Munculnya Bid’ah “Lafdziyyah” dan Bid’ah “Al-Waaqifah”
Setelah munculnya penyimpangan Jahmiyyah yang mengatakan bahwa
Al-Qur’an itu makhluk, muncul lagi bid’ah yang baru, yaitu bid’ah lafdziyyah dan bid’ah al-waaqifah.
Bid’ah lafdziyyah adalah perkataan yang dipopulerkan oleh pengikut Jahmiyyah,
لَفْظِي بِالْقُرْآنِ مَخْلُوقٌ
“Lafadzku terhadap Al-Qur’an adalah makhluk.”
Sedangkan bid’ah al-waaqifah adalah perkataan mereka,
لَا أَدْرِي مَخْلُوق أَو لَيْسَ بمخلوق
“Aku tidak mengetahui (tawaqquf atau abstain), apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk.”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata dalam Al-Ushuul As-Sunnah,
وَإِيَّاك ومناظرة من أحدث فِيهِ وَمن
قَالَ بِاللَّفْظِ وَغَيره وَمن وقف فِيهِ فَقَالَ لَا أَدْرِي مَخْلُوق
أَو لَيْسَ بمخلوق وَإِنَّمَا هُوَ كَلَام الله فَهَذَا صَاحب بِدعَة مثل
من قَالَ هُوَ مَخْلُوق وَإِنَّمَا هُوَ كَلَام الله لَيْسَ بمخلوق
“Jauhilah berdebat dengan orang yang mengada-ada dalam masalah ini
(yaitu, yang berkata kalau Al-Qur’an itu makhluk, pen.) dan dengan
orang-orang lafdziyyah atau yang lainnya, atau dengan orang yang
tawaquf (abstain) dalam masalah ini, yaitu yang berkata, “Aku tidak
mengetahui apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk, akan tetapi
yang jelas Al-Qur’an itu kalamullah.” Orang seperti ini adalah ahlul
bid’ah, semisal dengan orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu
makhluk. (Keyakinan ahlus sunnah adalah) Al-Qur’an itu kalamullah dan
bukan makhluk.”
Yang pertama kali mencetuskan ide lafdziyyah adalah seseorang bernama Husain bin ‘Ali Al-Karabisi (wafat tahun 245 H) di masa Imam Ahmad rahimahullah. Adz-Dzahabi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
فَأَوَّلُ مَنْ أَظْهَرَ مَسْأَلَةَ اللَّفْظِ حُسَيْنُ بنُ عَلِيٍّ الكَرَابِيْسِيُّ
“Orang yang pertama kali mempopulerkan lafdziyyah adalah Husain bin ‘Ali Al-Karabisi.” (Siyar A’laam An-Nubalaa, 11/289)
Bid’ah lafdziyyah hanyalah ingin membuat masalah menjadi kabur. Karena perkataan “lafadzku” bisa bermakna dua hal yang berbeda:
Pertama, “lafadz” dalam arti “suara manusia”, yang dihasilkan
dari gerakan mulut, bibir, gigi dan lidah serta dihasilkan oleh pita
suara. Maka suara manusia adalah makhluk, apa pun yang diucapkan, baik
itu Al-Qur’an atau bukan Al-Qur’an.
Ke dua, “lafadz” dalam arti “apa yang diucapkan”. Jika yang
diucapkan adalah Al-Qur’an, maka Al-Qur’an itu bukan makhluk, akan
tetapi kalamullah. Sedangkan jika yang diucapkan adalah selain
Al-Qur’an, maka hal itu tentu saja makhluk.
Ucapan semacam ini hanyalah dimunculkan oleh Jahmiyyah untuk membuat
aqidah menjadi kabur dan rancu. Pada asalnya, ucapan ini tidak kita
benarkan, tidak pula kita salahkan, karena memang ada kemungkinan benar
dan salah. Akan tetapi, karena sebetulnya yang mereka maksudkan adalah
makna yang ke dua, namun mereka sengaja memakai kalimat yang multi
tafsir supaya tidak tampak nyata penyimpangan mereka, maka para ulama
pun kemudian melarang ucapan semacam ini. Ucapan inilah yang kemudian
menjadi syi’ar di antara syi’ar-syi’ar kelompok Jahmiyyah untuk
menimbulkan kerancuan aqidah di tengah-tengah kaum muslimin.
