Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Segala
puji hanya untuk Allah Rabb semesta alam, sholawat dan salam semoga
selalu tercurah kehadirat baginda nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, keluarganya dan shahabatnya serta orang-orang
yang selalu mengikuti mereka dengan kebaikan sampai hari kiamat.
Telah
mutawatir berita singgahnya pesawat antariksa di daratan bulan, setelah
percobaan yang berulang-ulang yang mencurahkan kemampuan pemikiran,
materi dan tekhnologi selama bertahun-tahun. Dan berita ini telah
menimbulkan berbagai pertanyaan dan diskusi di antara manusia.
Ada
yang mengatakan bahwa hal itu bertentangan dengan al-Qur’an.
Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa hal itu benar, bahkan
al-Qur’an pun telah menguatkannya.
Orang-orang
yang menyangka bahwa berita itu menyelisihi al-Qur’an mengatakan:
“Bahwa Allah telah memberitakan bahwa bulan itu berada di langit.
Allah berfirman:
تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَآءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُّنِيرًا
“Maha
suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia
menjadikan padanya matahari dan bulan yang
bercahaya”.[(Al-Furqan:61]
Dan Dia juga berfirman:
وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا
“Allah menjadikan padanya bulan sebagai cahaya, dan menjadikan matahari sebagai pelita” [Nuh :16]
Apabila
bulan itu berada di langit maka tidak mungkin mencapai ke sana, karena
Allah telah menjadikan langit sebagai atap bumi yang dijaga. Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai makhluk yang
paling mulia, dan bersamanya malaikat yang paling mulia, yaitu Jibril,
(harus) meminta izin dan minta dibukakan pada tiap-tiap langit pada
malam mi’raj. Mereka berdua tidak bisa langsung masuk kecuali
setelah dibukakan untuk keduanya. Maka bagaimana mungkin hasil karya
manusia bisa singgah di daratan bulan, padahal bulan itu berada di
langit yang dijaga.
Sedangkan
orang-orang yang beranggapan bahwa al-Qur’an menguatkan berita
tersebut, mereka mengatakan: Bahwa Allah berfirman:
يَامَعْشَرَ
الْجِنِّ وَاْلإِنسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَن تَنفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ فَانفُذُوا لاَتَنفُذُونَ إِلاَّ بِسُلْطَانٍ
“Wahai
jama’ah jin dan manusia jika kamu sanggup menembus/melintasi
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak akan bisa
menembusnya melainkan dengan sulthan (kekuatan).” [Al-Rahman: 33]
Sulthan
(kekuatan) yang dimaksud pada ayat di atas adalah ilmu. Sedangkan
mereka mampu melintasi penjuru dunia dengan ilmu, maka perbuatan mereka
ini sesuai dengan Al-Qur’an dan tafsirnya.
Jika
memang terbukti kebenaran berita yang telah mutawatir tentang turunnya
pesawat ruang angkasa di daratan bulan, maka yang nampak bagiku adalah
bahwa al-Qur’an tidak mendustakannya dan tidak membenarkannya.
Tidak ada nash yang jelas di dalam al-Qur’an yang menyelisihinya,
sebagaimana tidak ada di dalam al-Qur’an yang membenarkannya dan
menguatkannya.
A).
Adapun bahwa al-Qur’an tidak menyelisihi berita tersebut, sebab
al-Qur’an adalah firman Allah Azza wa Jalla yang ilmuNya meliputi
segala sesuatu.
Allah mengetahui perkara-perkara yang lampau, maupun perkara-perkara
yang sedang terjadi, dan perkara-perkata yang akan datang, baik yang
dilakukan oleh Allah sendiri maupun yang dilakukan oleh makhlukNya.
Maka setiap yang telah terjadi atau akan terjadi, di langit atau di
bumi, dari perkara yang kecil sampai perkara yang besar, yang nampak
atau pun yang tidak nampak, sesungguhnya Allah mengetahui segalanya,
dan perkara itu tidak akan tejadi kecuali dengan kehendak dan
perintahNya, tidak lagi perdebatan dalam masalah itu.
