Membela harkat dan martabat sesama Muslim merupakan
ibadah ysng sangat mulia. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa membela kehormatan saudaranya maka Allah
akan membela wajahnya dari api neraka pada hari Kiamat.[1]
Terlebih lagi jika yang dibela adalah harkat dan
martabat Ulama yang memiliki jasa sangat besar bagi kaum Muslimin sekelas
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab, seorang tokoh dan pejuang dakwah yang
bermadzhab Hanbali. Berkat jasa beliau maka berdirilah Kerajaan Arab Saudi yang
aman dan tenang, dan merupakan satu-satunya negara yang menerapkan hukum dan
syariat Islam. Dan sejak dahulu hingga saat ini banyak dusta yang
disebarluaskan tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab ini. Orang-orang
yang berakal sehat, tentu, tatkala membaca dusta-dusta itu bakal mempertanyakan
kebenarannya, karena tuduhan yang dialamatkan kepada beliau sangat tidak
mendasar dan penuh kedustaan.
Berikut diantara tuduhan-tudahan yang diarahkan kepada
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab. Semoga menjadi pencerahan bagi kita dan para
penentang-penentangnya.
Pertama:
Kaum Wahhabi Dituduh Sebagai Khawarij?
Tahukah Anda, siapakah Khawarij itu? Khawarij adalah
suatu sekte sesat yang menggambarkan momok haus darah, hobi menumpahkan darah
kaum Muslimin. Apakah hakikat sekte sesat ini? Sehingga, apakah benar kaum
Salafi Wahhabi adalah Khawarij yang haus darah kaum Muslimin?
Para Ulama yang menulis khusus tentang firqah-firqah
Islam telah menyebutkan secara spesifik tentang aqidah Khawarij.
Abul-Hasan al-Asy’ari (wafat 330 H) berkata tentang
perkara yang mengumpulkan kelompok-kelompok Khawarij : Kelompok-kelompok
Khawarij bersepakat dalam hal pengkafiran Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
karena beliau menyerahkan hukum[2] dan mereka (kelompok-kelompok Khawarij)
berselisih, apakah kekufurannya tersebut merupakan kesyirikan ataukah bukan?
Mereka bersepakat bahwa seluruh dosa besar merupakan
kekufuran, kecuali kelompok an-Najdat[3] karena kelompok an-Najdat tidak
mengatakan demikian.
Mereka bersepakat bahwasanya Allah Ta’ala mengadzab
para pelaku dosa besar yang abadi, kecuali kelompok an-Najdat, para pengikut
Najdah (bin ‘Amir).[4]
Abdul-Qahir al-Baghdadi (wafat 429 H) berkata: Para
Ulama telah berselisih tentang perkara apakah yang mengumpulkan (disepakati)
oleh kelompok-kelompok Khawarij yang beragam sekte-sektenya.
Al-Ka’bi dalam kitab Maqalat-nya menyebutkan bahwa
yang mengumpulkan seluruh sekte-sekte Khawarij adalah mengkafirkan Ali
Radhiyallahu anhu, Utsman Radhiyallahu anhu, dan dua hakim, para peserta perang
Jamal, dan seluruh yang ridha dengan penyerahan hukum kepada dua hakim, dan
juga pengkafiran karena pelanggaran dosa, dan wajibnya khuruj (memberontak)
kepada pemimpin yang zhalim.
Syaikh kami Abul-Hasan al-Asy’ari berkata, “Yang menyebabkan
mereka berkumpul adalah pengkafiran (terhadap) Ali, Utsman, para peserta perang
Jamal, dan hakim, dan siapa saja yang ridha terhadap penyerahan hukum kepada
dua hakim, atau membenarkan kedua hakim tersebut, atau salah satu dari
keduanya, dan memberontak kepada penguasa yang zhalim”.
Yang benar adalah yang disebutkan oleh Syaikh kami Abul-Hasan al-Asy’ari dari mereka (Khawarij). Al-Ka’bi telah keliru tatkala menyebutkan bahwa Khawarij bersepakat tentang kafirnya pelaku dosa, karena sekte Khawarij an-Najdat tidak mengkafikan orang-orang yang melakukan dosa dari orang-orang yang sepakat dengan mereka.[5]
Yang benar adalah yang disebutkan oleh Syaikh kami Abul-Hasan al-Asy’ari dari mereka (Khawarij). Al-Ka’bi telah keliru tatkala menyebutkan bahwa Khawarij bersepakat tentang kafirnya pelaku dosa, karena sekte Khawarij an-Najdat tidak mengkafikan orang-orang yang melakukan dosa dari orang-orang yang sepakat dengan mereka.[5]
Ibnu Hazm (wafat 456 H) berkata,”Barangsiapa yang
sepakat dengan Khawarij dalam hal mengingkari penyerahan hukum (kepada dua
hakim), dan mengkafirkan para pelaku dosa besar, serta pendapat (boleh)
memberontak kepada para penguasa yang zhalim, dan para pelaku dosa besar kekal
di neraka, para penguasa boleh saja dari selain Quraisy, maka dia adalah
Khawarij, meskipun ia menyelisihi Khawarij pada perkara-perkara yang lain yang
diperselisihkan oleh kaum Muslimin. Dan jika ia menyelisihi mereka pada
perkara-perkara yang kami sebutkan, maka ia bukanlah Khawarij”[6].
