ أَرَأَيْتَ
إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهمْ وَيَمْنَعُوْنَا حَقَّنَا
فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ
سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَه اْلأَشْعَثُ بْنِ
قَيْسِ وَقَالَ اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهمْ مَا حَمَلُوْا
وَعَلَيْكُمْ مَا حَمَلْتُمْ
Dari ‘Alqamah bin Wail Al-Hadlrami dari ayahnya ia
berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju’fiy pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ : “Wahai
Nabiyullah, bagaimana pendapatmu jika kami punya pemimpin yang menuntut
pemenuhan atas hak mereka dan menahan (tidak menunaikan) hak kami. Apa yang
engkau perintahkan kepada kami ?”. Maka Rasulullah ﷺ
berpaling darinya, dan Salamah kembali mengulangi pertanyaannya. Dan hal itu
berulang hingga dua atau tiga kali. Kemudian Al-Asy’ats bin Qais menariknya
(Salamah). Dan akhirnya beliau menjawab : “(Hendaklah kalian) mendengar dan
taat kepada mereka. Karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat dan
atas kalian apa yang kalian perbuat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1846].
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ:
قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لا نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ
مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ، فَذَكَرَ الشَّرَّ، فَقَالَ: " اتَّقُوا اللَّهَ،
وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا
Dari ‘Adiy bin Haatim, ia berkata : Kami bertanya :
”Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang (pemimpin)
yang bertaqwa. Akan tetapi (kami bertanya tentang) orang yang telah berbuat
begini dan begitu” – maka ia menyebutkan kejelekan. Maka beliau ﷺ bersabda
: ”Bertaqwalah kepada Allah, dengar dan taatlah kalian (kepadanya)”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ’Aashim dalam As-Sunnah no. 1069; dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Dhilaalul-Jannah 2/508].
Tunduk, patuh, mendengar, dan taat kepada penguasa
muslim pada hal yang ma’ruuf [5], serta tidak keluar ketaatan dengan
melakukan pemberontakan meskipun dhalim merupakan manhaj yang disepakati para
ulama Ahlus-Sunnah.
عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ،
قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ: " يَا أَبَا أُمَيَّةَ، إنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي
أَنْ لَا أَلْقَاكَ بَعْدَ عَامِي هَذَا، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ وَإِنْ أُمِّرَ
عَلَيْكَ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ، إنْ ضَرَبَكَ فَاصْبِرْ، وَإِنْ حَرَمَكَ
فَاصْبِرْ، وَإِنْ أَرَادَ أَمْرًا يَنْتَقِصُ دِينَكَ، فَقُلْ: سَمْعٌ وَطَاعَةٌ،
دَمِي دُونَ دِينِي، فَلَا تُفَارِقِ الْجَمَاعَةَ
Dari Suwaid bin Ghafalah, ia berkata : Telah
berkata ‘Umar (bin Al-Khaththaab) : “Wahai Abu Umayyah, sesungguhnya aku tidak
tahu barangkali setelah tahun ini aku tidak menjumpaimu lagi. Dengar dan
taatlah, meskipun yang memerintahkanmu seorang budak Habsyiy yang terpotong
hidungnya. Seandainya ia memukul punggungmu, maka sabarlah. Seandainya ia
mengharamkan (tidak memenuhi) hak-hakmu, maka sabarlah. Dan seandainya
menghendaki satu perkara yang akan mengurangi agamamu, maka katakanlah : ‘Aku
tetap mendengar dan taat (dengan pengorbanan) darahku, namun tidak agamaku.
Janganlah engkau memisahkan diri dari jama’ah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah 12/455; shahih].
Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah (w. 110 H)
pernah berkata :
والله ما يستقيم الدِّين إلاَّ بهم
، وإنْ جاروا وظلموا ، والله لما يُصْلحُ الله بهم أكثرُ ممَّا يُفسدون ، مع أنَّ
- والله - إنَّ طاعتهم لغيظٌ ، وإنَّ فرقتهم لكفرٌ
”Demi Allah, agama tidak akan tegak kecuali dengan
(mentaati) mereka (penguasa). Meskipun mereka sewenang-wenang dan berlaku
dhalim. Demi Allah, kebaikan yang Allah limpahkan dengan adanya mereka lebih
besar daripada kerusakan yang mereka timbulkan. Meskipun ketaatan terhadap
mereka – demi Allah – merupakan amarah, namun memisahkan diri dari mereka
(memberontak) merupakan kekufuran[6]” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal.
588, tahqiq : Maahir Al-Fahl].
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah
berkata ketika terjadi debat dengan orang-orang yang ingin melepas ketaatan
terhadap penguasa:
عَلَيْكُمْ بِالنَّكِرَةِ
بِقُلُوبِكُمْ، وَلا تَخْلَعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَلا تَشُقُّوا عَصَا
الْمُسْلِمِينَ، وَلا تَسْفِكُوا دِمَاءَكُمْ وَدِمَاءَ الْمُسْلِمِينَ مَعَكُمُ، انْظُرُوا
فِي عَاقِبَةِ أَمْرِكُمْ، وَاصْبِرُوا حَتَّى يَسْتَرِيحَ بَرٌّ، أَوْ
يُسْتَرَاحَ مِنْ فَاجِرٍ، وَدَارَ فِي ذَلِكَ كَلامٌ كَثِيرٌ لَمْ أَحْفَظْهُ
وَمَضَوْا
“Wajib bagi kalian untuk mengingkarinya dengan hati
kalian, namun jangan menarik ketaatan, jangan memecah-belah persatuan kaum
muslimin, serta jangan menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin bersama
kalian. Perhatikanlah nanti akibat dari urusan kalian. Bersabarlah hingga orang
yang baik dapat beristirahat atau diistirahatkan dari orang yang jahat
(faajir)” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah 1/133-134 no.
90].
Abu Haatim Ar-Raaziy dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy rahimahumallah
berkata:
أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي
جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ
مَذْهَبِهِمُ .....وَلا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى الأَئِمَّةِ وَلا الْقِتَالَ فِي
الْفِتْنَةِ، وَنَسْمَعُ وَنُطِيعُ لِمَنْ وَلاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَمْرَنَا
وَلا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَنَتَّبِعُ السُّنَّةَ وَالْجَمَاعَةَ،
وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالْخِلافَ وَالْفُرْقَةَ
“Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh
kota baik di Hijaaz, ‘Iraaq, Syam, dan Yaman, maka diantara madzhab yang mereka
pegang adalah …… Dan kami memandang tidak bolehnya keluar ketaatan
(memberontak) kepada para pemimpin (kaum muslimin) dan mengobarkan peperangan
di masa fitnah. Kami senantiasa mendengar dan taat kepada orang yang Allah ‘azza
wa jalla berikan kekuasaan untuk mengatur urusan kami. Kami tidak akan
melepaskan tangan kami dari ketaatan. Kami mengikuti sunnah dan jama’ah, serta
menjauhkan diri dari keganjilan, penyelisihan, dan perpecahan” [Syarh
Ushuulil-I’tiqaad, 1/177].[7]
‘Aliy bin Al-Madiiniy rahimahullah (w. 234
H) berkata:
وَمَنْ خَرَجَ عَلَى إِمَامٍ مِنْ
أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَقَدِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ النَّاسُ فَأَقَرُّوا لَهُ
بِالْخِلافَةِ بِأَيِّ وَجْهٍ كَانَتْ بِرِضًا كَانَتْ أَوْ بِغَلَبَةٍ فَهُوَ
شَاقٌّ هَذَا الْخَارِجُ عَلَيْهِ الْعَصَا، وَخَالَفَ الآثَارَ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ فَإِنْ مَاتَ الْخَارِجُ عَلَيْهِ مَاتَ مِيتَةَ جَاهِلِيَّةٍ. وَلا
يَحِلُّ قِتَالُ السُّلْطَانِ، وَلا الْخُرُوجُ عَلَيْهِ لأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ،
فَمَنْ عَمِلَ ذَلِكَ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ عَلَى غَيْرِ السُّنَّةِ.
“Barangsiapa yang keluar ketaatan/memberontak
terhadap seorang pemimpin dari kalangan pemimpin kaum muslimin yang manusia
telah berkumpul di bawah kepemimpinannya dan merekapun mengakui
kekhilafahannya/kepemimpinannya, dengan cara apa saja, baik dengan keridlaan
ataupun paksaan; maka orang yang memberontak tersebut telah merusak persatuan
kaum muslimin dan menyelisihi atsar-atsar dari Rasulullah ﷺ. Apabila
ia mati, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyyah. Dan tidak halal untuk
memerangi sulthaan/penguasa, dan tidak boleh seorangpun keluar
ketaatan/memberontak terhadapnya. Barangsiapa yang melakukannya, maka ia adalah
mubtadi’ yang tidak berada di atas sunnah” [idem, 1/168].
Perkara mendengar dan taat kepada penguasa muslim –
baik yang shaalih maupun dhaalim – merupakan prinsip pokok Ahlus-Sunnah yang
diletakkan para ulama dalam kitab-kitab ‘aqidah mereka, seperti Ismaa’iil bin
Yahyaa Al-Muzanniy (w. 264 H) dalam Syarhus-Sunnah, Harb bin Ismaa’iil
Al-Kirmaaniy (w. 280 H) dalam Al-Mu’taqad, Ibnu Abi ‘Aashim (w.
287 H) dalam As-Sunnah, Abu Ja’far Ath-Thahawiy Al-Hanafiy (w. 361 H)
dalam Al’Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, Al-Hasan bin ‘Aliy
Al-Barbahaariy (w. 329 H) dalam Syarhus-Sunnah, Abul-Hasan Al-Asy’ariy
(w. 330) dalam Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr, Abu Bakr Muhammad bin
Al-Husain Al-Aajurriy (w. 360 H) dalam Asy-Syarii’ah, Ibnu Baththah
Al-‘Ukbariy (w. 387 H) dalam Asy-Syarh wal-Ibaanah ‘alaa Ushuulis-Sunnah
wal-Diyaanah, Ibnu Abi Zamaniin (w. 399 H) dalam Ushuulus-Sunnah,
Abul-Qaasim Al-Laalikaa’iy (w. 418 H) dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad,
Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy (w. 449 H) dalam ‘Aqiidatus-Salaf wa
Ashhaabul-Hadiits, Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqiy (w. 458 H) dalam Al-I’tiqaad
wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad, Ibnu Qudaamah (w. 620 H) dalam Lum’atul-I’tiqaad,
dan banyak lagi yang lainnya.
