Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah
dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki
amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah
dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar”
[Al-Ahzab : 70-71]
Dalam ayat lain disebutkan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب
بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ
رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka,
karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa.
Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu
sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang
diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]
Allah juga berfirman.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ
نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ
يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada
urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal
perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk
disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di
dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” [Qaf : 16-18]
Begitu juga firman Allah Ta’ala.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]
Dalam kitab Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ قَالَ : أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَأكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ
اَفَرَاَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنَّ كَانَ فِيْهِ
مَا تَقُولُ فَقَدِاغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَهُ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu
ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih
mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal
tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, “Bagaimana
apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau
menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah
terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya,
berarti kamu telah berdusta atas dirinya”
Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
dimintai pertanggungjawaban” [Al-Israa : 36]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُم ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا
فَيَرضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ سَيْئًا وَأَنْ
تَعتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّ قُواوَيَكْرَهُ
لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَشْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci
kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah
Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada
tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan
Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa
berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan
harta” [1]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكُ ذَلِكَ
لاَمَحَااَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِيْنَا هُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ
زِيْنَا هُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِيْنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ
زِيْنِاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِيْنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ
يَهْوِى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّ بُهُ
“Setiap anak Adam telah mendapatkan bagian zina yang tidak akan bisa
dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat. Zina pada telinga adalah
mendengar. Zina lidah adalah berucap kata. Zina tangan adalah meraba.
Zina kaki adalah melangkah. (Dalam hal ini), hati yang mempunyai
keinginan angan-angan, dan kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau
mengurungkannya” [2]
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim no.64 dengan lafaz.
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ
مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau
menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari
gangguan lisan dan tangannya”.
Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir hadits no. 65
dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin
Umar.
Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadits tersebut.
Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan.
Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah
lalu, yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat
mendatang. Berbeda dengan tangan. Pengaruh tangan tidak seluas pengaruh
lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas
sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga
tidak kalah hebatnya dengan pengaruh tulisan”.
Oleh karena itu, dalam sebuah sya’ir disebutkan :
Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tangannku kan abadi
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tangannku kan abadi
Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda.
مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa
yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan
kepadanya jaminan masuk surga”
Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah
mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.
Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab
Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda.
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”
Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan
hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan
bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata
hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya
tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi,
jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu
apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah
berbicara”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan
kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian
akan lebih banyak diam daripada berbicara”.
Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah
Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya
lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang
yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam.
Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah
orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak
mau jalan”.
Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih
banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu
menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut
hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang
diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan.
Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah
dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu
karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka
perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak
sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.
Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di
bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan
bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut
bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak
bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada
di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin
diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya
berarti tidak paham terhadap agamanya”.
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6477
dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 2988 [3] dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda.
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا
فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang
tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke
dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”
Masalah ini disebutkan pula di akhir hadits yang berisi wasiat Nabi
kepada Muadz yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2616 yang sekaligus
dia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut
Rasulullah bersabda.
وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَ مَنَا خِرِهِِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya ?”
Perkataan Nabi di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu’adz.
يَا نَبِّيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَا خَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ
“Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan ?”
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits ini dalam kitab Jami’
Al-Ulum wa Al-Hikam (II/147), “Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah
balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram.
Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan
atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada
hari kiamat kelak dia akan menuai apa yang dia tanam. Barangsiapa yang
menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan
menunai kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang menanam Sesuatu yang
jelek dari ucapan maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan”.
Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146), “Hal ini
menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya merupakan
pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya
maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur
semua urusannya”.
Kemudian pada hal. 149 beliau menukil perkataan Yunus bin Ubaid, “
Seseorang yang menganggap bahwa lisannya bisa membawa bencana sering
saya dapati baik amalan-amalannya”.
Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Seseorang
yang baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan
orang yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal
perbuatannya”.
Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda.
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ
اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وًِصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ
هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ
هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ
فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ
خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun
menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang
dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang
bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat
dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga
datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta,
menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya
akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya
sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak
kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu
diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”.
Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no. 2564 dari Abu Hurairah, yang akhirnya berbunyi.
بِحَسْبِ امْرِيْ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسلِمَ كُلٌ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya
sesama muslim. Seorang muslim wajib menjaga darah, harta dan kehormatan
orang muslim lainnya”
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya hadits
no. 1739 ; begitu juga Muslim [4] dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah
pernah berkhutbah pada hara nahar (Idul Adha). Dalam khutbah tersebut
beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu, “Hari apakah ini?”
Mereka menjawab, “Hari yang haram”. Beliau bertanya lagi, “Negeri apakah
ini?” Mereka menjawab, “Negeri Haram”. Beliau bertanya lagi, “Bulan
apakah ini ?” Mereka menjawab, “Bulan yang haram”. Selanjutnya beliau
bersabda.
فَإِنَّ دِمَا ئَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُم
حَرَامٌ، كَحُرمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِ كُمْ هَذَا في شَهْرِ كُمْ
هَذَا، فَأَعَادَهَا مِرَارًا، ثُمّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ : اللَّهُمَ
هَلْ بَلَّغْتُ؟ اللَّهُمَ هَلْ بَلَّغْتُ؟
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram bagi
masing-masing kalian (merampasnya) sebagaimana haramnya ; hari, bulan
dan negeri ini. Beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu
berkata, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu)? Ya
Allah, bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu) ?”
Ibnu Abbas mengomentari perkataan Nabi di atas, “Demi Allah yang
jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiat beliau untuk
umatnya. Beliau berpesan kepada kita, ‘Oleh karena itu, hendaklah yang
hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali
kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yaitu kalian saling memenggal
leher”.
Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2674 dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِشْلُ أُجُورِ مَنْ
تَبِعَهُ لآَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى
ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala
seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi
pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada
kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya
tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”
Al-Hafidz Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib (I/65) mengomentari hadits.
إِذَا مَاتَ الْإنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ إِحْدَى ثَلاَثٍ …
“Apabila seorang manusia wafat, maka terputuslah jalan amal kecuali dari tiga perkara …dst”
Beliau berkata, “Orang yang membukukan ilmu-ilmu yang bermanfaat akan
mendapatkan pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari orang yang
membaca, menulis dan mengamalkannya, berdaasrkan hadits ini dan hadits
yang semisalnya. Begitu pula, orang-orang yang menulis hal-hal yang
membuahkan dosa, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya
sendiri dan dosa dari orang-orang yang membaca, menulis atau
mengamalkannya, berdasarkan hadits.
مَنْ سَنَّ سُنَةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً
“Barangsiapa yang merintis perbuatan yang baik atau buruk, maka ….”
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6505 dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda.
إِنَّاللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Sesungguhnya Allah berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka kuizinkan ia untuk diperangi”
[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Penulis Abdul
Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi
Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penerbit : Titian
Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari 2004]
_______Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim hadits no. 1715. Hadits tentang tiga perkara yang dibenci ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Mughirah hadits no.2408 dan diriwayatkan juga oleh Muslim.[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6612 dan Muslim hadits no.2657. Lafaz di atas adalah yang terdapat dalam riwayat Muslim[3]. Tetapi lafaz hadits tersebut adalah yang terdapat dalam riwayat muslim[4]. Tetapi lafaz yang tersebut terdapat dalam riwayat Bukhari