Asy-Syahristani (wafat 548 H) berkata, “Barang siapa
yang memberontak kepada penguasa yang sah yang telah disepakati oleh jama’ah
maka (ia) dinamakan khariji, sama saja apakah bentuk pemberontakan tersebut
pada zaman para Sahabat, yaitu memberontak kepada para Khulafaur-Rasyidin, atau
pemberontakan terjadi setelah itu, yaitu memberontak kepada para tabi’in yang
mengikuti para Sahabat dengan baik, dan juga memberontak kepada para penguasa
di sepanjang zaman …. dan Wa’idiyah termasuk dalam Khawarij; dan merekalah yang
menyatakan kafirnya pelaku dosa besar dan kekal di neraka”.[7]
Dari penjelasan para ulama ahli sekte-sekte Khawarij
di atas, maka dapat diketahui ada beberapa aqidah yang khusus dan merupakan
ciri khas sekte-sekte Khawarij yang disepakati oleh seluruh sekte-sekte
Khawarij. Aqidah-aqidah tersebut adalah: Pertama, mengkafirkan Ali dan
dua hakim, yaitu Abu Musa al-‘Asy’ari dan ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu an
huma. Kedua, mengkafirkan para pelaku dosa besar, kecuali
sekte an-Najdat yang tidak berpendapat demikian. Ketiga, mewajibkan memberontak
kepada penguasa yang zhalim.
Inilah aqidah khusus yang disepakati oleh seluruh
sekte Khawarij. Tiga aqidah inilah yang telah dilakukan oleh Khawarij yang
muncul pertama kali pada zaman Ali bin Abi Thalib, (1) mereka telah
mengkafirkan Ali bin Abi Thalib serta sebagian sahabat, dan (2) sebab mereka
mengkafirkan karena mereka menganggap Ali bin Abi Thalib telah terjerumus dalam
dosa besar yaitu berhukum kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (karena Ali
menyerahkan hukum kepada dua hakim), dan barang siapa yang terjerumus dalam
dosa besar menjadi kafir menurut mereka, (3) sehingga jadilah mereka
memberontak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Sebagaimana pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah
bahwasanya barangsiapa memiliki aqidah ini (sepakat dengan Khawarij dalam
aqidah ini) meskipun ia menyelisihi Khawarij dalam hal-hal yang lain maka ia
adalah (tetaplah sebagai) seorang Khawarij. Adapun jika ia menyelisihi
aqidah-aqidah khusus Khawarij ini, maka ia bukanlah Khawarij sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnu Hazm di atas.
Dengan meninjau kesimpulan di atas, maka marilah kita
renungkan tentang kelompok Salafi Wahhabi, apakah mereka beraqidah sebagaimana
aqidah sekte Khawarij?
Apakah mereka yang disebut Salafi Wahhabi mengkafirkan
Ali, Mu’awiyyah, Aisyah, ‘Amr bin al-‘Ash, dan para Sahabat yang ikut serta
dalam perang Jamal dan Shiffin? Ataukah mereka yang justru menjunjung tinggi
para Sahabat tersebut, dan membela mereka habis-habisan, terutama Sahabat
Mu’awiyyah dan Ummul-Mukminin Aisyah yang telah dikafirkan oleh kaum sekte
sesat Syi’ah?
Apakah kaum Salafi Wahhabi mengkafirkan seorang Muslim
hanya dikarenakan satu dosa besar yang dilakukan olehnya? Ataukah justru kaum
Salafi Wahhabi yang getol membantah pemahaman takfiriyin yang hobi mengkafirkan
pemerintah? Apakah pernah didapati kaum Salafi Wahhabi mengkafirkan orang yang
berzina, mencuri, atau membunuh orang lain? Kalaupun kaum Salafi Wahhabi
mengkafirkan, maka yang mereka kafirkan adalah orang yang dinyatakan kafir oleh
al-Qur’an dan Sunnah, dan itu pun setelah ditegakkan hujjah dan penjelasan
kepadanya.
Apakah kaum Salafi Wahhabi menyerukan untuk
memberontak keada pemerintah? Ataukah justru kaum Salafi Wahhabi yang
senantiasa menyeru untuk taat kepada pemerintah? Barangsiapa yang mengikuti
kajian-kajian yang disampaikan oleh para da’i Salafi, maka ia akan memahami
bahwasanya kaum Salafi sangat memerangi sikap oposisi kepada pemerintah.
Kedua, Kaum Wahhabi Di tuduh Telah Mengkafirkan Kaum
Muslimin
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab dituduh mengkafirkan seluruh kaum Muslimin yang tidak mengikutinya.
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab dituduh mengkafirkan seluruh kaum Muslimin yang tidak mengikutinya.
Ini merupakan tuduhan dusta yang telah beliau bantah
dalam tulisan-tulisannya. Sebagai bukti nyata, Kerajaan Arab Saudi yang
meneruskan dakwah beliau ternyata tidak mengkafirkan para jama’ah haji yang
berjuta-juta datang setiap tahunnya. Jika para jama’ah haji dianggap kafir dan
musyrik, tentu mereka adalah najis dan tidak boleh menginjak tanah Haram di
Mekkah. Bahkan kenyataannya Kerajaan Arab Saudi justru terus meningkatkan
pelayanan kepada para jama’ah haji. Kaum Wahhabi adalah kaum yang sangat
berhati-hati dalam mengkafirkan.
Syaikh Abdul-Lathif bin Abdirrahman Alu Syaikh
berkata: “Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab termasuk orang yang paling menjaga
dan menahan diri menyatakan kekafiran, bahkan sampai-sampai beliau tidak
memastikan kafirnya seorang yang jahil yang berdoa kepada selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan penghuni kubur atau yang lainnya, jika tidak
dimudahkan baginya adanya orang yang mengingatkannya”.[8]
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab berkata:
“Permasalahan memvonis kafir orang tertentu adalah permasalahan yang ma’ruf
(dikenal), jika seseorang mengucapkan suatu perkataan yang menimbulkan
kekafiran, maka dikatakan: ‘Barangsiapa yang mengatakan perkataan ini maka ia
kafir’, akan tetapi orang tertentu jika mengucapkan perkataan tersebut maka
tidak duhukumi menjadi kafir hingga ditegakkan hujjah kepadanya yang seseorang
menjadi kafir karena meninggalkan hujjah tersebut”.[9]
Beliau juga berkata: “Adalah kedustaan, seperti
perkataan mereka bahwasanya kami mengkafirkan secara umum, kami mewajibkan
orang yang mampu untuk menampakkan agamanya untuk berhijrah kepada kami, kami
mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan, juga mengkafirkan orang yang tidak
berperang; dan kedustaan seperti ini banyak dan dilakukan secara terus-menerus.