Sengaja saya contohkan kitab-kitab para ulama antar
madzhab sebelum Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah agar tidak
disangka ini adalah paham Salafi Ibnu Taimiyyah. Karena saya tahu, ada sebagian
kaum muslimin alergi dengan nama Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Mereka semua (para ulama) membahas kewajiban
mendengar dan taat kepada penguasa muslim – yang baik maupun yang jahat/dhalim
– pada hal yang ma’ruf dan larangan keluar ketaatan darinya. Bahkan sebagian di
antaranya tegas mengatakan ijmaa’ dalam permasalahan ini. Apa yang
mereka tuliskan adalah hasil penelaahan nash-nash Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
atsar salaf.
Akankah mereka – dikarenakan pendapat mereka - kita
katakan sebagai ulama hasil kooptasi penguasa sebagaimana Bapak Profesor hafidhahullah
mengatakan hal yang sama pada beberapa ulama salafi kontemporer ? Apakah
mereka boneka penguasa yang dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan ?
Perlu Bapak Profesor ketahui, buku-buku yang saya
sebut di atas adalah buku-buku yang dipelajari di ma’had-ma’had dan
universitas-universitas Islam yang (dianggap) berafiliasi dengan salafi. Bahkan
pengajian pekanan yang diadakan para asatidzah lokal dalam negeri juga membahas
sebagian kitab-kitab ini. Termasuk ustadz Salafi di Banjarmasin, kota kediaman
Bapak Profesor hafidhahullah.
Kesimpulan di point ini : Tuduhan ‘paham salafi’
sekarang merupakan hasil rekayasa Pemerintah Saudi adalah keliru.
Seandainya pun tuduhan ini kita anggap halusinasi,
tidak berlebihan juga.[8]
4. Penisbatan
Individu dan Kelompok Tertentu Sebagai Tokoh dan Derivat Salafi
Di atas Bapak Profesor hafidhahullah mengisyaratkan
Juhaiman sebagai seorang Salafi. Pada menit-menit sebelumnya, beliau juga
menyebutkan beberapa objek. Begini kata beliau: “Dari Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab yang
ingin membersihkan tauhid ini, mempengaruhi kepada beberapa tokoh pembaharu.
Diantaranya Jamaluddin Al-Afghani yang wafat tahun 1898. Seorang tokoh
dari Afghanistan. Kemudian Muhammad Abduh, kemudian Rasyid Ridla
yang kebetulan ketiga-tiganya ini di Mesir.…… Nah, Muhammad Rasyid Ridla ini,
dia tauhidnya adalah salaf kemudian fiqihnya tidak bermadzhab, walaupun ada
nama Hambali juga di nama belakangnya. Tetapi dalam Tafsir Al-Manarnya tidak
bermadzhab. Nah itu. Kemudian Ahmad Dahlan terpengaruh dari Muhammad ‘Abduh.
Muhammad ‘Abduh ini salaf tauhidnya. Tapi kemudian beliau ini bersinggungan
dengan Perancis. Bersinggungan dengan Inggris. ………
Sebelum ini juga ada salafi di Mesir
itu. Setelah jaman Rasyid Ridla tadi, mempengaruhi Hasan Al-Banna yang
mendirikan Ikhwanul-Muslimin. Ikhwanul-Muslimin jaman Hasan Al-Banna itu
moderat. Tapi belakangan setelah ada permusuhan dengan Pemerintah, menjadi
radikal di bawah kepemimpinan Sayyid Quthb. Nah ini lebih cenderung
disebut dengan Salafi Politik. Jadi Salafi itu ada Salafi Politik, ada Salafi
Puritan, ada Salafi Jihadi. Ini pembagiannya lunaknya, terbagi menjadi
bermacam-macam gitu. Ada Salafi Sururi, ada Salafi Ghairu Sururi, macam-macam.
Tapi ini urut agar pembagiannya lebih mudah. Ada Salafi. Jadi Salafi ingin
rujuk kepada Al-Qur’an dam As-Sunnah itu, ada Salafi Politik, nah ini Ikhwan……” [16:29 – 22:47]
“Dari sini, mungkin kalau Salafi saya
batasi untuk Salafi yang Puritan saja, karena ada yang Politik, kemudian ada
yang Jihadi. Yang Jihadi itu yang kemudian menjadi ISIS. Yang jadi Jama’ah
Islamiyyah, Al-Qaeda itu. Nah, kalau Jihadi itu, bahkan
kadang-kadang sudah bisa menghalalkan darah” [51:03 – 51:25].
Yang saya garis-bawahi di atas adalah individu dan
kelompok yang diafiliasikan kepada Salafi dengan aneka penamaan oleh Bapak
Profesor hafidhahullah, selain Juhaiman yang telah disebutkan
sebelumnya. Diulang : ada Juhaiman, Jamaaluddin Al-Afghani, Muhammad ‘Abduh,
Raasyid Ridlaa, Hasan Al-Bannaa, Sayyid Quthb, Al-Ikhwaanul-Muslimuun, ISIS,
Jama’ah Islamiyyah, dan Al-Qaeda. Banyak banget ya ?
Kita mesti kembali kepada definisi yang telah
disepakati di awal, yaitu : kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
mengikuti pemahaman dan praktek salaf. Apakah mereka ini memang punya prinsip mengembalikan Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf ? Apakah mereka
menyepakati dan mengimplementasikan itu ?
Juhaimaan bin Muhammad bin Saif Al-‘Utaibiy,
seorang ekstrimist kanan berhalauan takfiriy (mudah mengkafirkan). Ia
mengangkat senjata bersama jama’ahnya merebut Masjidil-Haram karena menganggap
Pemerintah Saudi sudah keluar dari batasan syari’at Allah. Cita-citanya
membebaskan dunia Arab dari penguasa tirani dan thaghut yang ia anggap kafir.
Tak segan menumpahkan darah sesama muslim. Dirinya juga punya khayalan tingkat
tinggi sehingga tega mengangkat kolega sekaligus saudara iparnya yang bernama
Muhammad Al-Qahthaniy sebagai Al-Mahdiy Al-Muntadhar.
Pertanyaan sederhana kita : Apakah idelogi
Juhaimaan itu menggambarkan ideologi ‘Salafi’ ?
Sama sekali tidak. Sebagaimana disinggung di atas,
‘aqidah ‘Salafi’ yang ternukil dari para ulama mutaqaddimiin adalah
mendengar dan taat kepada penguasa pada hal-hal yang ma’ruf, serta mengharamkan
pemberontakan. Ini adalah kesepakatan ulama yang menjadi bagian penting dalam
‘aqidah salafiyyah.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ
وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ , وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة
ظَالِمِينَ
”Adapun keluar dari ketaatan terhadap para
pemimpin/penguasa serta memeranginya, maka hukumnya adalah haram menurut kesepakat
kaum muslimin. Walaupun pemimpin tersebut adalah dhalim lagi fasiq” [Syarh
Shahiih Muslim, 12/229].
Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnu Baththaal rahimahumallah
dalam masalah ijmaa’ ini:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاء عَلَى
وُجُوب طَاعَة السُّلْطَان الْمُتَغَلِّب وَالْجِهَاد مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَته
خَيْر مِنْ الْخُرُوج عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْن الدِّمَاء وَتَسْكِين
الدَّهْمَاء ، وَحُجَّتهمْ هَذَا الْخَبَر وَغَيْره مِمَّا يُسَاعِدهُ ، وَلَمْ يَسْتَثْنُوا
مِنْ ذَلِكَ إِلَّا إِذَا وَقَعَ مِنْ السُّلْطَان الْكُفْر الصَّرِيح
”Para fuqahaa telah bersepakat atas wajibnya
taat kepada sulthan yang terpilih dan jihad bersamanya. Hal itu dikarenakan
ketaatan kepadanya lebih baik daripada keluar dari ketaatan
(membangkang/memberontak), yang dengan itu bisa memelihara darah dan
menenangkan orang banyak. Tidak ada pengecualian atas hal itu, kecuali bila
sulthan melakukan kekufuran yang nyata” [Fathul-Baariy, 13/7].
Inilah yang diajarkan As-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin
Baaz rahimahullah yang dianggap boneka penguasa oleh Bapak Profesor:
لكن لا يجوز الخروج على الأئمة وإن
عصوا بل يجب السمع والطاعة في المعروف مع المناصحة ولا تنزعن يدا من طاعة لقول
النبي صلى الله عليه وسلم: على المرء السمع والطاعة في المنشط والمكره وفيما أحب
وكره ما لم يؤمر بمعصية الله فإن أمر بمعصية الله فلا سمع ولا طاعة. ويقول عليه
الصلاة والسلام: من رأى من أميره شيئًا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية
الله ولا ينزعن يدًا من طاعة فإنه من فارق الجماعة مات ميتة جاهلية، وقال عليه
الصلاة والسلام: من أتاكم وأمركم جميع يريد أن يفرق جماعتكم وأن يشق عصاكم فاقتلوه
كائنا من كان، والمقصود أن الواجب السمع والطاعة في المعروف لولاة الأمور من
الأمراء والعلماء - وبهذا تنتظم الأمور وتصلح الأحوال ويأمن الناس وينصف المظلوم
ويردع الظالم وتأمن السبل ولا يجوز الخروج على ولاة الأمور وشق العصا
“Akan tetapi tidak diperbolehkan memberontak kepada
para penguasa meskipun mereka berbuat maksiat. Bahkan, wajib bagi rakyat untuk
mendengar dan taat dalam hal yang ma’ruuf, disamping memberikan nasihat kepada
mereka. Tidak boleh melepaskan ketaatan berdasarkan sabda Nabi ﷺ : ‘Wajib
bagi seseorang untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan giat ataupun tidak,
dan pada yang ia sukai ataupun ia benci selama tidak diperintahkan untuk
berbuat maksiat kepada Allah. Apabila ia diperintahkan untuk berbuat maksiat
kepada Allah, maka ia tidak boleh mendengar dan taat (terhadap perintah itu)’.
Nabi ﷺ juga bersabda : ‘Barangsiapa melihat
dari pemimpinnya perbuatan maksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci
kemaksiatan yang dilakukan. Namun tidak diperbolehkan melepaskan ketaatan.
Barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah, maka ia mati seperti kematian
Jahiliyah’. Nabi ﷺ juga bersabda : ‘Barangsiapa yang
datang kepada kalian sedangkan urusan kalian satu (dalam kepemimpinan) dimana
dirinya hendak memecah-belah jamaah kalian dan merusak persatuan kalian; maka
bunuhlah ia siapapun orangnya’.
