Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan pernah ditanya sebagai berikut :
هل البيعة واجبة أم مستحبة أم مباحة؟؛ وما منـزلتها من الجماعة والسمع والطاعة؟
“Apakah baiat itu hukumnya wajib, sunnah, atau sekedar mubah saja ? Dan apa kedudukannya dalam Jama’ah, serta (kewajiban) mendengar dan taat ?”.
Maka beliau menjawab sebagai berikut :
تجب
البيعة لولي الأمر على السمع والطاعة عند تنصيبه إماماً للمسلمين على
الكتاب والسنة ؛ والذين يبايعون هم أهل الحل والعقد من العلماء والقادة.
أما
غيرهم من بقيّة الرّعية فهم تَبَعٌ لهم، تلزمهم الطاعة بمبايعة هؤلاء، فلا
تطلب البيعة من كل أفراد الرعية؛ لأن المسلمين جماعة واحدة، ينوب عنهم
قادتهم وعلماؤهم .
هذا ما كان عليه السلف الصالح من هذه الأمة، كما كانت البيعة لأبي بكر رضى الله عنه ولغيره من ولاة المسلمين.
وليست
البيعة في الإسلام بالطريقة الفوضوية المسمّاة بالانتخابات، التي عليها
دول الكفر، ومن قلّدهم من الدول العربية، والتي تقوم على المساومة،
والدعايات الكاذبة، وكثيراً ما يذهب ضحيّتها نفوس بريئة.
والبيعة
على الطريقة الإسلامية يحصل بها الاجتماع والائتلاف، ويتحقق بها الأمن
والاستقرار، دون مزايدات، ومنافسات فوضوية، تكلّف الأمة مشقّة وعنتًا،
وسفك دماء، وغير ذلك
”Wajib berbai’at kepada waliyyul-amri (pemimpin
kaum muslimin) untuk mendengar dan taat, yaitu pada waktu dipilihnya
imam kaum muslimin yang berdasarkan atas Al-Qur’an As-Sunnah.[1] Orang-orang yang membaiat mereka adalah Ahlul-Halli wal-‘Aqdi dari kalangan ulama dan tokoh-tokoh agama.
Adapun
orang-orang selain mereka, yaitu dari kalangan rakyat, maka hanya
sekedar mengikuti saja (dari keputusan dan pembaiatan yang dilakukan
oleh Ahlul-Halli wal-’Aqdi). Konsekuensi dari pembaiatan tersebut, maka mereka wajib untuk taat kepada waliyyul-amri.
Tidaklah diharuskan semua rakyat membaiatnya tanpa terkecuali, karena
sesungguhnya kaum muslimin itu satu jama’ah yang satu dimana
tokoh agama dan ulama mereka telah mewakilinya.[2]
Ini adalah jalan yang pernah ditempuh oleh as-salafush-shalih dari kalangan umat ini, sebagaimana bai’at yang pernah terjadi pada masa Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu dan yang lainnya dari kalangan pemimpin kaum muslimin.
Bai’at dalam Islam itu bukanlah melalui cara yang kacau balau yang sering dinamakan dengan PEMILU (al-intikhabaat)
yang notabene merupakan sistem negara-negara kafir dan (sebagian)
negara-negara Arab yang membebek mereka; yaitu sistem yang berpijak
pada tawar-menawar dan pengakuan dusta (seperti dalam kampanye – Pent.). Bahkan sering memakan korban jiwa-jiwa yang tidak berdosa.
Baiat
yang berada di atas syari’at Islam menghasilkan kesepakatan dan
persatuan sehingga akan tercipta keamanan dan ketentraman tanpa
melebih-lebihkan dan berlomba-lomba dalam kekacauan yang akibatnya akan
membebani umat dengan kesulitan dan kerusakan, bahkan pertumpahan darah
dan yang lain sebagainya. [selesai jawaban dari Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan].
Diambil
dari Al-Ajwibatul-Mufiidah ‘an As-ilatil-Manaahijil-Jadiidah oleh
Jamaal bin Furaihaan Al-Haritsi; Cet. 3; Th. 1423 – pertanyaan
nomor 89 – dengan sedikit perubahan.
Abu Al-Jauzaa’ 1429.