Apabila
demikian, sedangkan al-Qur’an adalah kalam Allah, dan Allah yang
paling benar perkataanNya, dan siapakah perkataannya yang lebih benar
dari perkataan Allah? Dan perkataanNya adalah sebaik-baik perkataan,
dan paling nyata penjelasannya, dan siapakah perkataannya yang lebih
baik dari perkataanNya? Maka tidaklah mungkin selamanya firmanNya yang
berasal dari ilmuNya, yang merupakan puncak kebenaran dan penjelasan,
bertentangan dengan kenyataan yang bisa dibuktikan. Demikian juga tidak
mungkin selamanya ada kenyataan yang bisa dibuktikan bertentangan
dengan nash al-Qur’an yang nyata.
Maka
barang siapa yang memahami bahwa di dalam al-Qur’an ada sesuatu
hal yang meyelisihi kenyataan, atau bahwa ada kenyataan yang bisa
dibuktikan menyelisihi al-Qur’an, maka pemahamannya itu salah
fatal.
Sedangkan
ayat-ayat yang dianggap oleh sebagian orang menunjukkan keberadaan
bulan di langit, maka pada ayat-ayat itu tidak ada penjelasan nyata
yang menunjukkan bahwa bulan menempel dengan langit, yang langit itu
sebagai atap bumi yang dijaga.
Memang,
zhahir perkataan menunjukkan bahwa bulan berada di langit, akan tetapi
jika telah nyata sampainya pesawat ruang angkasa di daratan bulan, maka
hal tersebut sebagai bukti bahwa bulan tidak berada di langit bumi,
yang merupakan atap bumi yang dijaga, akan tetapi bulan itu berada di
orbit (garis edar) nya, yang terletak di antara langit dan bumi.
Sebagaimana firman Allah:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
“Dan
Dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan,
masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”.
[Al-Anbiya’ 33]
Pada ayat lain Allah berfirman :
لاَالشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَآ أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلاَالَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
“Tidaklah
mungkin bagi matahari untuk mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarannya”
[Yasin:40]
Ibnu
Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Semua itu berputar
sebagaimana alat tenun berputar pada tempat berputarnya.”
Ats-Tsa’laby
dan Al-Mawardi menyebutkan dari Hasan al-Basry bahwa ia pernah berkata:
“Matahari, bulan dan bintang berada pada orbitnya masing-masing
yang terletak di antara langit dan bumi, tidak menempel pada langit,
kalaulah menempel dengannya maka tidak mungkin bisa berputar”.
Al-Qurthubi menyebutkan dari keduanya pada tafsir surat Yasin.
Perkataan
bahwa matahari dan bulan berada orbitnya yang terletak antara langit
dan bumi, hal ini tidak bertentangan dengan apa yang dikahabarkan oleh
Allah bahwa keduanya berada di langit. Karena perkataan langit
terkadang berarti setiap sesuatu yang tinggi. Ibnu Qutaibah berkata:
“Setiap yang ada di atasmu disebut langit”. Jadi arti
matahari dan bulan berada di langit, yaitu berada di ketinggian, atau
di arah langit. Dan ada juga kata “langit” di dalam
al-Qur’an dengan arti ketinggian. Sebagaimana di dalam firman
Allah Azza wa Jalla:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً مُبَارَكًا
“Dan Kami turunkan air yang membawa berkah dari langit (ketinggian)”. [Qaf: 9]
Yang dimaksudkan adalah hujan, dimana hujan turun bukan dari awan yang dijalankan di antara langit dan bumi.
Apabila
memang benar apa yang mereka sebutkan tentang mendaratnya (pesawat
ruang angkasa di) bulan, maka hal itu menambahkan ilmu kepada kita
tentang ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang agung ini. Yaitu
bahwa planet bulan yang besar ini, juga planet lain yang lebih besar,
berputar pada orbitnya yang terletak antara langit dan bumi sampai
waktu yang Allah tentukan, dimana ia tidak berubah, tidak maju dan
tidak mundur dari perjalanan yang telah ditetapkan padanya oleh yang
Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Dan bersamaan dengan itu, kadang-kadang bulan menyinari dengan sempurna
sehingga menjadi bulan purnama, dan kadang-kadang sebagiannya saja yang
bersinar sehingga menjadi bulan biasa atau bulan sabit, yang demikian
itu merupakan ketetapan yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui.