Maksudnya, wajib (bagi rakyat) untuk mendengar dan
taat dalam hal yang ma’ruf kepada waliyyul-amri dari kalangan penguasa
dan ulama. Dengan cara ini, segala urusan dapat lancar, kondisi masyarakat
menjadi baik, masyarakat merasa aman, hak orang yang terdhalimi dapat
dikembalikan, orang yang dhalim dapat dicegah, serta jalan-jalan menjadi aman.
Maka, tidak diperbolehkan memberontak kepada penguasa dan merusak persatuan
(yang ada)” [http://www.binbaz.org.sa/article/208].
Inilah yang diajarkan di bangku sekolah/kuliah
universitas Islam dan berbagai majelis ta’lim. Apakah berbeda ?
Pengkafiran Juhaimaan terhadap para penguasa karena
dianggap mereka (penguasa) tidak berhukum dengan hukum Allah dan berbuat
sewenang-wenang. Ia terpengaruh doktrinase revolusi dan chaos di Mesir
pasca pemberangusan Al-Ikhwaanul-Muslimiin oleh Jamaal ‘Abdun-Naashir. Dan
memang, Juhaimaan hanya sekedar menduplikasi pemikiran Sayyid Quthb, tokoh
takfiriy Al-Ikhwaan, yang terimport ke Saudi Arabia.
Fariid bin ‘Abdil-Khaalid, seorang tokoh internal
Al-Ikhwaanul-Muslimuun, memberikan pengakuan tentang Sayyid Quthb:
ألمعنا فيما سبق إلى أن نشأة فكر
التكفير بدأت بين شباب بعض الإخوان في سجن القناطر في أواخر الخمسينات وأوائل
الستينات، وأنهم تأثروا بكفر الشهيد سيد قطب وكتاباته، وأخذوا منها أن المجتمع في
جاهلية، وأنه قد كفر حكامه الذين تنكروا لحاكمية الله بعدم الحكم بما أنزل الله،
ومحكوميه إذا رضوا بذلك
“Telah kami tekankan sebelumnya bahwasannya
pertumbuhan pemikiran takfir pada sebagian pemuda Al-Ikhwaan yang mendekam di
penjara Al-Qanaathir pada akhir tahun 50-an dan awal tahun 50-an (masehi); maka
mereka itu terpengaruh oleh pemikiran dan tulisan-tulisan Asy-Syahiid
Sayyid Quthb. Mereka mengambil pemikirannya (Sayyid Quthb) bahwa masyarakat
dalam keadaan Jahiliyyah, mengkafirkan para pemimpinnya karena (dianggap)
mengingkari Haakimiyyah Allah dengan tidak menerapkan hukum yang diturunkan
oleh Allah, serta mengkafirkan rakyatnya jika meridlai hal tersebut” [Al-Ikhwaanul-Muslimuun
fii Mizaanil-Haqq, hal. 115].
Apakah ini yang disebut Salafi ? Jelas bukan ! Ini
adalah ideologi tua kaum Khawaarij dalam penakwilan ayat-ayat hukum.
Al-Imaam Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain
Al-Aajurriy rahimahullah berkata :
ومما يتبع الحرورية من المتشابه
قول الله عز وجل : وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ . ويقرؤون معها : ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ
فإذا رأوا الإمام يحكم بغير الحق قالوا : قد كفر . ومن كفر عدل بربه ، فقد أشرك ،
فهؤلاء الأئمة مشركون ، فيخرجون فيفعلون ما رأيت ، لأنهم يتأولون هذه الآية
“Dan termasuk di antara syubhat yang diikuti kaum Haruuriyyah
(Khawaarij) dalam firman Allah ta’ala : ‘Dan barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang
kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44). Mereka membacanya bersama ayat : ‘Namun
orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka’ (QS.
Al-An’aam : 1). Apabila mereka melihat seorang imam (penguasa) yang berhukum
bukan dengan kebenaran, mereka pun berkata : ‘Sungguh ia telah kafir. Dan
barangsiapa yang kafir, maka ia telah mempersekutukan Rabb-nya, dan sungguh ia
telah berbuat syirik. Mereka adalah para pemimpin kaum musyrik’. Akhirnya,
mereka (Khawaarij) keluar (dari ketaatan) dan melakukan apa-apa yang telah kamu
lihat. Hal itu dikarenakan mereka mena’wilkan (secara keliru) ayat ini” [Asy-Syarii’ah,
1/144].
Semisal dengan penjelasan Al-Haafidh Ibnu
‘Abdil-Barr rahimahullah (w. 463 H) yang berkata :
وقد ضلت جماعة من أهل البدع من
الخوارج والمعتزلة في هذا الباب فاحتجوا بهذه الآثار ومثلها في تكفير المذنبين
واحتجوا من كتاب الله بآيات ليست على ظاهرها مثل قوله عز وجل {وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}
“Dan sungguh telah tersesat kelompok ahlul-bida’
dari kalangan Khawaarij dan Mu’tazilah dalam bab ini. Mereka
berhujjah dengan atsar-atsar ini dan yang semisalnya dalam pengkafiran
orang-orang yang berbuat dosa. Mereka pun berhujjah dengan Al-Qur’an berupa
ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagaimana dhahir-nya, seperti firman-Nya
‘azza wa jalla : ‘Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang
diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir’ (QS. Al-Maaidah :
44)” [At-Tamhiid, 17/16].
Kalau ada yang berkata : “Bukankah Juhaimaan murid
ulama salafi : Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz dan para ulama Saudi lainnya
?”.
Kita katakan :
Waashil bin ‘Athaa’ – founding father aliran
Mu’tazilah – adalah murid Al-Hasan Al-Bashriy yang sering bermajelis dengannya.
Namun Al-Hasan justru mengingkari dan mengeluarkan Waashil dari majelisnya
ketika ia (Waashil) berkata : “Orang fasiq, tidak berstatus mukmin dan tidak
pula kafir”.[9] Lalu ‘Amru bin ‘Ubaid bergabung dengannya
dan memisahkan diri dari majelis Al-Hasan Al-Bashriy, sehingga kelompok mereka
dinamakan Mu’tazilah [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 5/464-465 no. 210].
Meski Waashil pernah berguru kepada Al-Hasan –
ulama besar generasi taabi’iin - , para ulama tidak pernah menisbatkan
Waashil dan pemahamannya kepada Al-Hasan rahimahullah. Para ulama tidak
pernah menimpakan kesalahan Waashil kepada Al-Hasan.
‘Aliy bin Abi Thaalib beserta ahli baitnya radliyallaahu
‘anhum adalah orang-orang yang diagungkan oleh pemeluk sekte Syi’ah.
Generasi awal Syi’ah adalah orang-orang yang duduk di majelis Ahlul-Bait dan
menyatakan walaa’ terhadap mereka. Ketika mereka melakukan penyimpangan,
Ahlul-Bait pun mengingkarinya dengan keras.
عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ:
سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ حُسَيْنٍ، وَكَانَ أَفْضَلَ هَاشِمِيٍّ أَدْرَكْتُهُ،
يَقُولُ: " يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَحِبُّونَا حُبَّ الإِسْلامِ، فَمَا
بَرِحَ بِنَا حُبُّكُمْ حَتَّى صَارَ عَلَيْنَا عَارًا
Dari Yahyaa bin Sa’iid, ia berkata : Aku mendengar
‘Aliy bin Al-Husain – dan ia adalah seutama-utama keturunan Bani Haasyim yang
aku temui – berkata : “Wahai sekalian manusia, cintailah kami dengan kecintaan
Islam. Kecintaan kalian kepada kami senantiasa ada hingga kemudian malah
menjadi aib bagi kami” [Diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat,
5/110; shahih[10]].
Syi’ah tidak disandarkan pada Ahlul-Bait – meski
mereka mengklaimnya – dan Ahlul-Bait pun tidak disandarkan pada Syi’ah.
Begitu juga dengan kasus Juhaimaan. Meski ia pernah
menjadi murid Ibnu Baaz, tapi ia tidak sepemahaman dengan Ibnu Baaz. Dirinya
lebih mirip kepada Sayyid Quthb dalam pemikiran takfir. Aroma anyir Khawaarij
begitu menyengat dari dirinya. Ibnu Baaz pernah memberi syafa’at kepada dirinya
ketika masuk penjara karena diharapkan ia dapat memperbaiki diri. Ketika Juhaimaan
menampakkan pandangan ekstrimnya, maka Ibnu Baaz rahimahullah mengingkarinya
dan memfatwakan agar kelompok Juhaimaan diperangi.
Apakah layak jika penyimpangan Juhaimaan
dihubungkan dengan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah atau Salafi?
Ini sekaligus merespon tentang cerita ISIS, Jama’ah
Islaamiyyah, dan Al-Qaeda yang sudah dikatakan sendiri oleh Bapak Profesor :
'bisa menghalalkan darah' (orang di luar kelompok mereka). Takfir dan
penghalalan darah kaum muslimin bukan ‘aqidah salafi sepanjang jaman. Baik dulu
maupun sekarang.
Kemudian tentang Al-Ikhwaanul-Muslimuun (IM) dengan
Hasan Al-Banna nya. Apakah benar jama’ah ini berserta muassis-nya (Hasan
Al-Banna) adalah representasi ‘Salafi’ ?
IM adalah organisasi ala karedok yang
terdiri dari aneka macam sayuran seperti mentimun, taoge, kol, kacang panjang,
daun kemangi, dan terong. Berbagai pandangan keagamaan tertampung dalam IM.
Al-Ustadz Hasan Al-Bannaa rahimahullah berkata:
أتحدث إليك الآن عن دعوتنا أمام
الخلافات الدينية و الآراء المذهبية.
نجمع ولا نفرق
اعلم ـ فقهك الله ـ أولا: أن دعوة
الإخوان المسلمين دعوة عامة لا تنتسب إلى طائفة خاصة، ولا تنحاز إلى رأي عرف عند
الناس بلون خاص ومستلزمات وتوابع خاصة، وهي تتوجه إلى صميم الدين ولبه، وتود أن
تتوحد وجهة الأنظار والهمم حتى يكون العمل أجدى والإنتاج أعظم وأكبر، فدعوة
الإخوان دعوة بيضاء نقية غير ملونة بلون
“Maka sekarang akan berbicara tentang dakwah
kami terkait perselisihan-perselisihan keagamaan (ikhtilaafaat diiniyyah)
dan pendapat-pendapat madzhabiyyah. Yaitu : Kami (berusaha) menyatukan dan
tidak mencerai-beraikan. Ketahuilah – semoga Allah memberikan pemahaman
kepadamu – bahwasannya dakwah IM adalah dakwah umum yang tidak
menisbatkan diri kepada kelompok tertentu, dan tidak pula cenderung kepada satu
pendapat yang dikenal manusia dengan warna, ciri khas, dan tabiat yang khusus.