Semua ini adalah kedustaan yang menghalangi manusia dari agama Allah dan
Rasul-Nya.
Jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang
menyembah berhala yang ada pada Abdul-Qadir, dan berhala yang ada di kuburan
Ahmad al-Baidawi dan yang semisal mereka berdua dikarenakan kejahilan dan tidak
adanya orang yang mengingatkan mereka, maka bagaimana kami lantas mengkafirkan
orang yang tidak berbuat kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala jika ia
tidak berhijrah kepada kami, atau tidak mengkafirkan, dan tidak berperang? Maka
suci Allah Subhanahu wa Ta’ala, ini merupakan kedustaan besar”.[10]
Beliau juga berkata: “Adapun takfir (pengkafiran),
maka aku mengkafirkan orang yang mengetahui agama Rasulullah, kemudian setelah
ia mengetahui agam Rasul (tetapi) lalu ia mencelanya dan melarang manusia dari agama
tersebut serta memusuhi orang yang menjalankan agama Rasul; maka orang inilah
yang aku kafirkan. Dan mayoritas umat –al-hamdulillah- tidak seperti ini”.[11]
Berikut Keyakinan Kaum Wahhabi Tentang Takfir
(Pengkafiran).
Pertama, Kaum Salafi Wahhabi memandang bahwa takfir (pengkafiran) merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu pengkafiran harus dibangun berdasarkan dalil syar’i.
Pertama, Kaum Salafi Wahhabi memandang bahwa takfir (pengkafiran) merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu pengkafiran harus dibangun berdasarkan dalil syar’i.
Kedua, Kaum Salafi Wahhabi hanya mengkafirkan dengan
perkara-perkara yang merupakan Ijma’ ulama.
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab berkata saat beliau
ditanya:”Atas (landasan) apa ia berperang? Alpa yang menyebabkan seseorang
dikafirkan?”, maka beliau menjawab:”Rukun-rukun Islam yang lima, yang pertama
adalah dua syahadat, kemudian empat rukun. Adapun keempat rukun jika dia
mengakuinya namun meninggalkan/tidak melaksanakannya karena lalai, maka kami
–meskipun kmi memeranginya agar ia mengerjakan keempat rukun- akan tetapi kami
tidak mengkafirkannya karena ia meninggalkannya, sementara para ulama berselisih
tentang kafirnya orang yang menginggalkan keempat rukun karena malas tanpa
menentang wajibnya empat rukun tersebut. Dan kami tidak mengkafirkan kecuali
perkara yang disepakati oleh seluruh ulama, yaitu dua syahadat. Selain itu kami
juga mengkafirkannya setelah memberi penjelasan kepadanya jika ia telah tahu
dan tetap mengingkari”.[12]
Ketiga, Kaum Salafi Wahhabi
memandang perbedaan antara takfir mutlaq dan takfir mu’ayyan. Takfir mutlaq,
seperti halnya perkataan para ulama “barang siapa yang mengatakan al-Qur’an
makhluk maka ia kafir”, akan tetapi tidak serta merta setiap orang yang
mengatakan al-Qur’an makhluk lantas kita kafirkan.
Keempat,
Kaum Salafi Wahhabi meyakini bahwa seseorang yang melakukan kekafiran atau
mengucapkan kekafiran tidaklah langsung divonis kafir kecuali setelah memenuhi
persyaratan (seperti ditegakkannya hujjah dan berusaha menghilangkan syubhat
yang bercokol di kepalanya) serta tidak adanya perkara-perkara yang menghalangi
pengkafiran (seperti kebodohan, baru masuk Islam, tinggal di daerah pedalaman
sehingga tidak mengerti, atau karena dipaksa mengucapkan/melakukan kekafiran,
dan lain-lain).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:”Tidak seorang pun
boleh mengkafirkan seorang pun dari kaum Muslimin meskipun ia keliru atau
bersalah hingga ditegakkan hujjah kepadanya dan jelas baginya hujjah. Barang
siapa yang secara yakin Islamnya tegak maka tidaklah Islam tersebut hilang
darinya hanya dengan keraguan, akan tetapi bisa hilang jika setelah menegakkan
hujjah dan menghilangkan syubhat”.[13]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata:”Adapun
memvonis orang tertentu dengan hukum kafir atau disaksikan masuk neraka maka
hal ini berhenti/tergantung kepada dalil yang tertentu (khusus), karena
penerapan vonis tersebut tergantung pada adanya persyaratan dan hilangnya
halangan-halangan”.[14]
Ketiga, Kaum Wahhabi Dituduh Memiliki Aqidah Tajsim
Dan Tasybih
Tajsim dan tasybih yang merupakan kekufuran adalah jika kita mengatakan bahwa tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti tangan kita, wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti wajah kita, penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti penglihatan kita. Hal ini sebagaimana halnya jika kita mengatakan bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti ilmu kita dan kekuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti kekuatan kita.[15]
Tajsim dan tasybih yang merupakan kekufuran adalah jika kita mengatakan bahwa tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti tangan kita, wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti wajah kita, penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti penglihatan kita. Hal ini sebagaimana halnya jika kita mengatakan bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti ilmu kita dan kekuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti kekuatan kita.[15]
Imam at-Tirmidzi rahimahullah dengan menukil perkataan
Imam Ishaq bin Rahuyah, beliau berkata: Ishaq bin Ibrahim berkata: Hanyalah
merupakan tasybih jika ia berkata ‘tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti
tangan (manusia) atau pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti pendengaran
(manusia)’. Jika ia berkata ‘pendengaran (Allah Subhanahu wa Ta’ala) seperti
pendengaran (makhluk)’,maka inilah tasybih.
