Aqidah Imam Asy-Syafi’i rahimahullah Mengenai Sifat Kalam Allah dan Al-Qur’an
Imam Asy-Syafi’i hidup sezaman dengan awal-awal kemunculan fitnah
golongan yang menyimpang, bahkan pernah berdebat dengan tokoh-tokoh
generasi pertama mereka. Beliau memperingatkan mereka, dan juga
mengingatkan umat Islam akan ancaman mereka yang berbahaya, serta
menyeru agar masyarakat menjauhi mereka. Bahkan, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah telah memvonis kafir sebagian dari orang-orang yang menyimpang dari aqidah ahlus sunnah dalam masalah kalamullah, seperti Hafsh Al-Fard.
Al-Baihaqi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dengan sanad
beliau sampai kepada Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (yaitu
Imam Asy-Syafi’i), Imam Asy-Syafi’i raimahullah berkata,
القرآن كلام الله غير مخلوق
“Al-Qur’an adalah kalamullah, dan bukan makhluk.” (Al-Manaaqib, 1/407)
Al-Baihaqi Asy-Syafi’i rahimahullah juga meriwayatkan dengan
sanadnya yang sampai kepada Abu Syu’aib Al-Mishri. Abu Syu’aib berkata
bahwa beliau mendatangi rumah Imam Asy-Syafi’i dan bersama beliau ada
Yusuf bin ‘Amr bin Yazid dan ‘Abdullah bin Hakam. Lalu datanglah Hafsh
Al-Fard, seorang tokoh ahli kalam (filosof) yang sering mengajak
berdebat.
Hafsh Al-Fard berkata kepada Yusuf, “Apa keyakinanmu tentang Al-Qur’an?”
Yusuf berkata, “(Al-Qur’an adalah) kalamullah. Aku tidak memiliki keyakinan selain ini.”
Setelah itu, mereka mengarahkan kepada Imam Asy-Syafi’i, sehingga
Hafsh pun menghadap kepada beliau dan berkata, “Mereka semua meminta
(untuk bertanya) kepadamu.”
Imam Asy-Syafi’i menjawab, “Tinggalkanlah debat semacam ini.” Namun Hafsh terus mendesak beliau.
Imam Asy-Syafi’i pun bertanya kepada Hafsh, “Apa keyakinanmu tentang Al-Qur’an?”
Hafsh menjawab, “Al-Qur’an itu makhluk.”
Imam Asy-Syafi’i pun bertanya lagi, “Dari mana Engkau mengatakan itu?”
Hafsh tetap mengatakan demikian (Al-Qur’an itu makhluk), sementara
Asy-Syafi’i tetap membantahnya dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an itu
kalamullah dan bukan makhluk. Akhirnya, beliau mengkafirkan Hafsh dan
memutuskan untuk tidak mempedulikannya.” (Al-Manaaqib, 18/56)
Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi melalui sanad
lainnya dari Ar-Rabi’ bin Sulaiman. Pada bagian akhir kisah, dia
mengatakan bahwa Hafsh berkata,
أراد الشافعي قتلي
“Asy-Syafi’i ingin membunuhku.”
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata, “Ketika Asy-Syafi’i berbicara kepada
Hafsh, Hafsh mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Lalu Asy-Syafi’i
mengatakan,
كفرت بالله العظيم
“Engkau (Hafsh) telah kafir terhadap Allah Yang Maha Agung.” (Al-Manaaqib, 1/407) [1]
Dari sini, jelaslah bahwa aqidah Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah
di atas aqidah sunnah, dan beliau memberikan pembelaan terhadap aqidah
yang lurus ini. Hal ini sekaligus menepis anggapan sebagian orang bahwa
beliau hanya pakar dalam bidang fiqh, namun bukan pakar di bidang
aqidah. Bagaimana mungkin kita katakan bahwa beliau (hanya) pakar di
bidang fiqh, padahal beliau hidup di tengah-tengah fitnah (kerusakan)
Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, dan kelompok menyimpang lainnya dalam
masalah aqidah, dan beliau membantah mereka semua dengan ilmu dan hujjah
yang ada pada diri beliau. Semoga hal ini bisa menjadi bahan
renungan bagi saudara-saudara kita yang (mengaku) mengikuti madzhab
Asy-Syafi’i dalam masalah fiqh, namun mengikuti Asy’ariyyah dalam
masalah aqidah.