Dakwah kami fokus pada pusat dan jantung agama, serta berkeinginan untuk
menyatukan semua pandangan dan semangat hingga amalan tersebut lebih bermanfaat
dan hasilnya lebih besar. Maka, dakwah IM adalah dakwah yang putih bersih tanpa
terkontaminasi dengan warna tertentu” [Rasaail Al-Imaam
Asy-Syahiid Hasan Al-Bannaa].
Karena keinginan tersebut, dalam IM ada unsur
Shufiyyahnya, dan Hasan Al-Banna sendiri seorang tokoh Shuufiyyah sebagaimana
dikatakan Sa’iid Hawwa rahimahumallah:
إِنَّ الصُّوْفِيَّةَ عِنْدَهُمْ
اصْطِلَاحٌ الْمُرْشِدُ الْكَامِلُ ، وَلَقَدْ كَانَ اْلأُسْتَاذُ الْبَنَّا
مُرْشِدًا كَامِلًا بِشَهَادَةِ كِبَارِ الصُّوْفِيَّةِ أَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya shuufiyyah memiliki istilah Al-Mursyid
Al-Kaamil (pembimbing yang sempurna). Dan sungguh Al-Ustaadz Al-Bannaa
adalah seorang pembimbing yang sempurna berdasarkan persaksian para pembesar
shufi sendiri” [Tarbiyyatunar-Ruuhiyyah].
IM sangat toleran terhadap aneka pemahaman sesat
dan bahkan mendakwahkan persatuan Ahlus-Sunnah – Syi’ah. ‘Umar At-Tilmisaaniy –
mursyid aam ketiga IM – berkata:
وفي الأربعينات على ما أذكر كان
السيد القمي-وهو شيعي المذهب- ينزل ضيفا على الإخوان في المركز العام ووقتها كان
الإمام الشهيد يعمل جاداً على التقريب بين المذاهب ,حتى لا يتخذ أعداء الإسلام
الفرقة بين المذاهب منفذا يعملون من خلاله على تمزيق الوحدة الإسلامية ,وسألناه
يوماً عن مدى الخلاف بين أهل السنة والشيعة ,فنهانا عن الدخول في مثل هذه المسائل
الشائكة التي لا يليق بالمسلمين أن يشغلوا أنفسهم بها ..... فقال رضوان الله عليه
: اعلموا أنَّ أهل السنة والشيعة مسلمون تجمعهم كلمة لا إله إلاَّ الله وأنَّ
محمداً رسول الله وهذا أصل العقيدة ,والسنة والشيعة فيه سواء وعلى التقاء ,أما
الخلاف بينهما فهو في أمور من الممكن التقريب فيها بينهما
“Pada tahun 40-an seingatku, As-Sayyid Al-Qummiy
yang bermadzhab Syi’ah bertamu ke markaz besarnya. Waktu itu, Al-Imaam
Asy-Syahiid berusaha keras untuk mengadakan pendekatan antar madzhab, hingga
musuh-musuh Islam tidak menjadikan perpecahan antar madzhab sebagai celah untuk
merobek persatuan kaum muslimin. Dan pada suatu hari kami bertanya kepada
beliau tentang cakupan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dan Syii’ah. Maka
beliau melarang kami untuk masuk dalam permasalahan-permasalahan sensitif
semisal ini. Kaum muslimin tidak boleh menyibukkan diri mereka terhadapnya…..
Lalu beliau (Al-Ustadz Hasan Al-Banna) berkata : ‘Ketahuilah, bahwasannya
Ahlus-Sunah dan Syi’ah statusnya adalah muslim yang disatukan oleh kalimat Laa
ilaha illallaah wa anna Muhammadar-Rasuulullah. Ini adalah pokok ‘aqidah.
Ahlus-Sunnah dan Syi’ah terdapat kesamaan dan kesesuaian (titik temu). Adapun
perselisihan antara keduanya, maka itu dalam perkara-perkara yang sangat
dimungkinkan untuk dilakukan pendekatan antara keduanya….” [Dzikriyaat Laa
Mudzakkiraat, hal. 249-250 atau Al-Ikhwaanul-Muslimuun
wasy-Syii’ah].
Apakah perbedaan kita dengan Syii’ah hanyalah
masalah perbedaan fiqh ? Ataukah sudah masuk pada perbedaan ‘aqiidah ? Majelis
Ulama Indonesia sudah mencetak buku berjudul ‘Mengenal dan Mewaspadai
Penyimpangan Syi'ah di Indonesia’.[11] Penyimpangan Syi’ah termasuk
penyimpangan kelas kakap.
Ketika Pilkada DKI Jakarta 2017 kemarin, ramai
tentang masalah Ahok yang dianggap melecehkan Al-Qur’an terkait QS. Al-Maaidah
ayat 51. Ayat itu menjelaskan konsep ‘aqidah al-walaa’ wal-baraa’.
Al-Qur’an dalam banyak ayat telah menjelaskan tentang permusuhan antara kaum
muslimin dengan Yahudi, Nashrani, dan orang-orang kafir yang lain karena
masalah ‘aqidah. Kaum muslimin memusuhi mereka karena kekufuran dan kesyirikan
mereka. Tapi apa kata Ustadz Hasan Al-Banna ? Beliau rahimahullah berkata:
فأقرر أن خصومتنا لليهود ليست
دينية؛ لأن القرآن حضّ على مصافاتهم ومصادقتهم، والإسلام شريعة إنسانية قبل أن
يكون شريعة قومية، وقد أثنى عليهم وجعل بيننا وبينهم اتفاقا {ولا تُجادِلُوا
أَهْلَ الكِتَابِ إلاَّ بِالَّتي هِي أَحْسَنُ} وحينما أراد القرآن الكريم أن
يتناول مسألة اليهود تناولها من الوجهة الاقتصادية والقانونية....
”Saya tegaskan sekali lagi bahwa
persengketaan/permusuhan kita dengan Yahudi bukanlah persengketaan/permusuhan
karena agama, karena Al-Qur’an menganjurkan kita agar bergandeng tangan dan
bersahabat dengan mereka dan menyuruh agar mengadakan kesepakatan antara kita
dengan mereka. Allah berfirman : ‘Dan janganlah kalian berdebat dengan Ahli
Kitab melainkan dengan cara yang paling baik’ (QS. 29:46). Setiap kali
Al-Qur’an berbicara tentang masalah Yahudi, maka disinggung dari sisi
perekonomian dan hukum....” [Al-Ikhwaanul-Muslimuun Ahdats Shana’at-Taariikh,
1/409-410].
Dalam kesempatan lain:
إن الإسلام الحنيف لا يخاصم ديناً
ولا يهضم عقيدة
“Sesungguhnya Islam yang hanif (lurus) itu tidaklah
memusuhi satu agamapun, juga tidak menyerang/menganiaya satu ‘aqidahpun” [Mawaaqifun
fid-Da’wati wat-Tarbiyyah, hal. 163].
Karenanya, dakwah IM tidak fokus pada masalah
pembinaan ‘aqidah ketauhidan dan menjauhi kesyirikan, karena dalam diri mereka
berkumpul orang-orang yang punya masalah dalam kedua hal tersebut. Yang penting
kumpul……..
Inikah dakwah salafi ? Inikah yang disebut kembali kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf sebagaimana terminologi Salafi yang dikemukakan oleh Bapak Profesor yang
terhormat ? Bahkan lebih mirip dakwah oportunistik karena ending-nya
adalah politik kekuasaan.
Begitu juga dengan barisan IM yang lebih cenderung
pada pemikiran radikalis Sayyid Quthb rahimahullah.
“Nggak cocok Pak jika disebut
dakwah salaf, paham salaf, dan komunitas salafi….”
Kemudian tentang Jamaaluddin Al-Afghaaniy dan
Muhammad ‘Abduh, dua orang yang dianggap membawa pemikiran tajdiid
(pembaharuan) di dunia Islam.
Tajdiid dalam apa gerangan yang mereka berdua lakukan ?
Diantaranya tajdiid dalam ‘aqidah dan tafsiir.
Seperti, dalam menafsirkan ayat :
وَقُلْنَا يَا آَدَمُ اسْكُنْ
أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا
تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ * فَأَزَلَّهُمَا
الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا
بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى
حِينٍ
“Dan Kami berfirman : "Hai Adam, diamilah
oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak
lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini,
yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Lalu keduanya
digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula
dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang
lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai
waktu yang ditentukan" [QS. Al-Baqarah : 35-36].
Muhammad ‘Abduh menafsirkan ayat ini, bahwa yang
dimaksud surga di situ adalah sebuah kebun yang berada di sebuah bukit [Al-A’malu
Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh]. Penafsiran semacam ini adalah penafsiran
model Mu’tazilah dan Qadariyyah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qurthubi
[Lihat Tafsir Ibni Katsir I, hal 116].
Begitu pula dalam menafsirkan surat Al-Fiil,
Muhammad ‘Abduh masih memakai pola yang sama. Katanya : “….Di hari kedua,
tentara Abrahah terjangkiti penyakit cacar. ‘Ikrimah mengatakan, bahwa penyakit
ini pertama kali muncul di negeri ‘Arab. Ya’qub bin ‘Uthbah menyatakan tentang
kejadian ini, bahwa pada tahun itu cacar menyerang ke seluruh tubuh mereka
hingga hancur tubuh itu. Kemudian Abrahah dan sebagian tentaranya menyingkir
dari tempat tersebut dan banyak diantaranya yang mati” [Al-A’maalu
Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh, jilid III, hal 473].
Latar belakang penafsiran semacam ini dalam rangka
agar diterima oleh pola pikir masyarakat Barat. Padahal, Allah ta’ala telah
secara jelas menyebutkan pengertian ayat tersebut yang tentu saja tidak
memerlukan kepada ta’wil. Firman-Nya ta’ala :
تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ
سِجِّيلٍ
“Yang melempari mereka dengan batu dari tanah
yang terbakar” [QS. Al-Fiil : 4].