Sedangkan
perkara yang tersebar bahwa bulan berada di langit bumi, bintang
merkuri berada di langit ke dua, venus berada di langit ketiga,
matahari berada di langit ke empat, planet Mars berada di langit ke
lima, Yupiter berada di langit ke enam, dan Saturnus berada di langit
ke tujuh, maka sesungguhnya hal ini diambil dari para ilmuwan
astronomi, yang tidak ada hadits yang shahih dari Rasul. Yang hal
itu ditunjukkan oleh perkataan Ibnu Katsir –yang beliau mempunyai
wawasan yang luas- ketika mengomentari masalah matahari berada pada
langit ke empat, beliau berkata: “Tidak ada di dalam
syari’at yang menafikan hal itu, bahkan penglihatan –yaitu
di waktu terjadi gerhana- menunjukkan tentang hal itu.”
Perkataan
beliau: “Tidak ada di dalam syari’at yang menafikan”,
dan pengambilan dalil yang beliau lakukan tentang kebenaran hal di atas
berdasarkan penglihatan menunjukkan bahwa tidak ada di dalam
syari’at sesuatu yang menetapkan bahwa matahari berada pada
langit ke empat. Wallah a’lam.
B).
Adapun keadaan al-Qur’an yang tidak menunjukkan sampainya pesawat
antariksa ke bulan, karena orang-orang yang menyangka hal itu berdalil
dengan firman Allah:
يَامَعْشَرَ
الْجِنِّ وَاْلإِنسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَن تَنفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ فَانفُذُوا لاَتَنفُذُونَ إِلاَّ بِسُلْطَانٍ
“Wahai
Jin dan manusia jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi maka
lintasilah, kamu tidak akan dapat melintasinya melainkan dengan sulthan
(kekuatan)”. [ar-Rahman: 33]
Mereka menafsirkan kata sulthan (kekuatan) pada ayat tersebut dengan ilmu.
Pengambilan dalil ini tertolak dari berbagai segi:
1. Bahwa rangkaian ayat di atas menunjukkan bahwa tantangan ini akan
terjadi pada hari kiamat nanti. Dan hal itu akan nampak jelas bagi
siapa saja yang membaca surat tersebut dari awal. Karena pada awal
surat ini Allah menyebutkan permulaan penciptaan jin dan manusia dan
apa-apa yang ada di penjuru langit dan bumi yang Allah tundukkan
terhadap para hambaNya. Kemudian Allah menceritakan akan binasanya apa
saja yang ada padanya. Kemudian Allah berfirman:
سَنَفْرُغُ لَكُمْ أَيُّهَ الثَّقَلاَنِ
“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jin”. [Ar-Rahman : 31]
Makna
dari ayat di atas adalah perhitungan Allah terhadap makhlukNya (jin dan
manusia), kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menantang makhlukNya
dari golongan jin bahwa tidak ada tempat pelarian buat mereka, baik
dari penjuru langit maupun dari penjuru bumi. Maka mereka tidak akan
bisa lari, dan mereka tidak memiliki kekuatan untuk saling menolong
sehingga selamat dari hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan
kemudian Allah mengiringinya dengan menyebutkan balasan untuk orang
yang berbuat jelek dengan balasan yang setimpal, dan untuk orang yang
berbuat kebaikan dengan apa yang mereka harapkan.
Tidak
ada keraguan bahwa susunan (rangkaian) perkataan itu menjelaskan dan
menentukan arti. Mungkin ada kalimat yang sesuai pada satu tempat akan
tetapi tidak sesuai (maknanya) pada tempat yang lain.
Anda
mungkin kadang melihat satu kalimat yang mempunyai dua makna yang
saling bertentangan, tetapi maksudnya dapat ditentukan dari keduanya
berdasarkan rangkaian/susunan perkataan. Sebagaimana hal itu dikenal
pada kata-kata yang memiliki arti yang bertentangan di dalam bahasa
(Arab).
Kalau
dimungkinkan ayat yang mulia tersebut merupakan berita tentang apa yang
akan terjadi di dunia, tetapi sesungguhnya ayat tersebut pada posisi
ini tidak sesuai sebagai berita tentang apa yang terjadi di dunia,
bahkan telah pasti -berdasarkan rangkaian yang mendahului dan menyusul
ayat tersebut- bahwa ayat tersebut merupakan ancaman dan pernyataan
tidak mampu yang akan terjadi pada hari kiamat.
2.