[1] Ta’liq :
Asy-Syaukani rahimahullah berkata :
من
أعظم الأدلة على وجوب نصب الأئمة، وبذل البيعة لهم: ما أخرجه أحمد،
والترمذي، وابن خزيمة، وابن حبّان في صحيحه، من حديث الحارث الأشعري،
بلفظ: " من مات وليس عليه إمام جماعة فإن موتته موتة جاهلية". ثم إن
الصحابة لمّا مات رسول الله صلى الله عليه وسلم قدّموا أمر الإمامة
ومبايعة الإمام على كل شيء؛ حتى أنهم اشتغـلوا بذلك عن تجهيزه صلى الله
عليه وسلم
”Dalil
yang teragung tentang wajibnya mengangkat imam dan memberikan baiat
kepadanya adalah : Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad,
At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari hadits Al-Haarits Al-Asy’ary dengan lafadh : ”Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mempunyai imam jama’ah, maka matinya seperti mati jahiliyyah”. Maka para shahabat, ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat, meraka mendahulukan perkara imamah dan baiat kepada seorang imam di atas segalanya; sampai-sampai mereka sibuk dalam urusan ini daripada mengurus jenazah beliau shallallaahu ’alaihi wasallam” [As-Sailul-Jarar 4/504].
[2] Ta’liq :
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :
طريقها-
أي: البيعة- : أن يجتمع جماعة من أهل الحل والعقد، فيعقدون له البيعة ..
وأن المعتبر هو وقوع البيعة له – الإمام – من أهل الحل
والعقد، فإنها هي الأمر الذي يجب بعده الطاعة ويثبت به الولاية، وتَحرُم
معه المخالفة. وقد قامت على ذلك الأدلة وثبتت به الحجة.
......وليس
من شرط ثبوت الإمامة: أن يبايعه كل من يصلح للمبايعة، ولا من شرط الطاعة
على الرجل أن يكون من جملة المبايعين؛ فإن الاشتراط في الأمرين مردود
بإجماع المسلمين أوّلهم وآخرهم، سابقهم ولا حقهم
”Caranya – yaitu bai’at – adalah sekelompok Ahlul-Halli wa-’Aqdi berkumpul,
lalu mereka mengikat bai’at kepada seseorang (yang dipilih
menjadi imam)..... Dan sesungguhnya yang diakui adalah
dibai’atnya seseorang – yaitu imam – oleh Ahlul-Halli wal-’Aqdi, karena setelah adanya pembaiatan tersebut akan terikat kewajiban untuk taat, ber-wala’ (loyalitas),
dan haram untuk menyelisihinya/menentangnya. Telah tegak perkara ini
berdasarkan dalil dan hujjah yang kuat..... Bukanlah menjadi syarat
sahnya imamah agar setiap orang yang pantas berbaiat untuk berbaiat.
Bukan pula syarat ketaatan terhadap seseorang (yaitu imam) dengan
melihat jumlah orang yang membaiat. Karena menurut ijma’ ulama
terdahulu dan sekarang, dua persyaratan tersebut adalah tertolak”
[As-Sailul-Jarar 4/511,513].
Terkadang
ada orang yang berkata : ”Sesungguhnya baiat itu tidak boleh
dilakukan kecuali kepada seorang imam yang memimpin seluruh umat Islam
seperti yang terjadi di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan Khalifah Rasyidah”.
Maka kita jawab – wabillahit-taufiq – untuk membantah syubhat tersebut dengan penjelasan yang kuat dari Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah :
إذا
كانت الإمامة الإسلامية مختصة بواحد، والأمور راجعة إليه، مربوطة به ، كما
كان في أيام الصحابة والتابعين وتابعيهم؛ فحكم الشرع في الثاني الذي جاء
بعد ثبوت ولاية الأول : أن يقتل إذا لم يتب عن المنازعة.
وأما
بعد انتشار الإسلام، واتساع رقعته، وتباعد أطرافه؛ فمعلوم أنه قد صار في
كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان، وفي القطر الآخر أو الأقطار
كذلك، ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر وأقطاره التي رجعت إلى
ولايته؛ فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين، ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد
البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره و نواهيه؛ وكذلك صاحب القطر
الآخر، فإذا قام من ينازعه في القطر الذي قد ثبتت فيه ولا يته ، وبايعه
أهله، كان الحكم فيه: أن يقتل إذا لم يتب؛ ولا تجب على أهل القطر الآخر
طاعته، ولا الدخول تحت ولايته لتباعد الأقطار.