Aqidah Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah tentang Kalamullah
Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah, setelah beliau beraqidah
dengan aqidah Mu’tazilah sampai berusia sekitar 40 tahun, akhirnya
bertaubat dan memeluk aqidah ahlus sunnah di akhir kehidupannya [2]. Hal ini tampak pula dengan perkataan-perkataan beliau tentang sifat kalam di salah satu kitab terahir beliau, yaitu kitab Al-Ibaanah.
Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,
ونقول: إن كلام الله غير مخلوق
“Kami mengatakan: sesungguhnya kalam Allah bukanlah makhluk.” (Al-Ibaanah, hal. 219)
Beliau rahimahullah juga berkata,
ونقول: إن كلام الله غير مخلوق، وأن من قال بخلق القرآن فهو كافر.
“Kami mengatakan: sesungguhnya kalam Allah bukanlah makhluk.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, dia telah
kafir.” (Al-Ibaanah, hal. 226)
Tidak berhenti sampai di sini, beliau rahimahullah juga
membahas panjang lebar tentang dalil-dalil penetapan sifat kalam Allah,
dan juga mendebat golongan Jahmiyyah yang mengatakan Al-Qur’an adalah
makhluk. Hal ini tidaklah mengherankan karena beliau lama bergelut
dengan aqidah Mu’tazilah dan ilmu kalam sehingga sangat paham tentang
cara, metode, dan logika berpikir mereka, yang nenek moyangnya tidak
lain dan tidak bukan adalah Jahmiyyah itu sendiri. Ketika Jahmiyyah dan
Mu’tazilah menggunakan akal untuk mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk,
maka Abul Hasan Al-Asy’ari menggunakan dalil-dalil akal pula untuk
merontokkan dalil-dalil akal logika mereka. [3]
Di antara argumentasi beliau, Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,
ويلزم من يثبت أن كلام الله مخلوقا أن
يثبت أن الله غير متكلم ولا قائل، وذلك فاسد، كما يفسد أن يكون علم الله
مخلوقا، وأن يكون الله غير عالم.
“Konsekuensi dari mengatakan bahwa kalam Allah itu makhluk adalah
menetapkan bahwa Allah itu tidak bisa berbicara (bisu), dan keyakinan
ini adalah fasid (rusak). Sebagaimana rusaknya (keyakinan) bahwa ilmu
Allah adalah makhluk, sehingga jadilah Allah itu tidak memiliki ilmu.” (Al-Ibaanah, hal. 309)
Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata mendebat Jahmiyyah,
ويجب عليهم إذا زعموا أن كلام الله لموسى
خلقه في شجرة؛ أن يكون من سمع كلام الله عز وجل من ملك أو من نبي أتى به
من عند الله أفضل مرتبة من سماع الكلام من موسى؛ لأنهم سمعوه من نبي ولم
يسمعه موسى من الله عز وجل، وإنما سمعه من شجرة
“Konsekuensi dari persangkaan mereka bahwa kalam Allah kepada Musa
itu diciptakan di sebuah pohon, maka siapa saja yang mendengar kalam
Allah yang datang dari Allah melalui malaikat atau Nabi, itu lebih utama
kedudukannya daripada (mendengarnya) Musa. Karena mereka mendengar
kalam Allah melalui Nabi, sedangkan Musa tidaklah mendengar dari Allah,
karena Musa hanyalah mendengar melalui pohon.” (Al-Ibaanah, hal. 315)
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan keteguhan Abul Hasan Al-Asy’ari
dalam memegang aqidah ahlus sunnah yang berkaitan dengan sifat kalam
Allah.
[Bersambung]
***
Diselesaikan menjelang maghrib, Rotterdam NL, 24 Rajab 1439/11 April 2018
Penulis: M. Saifudin Hakim
Catatan kaki:
[1] Dikutip dari: Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbaatil ‘Aqidah, karya Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Al-‘Aqil, penerbit Adhwa’ As-Salaf, cetakan pertama, tahun 1429, hal. 363-365.
[2] Silakan dilihat kembali tulisan kami:
https://muslim.or.id/38054-sifat-allah-apakah-hanya-tujuh-atau-dua-puluh-01.html
[3] Al-Ibaanah ‘an Ushuul Ad-Diyaanah, karya Abul Hasan Al-Asy’ari, tahqiq: Shalih bin Muqbil bin ‘Abdullah Al-Ushaimi At-Tamimi, cetakan pertama, penerbit Daarul Fadhilah, Riyadh KSA, hal. 306-335.
____________________________
Share
Ulang
- Citramas, Cinunuk.
- from= https://muslim.or.id/39142-sifat-kalam-antara-aqidah-ahlus-sunnah-jahmiyyah-dan-asyariyyah-05.html