Sesungguhnya seluruh ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat tersebut
merupakan ancaman dan pernyataan tidak mampu (terhadap para
jama’ah jin dan manusia), dan mayorits ahli tafsir menyatakan
bahwa hal itu akan terjadi pada hari kiamat.
Syaikh Muhammad al-Amin as-Syanqity berkomentar tentang ayat ini di dalam surat al-Hijr pada firman Allah:
وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِي السَّمَآءِ بُرُوجًا وَزَيَّنَّاهَا لِلنَّاظِرِينَ
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit)
dan Kami telah menghiasi langit bagi orang-orang yang
memandanginya”. [Al Hijr:16-17]
Syaikh
Muhammad al-Amin as-Syanqity mensifati orang yang menganggap bahwa ayat
itu mengisyaratkan (manusia) dapat mencapai ke langit sebagai orang
yang tidak mempunyai ilmu terhadap kitab Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
3.
Sesungguhnya jikalau ayat tersebut merupakan berita tentang apa yang
akan terjadi, maka makna ayat itu adalah: “Wahai jama’ah
jin dan manusia sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menembus
(melintasi) penjuru langit dan bumi kecuali dengan ilmu”. Kalau
demikian, maka itu merupakan sesuatu yang sudah nyata (tidak perlu
diberitakan). Karena sesungguhnya segala sesuatu tidaklah bisa dicapai
kecuali dengan mengilmui sebab-sebab untuk mencapainya dan mampu untuk
melaksanakannya.
Maka
arti tersebut menghilangkan keindahan dari makna dan posisi ayat.
Karena ayat itu dimulai dengan peringatan yang keras, yaitu dengan
firman Allah:
سَنَفْرُغُ لَكُمْ أَيُّهَ الثَّقَلاَنِ
“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jin”. [ar-Rahman :31]
Kemudian diiringi dengan ancaman yang keras di dalam firmanNya:
يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِّن نَّارٍ وَنُحَاسٌ فَلاَ تَنتَصِرَانِ
“Kepadamu
(jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu
tidak dapat menyelamatkan diri(daripadanya)”. [Ar-Rahman : 35]
4.
Nampak sekali bahwa ayat ini menunjukkan tentang tantangan (Allah
Subhanahu wa Ta’ala terhadap jin dan manusia). Karena:
a). Rangkaian ayat, baik sebelum ataupun sesudahnya.
b). Bahwa disebutkannya jama’ah jin dan manusia bersama-sama
sebagai satu jama’ah, hal itu semisal firman Allah Subhanhu wa
Ta’ala :
قُل
لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ اْلإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ
هَذَا الْقُرْءانِ لاَيَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْكَانَ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah:
“Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat
yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi
sebagian yang lain”. [Al-Israa:88]
c).
Bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : إِنِ اسْتَطَعْتُمْ (Jika
kamu sanggup), nyata sebagai tantangan (Allah Subhanahu wa Ta’ala
terhadap/kepada jin dan manusia), apalagi ayat itu menggunakan kata
(إنْ), bukan dengan kata إذا karena إذا menunjukkan kemungkinan
terjadinya syarat, berbeda dengan kata إنْ
5.
Sesungguhnya jika arti dari ayat tersebut sebagai berita, maka
menngandung pujian bagi mereka, dimana mereka bisa mengerjakan dan
menyelidiki apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala cemoohkan mereka,
sehingga mereka dapat singgah di bulan. Sedangkan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya tidak bisa menggapainya,
padahal mereka adalah orang-orang yang paling cepat mengerjakan
perintah yang diserukan oleh Qur’an.
6.
Sesungguhnya hukum di dalam ayat yang mulia mencakup jin dan manusia,
padahal telah maklum bahwa ketika turunnya al-Qur’an jin mampu
melintasi dari penjuru bumi menuju ke penjuru langit, sebagaimana Allah
l menceritakan tentang mereka:
وَأَنَّا
لَمَسْنَا السَّمَآءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا
وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَن يَسْتَمِعِ
اْلأَنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا
“Dan
sesungguhnya kami (para jin) telah mencoba mengetahui (rahasia) langit,
maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah
api yang mengintai (untuk membakarnya)” [Al-Jin: 8-9]
Kalau
demikian, maka bagaimana Allah menyatakan mereka lemah terhadap sesuatu
yang mereka mampu melakukannya (melintasi penjuru bumi dan langit).