فاعرف
هذا؛ فإنه المناسب للقواعد الشرعية، والمطابق لما تدل عليه الأدلة، ودع
عنك ما يقال في مخالفته، فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في
أول الإسلام، وما هي عليه الآن أوضح من شمس النهار، ومن أنكر هـذا فهو
مباهت،
لا يستحق أن يخاطب بالحجة لأنه لا يعلقها
”Apabila
keimamahan Islam dikhususkan untuk satu orang, semua perkara
dikembalikan kepadanya, dan terikat melaluinya sebagaimana terjadi di
jaman shahabat, tabi’in, dantabi’ut-tabi’in;
maka menurut syari’at Islam, imam yang kedua – setelah
adanya imam yang pertama – harus dibunuh, bila ia tidak mau
bertaubat atas penentangannya.
Adapun
setelah tersebarnya Islam dan luasnya dunia Islam serta tempat-tempat
saling berjauhan; maka telah dimaklumi bahwa setiap daerah/negara
membutuhkan seorang imam atau sulthan dan mereka (penduduknya) tidak
perlu melaksanakan perintah dan larangan (peraturan-peraturan) yang
berlaku di daerah/negara lain. Maka berbilangnya imam dan penguasa
(yang berlainan daerah kekuasaannya) adalah tidak apa-apa. Setelah
dibaiatnya seorang imam, maka wajib bagi setiap orang yang berada di
bawah daerah kekuasaannya untuk mentaatinya, yaitu dengan melaksanakan
perintah dan larangan-larangannya. Seperti itu pula negara-negara yang
lainnya. Apabila ada orang yang menentang/menyelisihi (imam/sulthan) di
dalam suatu negara yang kekuasaan telah dipegangnya dan penduduk telah
membaiatnya, maka hukuman bagi orang tersebut adalah dibunuh bila tidak
mau bertaubat. Akan tetapi tidak wajib bagi penduduk negara lainnya
untuk mentaatinya dan masuk di bawah kekuasannya; karena saling
berjauhan kekuasannya.
Maka
pahamilah perkara ini, karena sesungguhnya hal ini sesuai dengan
kaidah-kaidah syari’at dan bersesuaian dengan dalil. Dan
tinggalkanlah pendapat yang menyelisihinya. Sesungguhnya perbedaan
antara daerah kekuasaan pada awal permulaan Islam dengan yang ada
sekarang ini adalah lebih jelas/terang daripada matahari di siang hari.
Maka orang yang mengingkari masalah ini berarti seorang pendusta, ia
tidak perlu diajak bicara dengan hujjah karena ia tidak
memahaminya” [selesai dengan peringkasan, As-Sailul-Jaraar 4/512].
Kadang muncul syubhat yang lain : ”Tidak sah keimamahan kecuali dengan pemilihan dan keridlaan dari rakyat”.
Maka kita katakan : ”Perkataan ini tidaklah keluar melainkan dari dua jenis manusia :
Pertama, adakalanya
orang tersebut jahil terhadap sunnah, maka perlu dijelaskan masalah itu
kepadanya dan kita memohon kepada Allah agar dilapangkan dadanya.
Kedua, adakalanya orang itu jahil namun
setelah mengetahui kebenaran lalu ia menentangnya, maka orang semacam
ini adalah pengikut hawa nafsu, sehingga tidak layak untuk diajak
bicara.
Dan
bantahan terhadap syubhat ini adalah : Kita katakan – dengan
mengharap pertolongan Allah – agar penuntut ilmu dan manusia
secara keseluruhan tahu bahwa khilafah dan imamah itu akan dianggap sah
dengan perkara-perkara berikut ini :
§ Adakalanya dengan cara memilih orang yang paling utama dan mulia seperti yang terjadi pada diri Abu Bakr Ash-Shiddiq radliyallaahu ’anhu.
§ Adakalanya
dengan wasiat/pesan khalifah sebelumnya seperti Abu Bakr berwasiat agar
kaum muslimin memilih ’Umar sebagai penggantinya.
