Baca pembahasan sebelumnya Tiga Kesalahpahaman tentang Ruqyah (01)
Ruqyah dapat Dilakukan oleh Siapa Saja
Sebagian orang menganggap bahwa ruqyah hanya bisa dilakukan oleh
orang tertentu saja seperti ustadz atau kyai. Sehingga ketika seseorang
merasa membutuhkan ruqyah, dia selalu mencari pertolongan ustadz atau
kyai tersebut. Padahal, ruqyah bukan hanya khusus bisa dilakukan oleh
orang-orang tertentu. Akan tetapi, bisa dilakukan oleh siapa saja dengan
melakukan ruqyah mandiri.
Hakikat ruqyah adalah berdoa kepada Allah Ta’ala. Sehingga kapan pun
seorang muslim tertimpa musibah dengan jatuh sakit, hendaknya dia
meruqyah diri sendiri kemudian menempuh usaha lainnya seperti berobat ke
dokter. Sehingga ruqyah sebetulnya adalah usaha pertama yang harus
ditempuh oleh seorang muslim ketika jatuh sakit, sebelum menempuh usaha
atau sebab-sebab kesembuhan lainnya.
Bahkan, meminta untuk diruqyah oleh orang lain (ustadz, kyai, atau
yang lain) bisa jadi mengurangi ketauhidan dan sikap tawakkal seseorang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa di
antara umat beliau, ada orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan
tanpa adzab di neraka. Siapakah mereka? Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
قَالَ « عُرِضَتْ عَلَىَّ الأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِىَّ وَمَعَهُ
الرُّهَيْطُ وَالنَّبِىَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِىَّ
لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِى سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ
أَنَّهُمْ أُمَّتِى فَقِيلَ لِى هَذَا مُوسَى وَقَوْمُهُ فَنَظَرْتُ
فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِى هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ
سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ
». ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِى أُولَئِكَ
الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ فَقَالَ
بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم وَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ وُلِدُوا فِى
الإِسْلاَمِ وَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللَّهِ. وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَخَرَجَ
عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ « مَا الَّذِى
تَخُوضُونَ فِيهِ ». فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ « هُمُ الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ
وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Telah ditampakkan
kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang Nabi yang bersamanya beberapa
orang dan seorang Nabi yang bersamanya satu dan dua orang, serta seorang
Nabi yang tidak ada seorang pun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan
kepadaku suatu jumlah yang banyak. Aku pun mengira bahwa mereka adalah
umatku. Tetapi dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah Musa bersama kaumnya’.
Lalu, tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah yang besar pula. Maka
dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.’”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan
bergegas masuk ke dalam rumahnya. Maka orang-orang pun mulai
membicarakan siapakah mereka itu. Di antara mereka ada yang berkata, “Mungkin saja mereka adalah orang-orang yang menjadi sahabat Rasulullah.” Ada lagi yang berkata, “Mungkin
saja mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam,
sehingga mereka tidak pernah berbuat syirik sedikit pun kepada Allah.”
Mereka juga menyebutkan lagi beberapa perkara (kemungkinan) yang lain. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda, “Mereka itu adalah
orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya
ditempel dengan besi yang dipanaskan (baca: pengobatan dengan “kay”),
dan tidak melakukan tathayyur, dan mereka pun bertawakkal kepada Rabb
mereka.” (HR. Bukhari no. 5705, 5752 dan Muslim no. 220)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu Ta’ala menjelaskan,
وذلك لأن هؤلاء دخلوا الجنة بغير حساب، لكمال توحيدهم، ولهذا نفى عنهم الاسترقاء، وهو سؤال الناس أن يرقوهم
“Hal itu karena mereka masuk surga tanpa hisab disebabkan oleh kesempurnaan tauhid yang mereka miliki. Sehingga mereka tidak pernah melakukan istirqa’, yaitu meminta untuk diruqyah oleh orang lain.” [1]
Meminta untuk diruqyah oleh orang lain dapat mengurangi kesempurnaan
tauhid seseorang, karena pada diri orang yang meminta diruqyah, terdapat
kecondongan dan penyandaran hati kepada selain Allah Ta’ala. Ketika
meminta untuk diruqyah, hatinya cenderung lebih condong kepada seseorang
yang dia mintai tolong tersebut (kyai atau ustadz) atau kepada ruqyah
itu sendiri, dan bukan bersandar kepada Allah Ta’ala. Di antara
indikasinya, hati seseorang merasa “lebih mantap” ketika diruqyah oleh
kyai fulan. Apalagi jika disertai keyakinan-keyakinan berlebihan
terhadap sosok peruqyah tersebut, misalnya ruqyah yang dilakukan kyai
fulan “pasti” mujarab atau “pasti” berhasil.
Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafidzahullahu Ta’ala berkata ketika menjelaskan makna hadits di atas,
لأن الطالب للرقية يكون في قلبه ميل للراقي ، حتى يرفع ما به من جهة
السبب . وهذا النفي الوارد في قوله : « لا يسترقون » ؛ لأن الناس في شأن
الرقية تتعلق قلوبهم بها جدا أكثر من تعلقهم بالطب ونحوه
“Karena seseorang yang meminta ruqyah akan menyebabkan ketergantungan hati kepada peruqyah.
Sampai-sampai dia mengangkat derajatnya lebih dari sekedar sarana
(maksudnya, dia menyangka bahwa peruqyah adalah penyebab kesembuhan itu
sendiri, pen.). Inilah maksud menafikan dalam hadits “tidak minta
diruqyah”. Terkait dengan ruqyah, manusia bisa jadi lebih bergantung
kepada ruqyah daripada pengobatan kedokteran atau sejenisnya.” [2]
Akan tetapi, jika terdapat kebutuhan (al-haajah) untuk meminta
diruqyah, hal ini tidaklah mengapa. Dengan penekanan bahwa dia
senantiasa memperhatikan kondisi hatinya, jangan sampai bergantung
kepada ruqyah atau si peruqyah itu sendiri, dan kosong (lalai) dari
bergantung dan bertawakkal kepada Allah Ta’ala. Karena berpengaruh atau
tidaknya ruqyah merupakan kekuasaan Allah Ta’ala, bukan tergantung pada
ruqyah itu sendiri atau siapa yang meruqyah.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullahu Ta’ala menjelaskan,
وهذا الحديث يدل على أن ترك الطلب أفضل
وهكذا ترك الكي أفضل لكن عند الحاجة إليهما لا بأس بالاسترقاء والكي؛ لأن
النبي عليه السلام أمر عائشة أن تسترقي من مرض أصابها وأمر أم أولاد جعفر
بن أبي طالب رضي الله عنه وهي أسماء بنت عميس رضي الله عنها أن تسترقي لهم،
فدل ذلك على أنه لا حرج في ذلك عند الحاجة إلى الاسترقاء
“Hadits ini menunjukkan bahwa tidak meminta-minta itu lebih utama, demikian juga dengan meninggalkan kay. Akan tetapi, ketika keduanya dibutuhkan, tidak mengapa meminta ruqyah dan melakukan kay.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ‘Aisyah untuk
meminta ruqyah ketika dia jatuh sakit. Dan Nabi juga memerintahkan ibu
dari anak-anak Ja’far bin Abi Thalib, yaitu Asma’ binti ‘Umais
radhiyallahu ‘anha, untuk memintakan ruqyah bagi mereka. Hal ini semua menunjukkan, bahwa tidak mengapa meminta ruqyah ketika betul-betul dibutuhkan.”[3]
[Selesai]
***
Selesai disusun di pagi hari, Lab EMC Rotterdam NL 6 Dzulhijjah 1438/29 Agustus 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or
Catatan kaki:
[1] Zaadul Ma’aad, 1/477.
[2] At-Tamhiid, hal. 33.
[3] http://www.binbaz.org.sa/fatawa/3333