Adapun jika ia berkata sebagaimana yang dikatakan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Tangan, pendengaran, dan penglihatan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dan ia tidak mengatakan bagaimananya serta tidak
mengatakan bahwasanya pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti pendengaran
(makhluk), maka hal ini bukanlah tasybih. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam al-Qur’an:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.[16]
Al-Imam Ahmad berkata,”Barangsiapa yang berkata
‘Penglihatan Allah seperti penglihatanku dan tangan Allah seperti tanganku,
serta kaki Allah seperti kakiku’, maka ia telah mentasybih (menyerupakan) Allah
dengan makhluk-Nya”.[17]
Karenanya menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
memiliki sifat ilmu, qudrah, penglihatan, pendengaran, berbicara akan tetapi
tidak sama dengan ilmu manusia, qudrah manusia, penglihatan dan pembicaraan
manusia; maka demikian ini bukan tasybih atau tajsim, bahkan ini adalah tauhid
kepada Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat Allah yang termaktub dalam al-Qur’an
dan Sunnah, akan tetapi sifat-sifat tersebut maha tinggi dan tidak akan sama
dengan sifat-sifat makhluk.
Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. [asy-Syura/42:11].
Perhatikanlah dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa
Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, akan tetapi tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Allah, sehingga penglihatan dan pendengaran Allah tidak seperti
penglihatan dan pendengaran manusia atau makhluk.
Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah tentang sifat-sifat
Allah dibangun di atas mensifati Allah sesuai dengan apa yang Allah sifatkan
tentang diri-Nya dalam al-Qur’an atau melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits-haditsnya tanpa adanya (1) tahrif dan (2) ta’thil serta
tanpa (3) takyif dan (4) tamtsil.[18]
Secara bahasa, tahrif adalah merubah atau
mengganti,[19] dan secara terminologi, tahrif –yang berkaitan dengan
sifat-sifat Allah- adalah merubah lafal-lafal nash yang berkaitan dengan sifat
Allah atau merubah makna dari lafal-lafal tersebut.[20] Sedangkan ta’thil,
secara terminologi adalah menolak sifat-sifat Allah yang datang dalam nash-nash
al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik menolak
sebagian sifat (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Asya’irah dan
all-Maturidiyah) ataupun menolak seluruh sifat Allah (sebagaimana yang
dilakukan oleh kaum al-Jahmiyah dan al-Mu’tazilah). Adapun takyif, secara
terminologi adalah membagaimanakan sifat-sifat Allah, seperti menyatakan bahwa
sifat Allah begini dan begitu tanpa dalil, dan tanpa menyamakan dengan
makhluk.[21] Dan tamtsil, secara terminologi adalah mengvisualkan sifat Allah
dengan menyamakan sifat Allah seperti sifat makhluk, seperti menyatakan bahwa
tangan Allah sama seperti tangan manusia, turunnya Allah sama seperti turunnya
manusia, penglihatan Allah seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.[22]
Aqidah inilah yang disepakati oleh para Imam Salaf
umat ini. Ibnu Abdil-Bar rahimahullah (salah seorang ulama besar madzhab
Maliki, wafat tahun 463 H) telah menukil Ijma’ (konsensus) Ahlus-Sunnah terkait
aqidah ini. Beliau rahimahullah berkata dalam kitabnya yang sangat mashur,
at-Tamhid Lima fi al-Muwattha’ min al-Ma’ani wa al-Asanid: “Ahlus-Sunnah Ijma’
(berkonsensus) dalam menetapkan seluruh sifat-sifat Allah yang terdapat dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah, dan sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat tersebut.
Adapun ahlul-bid’ah, Jahmiyah dan Mu’tazilah seluruhnya, demikian juga kaum
Khawarij seluruhnya mengingkari sifat-sifat Allah pada makna hakikatnya, dan
mereka menyangka bahwasanya barang siapa yang menetapkan sifat-sifat tersebut
maka ia adalah musyabbih. Mereka ini di sisi para penetap sifat-sifat Allah
adalah para penolak Allah yang disembah. Dan al-haq (kebenaran) pada apa yang
dikatakan oleh mereka yang berbicara sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qur’an
dan sunnah Rasul-Nya, dan mereka adalah para imam Jama’ah, al-hamdulillah”.[23]
Sebagaimana hal ini juga telah disebutkan oleh al-Imam
at-Tirmidzi dalam Sunannya. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang
menyebutkan tentang sifat tangan kanan Allah, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah menerima sedekah
dan mengambilnya dengan tangan kanannya, lalu Allah mentarbiyahnya
(mengembangkannya) untuk salah seorang dari kalian sebagaimana salah seorang
dari kalian mengembangkan kuda kecilnya. Sampai-sampai sesuap makanan
sungguh-sungguh menjadi seperti gunung Uhud’”.[24]
Setelah meriwayatkan hadits ini, kemudian at-Tirmidzi
berkata:”Telah berkata lebih dari satu dari kalangan ahli ilmu tentang hadits
ini dan riwayat-riwayat hadits yang lain tentang sifat-sifat Allah, dan
turunnya Allah setiap malam ke langit dunia; mereka berkata, telah tetap
riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah dan diimani, tidak dikhayalkan, serta
tidak dikatakan bagaimananya sifat-sifat tersebut”.[25]
Demikianlah diriwayatkan dari Imam Malik, Sufyan bin
‘Uyainah, dan Abdullah bin al-Mubarak, bahwasanya mereka berkata tentang
hadits-hadits ini: “Tetapkan hadits-hadits tersebut tanpa menggambarkannya”.
Dan demikianlah perkataan para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun Jahmiyah,
mereka mengingkari riwayat-riwayat ini dan mereka berkata bahwasanya hal ini
adalah tasybih.
Terdapat lebih dari satu tempat dalam al-Qur’an bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang tangan, pendengaran, dan
penglihatan. Kaum Jahmiyah mentakwil ayat-ayat ini dan menafsirkannya dengan
tafsiran yang tidak sesuai dengan tafsir para ahli ilmu. Jahmiyah
berkata:”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan Adam dengan
tangan-Nya”, dan Jahmiyah berkata,”Makna tangan di sini adalah kekuatan”[26].
Menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebagaimana lahiriahnya tanpa mentasybih dengan sifat-sifat makhluk merupakan
aqidah para imam empat madzhab.
Imam Abu Hanifah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala
memiliki tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebutkan dalam al-Qur’an. Apa yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam al-Qur’an berupa penyebutan tentang wajah, tangan, dan jiwa maka itu
adalah sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa menggambarkannya. Dan tidak
dikatakan sesungguhnya tangannya adalah qudrah (kemampuan)-Nya atau nikmat-Nya,
karena hal ini menolak sifat, dan ini adalah perkataan para penolak taqdir dan
kaum Mu’tazilah; akan tetapi tangan-Nya adalah sifat-Nya tanpa
membagaimanakannya. Kemarahan-Nya dan keridhaan-Nya adalah dua sifat yang
termasuk sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menggambarkannya”.[27]
Imam Malik rahimahullah tatkala ditanya tentang
bagaimanakah istiwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka beliau berkata: “Istawa
diketahui (maknanya), dan bagaimananya tidak bisa dipikirkan, dan mengimaninya
adalah wajib, serta bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah”.[28]
Ibnu Qudamah rahimahullah meriwayatkan atsar dari Imam
Syafii rahimahullah, Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: Yunus bin ‘Abdil-A’la
berkata, aku mendengar Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafii, tatkala
ditanya tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa yang diimani oleh
asy-Syafii, maka asy-Syafii berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki
nama-nama dan sifat-sifat yang terdapat dalam kitab-Nya (al-Qur’an) dan
dikabarkan oleh Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya; tidak boleh
seorang pun dari makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah tegak hujjah
kepadanya untuk menolaknya karena al-Qur’an telah menurunkan nama-nama dan
sifat-sifat tersebut, dan telah sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang nama-nama dan sifat-sifat tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh
para perawi yang adil (tsiqah/terpercaya). Jika seseorang menyelisihinya
setelah tetapnya hujjah kepadanya maka ia kafir; adapun sebelum tegaknya hujjah
maka ia mendapat udzur karena kejahilan, karena ilmu tentang hal ini (nama-nama
dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak bisa diketahui dengan akal,
atau dengan pemikiran, dan kami tidak mengkafirkan seorangpun yang jahil (tidak
tahu), kecuali setelah sampai kabar tentang hal tersebut kepadnya. Kami
menetapkan sifat-sifat ini dan kami menolak tasybih dari sifat-sifat tersebut
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menolak tasybih dari diri-Nya.[29]
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitabnya, Dzam
at-Takwil, halm.20: Abu Bakr al-Marwazi berkata: Dan telah mengabarkan kepadaku
Ali bin Isa bahwasanya Hanbal telah menyampaikan kepada mereka, ia berkata,
“Aku bertanya kepada Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang
diriwayatkan ‘sesungguhnya Allah Ta’ala turun setiap malam ke langit dunia’,
dan ‘sesungguhnya Allah Ta’la dilihat’, dan ‘sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala meletakkan kaki-Nya’, dan hadits-hadits yang semisal ini”, maka Abu
Abdillah (al-Imam Ahmad) berkata, “Kami beriman dengan hadits-hadits ini dan
kami menbenarkannya, tanpa ada bagaimananya dan tanpa memaknainya
(mentakwilnya) dan kami tidak menolak sedikitpun dari hadits-hadits ini, dan
kami mengetahui bahwasanya apa yang datang dari Rasulullah adalah benar jika
datang dengan sanad-sanad yang shahih, dan kami tidak menolak sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala disifati
lebih dari apa yang Allah Ta’ala sifatkan diri-Nya sendiri, atau pensifatan
Rasul-Nya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa adanya batasan
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat).
Orang-orang yang mensifati (Allah Subhanahu wa Ta’ala)
tidak akan sampai kepada sifat-Nya (yang sebenarnya) dan sifat-sifat-Nya
dari-Nya. Kami tidak melebihi al-Qur’an dan Hadits, maka kami mengatakan
sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kami mensifati
sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sifati diri-Nya, kami tidak
melampuinya, kami beriman kepada seluruh al-Qur’an yang muhkam maupun yang
mutasyabih, dan kami tidak menghilangkan satu sifat pun dari sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala hanya karena celaan”.
Demikianlah aqidah empat Imam madzhab Ahlus-Sunnah,
bahwasanya mereka menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana
yang ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits yang shahih, akan tetapi
mereka menafikan tasybih dan penyamaan dengan sifat-sifat makhluk. Mereka
menetapkan sifat tangan Allah Ta’ala akan tetapi tidak seperti tangan makhluk;
demikian pula wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana penglihatan dan
pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak seperti penglihatan dan pendengaran
makhluk.
Meskipun Ahlus-Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi mereka menyerahkan hakikat bagaimana
sifat-sifat tersebut hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Karena akal
dan ilmu manusia tidak akan mampu menangkap bagaimananya hakikat sifat-sifat
Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
Ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya [Thaha/20:110].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Madzhab Salaf
–semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka- menetapkan sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan memperlakukan sifat-sifat tersebut sebagaimana
zhahirnya (lahiriyahnya) dan menafikan bagaimananya hakikat sifat-sifat
tersebut. Karena pembiaraan tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah cabang dari pembicaraan tentang Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan
penetapan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menetapkan adanya wujudnya Dzat
Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan menetapkan bagaimananya Dzat Allah Subhanahu wa
Ta’ala, maka demikian pula penetapan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah madzhab para Salaf seluruhnya”.[30]
Hal ini berbeda dengan musyabbihah yang
menggambarkannya sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau menyerupakan
sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat makhluk.
Kaum Mu’atthilah menolak sifat-sifat Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Ada di antara mereka yang menolak sebagian sifat, seperti kaum
Asya’irah dan Maturidiah. Juga ada di antara mereka yang menolak seluruh sifat,
seperti kaum Jahmiyah dan Mu’tazilah.
