Syari’at Islam datang untuk membawa kemaslahatan. Termasuk kemaslahatan dalam Islam adalah perintah Allah ta’ala kepada manusia yang berkemampuan untuk bekerja, mencari karunia-Nya yang terhampar luas di permukaan bumi.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah
Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” [QS. Al-Mulk : 15].
Ketika
Allah mewajibkan shalat Jum’at kepada kaum muslimin, Allah
menjelaskan kewajiban yang harus mereka tunaikan kepada Allah dan
kewajiban yang harus mereka tunaikan untuk (kemaslahatan) diri mereka
sendiri.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا
اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang
pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung” [QS. Al-Jum’ah : 9-10].
Ada
saatnya beribadah, ada saatnya untuk bekerja. Keduanya akan membawa
kemaslahatan jika dikerjakan sesuai yang diperintahkan. Allah ta’ala sama sekali tidak pernah memerintahkan manusia untuk menghabiskan waktunya beribadah kepada Allahta’ala. Oleh karenanya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya
Rabbmu mempunyai hak atas dirimu. Jiwamu juga mempunyai hak atas
dirimu, begitu juga keluargamu/istrimu juga mempunyai hak atas dirimu.
Tunaikanlah pada setiap pemilik hak dari haknya itu”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1967, At-Tirmidziy no. 2413, Abu
Ya’laa no. 898, Ibnu Khuzaimah no. 2144, Ibnu Hibbaan no. 320,
dan yang lainnya].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah ta’ala di permulaan siang :
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا
“Ya Allah, berikanlah barakah kepada umatku di waktu pagi harinya”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2606, At-Tirmidziy no. 1212, Ibnu
Maajah no. 2236, Ad-Daarimi no. 2479, Ibnu Hibban no. 4754, dan yang
lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/124].
Barakah tidak akan didapatkan oleh orang yang malas. Karenanya, para ulama memakruhkan tidur di waktu itu.[1] Pagi adalah permulaan hari (siang), waktu dimana manusia diperintahkan bekerja. Allah ta’ala berfirman :
وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا * وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا * وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
“Dan
Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai
pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan” [QS. An-Nabaa’ : 9-11].
Islam mengharamkan seseorang yang mampu bekerja meminta-minta mengharap belas kasihan orang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Seseorang
yang senantiasa meminta-minta kepada manusia hingga ia datang pada hari
kiamat kelak tanpa ada sekerat dagingpun di wajahnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1475, Muslim no. 1040, An-Nasaa’iy no. 2585, dan yang lainnya].
Janganlah pernah memandang rendah pekerjaan seseorang hanya karena pakaiannya yang lusuh dan hasil tak seberapa[2].
Ia lebih mulia daripada peminta-minta atau pengamen yang berkeliaran di
bis kota. Ia pun jauh lebih mulia daripada para koruptor berdasi yang
hidup bergelimang harta.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لأَنْ
يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ أَحْبُلَهُ ثُمَّ يَأْتِيَ الْجَبَلَ فَيَأْتِيَ
بِحُزْمَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا، فَيَسْتَغْنِيَ
بِثَمَنِهَا، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ
مَنَعُوهُ
“Seorang
di antara kalian mengambil tali lalu pergi ke gunung dan datang dengan
seikat kayu di punggungnya, lalu ia menjualnya sehingga hasil
penjualannya itu dapat memenuhi kebutuhannya; lebih baginya daripada
meminta-minta manusia, baik mereka memberinya atau menolaknya”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2075, Ahmad 1/164 & 167, Ibnu
Maajah no. 1836, Abu Ya’laa no. 675, dan yang lainnya].
Setiap
pekerjaan yang sesuai dengan syari’at Islam (halal), maka
melakukannya termasuk ibadah, keluarnya dari rumah terhitung fii sabiilillah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ
سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى عَلَى
عِيَالِهِ، فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى عَلَى نَفْسِهِ
لِيُعِفَّهَا فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى عَلَى التَّكَاثُرِ،
فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ
“Barangsiapa
yang berusaha/bekerja untuk menafkahi kedua orang tuanya, maka
terhitung fii sabiilillah. Barangsiapa yang berusaha/bekerja untuk
menafkahi keluarga yang menjadi tanggungannya, maka terhitung fii
sabiilillah. Dan barangsiapa yang berusaha/bekerja untuk kehormatan
dirinya sendirinya (agar tidak meminta-minta), maka terhitung fii
sabiilillah. Akan tetapi siapa saja yang berusaha/bekerja untuk
bermegah-megahan, maka terhitung fii sabiilisy-syaithaan (di jalan
syaithan)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/23 dan dalam Syu’abul-iimaan no. 3875, Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 1867, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 4214, dan yang lainnya; dishahihkan Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 2232].
Tapi janganlah kita lupa, rizki itu datangnya dari Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya :
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan
berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya
sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Ankabuut : 60].
إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab”[QS. Aali ‘Imraan : 37].
Konsekuensinya, ada sebagian yang diluaskan rizkinya, ada pula yang disempitkan rizkinya. Allah ta’ala berfirman :
أَوَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
”Dan
tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rizki dan
menyempitkannya bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya ? Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum
yang beriman” [QS. Az-Zumar : 52].
اللَّهُ
يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا مَتَاعٌ
“Allah
meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.
Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia
itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang
sedikit)” [QS. Ar-Ra’d : 26].
