Akhir-akhir
ini pemberitaan tentang kejahatan korupsi semakin masif kita temui di
media massa. Masyarakat pun menyikapinya dengan penuh rasa marah dan
murka, karena masih sedemikian banyaknya perilaku koruptif di negeri
kita. Namun sayangnya, sikap yang sama tidak kita jumpai ketika
masyarakat menyikapi dosa syirik. Sungguh
ini adalah keberhasilan setan membuat tipu daya di tengah-tengah kaum
muslimin. Melalui tulisan ini, kami bermaksud untuk menjelaskan dan
mendudukkan permasalahan korupsi ini sesuai dengan porsinya, sehingga
kita bersikap dengan sikap yang tepat dan tidak berlebih-lebihan.
Tingkatan Dosa Korupsi Lebih Rendah daripada Dosa Syirik
Sebagaimana
yang telah kita ketahui, dosa syirik (akbar) adalah dosa yang paling
besar tingkatannya di sisi Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ » ثَلاَثًا . قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ «الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ »
“Maukah aku beritahukan tentang dosa besar yang paling besar?” Beliau mengucapkan pertanyaan ini sebanyak tiga kali. Para sahabat menjawab,”Tentu wahai Rasulullah”. Rasulullah bersabda,”Syirik kepada Allah, dan durhaka kepada orang tua, …” [1]
Kemusyrikan (syirik akbar) juga merupakan salah satu pembatal Islam (nawaqidhul Islam). Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ
بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ
النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka.
Tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah [5]: 72)
Di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala tegaskan bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa syirik jika pelakunya tidak bertaubat sebelum meninggal dunia. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ
أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)
Menyadari hal ini, maka tujuan
utama setan menggoda dan menyesatkan manusia adalah agar manusia
terjerumus ke dalam kemusyrikan karena yang dicari oleh setan adalah
“teman” yang abadi di akhirat, yaitu di neraka. Hal ini tidaklah mungkin
dicapai kecuali menjerumuskan mereka ke dalam kemusyrikan dan kekafiran
yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. [2]
Adapun dosa-dosa besar yang
lainnya, seperti zina, mencuri, dan termasuk juga korupsi, maka levelnya
masih berada di bawah dosa syirik, dan masih ada kemungkinan Allah
Ta’ala ampuni di akhirat kelak, meskipun pelakunya belum bertaubat
ketika meninggal dunia. Maka sungguh aneh ketika kita dapati kampanye
besar-besaran melawan korupsi, dan menjadikannya sebagai program utama
penegakan hukum, namun kita lupa (atau pura-pula lupa) terhadap dosa
kesyirikan. Sampai-sampai, dosa korupsi itu diposisikan seolah-olah
lebih besar tingkatannya dibandingkan dosa syirik. Kemusyrikan dibiarkan dan ditoleransi, dan hanya korupsi yang diberantas.
Realita yang sangat menyedihkan di antara kaum muslimin, kita lihat betapa
marahnya mereka ketika melihat dosa korupsi diberitakan. Namun, hati
siapakah yang marah dan murka ketika melihat hak Allah Ta’ala dilanggar
dengan adanya kesyirikan? Marahkah kita ketika melihat kubur wali disembah, ketika nasi tumpeng dijadikan rebutan untuk diambil berkahnya, dan paranormal yang bebas beraksi di televisi?
Sayangnya, bukannya marah, justru kita sendiri yang ikut larut
menyaksikan acara-acara tersebut di televisi tanpa muncul rasa marah
sedikit pun. Demikianlah, kemarahan dan
kebencian hati kita ketika melihat kesyirikan mungkin masih kalah jauh
daripada rasa marah kita ketika melihat berita tentang korupsi.