Bila dilihat dalam kitab tafsirnya, niscaya akan
banyak ditemukan pemikiran Muhammad ‘Abduh yang semacam itu. Hal itu tak
mengherankan, sebab pemikirannya banyak dipengaruhi oleh orientalis, yakni saat
dirinya menetap di Perancis. Hubungan tersebut tetap terjalin meski dirinya
telah berpindah ke Mesir, baik melalui surat-menyurat atau saling
kunjung-mengunjungi. Tatkala dirinya menjabat sebagai mufti di Mesir, dia
pernah pula dikunjungi oleh orientalis. Dia juga menjalin hubungan yang cukup
erat dengan seorang hakim berkebangsaan Inggris di Mesir, yaitu Lord Kramer.
Hal itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia lagi [Waqii’unal-Mu’aashir,
hal. 310-315].
Muhammad ‘Abduh senantiasa berusaha membuktikan
bahwa Islam selaras dengan akal. Atau dengan kata lain Islam itu rasional.
Jika terdapat pertentangan akal dengan naql (Al-Qur’an dan As-Sunnah),
Muhammad ‘Abduh mengatakan : “Kaum muslimin telah bersepakat – dan hanya
sedikit yang menyelisihi – apabila akal bertentangan dengan naql, maka akallah
yang didahulukan” [Al-A’mal Al-Kamiilah oleh Muhammad ‘Abduh, 3/282].
Manhaj beragama seperti ini adalah manhaj
Mu’tazillah. Muhammad ‘Abduh juga mendirikan Jam’iyyah At-Ta’liif
wat-Taqriib yang punya misi melakukan penyatuan dan pendekatan agama samawi
yang tiga[12] [Taariikh Al-Ustaadz Al-Imaam,
1/817-829 melalui At-Tajdiid fil-Fikril-Islaamiy hal. 403].
Kok bisa-bisanya Salafi lagi yang terkena leachate
sampah pemikiran Muhammad ‘Abduh ini…..[13]
Jamaaluddin Al-Afghaaniy, guru Muhammad ‘Abduh. Ia
(Jamaaluddin Al-Afghaaniy) adalah seorang Raafidliy (penganut Syi’ah Raafidlah)[14] dan Maasuniy (pengikut Freemasonry)[15] yang berbaju Islam. Memiliki pemikiran
‘baru’ – tapi nyleneh – seperti ajakan penyatuan/pendekatan agama yang
tiga[16], sama seperti ‘Abduh. Katanya lagi, nubuwwah
itu bisa diusahakan.[17] Banyak penyimpangannya yang telah
dijelaskan para ulama.
Apakah orang seperti ini layak dikatakan prototype
Salafi abad 20 ?.
Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani banyak
mempengaruhi Muhammad Rasyid Ridlaa dalam beberapa tulisan di Majalah Al-Manar
yang kental dengan pemikiran Mu’tazilah yang menolak As-Sunnah. Namun Raasyid
Ridlaa banyak rujuk dan lebih dekat kepada Ahlus-Sunnah – meski bekas-bekas
pemahaman gurunya masih kentara – dibandingkan Jamaaluddin Al-Afghaaniy dan
Muhammad ‘Abduh.
So, tajdiid yang kemudian dimaknai dengan
pembaharuan, bukan sekedar memperbaharui. Kalau memperbaharui apa yang telah pakem,
maka konteks baru ini adalah bid’ah. Mengada-ada sesuatu dalam agama. Kalau itu
menjadi asas agamanya, jadilah Ahlul-bid’ah wadl-dlalaalah, bukan
Ahlus-Sunnah wal-Jama’aah.
Makna tajdiid yang diterangkan para ulama
adalah:
يُبَيِّن السُّنَّة مِنْ
الْبِدْعَة وَيُكْثِر الْعِلْم وَيَنْصُر أَهْله وَيَكْسِر أَهْل الْبِدْعَة
وَيُذِلّهُمْ
“Menjelaskan sunnah dari (percampuran) bid’ah,
memperbanyak ilmu dan menolong orang yang berpegang kepadanya, serta
menghancurkan ahlul-bid’ah dan menghinakannya” [‘Aunul-Ma’buud, 11/386].
As-Sindiy rahimahullah berkata:
كُلّ مَنْ يَدْعُو النَّاس إِلَى
إِقَامَة دِين اللَّه وَطَاعَته وَسُنَّة نَبِيّه صَلَوَات اللَّه وَسَلَامه
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ
“Setiap orang yang mengajak manusia untuk
menegakkan agama Allah dan mentaati-Nya, serta sunnah Nabi-Nya shalawaatullahi
wa salaamuhu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi” [Haasyiyyah
As-Sindiy ‘alaa Sunan Ibnu Maajah, 1/9].
Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ
الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini
setiap penghujung 100 tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4291; shahih[18]].
Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan hafidhahullah,
maka beliau adalah dai Ahlus-Sunnah. Terus terang saya belum pernah secara
khusus mempelajari segala macam tulisan atau buku beliau. Namun demikian, saya
ber-husnudhdhan dakwah yang beliau bawa adalah dakwah Ahlus-Sunnah,
dakwah salaf. Berbeda dengan tiga tokoh di atas yang diklaim mempengaruhi diri
beliau rahimahullah.
5. Salafi
Menafikkan Akal ?
Bapak Profesor hafidhahullah berkata: “Salafi, kalau dari awal itu hanya
berbicara tentang masalah tauhid. Kalau masalah fiqh itu masih sangat… ya tidak
terlalu ketat, tidak terlalu fanatik. Tapi belakangan, sampai ke bawah ini,
salafi itu kepada fiqihnya ketat. Karena fiqihnya fiqih Hambali. Fiqih Hambali.
Nah, fiqih Hambali itu cara mengistimbath hukumnya cara pertama, dasar hukumnya
Al-Qur’an, yang kedua hadits, hadits shahih tentunya. Yang ketiga fatwa
shahabat, ijma’ shahabat. Yang keempat, hadits dlaif. Yang keempat hadits
dlaif. Tapi hadits dlaif yang ini adalah hadits dla’if dalam katagori imam
Ahmad bin Hanbal. Yang selanjutnya adalah fatwa shahabat yang mendekati
Al-Qur’an dan hadits. Nah, itu madzhab Hanbali. Jadi mereka dalam hal ini
sangat tekstualis. Tidak memberikan porsi kepada akal di dalam istinbath hukum
fiqh….” [29:05 – 30:23].
Beliau hafidhahullah melanjutkan: “Nah kebetulan yang ada di sekitar
kita ini saudara-saudara kita, salafi itu adalah Salafi Puritan. Artinya Salafi
Puritan, yang mempunyai ajaran dasar kembali kepada Islam murni sebagaimana
yang dijalankan oleh as-salafush-shaalih. Kemudian tauhid, perjuangan melawan
syirik, bid’ah, dan khurafat. Muhammadiyyah ? Sama kan ? Memberantas TBC.
Sumber hukum Islam : Al-Qur’an, hadits, dan ijmaa’ shahabat. Nah ini mungkin
ada bedanya. Kalau Muhammadiyyah, sumber hukum Islam : Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan menggunakan akal untuk memahaminya. Kalau mereka :
Al-Qur’an, hadits, dan ijmaa’ shahabat”. [38:18 – 39:10]
Tentang masalah ijmaa’, saya kira tidak
perlu diulang. Menafikkan ijmaa’ adalah kekeliruan yang sangat
fundamental dalam agama. Namun saya khawatir, justru ada sesuatu yang terluput
dari pengetahuan Bapak Profesor hafidhahullah. Pada kenyataannya,
Majelis Tarjih Muhammadiyyah menerima ijmaa’ shahabat sebagai landasan
hukum.[19]
Yang sedikit lucu dari pernyataan di atas, ada
semacam isyarat – semoga sih saya salah – bahwa Hanaabilah atau Salafi
menafikkan akal dalam istinbath terhadap nash. Adapun Muhammadiyyah,
menggunakan akal untuk memahami nash.
Kok bisa dikatakan begitu ? Keren banget dong kalau
begitu Muhammadiyyah….
Jelas ini statement yang ngawur bin ngawur bin
ngawur bin ngawur bin ngawur bin ngawur bin ngawur…..
Allah ta’ala telah memerintahkan agar
mengoptimalkan akal kita terhadap ayat-ayat kauniyyah-Nya, sebagaimana
firman-Nya:
وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ
فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan Dia menundukkan malam dan
siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan
(untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)” [QS. An-Nahl : 12].
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal” [QS. Aali ‘Imraan : 190].
Allah ta’ala juga memerintahkan agar manusia
memahami ayat-ayat-Nya yang berisi tentang hukum-hukum-Nya:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ
وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238) فَإِنْ خِفْتُمْ
فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا
عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239) وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ
مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى
الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا
فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (240)
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (241)
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (242)
“Peliharalah segala salat (mu),
dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu)
dengan khusyuk. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil
berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah
Allah (salatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu ketahui. Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan
meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri
mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kepada wanita-wanita yang
diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang makruf,
sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. Demikianlah Allah
menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya”
[QS. Al-Baqarah : 238-242].
Pada prakteknya, orang-orang Hanaabilah dan/atau
Salafi melakukan pengkajian dalil, istinbaath terhadap nash-nash, dan tarjiih
secara intens. Tarjiih bukan pekerjaan Majelis Tarjih Muhammadiyyah
saja.
Contoh, ulama Salafi kontemporer –yang dianggap
Bapak Profesor sebagai alat legitimasi Penguasa- , yaitu Asy-Syaikh Muhammad
Naashiruddiin Al-Albaaniy rahimahullah. Kitab beliau berjudul Tamaamul-Minnah
fit-Ta’liiq ‘alaa Fiqhis-Sunnah banyak berisi kajian istinbaath nash
dan sekaligus tarjih-nya. Sama seperti Muhammadiyyah, Asy-Syaikh
Al-Albaaniy tidak menasabkan diri pada madzhab fiqh tertentu.
Contoh lain, Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih
Al-‘Utsaimiin rahimahullah, ulama fiqh negeri Saudi Arabia yang diakui
dunia. Beliau bermadzhab Hanaabilah, tapi tidak taqlid dan fanatik terhadap
madzhab[20]. Kitab beliau yang berjudul Asy-Syarhul-Mumti’
‘alaa Zaadil-Mustaqnii’ merupakan syarah dari Zaadul-Musta’ni’ fii
Ikhtishaar Al-Muqni’ tulisan ulama madzhab Hanaabilah yang bernama Muusaa
bin Ahmad Al-Hijaawiy rahimahumullah. Al-Hijawiy menulisnya dengan satu
pendapat yang raajih dari Ahmad bin Hanbal. Namun demikian, Asy-Syaikh
Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah tetap melakukan pengkajian yang sangat
menakjubkan dan melakukan tarjih dalam banyak permasalahan. Bukan
sekedar manthuk-manthuk saja atas perkataan Al-Hijaawiy rahimahullah.