Mereka menganggap penetapan setiap sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala berkonsekwensi telah mentasybih (menyerupakan) Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluknya. Padahal menyatakan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan makhluk sama-sama memiliki pendengaran dan penglihatan bukanlah
tasybih atau tajsim yang merupakan kekufuran. Hanya saja yang merupakan
kekufuran, ialah jika kita menyatakan bahwa penglihatan dan pendengaran Allah
Subhanahu wa Ta’ala seperti penglihatan dan pendengaran manusia –sebagaimana
telah lalu penjelasannya. Bahkan hingga Jahmiyah dan Mu’tazilah (yang menolak
seluruh sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) menamakan Asya’irah sebagai
musyabbihah karena telah menetapkan sebagian sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di antara tuduhan Mu’tazilah (para penolak sifat-sifat
Allah Subhanahu wa Ta’ala) adalah menuduh Ahlus-Sunnah sebagai mujassim dan
musyabbih. Hal ini telah jauh-jauh hari diingatkan oleh para Ulama Salaf.
Abu Zur’ah ar-Razi (wafat 264 H) berkata: “Mu’atthilah
(para penolak sifat yang mengingkari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla), yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensifati diri-Nya di dalam al-Qur’an dan
melalui lisan Nabi-Nya, dan mereka (Mu’atthilah) mendustakan hadits-hadits
shahih yang datang dari Rasulullah tentang sifat-sifat, lalu mereka
mentakwilnya dengan pemikiran mereka yang terbalik agar sesuai dengan keyakinan
mereka yang sesat, lalu mereka menisbahkan para perawi hadits-hadits tersebut
kepada tasybih. Maka barang siapa yang menisbahkan orang-orang yang mensifati
Rabb mereka –Tabaraka wa Ta’ala- dengan sifat-sifat –yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala mensifati dirinya di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya tanpa
tamtsil dan tasybih- kepada tasybih maka ia adalah seorang mu’atthil yang
menafikan sifat. Dan mereka (para mu’atthil) diketahui dengan sikap mereka yang
menisbahkan para penetap sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada tasybih.
Demikianlah yang para Ulama katakan, di antaranya Abdullah bin al-Mubarak
(wafat 181 H) dan Waki’ bin al-Jarah (wafat 197 H)”.[31]
Ishaq bin Rahuyah (wafat 238 H) berkata: “Tanda Jahm
(bin Shafwan) dan para sahabatnya –yang gemar berdusta- adalah mereka menuduh
Ahlu Sunnah wal-Jama’ah bahwsanya mereka adalah musyabbihah. Bahkan justru
merekalah (Jahm dan pengikutnya) adalah mu’atthilah”.[32]
Abu Bakar Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi asy-Syafii
(wafat 219 H) berkata:
“Apa yang diucapkan oleh al-Qur’an dan hadits, seperti:
“Apa yang diucapkan oleh al-Qur’an dan hadits, seperti:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah
terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu. [al-Ma-idah/5:64].
Dan seperti:
وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.
[az-Zumar/39:67].
Dan yang semisal ayat-ayat ini dalam al-Qur’an dan
hadits, maka kami tidak menambahkannya dan kami tidak menafsirkannya (dengan
takwil-takwil), dan kami berhenti dimana berhenti al-Qur’an dan al-Hadits, dan
kami berkata:
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
(yaitu)Tuhan yang Maha Pemurah, yang ada di atas
‘Arsy. ([Thaha/20:5].
Dan barang siapa yang menyangka selain dari ini maka
ia adalah mu’atthil Jahmiah.[33]
Inilah kaum yang telah jauh-jauh diperingatkan oleh para imam kaum Muslimin akan bahaya mereka.
Inilah kaum yang telah jauh-jauh diperingatkan oleh para imam kaum Muslimin akan bahaya mereka.
Keempat, Kaum Wahhabi Dituduh Melarang Bershalawat
Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Tentunya ini merupakan tuduhan dusta. Justru kaum Wahhabi sangat menganjurkan untuk bershalawat. Salah seorang ulama yang menjadi sumber inspirasi kaum Wahhabi, yaitu Imam Ibnul-Qayyim (murid Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah) telah menulis sebuah buku khusus tentang keutamaan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjudul
Tentunya ini merupakan tuduhan dusta. Justru kaum Wahhabi sangat menganjurkan untuk bershalawat. Salah seorang ulama yang menjadi sumber inspirasi kaum Wahhabi, yaitu Imam Ibnul-Qayyim (murid Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah) telah menulis sebuah buku khusus tentang keutamaan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjudul
جَلاَءُ الأَفْهَامِ فِي فَضْلِ الصَّلاَةِ عَلَى خَيْرِ الأَنَامِ
Adapun yang dilarang adalah shalawat-shalawat bid’ah
yang berisi makna-makna menyimpang. Seperti halnya shalawat Fatih yang
dipopulerkan Thariqah at-Tijaniyah –yang menurut anggapan mereka- keutamaan
membaca shalawat ini sekali saja seperti mengkhatamkan al-Qur’an 6000 kali.
Kelima,
Kaum Wahhabi Dituduh Membenci Ahlul-Bait (Keluarga Nabi)
Tuduhan ini merupakan kedustaan –karena- bahkan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab telah memberi nama anak-anak beliau dengan nama-nama Ahlul-Bait. Diantara nama anak beliau adalah Hasan, Husain, Ali, Ibrahim, Abdullah, Abdulaziz, Fathimah. Tentunya seorang yang berakal tidak akan memberi nama anaknya dengan nama orang yang ia benci, akan tetapi justru sebaliknya ia akan memberinya nama dengan nama orang yang ia cintai.