Jangan Lupa, Ada yang Lebih Penting daripada Memerangi Korupsi
Sedemikian dahsyatnya dosa syirik, maka kita dapati teladan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan
dakwah tauhid dan memerangi kemusyrikan sebagai prioritas utama beliau
dalam berdakwah sebelum menyeru kepada perintah-perintah syariat yang
lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan kepada umatnya,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ تُفْلِحُوا
“Wahai manusia, katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, niscaya kalian akan beruntung.” [3]
Demikian pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Abasah As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ”Saat
aku di masa jahiliyyah, aku menyangka bahwa manusia berada dalam
kesesatan. Mereka tidaklah memiliki sesuatu apa pun, mereka menyembah
berhala. Aku pun mendengar ada seorang laki-laki di Mekah yang
menyampaikan berita-berita. Maka aku pun pergi ke sana dan
mendatanginya. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang
bersembunyi dari kejahatan kaumnya. Aku pun berjalan perlahan sampai
bisa menemuinya di Mekah. Kemudian aku bertanya kepada beliau,’Siapakah
Engkau?’ Beliau berkata,’Aku seorang Nabi’. Aku bertanya,’Apakah Nabi
itu?’ Beliau menjawab,’Aku diutus oleh Allah’. Aku bertanya lagi,’Dengan
apa Engkau diutus?’ Maka beliau menjawab,
أَرْسَلَنِى بِصِلَةِ الأَرْحَامِ وَكَسْرِ الأَوْثَانِ وَأَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ لاَ يُشْرَكُ بِهِ شَىْءٌ
“Aku diutus untuk menyambung tali persaudaraan, menghancurkan berhala, dan agar mentauhidkan Allah serta tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” [4]
Maka jelaslah bahwa dakwah tauhid menjadi prioritas pertama dan utama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
berdakwah. Hati dan pikiran beliau tidak akan merasa tenang dan damai,
sampai hanya Allah Ta’ala saja yang disembah di muka bumi ini dan
seluruh kesyirikan telah berhasil dilenyapkan. Pada masa kejayaan Islam,
pernah sampai berita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
ada sebuah berhala (Dzul Khalashah) yang masih eksis dan disembah di
daerah Khats’am negeri Yaman dan dijuluki dengan “Ka’bah Yamani”. Mendengar berita itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Jarir bin Abdillah Al-Bajaly radhiyallahu ‘anhu,
أَلاَ تُرِيحُنِى مِنْ ذِى الْخَلَصَةِ
“Tidakkah Engkau melegakanku dari (berhala) Dzul Khalashah?”
Jarir bin Abdillah Al-Bajaly
kemudian berangkat ke negeri Yaman dengan 150 pasukan berkuda dari kaum
Ahmas dan berhasil menghancurkan berhala tersebut dengan cara dibakar. [5]
Ketika mengomentari perkataan Nabi,”Tidakkah Engkau melegakanku …”, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata,
وَالْمُرَاد بِالرَّاحَةِ
رَاحَة الْقَلْب ، وَمَا كَانَ شَيْء أَتْعَبَ لِقَلْبِ النَّبِيّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ بَقَاء مَا يُشْرَك بِهِ مِنْ دُون اللَّه
تَعَالَى
“Yang dimaksud dengan kelegaan di sini adalah kelegaan hati. Dan
tidak ada sesuatu yang lebih memberatkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam daripada tetap eksisnya sesembahan yang disembah selain Allah
Ta’ala.” [6]
Lalu bagaimana mungkin, kita justru disibukkan dengan wacana perang terhadap korupsi, sedangkan hati kita tidak tergerak dan tidak terpanggil sedikit pun untuk menyatakan perang memberantas kesyirikan yang masih merajalela di negeri ini? Dan juga tidak tergerak untuk menyelamatkan kaum muslimin dari dosa syirik? Maka sungguh jauhlah kita dari teladan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sungguh setan telah berhasil memperdaya kita.
Bukanlah maksud kita dengan uraian
ini bahwa dosa korupsi tidak perlu atau tidak penting untuk diberantas.
Akan tetapi, hendaknya kita menempatkan segala sesuatu sesuai dengan
porsinya masing-masing. Ketika kita memiliki perhatian yang sangat besar
terhadap korupsi dan berupaya sekuat tenaga untuk mengampanyekan
perilaku “anti-korupsi”, maka perhatian dan upaya yang jauh lebih besar
juga harus kita tunjukkan untuk memerangi dosa syirik. Jangan sampai
kita tertipu oleh makar dan tipu
daya setan, sehingga kita lebih perhatian terhadap sesuatu yang kurang
urgen, namun lupa terhadap masalah yang lebih urgen dan lebih mendesak
untuk diselesaikan. Ketika setan menjadikan syirik
sebagai tujuan utama “dakwah”-nya, maka hal ini harus kita lawan dengan
menjadikan tauhid dan memberantas syirik sebagai tujuan utama dakwah
kita.