Ringkas kata, ulasan Bapak Profesor ini sangat
tidak berterima. Ndak valid.
Yang ditolak Salafi dan juga para ulama sepanjang
masa adalah mengutamakan akal daripada nash. Agama itu berdasarkan dalil, bukan
hanya akal semata. Betapa indah perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ،
لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ
خُفَّيْهِ
“Seandainya agama ini diukur dengan akal pikiran
semata, niscaya bagian bawa khuff (sepatu) lebih berhak untuk diusap daripada
bagian atasnya. Namun aku telah melihat Rasulullah ﷺ mengusap
bagian atas kedua khuff-nya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 162;
shahih].
Bagian bawah khuff yang menginjak tanah pada
umumnya lebih kotor daripada bagian atasnya, sehingga secara akal yang perlu
dibersihkan adalah bagian bawahnya. Namun ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu melihat Nabi ﷺ mengusap bagian atas khuff ketika
bersuci, maka ia buang jauh-jauh logika akal tersebut dan hanya mengikuti apa
yang ia lihat dari Nabi ﷺ.
Semua pendapat dalam agama tanpa didasari dalil dan
bertentangan dengan dalil, dibuang.
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu
berkata:
أَصْبَحَ أَهْلُ الرَّأْيِ
أَعْدَاءَ السُّنَنِ، أَعْيَتْهُمُ الأَحَادِيثُ أَنْ يَعُوهَا، وَتَفَلَّتَتْ
مِنْهُمْ أَنْ يَرْوُوهَا فَاسْتَبَقُوهَا بِالرَّأْيِ
“Ahlur-ra’yi (= orang-orang yang
mengedepankan akal/rasionalis) telah menjadi musuh-musuh sunnah. Hadits-hadits
telah menyebabkan mereka tidak mampu untuk menghapalkannya/memahaminya,
sehingga mereka pun tidak dapat meriwayatkannya. Lalu mereka bergegas untuk
mengambil pendapat dengan akal pikiran mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu
‘Abdil-Barr dalam Al-Jaami’ no. 2001 & 2003 & 2004, Al-Baihaqiy
dalam Al-Madkhal no. 213, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh
Ushuulil-I’tiqaad no. 201, dan yang lainnya; shahih].
Sahl bin Hunaif berkata :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّهِمُوا
رَأْيَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ لَقَدْ رَأَيْتُنِي يَوْمَ أَبِي جَنْدَلٍ وَلَوْ
أَسْتَطِيعُ أَنْ أَرُدَّ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَيْهِ لَرَدَدْتُهُ
“Wahai sekalian manusia, curigailah pendapat kalian
terhadap agama kalian. Sungguh aku telah menyaksikan diriku pada peristiwa Abu
Jandal, seandainya aku sanggup untuk menolak perintah Rasulullah ﷺ, niscaya
aku akan menolaknya....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3181 & 7308].
Maksud perkataan ‘curigailah pendapat kalian
terhadap agama kalian’ adalah : Janganlah kalian beramal dalam perkara
agama berdasarkan akal pikiran saja tanpa bersandar pada pokok dari agama [Fathul-Baariy,
13/288-289].
Seandainya manhaj Muhammadiyyah dalam memahami
Al-Qur’an dan As-Sunnah – sebagaimana dikatakan oleh Bapak Profesor –
berdasarkan akal, maka mesti diberikan catatan yang diberi underline
agar dikatakan benar:
a. tidak
mendahulukan akal daripada nash;
b. tidak
menentang nash dengan akal;
c. tidak
merancang pendapat-pendapat yang keluar dari pemahaman salaf atas nash;
d. akal hanya
digunakan untuk memahami nash berdasarkan metode shahih yang dikenal oleh
ulama.
6. Klasifikasi
Salafi
Bapak Profesor hafidhahullah dalam
ceramahnya banyak membuat turunan Salafi. Ada Salafi Puritan, Salafi Hambali,
Salafi Politis, Salafi Jihadi, Neo Salafi, Salafi Yamani, Salafi Simbol, Salafi
Sururi, Salafi Ghairu Sururi. Dari awal sampai (hampir) akhir, kita disuguhi
bunyi frase-frase ini.
Jika beliau hafidhahullah sudah memahami
bahwa substansi dari Salafi adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
mengikuti pemahaman dan praktek salaf, maka tinggal dinilai, apakah cocok ataukah tidak. Salafi itu ya
Salafi, tanpa kata sebelumnya atau setelahnya.
Labelisasi aneka Salafi seperti ini rawan
beranak-pinak sesuai imajinasi masing-masing penciptanya. Misal, sebagian oknum
Aswaja menyebut ‘Sawah’ (Salafi Wahabi). Sebagian pemikir menciptakan term :
Salafi-Tradisionalis dan Salafi-Modern. Saya pernah membaca orang Malang
(Jatim) nggak jelas bikin term : Salafi Alternatif (situ dulu emang
suka musik ?) Pecinta Bhineka Tunggal Ika kemasan agamis - berbeda-beda
harakah dan pemikiran tapi satu jua - , menciptakan term : Salafi Toleran. Dan
yang lainnya.
Kalau ada Salafi Yamani, nanti ada Salafi Garuti,
Salafi Bogori, Salafi Jepang-i, Salafi Kongo-i, yang semuanya dinisbahkan
berdasarkan letak geografis.
Kekeliruan individu atau kelompok individu bukan
menjadi alasan membuat derivat baru Salafi.
Salafi hakiki itu satu, yaitu orang yang kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
dengan mengikuti pemahaman dan praktek salaf. Dialah salafi hakiki. Bagaimana mengetahuinya ? Mempelajari
prinsip-prinsip ‘aqidah salaf. Kitab yang tercetak tulisan ulama dahulu dan
sekarang berlimpah. Jika menyimpang dari prinsip-prinsip pokoknya, ya bukan
Salafi. Sekali lagi : Bukan malah membuat term baru.
7. Salafi
Simbol ?
Bapak Profesor hafidhahullah berkata: “Kemudian semakin ke bawah ini,
salafinya sampai kepada atribut. Simbol. Jadi kalau tadi dalam
fiqh, misalnya ya, sangat tekstualis saya katakan, itu misalnya yang berbeda
dengan Muhammadiyyah. Salah satu contohnya awal Ramadlan ……” [30:22 – 30:46].
“Kemudian yang saya sebut dengan Salafi
Simbol. Kemudian Salafi Simbol Salafi Bentuk tadi, kalau tadi
asalnya ini, semakin ke belakang ini, nah Salafi ini. Kemudian simbolnya apa ?
Mungkin yang fisiknya itu janggut. Kemudian celananya di atas dua mata kaki.
Ini ada dalil. Dalilnya ada. Dalil tentang dua mata kaki ada dalilnya. Janggut
juga ada dalilnya. Nah sekarang persoalannya, adalah persoalan pada saat,
misalnya saudara-saudara Salafi berkesimpulan ini adalah wajib. Apabila tidak
pakai janggut, maka haram. Berdosa. Celana yang menutup kedua mata kaki, ini
haram. Nah, Muhammadiyyah memahami ini. Ini ada dalil. Dalilnya qath’iy atau
tidak ? O ternyata tidak qath’iy. Kemudian ada illah-nya ataukah tidak
? O ternyata ada ‘illah-nya. Janggut ini illah-nya agar kamu
berbeda dengan orang Yahudi dan orang Nashrani…….” [35:16-36:35].
Hanya karena Salafi berjenggot dan tidak isbal,
serta mengatakan orang yang mencukur habis jenggot haram dan melakukan isbal
berdosa; maka muncullah istilah Salafi Simbol. Sebentar saya mikir dulu……
Bapak Profesor dalam ceramahnya tersebut mengatakan
ada dalil untuk tidak mencukur jenggot. Nabi ﷺ
bersabda:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ،
وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik,
lebatkanlah jenggot, dan potonglah kumis” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 5892].
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا
اللِّحَى
“Potonglah kumis kalian dan peliharalah jenggot”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 259].
Yang saya pahami dari kaidah ushul fiqh, semua
lafadh yang mengandung perintah menunjukkan makna wajib kecuali ada dalil yang
memalingkannya. Dalam hal ini, tidak ada dalil shahih, sharih (jelas),
lagi setara yang memalingkan dari kewajiban ini.
Ibnu Hazm rahimahullah menukil adanya ijmaa’
:
واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة
لا تجوز
”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur
seluruh jenggot adalah tidak diperbolehkan (haram)” [Maraatibul-Ijmaa’,
hal 157].
Para ulama menyatakan keharamannya. Misalnya Ahmad
bin Qaasim Al-’Abbaadi Asy-Syaafi’iy rahimahumullah yang berkata :
قال ابن الرِّفْعة في حاشية
الكفاية: إن الإمام الشافعي قد نصَّ في الأم على تحريم حلق اللحية ، وكذلك نصَّ
الزَّرْكَشِيُّ والحُلَيْميُّ في شُعَب الإيمان وأستاذُه القَفَّالُ الشاشيُّ في
محاسن الشريعة على تحريم حلق اللحية
”Telah berkata Ibnur-Rif’ah dalam kitab Haasyiyah
Al-Kifaayah : ’Sesungguhnya Al-Imaam Asy-Syaafi’iy telah menegaskan dalam
kitab Al-Umm tentang keharaman mencukur jenggot. Dan begitu pula
yang ditegaskan oleh Az-Zarkasyi dan Al-Hulaimi dalam kitab Syu’abul-Iimaan,
dan gurunya (yaitu) Al-Qaffaal Asy-Syaasyiy dalam kitab Mahaasinusy-Syar’iyyah
atas keharaman mencukur jenggot” [Hukmud-Diin fil-Lihyah wat-Tadkhiin
oleh ’Aliy Al-Halaby hal. 31].
Dan ulama lainnya. Mereka bukan ulama Hambali lo…
Kenyataannya, orang-orang musyrik dan Majusi memang
mencukur jenggot mereka dan memelihara kumis. Nabi kita ﷺ - nabi
saya dan Anda (Pembaca) – memerintahkan untuk memelihara jenggot dan memangkas
kumis untuk menyelisihi mereka. Seandainya beliau ﷺ hidup,
berkata kepada kita, dan kita pun mendengar perkataan beliau ﷺ; akankah
kita berani mengatakan : “Ooo,… jenggot tidak apa-apa untuk dicukur habis
karena begini dan begitu…”. ????.