Tuduhan ini merupakan kedustaan –karena- bahkan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab telah memberi nama anak-anak beliau dengan nama-nama Ahlul-Bait. Diantara nama anak beliau adalah Hasan, Husain, Ali, Ibrahim, Abdullah, Abdulaziz, Fathimah. Tentunya seorang yang berakal tidak akan memberi nama anaknya dengan nama orang yang ia benci, akan tetapi justru sebaliknya ia akan memberinya nama dengan nama orang yang ia cintai.
Keenam,
Kaum Wahhabi Dituduh Melarang Ziarah Kubur
Ini juga merupakan tuduhan dusta, malah justru kaum Wahhabi sangat menganjurkan ziarah kubur yang merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengingat akhirat dan mendoakan penghuni kubur. Akan tetapi yang dilarang adalah ziarah kubur yang di dalamnya terdapat praktek (amaliyah) perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti meminta atau beristighatsah kepada mayat penghuni kubur, atau beribadah di kuburan, karena hal ini menyelisihi dan melanggar sabda-sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini juga merupakan tuduhan dusta, malah justru kaum Wahhabi sangat menganjurkan ziarah kubur yang merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengingat akhirat dan mendoakan penghuni kubur. Akan tetapi yang dilarang adalah ziarah kubur yang di dalamnya terdapat praktek (amaliyah) perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti meminta atau beristighatsah kepada mayat penghuni kubur, atau beribadah di kuburan, karena hal ini menyelisihi dan melanggar sabda-sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketujuh,
Syaikh Muhammad Bin Abdil-Wahhab Dituduh Mengaku Sebagai Nabi
Ini merupakan kedustaan yang amat kelewat batas dan pernah disampaikan oleh Ahmad Zaini Dahlan yang dengki kepada dakwah beliau. Subhanallah, sedemikian keji Dahlan menuduh Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab mengaku sebagai seorang nabi. Padahal, sungguh terlalu banyak perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab yang tegas menyatakan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi terakhir, penutup para Nabi.
Ini merupakan kedustaan yang amat kelewat batas dan pernah disampaikan oleh Ahmad Zaini Dahlan yang dengki kepada dakwah beliau. Subhanallah, sedemikian keji Dahlan menuduh Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab mengaku sebagai seorang nabi. Padahal, sungguh terlalu banyak perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab yang tegas menyatakan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi terakhir, penutup para Nabi.
Di antara perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab
ialah: “Manusia mengetahui bahwasanya tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan kita maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan kita begitu
saja, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul kepada kita.
Rasul yang pertama adalah Nuh, dan yang terakhir adalah Muhammad
‘alihimus-sallam. Dari para rasul tersebut kita memperoleh Rasul yang terakhir
dan yang paling mulia, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita
adalah umat yang terakhir”.[34]
Syaikh juga berkata: “Rasul yang pertama adalah Nuh
‘alaihis-Sallam, dan yang terakhir adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan ia adalah penutup para Nabi, tidak ada lagi Nabi setelahnya.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ‘Bukanlah Muhammad adalah ayah
salah seorang dari kalian akan tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para
Nabi.”[35]
Syaikh juga mengkafirkan orang yang mengaku sebagai
nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula yang
membenarkan adanya nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga dihukumi kafir oleh Syaikh. Beliau berkata:”Barangsiapa yang berbuat
syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ia telah kafir setelah Islamnya…
atau mengaku sebagai nabi, atau membenarkan orang yang mengaku sebagai Nabi
setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[36]
Beliau juga berkata: “Mereka, para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Bani Hanifah –padahal Banu Hanifah
telah masuk Islam pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mereka
bersaksi bahwsanya tidak sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Ta’ala
dan bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasulullah, mereka
mengumandangkan adzan dan mereka shalat”.
Jika ada yang berkata: “Akan tetapi Bani Hanifah
(dikafirkan dan diperangi, karena) mereka mengatakan bahwa Musailamah adalah
nabi”, maka katakanlah: “Inilah yang dimaksud, jika seseorang yang mengangkat
seseorang hingga derajat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam(maka ia) menjadi
kafir, halal darah dan hartanya, serta tidak bermanfaat dua kalimat syahadatnya
dan juga shalatnya, maka bagaimana lagi dengan orang yang mengangkat Samson,
atau Yusuf, atau sahabat, atau nabi ke derajat Allah Ta’ala penguasa langit dan
bumi?”[37]
___________________________________
Oleh
Ustadz Firanda Andirja, MA
Ustadz Firanda Andirja, MA
___________________________________
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
7/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR at-Tirmidzi, no. 1931. Dihasankan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani.
[2]. Yaitu kepada dua hakim,Pen.
[3]. Salah satu firqah dari pecahan firqah-firqah Khawarij, yaitu merupakan pengikut seseorang yang bernama Najdah bin ‘Amir,Pen.
[4]. Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, Cet. Al-Maktabah al-‘Ashriyah, Beirut, 1/167-168.
[5]. Al-Farqu Baina al-Firaq, Cet. Maktabah Muhammad Ali Subaih, Mesir,hlm.73.
[6]. Al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, tahqiq: Dr. Abdurrahim ‘Umairoh, Daar al-Jail, Beirut, 2/270.
[7]. Al-Milal wa an-Nihal, Daar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon, Cet. Ke-3, 1/132.
[8]. Minhaj at-Ta’sis,hlm.98
[9]. Ad-Durar as-Saniyyah,10/432-433.
[10]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/104.
[11]. Ad-Durar as-Saniyyah, 1/73.
[12]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/102, lihat juga 11/317.
[13]. Majmu’ al-Fatawa,12/466.
[14]. Majmu’ al-Fatawa,12/498.
[15]. Lihat Syarah al-‘Aqidah ath-Thahiwiyah (hlm.53), Dar at-Ta’arud (4/145), dan Maqalat at-Tasybih wa Mauqif Ahlis-Sunnah minha (1/79).
[16]. Lihat Sunan at-Tirmidzi (3/42) kitab az-Zakat, Bab: Ma Ja a fi Fadhl ash-Shadaqah, dibawah hadits no.662.