Rizki bagaikan ajal, merupakan rahasia Allah ta’ala. Allah ta’ala memerintahkan kaum muslimin mencari rizki dengan bekerja, sedikit atau banyak, karena itu merupakan bagian dari ikhtiyar yang
mesti dilakukan. Tidak dibenarkan bagi seorang muslim bermalas-malasan
dengan alasan kalaulah rizki itu telah ditaqdirkan sampai kepadanya,
maka sampailah ia. Tidak dibenarkan pula ia hidup dalam kemiskinan dan
kefaqiran tanpa ada usaha kerja untuk melepaskan diri darinya, dengan
dalih : rizki Allah belum datang juga. Bagaimana rizki akan ia peroleh
sementara ia duduk bermalas-malasan di kursi rumahnya ?. Burung pun
hanya akan kenyang jika ia keluar dari sarangnya, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَوْ
أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ،
لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ
بِطَانًا
“Seandainya
kalian bertawakkal pada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, sungguh
kalian akan diberikan rizki (oleh Allah) sebagaimana seekor burung
diberikan rizki. Pagi hari burung itu pergi dalam keadaan lapar, dan ia
pulang dalam keadaan kenyang”[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2344, Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd no. 559, Ahmad 1/30 & 52 dan dalam Az-Zuhd no.
96, ‘Abd bin Humaid no. 10, Ibnu Maajah no. 4164, Abu
Ya’laa no. 247, Ibnu Hibbaan no. 730, dan yang lainnya;
At-Tirmidziy berkata : “Hasan shahih”].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa dalam akhir shalatnya (sebelum salam) agar terlepas dari kefaqiran[3] :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefaqiran, dan adzab kubur”.
Tidak
boleh pula bagi seorang muslim yang disempitkan rizkinya, setelah ia
berusaha, mengambil cara-cara yang diharamkan, memakan harta
manusia secara tidak hak. Allah ta’ala berfirman :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil” [QS. Al-Baqarah : 188].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، فَإِنَّ نَفْسًا
لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا، وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا،
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا
مَا حَرُمَ
“Wahai
sekalian manusia, bertaqwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah dalam
mencari (rizki). Sesungguhnya seseorang tidaklah akan mati hingga
selesai/habis rizkinya. Apabila ditangguhkan darinya, maka bertaqwalah
kalian kepada Allah dan perbaikilah dalam mencari (rizki). Ambillah apa
yang dihalalkan dan tinggalkanlah apa yang diharamkan”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2144, Al-Baihaqiy 5/264-265, Ibnu
Hibbaan no. 3239, Al-Haakim 2/4, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/156-157; shahih].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
mencontohkan kepada kita untuk berdoa di pagi hari setelah shalat
Shubuh sebelum berangkat bekerja agar diberikan rizki yang baik oleh
Allah ta’ala :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 6/294 & 305 & 318 & 322, Ibnu
Maajah no. 925, ‘Abd bin Humaid no. 1535, dan yang lainnya;
dishahihkan oleh Al-Albaaniy[4] dalam Shahih Sunan Ibni Maajah 1/277].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – 1432 – sardonoharjo, ngaglik, sleman, Yogyakarta, Indonesia].
[1] Ibnul-Qayyim rahimahullah telah
berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu
dengan tidur, dimana beliau berkata : “Termasuk hal yang makruh
bagi mereka – yaitu orang-orang shalih – adalah tidur
antara waktu shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu
adalah waktu yang sangat berharga. Terdapat kebiasaan yang menarik dan
agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang
shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka
tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari
terbit. Karena ia adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia
merupakan waktu turunnya rizki, adanya pembagian, turunnya keberkahan,
dan darinya hari itu bergulir dan mengembalikan segala kejadian hari
itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka seyogyanya tidurnya
pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang terpaksa” [Madaarijus-Saalikiin 1/459 - dikutip melalui perantaraan kitab : At-Tabarruk, Anwa’uhu wa Ahkaamuhu karya Dr. Naashir bin ’Abdirahman bin Muhammad Al-Juda’i, hal. 309-310].
[2] Seperti pemulung, kuli bangunan, dan yang semisal.
[3] Ada faedah bagus dari Ibnu Qudaamah rahimahullaahu ta’ala :
والدنيا
ليست محذورة لعينها، بل لكونها عائقة عن الوصول إلى الله تعالى، والفقر
ليس مطلوبا لعينه لكن لأنه فيه العائق عن الله تعالى، وكم من غني لا يشغله
الغنى عن الله تعالى كعثمان بن عفان وعبد الرحمن بن عوف رضي الله عنهما.
وكم من فقير شغله فقره عن المقصود، وصرفه عن حب الله تعالى والأنس به.
“Dunia
itu tidaklah diwaspadai karena dzatnya, akan tetapi karena
keberadaannya yang menjadi penghalang tercapainya kedekatan/ketaatan
kepada Allah ta’ala. Kefaqiran juga tidaklah dicari karena dzatnya, karena padanya terdapat penghalang tercapainya kedekatan/ketaatan kepada Allah ta’ala. Betapa banyak orang yang kaya yang tidak disibukkan dengan kekayaannya dari beribadah kepada Allah ta’ala, seperti ‘Utsmaan bin ‘Affaan dan ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf radliyallaahu ‘anhumaa.
Dan betapa banyak orang yang faqir disibukkan oleh kefaqirannya dari
ibadah, memalingkannya dari kecintaan kepada Allah ta’ala, dan
lupa dengan-Nya” [Minhajul-Qaashidiin, hal. 408 – lihat :http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=43&ID=606].
[4] Dengan membandingkan artikel : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=244324 ; hadits ini sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut.
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2011/04/bekerja.html
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2011/04/bekerja.html