§ Adakalanya
dengan berwasiat kepada sejumlah orang tertentu yang dikenal
kebaikannya untuk dipilih salah satu diantara mereka. Sebagaimana
’Umar menunjuk Ashhaabusy-Syuuraa. Kemudian setelah ’Utsman mati syahid, maka mereka membaiat ’Aliradliyallaahu ’anhum.
§ Dan
adakalanya dengan kemenangan dalam berperang seperti yang terjadi dalam
masa Bani Umayyah dan selainnya. Kekhilafahan dicapai oleh Bani Umayyah
di Andalus, sedangkan Bani ’Abbasiyyah memperoleh kekhilafahan di
Baghdad. Dan masa itu ulama telah banyak seperti : Humaid Ath-Thawiil,
Syu’bah bin Al-Hajjaaj, Ats-Tsauri, Hammad bin Salamah,
Isma’il bin ’Iyyasy, Ibnul-Mubarak, Ibnu ’Uyainah,
Yahya bin Al-Qaththaan, Al-Laits bin Sa’d, dan yang lainnya. Akan
tetapi tidak ada satupun di antara mereka yang menganggap berdirinya
kekhilafahan di Andalus dan pembaiatan kepada khalifahnya itu batal
(tidak sah).
Dan
jangan lupa, akibat persyaratan yang dibuat oleh madzhab ini –
yaitu (pendapat) tidak ada keimamahan kecuali adanya keridlaan (dari
rakyat) – berarti akan membatalkan (menganggap tidak sah)
terhadap kepemimpinan ’Ali radliyallaahu ’anhu dan anaknya Al-Hasan, karena tidak ada kesepakatan seluruh umat untuk membaiat mereka berdua. Maka perhatikanlah !!
Al-Imam
Ahmad, seorang imam Ahlus-Sunnah berkata : ”Pokok-pokok As-Sunnah
menurut kami adalah : Berpegang teguh dan meneladani apa yang ditempuh
oleh para shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam.....,
mendengar dan taat kepada imam,... baik yang baik maupun yang jahat,
(mendengar dan taat) kepada orang yang memegang khilafah lalu manusia
berkumpul, ridla kepadanya, dan (baiat akan berpindah kepada) orang
yang mengalahkan mereka dengan persenjataan sampai ia menjadi
khalifah,....tidak boleh ada seorang pun yang keluar (memberontak)
kepada imam kaum muslimin – padahal manusia sepakat dan mengakui
kepemimpinannya dengan ridla maupun dengan perebutan kekuasaan –
maka orang yang memberontak tersebut telah mematahkan tongkat kaum
muslimin, menyelisihi atsar-atsar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Jika orang ini mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah”.
[Dari kitab Ushul I’tiqad Ahlis-Sunnah oleh Al-Lalika’i 1/156-161].
Berkata Syaikhul-Islam Muhammad bin ’Abdil-Wahhab rahimahullah :
الأئمة
مجمعون من كل مذهب على أن من تغلب على بلد أو بلدان؛ له حكم الإمام في
جميع الأشياء، ولولا هذا ما استقامت الدنيا. لأن الناس من زمن طويل قبل
الإمام أحمد إلى يومنا هذا ما اجتمعوا على إمام واحد، ولا يعرفون أحداً من
العلماء ذكر أن شيئاً من الأحكام لا يصلح إلا بالإمام الأعظم
”Para
imam setiap madzhab telah sepakat bahwa siapa saja yang menaklukkan
suatu negara maka ia berhak menjadi imam (penguasa) dalam membawahi
segala urusan. Bila tidak demikian, maka dunia tidak akan berlangsung
dengan baik. Hal itu disebabkan manusia selang beberapa lama, sejak
sebelum jamannya Imam Ahmad sampai jaman sekarang ini, manusia tidak
berkumpul di bawah (kekuasaan) satu imam, dan mereka tidak mengetahui
(mendapati) seorang ulama pun yang menyebutkan bahwa : Suatu perkara
hukum tidak sah kecuali dengan keputusan Al-Imam Al-A’dham (imam yang membawahi seluruh kaum muslimin di dunia)” [Ad-Durarus-Saniyyah 7/239].
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2008/07/baiat-sunnah.html