[17]. Diriwayatkan oleh al-Khallal dengan sanadnya dalam kitabnya, as-Sunnah sebagaimana telah dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam Dar at-Ta’arud (2/32), dan Ibnul-Qayyim dalam ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, hlm. 162.
[18]. Lihat al-Aqidah al-Washithiyyah, syarah Khalil Harras, halm. 47-48.
[19]. Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah (2/42) dan Lisanul-‘Arab (10/387).
[20]. Lihat ash-Shawa’iq al-Mursalah,1/215-216.
[21]. Lihat al-Qawa’id al-Mutsla, syarh al-Mujala, halm.206.
[22]. Lihat al-Qawa’id al-Mutsla, syarh al-Mujala,hlm.202.
[23]. At-Tamhid, 7/145.
[24]. Lihat HR at-Tirmidzi, no.662.
[25]. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, 3/41.
[26]. Demikian penjelasan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, 3/42.
[27]. Lihat Syarh al-Fiqh al-Akbar, karya Syaikh Abu al-Muntah Ahmad bin Muhammad al-Hanafi (halm. 120-122), dan juga asy-Syarh al-Muyassar li al-Fiqh al-Akbar, karya al-Khamis (hlm.42).
[28]. Atsar perkataan Imam Malik ini shahih dari banyak jalan. Silahkan melihat takhrij atsar ini secara detail dalam buku al-Atsar al-Masyhur ‘an al-Imam Malik fi Sifat al-Istiwa, karya Syaikh Abdur-Razzaq al-‘Abbad, hlm.35-51.
[29]. Kitab Itsbat Sifat all-‘Uluw, karya Ibnu Qudamah (hlm. 181) dan juga dalam kitab beliau, Dzam at-Ta’wil, hlm.21.
[30]. Majmu’ al-Fatawa,4/6-7.
[31]. Al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah,1/187 dan 1/196-197.
[32]. Syarh Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah,2/588.
[33]. Dzam at-Takwil,1/24.
[34]. Ad-Durar as-Saniyyah, 1/168.
[35]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/135.
[36]. Ad-Durar as-Saniyyah,10/88.
[37]. Kasyf asy-Syubuhat,halm.32.
_______
Footnote
[1]. HR at-Tirmidzi, no. 1931. Dihasankan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani.
[2]. Yaitu kepada dua hakim,Pen.
[3]. Salah satu firqah dari pecahan firqah-firqah Khawarij, yaitu merupakan pengikut seseorang yang bernama Najdah bin ‘Amir,Pen.
[4]. Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, Cet. Al-Maktabah al-‘Ashriyah, Beirut, 1/167-168.
[5]. Al-Farqu Baina al-Firaq, Cet. Maktabah Muhammad Ali Subaih, Mesir,hlm.73.
[6]. Al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, tahqiq: Dr. Abdurrahim ‘Umairoh, Daar al-Jail, Beirut, 2/270.
[7]. Al-Milal wa an-Nihal, Daar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon, Cet. Ke-3, 1/132.
[8]. Minhaj at-Ta’sis,hlm.98
[9]. Ad-Durar as-Saniyyah,10/432-433.
[10]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/104.
[11]. Ad-Durar as-Saniyyah, 1/73.
[12]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/102, lihat juga 11/317.
[13]. Majmu’ al-Fatawa,12/466.
[14]. Majmu’ al-Fatawa,12/498.
[15]. Lihat Syarah al-‘Aqidah ath-Thahiwiyah (hlm.53), Dar at-Ta’arud (4/145), dan Maqalat at-Tasybih wa Mauqif Ahlis-Sunnah minha (1/79).
[16]. Lihat Sunan at-Tirmidzi (3/42) kitab az-Zakat, Bab: Ma Ja a fi Fadhl ash-Shadaqah, dibawah hadits no.662.
[17]. Diriwayatkan oleh al-Khallal dengan sanadnya dalam kitabnya, as-Sunnah sebagaimana telah dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam Dar at-Ta’arud (2/32), dan Ibnul-Qayyim dalam ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, hlm. 162.
[18]. Lihat al-Aqidah al-Washithiyyah, syarah Khalil Harras, halm. 47-48.
[19]. Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah (2/42) dan Lisanul-‘Arab (10/387).
[20]. Lihat ash-Shawa’iq al-Mursalah,1/215-216.
[21]. Lihat al-Qawa’id al-Mutsla, syarh al-Mujala, halm.206.
[22]. Lihat al-Qawa’id al-Mutsla, syarh al-Mujala,hlm.202.
[23]. At-Tamhid, 7/145.
[24]. Lihat HR at-Tirmidzi, no.662.
[25]. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, 3/41.
[26]. Demikian penjelasan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, 3/42.
[27]. Lihat Syarh al-Fiqh al-Akbar, karya Syaikh Abu al-Muntah Ahmad bin Muhammad al-Hanafi (halm. 120-122), dan juga asy-Syarh al-Muyassar li al-Fiqh al-Akbar, karya al-Khamis (hlm.42).
[28]. Atsar perkataan Imam Malik ini shahih dari banyak jalan. Silahkan melihat takhrij atsar ini secara detail dalam buku al-Atsar al-Masyhur ‘an al-Imam Malik fi Sifat al-Istiwa, karya Syaikh Abdur-Razzaq al-‘Abbad, hlm.35-51.
[29]. Kitab Itsbat Sifat all-‘Uluw, karya Ibnu Qudamah (hlm. 181) dan juga dalam kitab beliau, Dzam at-Ta’wil, hlm.21.
[30]. Majmu’ al-Fatawa,4/6-7.
[31]. Al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah,1/187 dan 1/196-197.
[32]. Syarh Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah,2/588.
[33]. Dzam at-Takwil,1/24.
[34]. Ad-Durar as-Saniyyah, 1/168.
[35]. Ad-Durar as-Saniyyah,1/135.
[36]. Ad-Durar as-Saniyyah,10/88.
[37]. Kasyf asy-Syubuhat,halm.32.