Apabila ada yang berkata: “Sesungguhnya mereka tidak bisa
(melintasi penjuru langit dan bumi) setelah diutusnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka kami katakan bahwa ini menunjukkan bahwa
maksud ayat itu untuk menyatakan mereka lemah, bukan sebagai berita.
7. Bahwa ayat yang mulia tersebut diiringi dengan firman Allah:
يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِّن نَّارٍ وَنُحَاسٌ فَلاَ تَنتَصِرَانِ
“Kepada
kamu (jin dan manusia) akan dilepaskan nyala api dan cairan tembaga,
maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri dari padanya”.
[Ar-Rahman: 35]
Dan
makna ayat tersebut adalah–Wallahu A’lam-:
“Sesungguhnya kamu wahai jama’ah jin dan manusia, jika kamu
berusaha melintasi langit maka Allah benar-benar akan melepaskan
kepadamu nyala api dan cairan tembaga”. Padahal sudah diketahui
bahwa roket-roket (pesawat-pesawat antariksa) itu tidak dikejar oleh
nyala api dan cairan tembaga, maka bagaimana mungkin hal itu adalah
yang dimaksudkan oleh ayat tersebut.
8.
Penafsiran mereka arti dari kata “sulthan” dalam ayat
tersebut dengan ilmu perlu dilihat kembali. Karena kata
“sulthan” itu berarti sesuatu yang mempunyai kekuasaan yang
dimiliki oleh seseorang terhadap apa yang ingin dia kuasai atau dia
kalahkan, sehingga maknanya berbeda sesuai dengan kedudukan/posisi.
Jika berada pada posisi perbuatan dan yang semacamnya, maka yang
dimaksudkan adalah kekuatan dan kekuasaan. Allah berfirman:
إِنَّهُ
لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ
وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
“Sesungguhnya
syaitan itu tidak memiliki sulthan (kekuasaan) atas orang-orang yang
beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya
(syaithan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimin dan
atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah” [An-Nahl :
99-100]
Kata
“sulthan” pada ayat ini artinya adalah kekuasaan, tidak
sesuai jika diartikan dengan “ilmu”. Demikian pula kata
“sulthan” pada ayat yang sedang kita bahas, karena
“melintasi” (penjuru langit dan bumi) merupakan
perbuatan/pekerjaan yang membutuhkan kekuatan dan kemampuan, dengan
ilmu saja tidaklah cukup. Mereka tidak akan sampai singgah ke bulan
hanya dengan ilmu saja, akan tetapi dengan ilmu dan kekuatan/kemampuan
serta sebab-sebab/jalan-jalan yang Allah tundukkan untuk mereka. Dan
apabila kata “sulthan” digunakan di saat perdebatan, maka
maksud kata itu adalah bukti dan alasan yang bisa mengalahkan musuhnya.
Allah berfirman:
إِنْ عِندَكُم مِّن سُلْطَانٍ بِهَذَآ
“Kamu tidak mempunyai sulthan (hujjah) tentang ini”. [Yunus ; 68]
Sulthan
di sini berarti alasan dan bukti. Dan tidak ada di dalam
al-Qur’an kata sulthan dengan arti ilmu semata-mata. Bahkan akar
kata sulthan menunjukkan bahwa yang dimaksudkan sesuatu yang memiliki
kekuasaan, kemampuan dan kemenangan bagi seorang.
Jelas
sudah bahwa ayat yang mulia tersebut tidak mengisyaratkan tentang
peristiwa mendaratnyan pesawat ruang angkasa di bulan. Dan berbagai
sisi yang telah kita sebutkan tadi ada yang nampak jelas, dan ada pula
yang membutuhkan perenungan. Kami memperingatkan hal itu hanyalah
karena khawatir dari menafsirkan kalam Allah dengan apa yang tidak
dikehendaki oleh kalam Allah tersebut. Karena yang demikian itu
mengandung dua bahaya:
a. Menyelewengkan kalimat-kalimat dari tempat-tempatnya, yaitu dengan mengeluarkan dari maksud arti yang sebenarnya.
b. Berkata atas Allah tanpa ilmu. Karena dia menganggap bahwa Allah
menginginkan arti ini, padahal itu menyelisihi susunan ayat.
Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas hamba-hambaNya dari berkata
atas Allah dengan apa yang ia tidak mereka ketahui.