Nabi ﷺ sendiri
berjenggot.
عَنْ جَابِر بْن سَمُرَةَ قَالَ:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَدْ شَمِطَ مُقَدَّمُ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، وَكَانَ
إِذَا ادَّهَنَ لَمْ يَتَبَيَّنْ، وَإِذَا شَعِثَ رَأْسُهُ تَبَيَّنَ، وَكَانَ
كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ
Dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Rambut
bagian depan dan jenggot Rasulullah ﷺ telah
beruban. Apabila beliau ﷺ meminyakinya, maka ubannya tidak terlihat.
Namun apabila rambut kepala beliau telah kering, maka akan nampak. Beliau ﷺ adalah
seorang yang mempunyai jenggot lebat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2344].
Ketika Salafi mengingatkan kaum muslimin tentang
keharaman mencukur jenggot – dan hal itu dikatakan juga oleh para ulama
sebelumnya – , ternyata ada yang meriang seraya mengatakan : “Anda Salafi
Atribut/Simbol”.
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi
raaji’uun. Minum obat
dulu….
Tentang isbal…..
Bapak Profesor yang terhormat juga telah
menyebutkan dalilnya. Seperti sabda Nabi ﷺ:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ
مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Apa saja yang berada di bawah mata kaki dari
kain sarung, maka tempatnya adalah di neraka" [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 5787].
Ibnu Muflih rahimahullah menjelaskan:
وَقَالَ أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَيْضًا { مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ } لَا يَجُرُّ
شَيْئًا مِنْ ثِيَابِهِ وَظَاهِرُ هَذَا التَّحْرِيمُ
“Ahmad radliyallaahu ‘anhu juga berkata
tentang hadits : ‘Apa saja yang berada di bawah dua mata kaki tempatnya di
neraka’; yaitu tidak boleh menyeret sesuatu dari pakaiannya’. Dhahir
perkataan ini adalah pengharaman” [Aadaabusy-Syar’iyyah, 3/492].
Benar, para ulama berselisih pendapat dalam hal
ini. Bahkan jumhur ulama berpendapat isbaal tidak sampai derajat haram
apabila tidak dilatarbelakangi kesombongan. Bahkan banyak ulama Salafi Saudi
yang berpegang pada pendapat jumhur ulama.
Tapi dengan fakta ini, apakah kemudian tidak boleh
mengatakan haram ?
Apakah sesuatu yang menurut kita haram – seandainya
kita menguatkan keharamannya - menjadi tidak apa-apa hanya karena eksisnya
pendapat jumhur dan pendapat Muhammadiyyah? Tidak boleh pegang mikropon dan
bicara haram di pengajian dalam rangka toleransi?.
Sebagaimana Anda punya hak mengatakan tidak haram,
maka yang lain pun juga berhak mengatakan sebaliknya. Yang keliru adalah jika
memaksakan kehendak dan berpecah-belah hanya karena khilafiyyah mu’tabar di
kalangan ulama. Apakah individu Salafi ada yang ‘memaksakan kehendak’ dalam
masalah ini ? Jawab : Ada, dan itu keliru. Tapi tidak selayaknya
kekeliruan itu membuat Anda berkreasi membuat istilah baru.
Anyway, kalau boleh tanya…. Nabi ﷺ itu isbal
nggak ?.
Cuma ngasih tahu bahwa Nabi ﷺ pernah
menegur ‘Ubaid bin Khaalid:
ارْفَعْ إِزَارَكَ، فَإِنَّهُ
أَبْقَى وَأَتْقَى "، فَنَظَرْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ، قَالَ: " أَمَا لَكَ
فِيَّ أُسْوَةٌ "، فَنَظَرْتُ، فَإِذَا إِزَارُهُ عَلَى نِصْفِ السَّاقِ.
“Angkatlah kainmu, karena hal itu lebih baik dan
lebih bertaqwa bagimu!”. Maka aku (‘Ubaid) pun menoleh, dan ternyata orang
tersebut adalah Rasulullah ﷺ. Aku berkata : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja”. Beliau ﷺ bersabda
: “Apakah engkau tidak menganggapku sebagai contoh ?”. Maka
aku melihat dan ternyata kain beliau sebatas pertengahan betis”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 5/364 dan An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa nomor
9603; shahih].
Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS.
Al-Ahzaab : 33].
Kita disyari’atkan untuk mengikuti ‘simbol’ (atau
apalah yang ingin Anda katakan) yang ada pada diri Nabi ﷺ.
Terakhir tentang penentuan awal Ramadlan, awal
Syawal, dan awal Dzulhijjah.
Pembahasan klasik tahunan dengan aktor utama
(diantaranya) adalah Muhammadiyyah. Bapak Profesor hafidhahullah menjelaskan
bahwa dalam hal ini Salafi berbeda metodologi dengan Muhammadiyyah. Kalau
Salafi yang katanya tekstualis berdalil dengan hadits diantaranya:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ،
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَانْسُكُوا لَهَا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ، فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ، فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah karena melihatnya (hilaal) dan
berbukalah karena melihatnya (hilaal). Sembelihlah kurban karena melihatnya
(hilaal) juga. Apabila hilaal tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bulan
menjadi tigapuluh hari. Apabila dua orang saksi telah menyaksikannya, maka
berpuasalah dan berbukalah” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 2116 dari
‘Abdurrahmaan bin Zaid radliyallaahu ‘anhumaa; dishahihkan oleh
Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan An-Nasaa’iy, 2/95].
Dan banyak hadits yang lain.
Jumhur ulama – kalau tidak boleh dikatakan ijmaa’
– memakai metodologi rukyat. Ada pendapat sebagian kecil ulama sebagaimana
disitir Ibnu ‘Abdil-Barr membolehkan hisab, namun dikatakan riwayat pembolehan
ini tidak benar. Saya telah menulis pembahasan itu beserta jawaban terhadap
pendalilan hisab di artikel berjudul Ru’yatul-Hilaal, sehingga kurang berhajat untuk mengulangi.
Btw, atribut atau simbol ru’yatul-hilaal bukan
merk dagang Salafi, tapi ulama dari jaman ke jaman. Bahkan para ulama tersebut
menentang keras pihak-pihak yang menggunaan hisab dalam penentuan awal bulan
tahun Qamariyyah. Akankah mereka disebut Salafi Simbol?. Sepertinya tidak, karena pesakitan yang sedang
diincar di sini adalah Salafi Simbol bentukan Saudi. Duh tragisnya….
Salafi mengkritik Muhammadiyyah bukanlah sesuatu
yang luar biasa. Yang mengkritik Muhammadiyyah bukan hanya Salafi saja. Maaf
jika di sini (terpaksa) dikatakan bahwa sisi pendalilan Muhammadiyyah lemah.
Salafi mengajak pada persatuan kaum muslimin untuk mengikuti keputusan
Pemerintah. Sebagaimana kaedah fiqhiyyah : penghukuman seorang hakim mengangkat
khilaaf (perselisihan). Maka, keputusan yang ditetapkan Pemerintah
seharusnya mengangkat/menghilangkan perselisihan antar berbagai ormas Islam di
Indonesia tentang penentuan bulan baru Hijriyyah.
Dulu ‘Abdullah bin Mas’uud mengikuti keputusan
‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhumaa dalam masalah raka’at
shalat:
عن عبد الرحمن بن يزيد قال : صلّى
عثمان بمنىً أربعاً، فقال عبد اللّه بن مسعود: صليت مع النبي صلى اللّه عليه وسلم
ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، زاد عن حفص: ومع عثمان صدراً من
إمارته ثم أتمّها، …ثمَّ تفرَّقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين
متقبلتين، قال الأعمش: فحدثني معاوية بن قرة عن أشياخه أن عبد اللّه صلى أربعاً
قال: فقيل له: عبت على عثمان ثم صليت أربعاً قال: الخلاف شرٌّ.
Dari ‘Abdurrahman bin Yaziid, ia berkata : ‘Utsman radliyallaahu
‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud
dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi
ﷺ dua raka’at, bersama Abu Bakar dua
raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya,
kemudian beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar),
kemudian kalian berselisih, dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap
menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan Nabi ﷺ)”. Akan
tetapi kemudian Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Maka ditanyakan kepadanya :
“Engkau telah mencela perbuatan ‘Utsman, namun engkau sendiri shalat empat
raka’at ?”. Maka beliau menjawab : “Khilaaf (perselisihan) itu jelek”
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1960; shahih].
Perselisihan itu jelek. Mengikuti keputusan
Pemimpin/Penguasa dalam permasalahan ijtihaadiyyah lebih utama agar
tercipta persatuan kaum muslimin. Muhammadiyyah sendiri mengakui permasalahan
ini adalah ijtihaadiyyah. Dalil yang mereka pakai dilalah-nya dhanniy/tidak
qathi’iy.
Seandainya Bapak Profesor hafidhahullah beserta
jajarannya di Muhammadiyyah melarang dai salafi menggunakan masjid
Muhammadiyyah untuk ta’lim, diantara tujuannya adalah ‘persatuan’
internal kalangan Muhammadiyyah. Seandainya alasan itu dibenarkan, maka
persatuan kaum muslimin dalam hal memulai ibadah puasa, ‘Idul-Fithri, dan
‘Idul-Adlhaa seharusnya lebih dikedepankan. Ini persatuan yang disyari’atkan
yang ada landasannya dalam agama.[21]
NB : Menutup point ini ada yang ingin saya katakan:
Banyak kaum muslimin malu untuk menampakkan syi’ar-syi’ar Islam yang dhahir.
Mereka lebih malu memakai celana setengah senti di atas mata kaki daripada
celana pendek setengah paha. Mereka lebih malu memakai peci dan berjenggot
daripada kaos singlet sambil kebal-kebul pegang Lucky Strike.
Bahkan malah curiga jika ada muslimah berjilbab longgar/besar dan memakai
cadar, karena sudah kebanyakan melihat yang pakai tank top di
sinetron TV. Kaum muslimin kehilangan dignity, karena loyo dalam
semangat pengamalan sunnah. “Yang penting hatinya”, celoteh seorang
artis.
8. Salafi Tidak
Cocok di Indonesia, dan Muhammadiyyah yang Semestinya Dieksport ke Manca Negara
?
Bapak Profesor hafidhahullah berkata: “Nah sekarang Salafi itu, muncul
karena setting sosial politik tadi. Setting sosial politik Arab.