Menyikapi Koruptor, Antara Cinta dan Benci
Salah
kaprah berikutnya adalah bagaimana kita menyikapi pelaku korupsi. Kita
dapati sebagian di antara saudara kita yang juga tidak proporsional
menyikapi pelaku korupsi. Ketika melihat saudaranya yang muslim
melakukan tindak pidana korupsi, maka dia sangat membencinya, dengan
kebencian setinggi langit, sehingga seolah-olah tidak ada kebaikan sama
sekali pada saudaranya muslim tersebut, padahal dia masih beriman (masih
muslim). Rasa cinta kepada saudaranya tersebut pun seakan-akan hilang
tidak tersisa. Dan
bukannya mendoakan saudaranya dengan hidayah dan kebaikan, namun justru
diolok-olok dan direndahkan, misalnya dengan dibuat “meme” di media
sosial, dan sebagainya.
Sebaliknya,
ketika ada pemimpin atau pejabat non-muslim yang (dicitrakan) bersih
dari korupsi, maka dia sanjung dan dia puji setinggi langit,
sampai-sampai rela memberikan kecintaan dan loyalitas (wala’) kepadanya.
Dia berikan kecintaan dan loyalitas kepada orang-orang non-muslim
tersebut, hanya karena (dianggap) bersih dari korupsi. Sampai-sampai
muncullah slogan bahwa pemimpin non-muslim yang bersih dari korupsi itu
lebih baik daripada pemimpin muslim yang korupsi (??).
Padahal,
semulia apapun orang non-muslim dengan akhlak dan perilakunya di dunia,
Allah Ta’ala telah tegaskan bahwa mereka adalah makhluk di muka bumi ini
yang paling jelek. Lupakah (??) kita dengan firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ
فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang
kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik, (akan masuk) ke
neraka jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 6)
Mereka adalah seburuk-buruk makhluk karena
tidak memiliki akhlak sama sekali terhadap Allah Ta’ala, meskipun mereka
tampak berakhlak mulia di hadapan manusia. Dan di akhirat, hal itu
tidak akan bisa menyelamatkannya dari adzab neraka.
Orang-orang
non-muslim, baik orang kafir atau orang musyrik, tidak boleh kita
cintai sama sekali dan harus kita benci. Kita tidak boleh memberikan
loyalitas (wala’) kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman,
تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ
سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ
”Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sungguh
amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka sendiri, yaitu
kemurkaan Allah kepada mereka, dan mereka akan kekal dalam siksaan.” (QS. Al-Maidah [5]: 80)
Allah pun melarang kita untuk
menjadikan orang-orang non-muslim sebagai pemimpin, tanpa memberikan
pengecualian apa pun, misalnya “kecuali mereka itu bersih dari korupsi”.
Allah Ta’ala tidak memberikan pengecualian sama sekali. Allah Ta’ala berfirman,
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ
بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu).
Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 51)
Adapun orang-orang (pejabat) muslim
yang melakukan maksiat dan dosa besar yang levelnya di bawah
kemusyrikan, seperti dosa korupsi, maka tidak boleh kita benci secara
mutlak atau kita benci 100%.
Yang benar, mereka kita cintai karena adanya keimanan dalam diri
mereka, namun kita benci atas tindakan maksiat (korupsi) yang mereka
lakukan. Sehingga terkumpul dalam diri kita rasa cinta sekaligus rasa
benci kepada mereka. Kita tidak boleh membenci mereka saja, dan tidak
mencintainya sama sekali, bahkan berlepas diri dari mereka. Sikap
seperti ini adalah sikap yang berlebih-lebihan dan tidak proporsional. [7]
Demikianlah pembahasan tentang bagaimana
kita menyikapi dosa korupsi dan pelakunya dengan tepat da proporsional.
Semoga bermanfaat untuk kaum muslimin.
***
Selesai disusun Ahad sore menjelang maghrib, Masjid Nasuha Rotterdam NL, 10 Jumadil Ula 1436
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Catatan kaki:
[1] HR. Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 269.
[2] Silakan sibaca kembali tulisan kami tentang “Tujuan Utama Dakwah Setan” di:
[3] HR. Ahmad no. 16066. Syaikh Syu’aib Arnauth dalam ta’liq beliau terhadap Musnad Imam Ahmad (3/492) menyatakan bahwa status hadits ini adalah shahih li ghairihi.
[4] HR. Muslim no. 1967, hadits di atas adalah potongan dari hadits yang panjang.
[5] HR. Bukhari no. 3076 dan Muslim no. 6521.
[6] Fathul Baari, 12/165 (Maktabah Syamilah).
[7] Silakan disimak tulisan kami sebelumnya tentang al-wala’ wal bara’ di:
Artikel Muslim.Or.Id