Oleh karena itulah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,
مَنْ قَالَ لَفْظِي بِالْقُرْآنِ مَخْلُوقٌ فَهُوَ جَهْمِيُّ
“Barangsiapa berkata, “lafadzku terhadap Al-Qur’an itu makhluk”, maka dia adalah pengikut Jahmiyyah.” (As-Sunnah no. 181, karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal)
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah mendengar dari ayahnya (Imam Ahmad) ketika ditanya tentang ucapan lafdziyyah. Imam Ahmad berkata,
هُمْ جَهْمِيَّةٌ وَهُوَ قَوْلُ جَهْمٍ، ثُمَّ قَالَ: لَا تُجَالِسُوهُمْ
“Mereka adalah Jahmiyyah. Itu adalah ucapan kelompok Jahmiyyah.” Kemudian Imam Ahmad berkata, “Janganlah kalian duduk bersama mereka.” (As-Sunnah no. 182, karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal)
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Aku mendengar ayahku (Imam Ahmad) berkata,
مَنْ قَالَ لَفْظِي بِالْقُرْآنِ مَخْلُوقٌ هَذَا كَلَامُ سُوءٍ رَدِيءٌ وَهُوَ كَلَامُ الْجَهْمِيَّةِ
“Barangsiapa yang berkata bahwa ‘lafadzku terhadap Al-Qur’an adalah
makhluk’, ini adalah ucapan yang jelek dan hina. Ini adalah ucapan
Jahmiyyah.”
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Sesungguhnya Al-Karabisi mengucapkan yang demikian itu?”
Imam Ahmad rahimahullah kemudian berkata
كَذَبَ – هَتَكَهُ اللَّهُ – الْخَبِيثُ
“Orang yang kotor itu (Al-Karabisi) telah berdusta, semoga Allah menghancurkannya.” (As-Sunnah, no. 186)
Kemudian tentang bid’ah al-waaqifah, ‘Utsman bin Sa’iid Ad-Daarimi rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 280 H) berkata dalam kitab beliau yang khusus membantah Jahmiyyah,
ثُمَّ إِنَّ نَاسًا مِمَّنْ كَتَبُوا
الْعِلْمَ بِزَعْمِهِمْ وَادَّعَوْا مَعْرِفَتَهُ وَقَفُوا فِي الْقُرْآنِ،
فَقَالُوا: لَا نَقُولُ مَخْلُوقٌ هُوَ وَلَا غَيْرُ مَخْلُوقٍ، وَمَعَ
وُقُوفِهِمْ هَذَا لَمْ يَرْضَوْا حَتَّى ادَّعَوْا أَنَّهُمْ يَنْسُبُونَ
إِلَى الْبِدْعَةِ مَنْ خَالَفَهُمْ وَقَالَ بِأَحَدِ هَذَيْنِ
الْقَوْلَيْنِ.
“Kemudian manusia yang menulis ilmu -menurut persangkaan mereka- dan
mengklaim memahami ilmu, mereka abstain dalam masalah Al-Qur’an. Mereka
berkata, “Kami tidak mengatakan (Al-Qur’an itu) makhluk, dan tidak pula mengatakan (Al-Qur’an itu) bukan makhluk.”
Bersama dengan sikap abstain mereka, mereka tidaklah ridha sampai
mereka memvonis bid’ah bagi siapa saja yang menyelisihi ucapan mereka.
Mereka (Jahmiyyah) pun berkata dengan salah satu dari perkataan ini (lafdziyyah atau al-waaqifah, pen.)” (Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah, hal. 193)
Sehingga orang-orang yang abstain (al-waaqifah), maka
hakikatnya mereka sedang memelihara kebodohan. Bagaikan seseorang
berdiri di tanah lapang di siang hari bolong yang terik, lalu dia
mengatakan, “Aku tidak mengetahui, apakah sekarang ini masih siang
ataukah sudah malam?”
Hal ini karena dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah jelas menunjukkan
bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk, tanpa meninggalkan
keraguan sedikit pun. Sehingga ketika mereka “ngotot” mengatakan, “Saya
tidak tahu, apakah makhluk atau bukan makhluk?”, hal ini nyata-nyata
berpaling dari hidayah (petunjuk). Oleh karena itu, Imam Ahmad rahimahullah memvonis mereka sebagai ahlul bid’ah karena ucapan semacam ini tidak pernah dikatakan oleh satu pun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terbaik setelahnya.
***
Diselesaikan di sore hari, Rotterdam NL, 27 Rajab 1439/14 April 2018
Penulis: M. Saifudin Hakim
Referensi:
Syarh Al-Ushuul As-Sunnah lil Imam Ahmad bin Hanbal, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’iid Raslaan hafidzahullah, Jilid 1 hal 279-287 (penerbit Daarul Minhaj, cetakan ke dua tahun 1437).
Diraasaatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’iid Raslan hafidzahullah, hal. 187-189 (penerbit Daarul Minhaj, cetakan pertama tahun 1436).
____________________________
Share
Ulang
- Citramas, Cinunuk.
- from= https://muslim.or.id/39144-sifat-kalam-antara-aqidah-ahlus-sunnah-jahmiyyah-dan-asyariyyah-06.html