Nah, yang dibawa ke Indonesia. Ini sebenarnya kurang cocok dalam konteks
hubungan orang Indonesia. Yang lebih cocok sekarang ini di dunia, bahkan kalau
perlu Muhammadiyyah yang diekspor. Jangan mengimpor dari luar. Yang
Muhammadiyyah diekspor ke Timur Tengah, diekspor ke Eropa, Australia, ke
Amerika…….” [53:01 – 53:33].
Jika sebelumnya kita telah mengetahui halusinasi
sejarah Bapak Profesor tentang Salafi tidak tepat, maka betapa lucunya lelucon
di atas.
Manhaj Salaf, adalah manhaj Nabi dan para shahabat.
Sudah pasti cocok di semua tempat. Islam tidak mengenal pemahaman
berdasarkan aspek geografis atau organisasi. Islam versi Saudi, versi Papua,
versi Muhammadiyyah, versi NU, versi Karang Taruna, dan versi-versi yang
lainnya. Pemahaman Islam yang benar itu satu. Masalah pokok ‘aqidah tidak boleh
ada beda. Adapun masalah khilafiyyah ijtihadiyyah pada ranah fiqh, maka
di situ ada ruang toleransi. Tapi bukan toleransi tanpa batas sehingga
seenaknya nanti ada orang yang cenderung pada pendapat-pendapat tegas
kelemahannya, syaadz (ganjil), atau keluar dari ijmaa’.
Ekspor-impor dai itu boleh, selama dai itu
mengajarkan kebenaran.
Saya yakin, apa yang dikatakan oleh Bapak Profesor
di atas tidak mewakili entitas Muhammadiyyah. Saya sangat mengapresiasi
perkataan Bapak Profesor bahwa Muhammadiyyah itu bukan Dahlaniyyah (taqlid
kepada pendapat Kiyai Haji Ahmad Dahlan rahimahullah). Hal ini
menandakan sikap positif dari beliau (Bapak Profesor) untuk tidak taqlid
(buta), sekedar mengikuti pendapat tanpa (tahu) dalil. Hal yang setara juga
bisa dikatakan bahwa Muhammadiyyah bukan ‘Tarjiihiyyah’ (harus taqlid kepada
fatwa Majelis Tarjih).
Yang saya tahu dan yakini, Muhammadiyyah adalah
organisasi, bukan paham. Bukan Dahlaniyyah (meminjam perkataan Bapak Profesor),
bukan Syamsuddiiniyyah, bukan Raiisiyyah, dan individu-individu lainnya,
termasuk Bapak Profesor tentu saja. Muhammadiyyah adalah organisasi umat yang
sangat berjasa pada kaum muslimin, khususnya di Indonesia. Banyak kebaikan yang
telah direalisasikan.
Karena salafi bukan perusahaan dan organisasi, maka
Salafi bukan kompetitor Muhammadiyyah. Orang Muhammadiyyah adalah Salafi jika
dirinya berkomitmen untuk menjalankan agamanya berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah menurut pemahaman salaf, sebagaimana sekilas telah dijelaskan di
atas. Tak perlu mendaftar untuk mendapatkan KTA. Anda adalah Salafi meski tidak
membuat akun facebook dan twitter dengan username ‘Al-Atsariy’.
Sekian tulisan ini dibuat. Semoga ada manfaatnya
dan mohon maaf jika ada kekeliruan. Kritik konstruktif tetap terbuka.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – somewhere, 21 Syawwal 1438].
[1] Takhrijnya dapat dibaca di artikel Takhrij Hadits Al-‘Irbaadl bin Saariyyah : Wajib Atas
Kalian untuk Berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafaaur-Raasyidiin.
[2] Takhrijnya dapat dibaca di artikel Hadits Maa Ana ‘alaihi wa Ashhaabii - Apa-apa yang
aku dan para shahabatku berada di atasnya.
[3] Silakan baca artikel Perawi yang Paling Shahih Riwayatnya dalam Hadits Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
والأثرة : الاستئثار والاختصاص
بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء بالدنيا، ولم يوصلوكم
حقكم مما عندهم
“Al-Atsarah
adalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan dunia.
Jadi pengertian hadits itu (yaitu hadits atsarah) adalah : dengar dan
taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka lebih mengutamakan urusan
dunia dan tidak memenuhi hak kalian di sisi mereka yang wajib ditunaikan [Syarh
Shahiih Muslim, 6/225].
وهذه طريقة خيار هذه الأمة قديما
وحديثا وهى واجبة على كل مكلف وهى متوسطة بين طريق الحرورية وأمثالهم ممن يسلك
مسلك الورع الفاسد الناشىء عن قلة العلم وبين طريقة المرجئة وأمثالهم ممن يسلك ملك
طاعة الأمراء مطلقا وأن لم يكونوا أبرارا
“Dan inilah
jalan terbaik umat ini, baik dahulu maupun sekarang, yang wajib bagi setiap mukallaf
(untuk menempuhnya). Jalan ini adalah pertengahan antara (1) jalan yang
ditempuh Haruuriyyah (Khawaarij) dan semisal mereka yang menempuh jalan wara’
yang rusak yang timbul dari minimnya ilmu; dengan (2) jalan yang ditempuh
Murji’ah dan semisal mereka yang menempuh jalan ketaatan terhadap para penguasa
secara mutlak, meskipun mereka (penguasa) bukan orang yang baik/shalih” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 28/508].
Ketaatan
terhadap penguasa hanya pada yang ma’ruuf (sesuai dengan syari’at),
sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ،
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak
ada ketaatan dalam maksiat. Ketaatan hanya pada yang ma’ruuf (sesuai syari’at)”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7257 dan Muslim no. 1840].
[6] Perkataan beliau : “merupakan kekufuran”
maknanya adalah kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari Islam
[7] Selengkapnya silakan baca artikel : ‘Aqiidah Abu Haatim Ar-Raaziy dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy rahimahumallah.
[8] Tragedinya lagi, Bapak Profesor hafidhahullah
sempat merangkai cerita bahwa setelah kejadian Juhaiman tahun 1979 (bukan
1978), maka Pemerintah Saudi – dengan kekayaan minyaknya – mendirikan
universitas-universitas berpaham Salafi Hambali (yang telah dipola), seperti
Universitas Islam Madinah, Ibnu Su’uud, Malik Faishal, Ummul-Qurra’ [25:15 –
25:33].
Sebagai
informasi saja terkait tahun pendirian beberapa universitas yang disebut oleh
Bapak Profesor hafidhahullah:
b. Univeritas Al-Imaam Muhammad bin
Su’uud diresmikan pada tahun 1974 M setelah sebelumnya hanya berstatus
Kuliyyatul-‘Uluumisy-Syar’iyyah yang didirikan tahun 1373 H/1953 M (https://goo.gl/yoPGqz dan https://goo.gl/zBB81H).
c. Universitas Malik Faishal
didirikan tahun 1395 H/1975 M dan diresmikan 2 tahun kemudian yaitu tahun 1397
H/1977 M dengan 4 fakultas (https://goo.gl/n1KWtA).
d. Universitas Ummul-Qurra’
sebenarnya telah eksis sejak tahun 1369 H/1949 M (fase pertama) dalam bentuk
Kuliiyatusy-Syar’iyyah, lalu berkembang menjadi Kuliyyatusy-Syar’iyyah
wat-Tarbiyyah tahun 1379 H/1959 M. Kemudian, Kuliyyatut-Tarbiyyah memisahkan
diri secara independen tahun 1382 H/1962. Setelah sempat digabung dan menjadi
bagian dari Universitas Malik ‘Abdul-‘Aziiz di Jeddah cabang Makkah tahun 1391
H/1971 M, akhirnya berdiri sendiri menjadi Universitas Ummul-Qurra’ melalui
dekrit Raja Khaalid bin ‘Abdil-‘Aziiz tahun 1801 H/1981 M (https://goo.gl/QvuNhy).
Ini perlu
disampaikan agar jangan sampai timbul salah persepsi dari siapa saja yang
mendengar ceramah Bapak Profesor hafidhahullah sehingga menimbulkan
keraguan bagi orang yang ingin belajar di sana. Khawatir nanti lulusannya
menjadi antek Pemerintah akibat cuci otak 4 atau 5 tahun belajar.
Sebagaimana
kita lihat bersama, Pemerintah Saudi mendirikan universitas ini dengan
cikal-bakalnya sebelum – atau bahkan : jauh sebelum – peristiwa Juhaiman.
Pendek kata,
Jaka Sembung makan kedondong, nggak nyambung dong.
[10] Silakan baca pembahasan riwayat ini pada artikel : Islam dan Ahlul-Bait Menolak Kecintaan ‘Berhala’ ala
Syi’ah.
[11] Dapat dibaca melalui aplikasi adroid di Googleplay atau download bukunya versi pdf di sini atau sini.
[12] Jika dikatakan Hasan Al-Bannaa terpengaruh Muhammad
‘Abduh dalam masalah taqriib ini, tidak mengherankan.
[19] Silakan baca : Metode Istinbath NU dan Muhammadiyah dan Majlis Tarjih Muhammadiyah (Pengenalan, Penyempurnaan dan
Pengembangan).
[20] Inilah yang menjadi doktrinase Salafi, tidak fanatik
pada madzhab (baca : bukan anti madzhab) dan perkataan orang tertentu. Hanya
boleh fanatik pada kebenaran dan dalil.
عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَ
ابْنُ سِيرِينَ رَجُلًا بِحَدِيثٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ رَجُلٌ: قَالَ فُلَانٌ: كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ:
أُحَدِّثُكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: قَالَ
فُلَانٌ وَفُلَانٌ: كَذَا وَكذَا، لَا أُكَلِّمُكَ أَبَدًا
Dari
Qataadah, ia berkata : Ibnu Siiriin pernah menceritakan kepada seseorang satu
hadits dari Nabi ﷺ. Orang tersebut berkata :
“Telah berkata Fulaan begini dan begitu”. Maka Ibnu Siiriin berkata : “Aku
menceritakan kepadamu satu hadits dari Nabi ﷺ dan engkau berkata : ‘telah berkata Fulaan begini dan begitu’
?. Aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy
no. 443; shahih].
[21] Bukan persatuan lintas ‘aqidah dan manhaj.
Share Ulang:
- Sumber= http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2017/07/ilusi-tentang-salafi.html?showComment=1500104661052#comment-c298489771749993314
- Cisaat, Nengkelan, CIwidey