Masalah
terakhir adalah : Apabila memang benar berita tentang turunnya pesawat
antariksa di daratan bulan, yang dipertanyakan adalah, apakah mungkin
manusia juga dapat menetap di daratannya (hidup di bulan-red)?
Jawab:
Yang nampak dari keterangan al-Qur’an, hal semacam ini tidak
mungkin terjadi, dikarenakan manusia tidaklah mungkin bisa hidup
kecuali di bumi. Allah berfirman:
فِيهَا تَحْيَوْنَ وَفِيهَا تَمُوتُونَ وَمِنْهَا تُخْرَجُونَ
“Allah
berfirman: “Di bumi itu kamu hidup dan di di bumi itu kamu mati,
dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan”.
[Al-A’raf: 25]
Dalam
ayat di atas Allah membatasi kehidupan, kematian dan kebangkitan adalah
di bumi. Bentuk pembatasan dalam ayat ini adalah mendahulukan sesuatu
yang pada dasarnya harus diakhirkan. [1] Semacam ayat ini adalah firman
Allah:
مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى
“Dari
bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu, dan kepadanya Kami akan
mengembalikan kamu, dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada
kali yang lain”. [Thaha: 55]
Yaitu
Allah membatasi permulaan ciptaan dari bumi, dan bahwa ke bumi-lah kita
akan dikembalikan setelah kematian, dan dari bumi pula kita akan
dibangkitkan dari kematian di hari kiamat. Sebagaimana juga ada
ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa bumi adalah sebagai tempat
kehidupan manusia. Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَن لَّسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ
“Dan
Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan
(Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan
pemberi rezeki kepadanya”. [Al Hijr:20]
Zhahir
al-Qur’an -tanpa keraguan lagi- menjelaskan bahwa tidak ada
kehidupan buat manusia kecuali di bumi ini, yang dari bumi ini manusia
diciptakan, dan kepadanya ia akan dikembalikan, dan darinya ia akan di
bangkitkan.
Maka
kita wajib meyakini zhahir al-Qur’an tersebut, dan jangan sampai
persangkaan kita di dalam mengagungkan kreasi makhluk menjauhkan kita
sehingga menyelisihi zhahir al-Qur’an dengan perkiraan.
Kalau
seandainya ada seorang manusia mampu turun (hidup) di daratan bulan,
dan hal itu nyata dan pasti, maka dimungkinkan untuk membawa pengertian
kehidupan dalam ayat tersebut ialah kehidupan yang tetap secara
jama’ah seperti layaknya kehidupan manusia di bumi, sedangkan hal
ini mustahil. Allah a’lam
Dan
selanjutnya, bahwa pembahasan dalam masalah ini bisa jadi termasuk ilmu
yang tidak diperlukan, seandainya tidak adanya pembahasan dan diskusi
sehingga sebagian orang berlebih-lebihan menolak dan mengingkarinya
sedangkan sebagian yang lain berlebih-lebihan di dalam menerima dan
menetapkannya.
Golongan
pertama menjadikan berita itu bertentangan dengan al-Qur’an,
sedankan golongan lain menguatkannya dengan al-Qur’an. Maka aku
ingin menulis apa yang sudah tercantum di sini dengan sebatas
pemahamanku yang dangkal dan ilmuku yang terbatas.
Dan
aku memohon kepada Allah supaya Ia Subhanahu wa Ta’ala
menjadikannya ikhlas karena mengharap wajahNya, bermanfaat untuk
hamba-hambaNya. Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Rabb semesta alam, sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan para
sahabat-shahabatnya.
[Diterjemahkan
oleh Mahrus dari Risalah Haula Ash-Shu’ud Ilal Qamar, di dalam
kitab Majmu’ Fatawa Wa Rasail Fadhilatus Syeikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, V/319-327]
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 05//Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
Footnote
[1]. Yaitu semestinya adalah: “Kamu hidup di bumi itu dan kamu
akan mati di di bumi itu, dan (pula) kamu akan dibangkitkan dari bumi
itu, tetapi pada ayat itu kata “di bumi” diletakkan di
depan, menurut kaedah bahasa Arab hal ini menunjukkan sebagai pembatas
-red
Share Ulang:
- Gn. Manggala Wanabhakti, Lantai 11, Jakarta
- from= https://almanhaj.or.id/2697-risalah-sekitar-berita-manusia-singgah-di-bulan.html