Membawa anak
untuk ikut shalat berjama’ah di masjid adalah boleh, bahkan
sangat dianjurkan untuk melatih si anak untuk mencintai shalat
berjama’ah di masjid (terutama bagi anak laki-laki). Banyak dalil
yang menunjukkan kebolehannya, diantaranya adalah :
عَنْ
أَنَسِ بنِ مَالِكِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِنِّيْ لَأَدْخُلُ فِي الصَّلاَةِ وَأَنَا أُرِيْدُ إِطَالَتَهَا
فَأَسْمَعُ بكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَزُ فِيْ صَلاَتِيْ مِمَّا
أَعْلَمُ مِنْ شِدَّة وَجدِ أمِّهِ مِنْ بُكَائِهِ
Dari Anas bin Malik, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda : “Sungguh
aku akan memulai shalat (berjama’ah) dan aku ingin
memperpanjangnya. Namun tiba-tiba aku mendengar suara tangisan seorang
bayi. Maka aku memperingan (memperpendek) shalatku, karena aku
mengetahui betapa cintanya (gelisahnya) ibunya terhadap tangis
(anak)-nya itu” [HR. Bukhari no. 677 dan Muslim no. 470]. [1]
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ شِدَّادِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ إِحْدَى صَلاَتَيِ
الْعِشَاءِ وَهُوَ حَامِل حَسَناً أَوْ حسَيْناً فَتَقَدَّمَ رسول الله
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَهُ ثُمَّ كَبَّرَ لِلصَّلاَةِ
فَصَلَّى فَسَجَدَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ صَلاَتِهِ سَجْدَةً أَطَالَهَا
قَالَ أَبِيْ فَرَفَعْتُ رَأْسِيْ وَإِذَا الصَّبِيُّ عَلَى ظَهْرِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ سَاجِد
فَرَجَعْتُ إِلَى سُجُوْدِيْ فَلَمَّا قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ قَالَ النَّاسُ يَا رسول الله
إِنَكَ سَجَدْتَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ صَلاَتِكَ سَجْدَة أَطَّلْتَهَا
حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ قَدْ حَدَثَ أَمْر أَوْ أَنَّهُ يُوْحَى إِلَيْكَ
قَالَ كُلُّ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ وَلَكِن ابْنِي ارْتَحَلَنِيْ فَكَرَهْتُ
أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ
Abdullah bin
Syaddad meriwayatkan bahwa ayahnya berkata : ”Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam menemui kami saat hendak
mengerjakan salah satu shalat malam (yaitu maghrib atau
’isya’) sambil membawa Hasan atau Husain. Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam maju dan meletakkan cucunya
tersebut lalu mengucapkan takbiratul-ihram dan memulai shalat. Di
tengah shalat, beliau sujud cukup lama”. Ayahku berkata :
”Maka aku mengangkat kepala, lalu tampaklah cucu beliau yang
masih kecil itu sedang bermain di tas punggung beliau, sedangkan beliau
tetap sujud. Maka akupun sujud kembali. Setelah selesai shalat, para
shahabat bertanya : ’Wahai Rasulullah, engkau sujud terlalu lama
di tengah-tengah shalat tadi, sehingga kami mengira telah terjadi
sesuatu, atau engkau sedang menerima wahyu”. Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Semua
dugaan kalian tidaklah terjadi. Akan tetapi cucuku ini sedang naik ke
punggungku seperti sedang menunggang kendaraan. Aku tidak ingin
menyudahinya sampai ia benar-benar berhenti sendiri” [HR. Nasa’i dalam Ash-Shughraa no. 1141; shahih].
عَنْ
أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي
الْعَاصِ وَهِيَ ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا
رَفَعَ مِنْ السُّجُودِ أَعَادَهَا
Dari Abi Qatadah
Al-Anshary radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Aku melihat
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam sedang mengimami manusia dan
Umamah binti Abil-’Ash – ia adalah anak dari Zainab binti
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam – (digendong) di atas
pundakya. Apabila beliau rukuk, maka beliau meletakkannya, dan apabila
beliau akan berdiri dari sujud, maka beliau kembali
(menggendongnya)” [HR. Bukhari no. 494 dan Muslim no. 543; ini
lafadh Muslim].
Imam An-Nawawi berkata ketika menjelaskan hadits di atas :
هَذَا
يَدُلّ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - وَمَنْ
وَافَقَهُ أَنَّهُ يَجُوز حَمْل الصَّبِيّ وَالصَّبِيَّة وَغَيْرهمَا مِنْ
الْحَيَوَان الطَّاهِر فِي صَلَاة الْفَرْض وَصَلَاة النَّفْل , وَيَجُوز
ذَلِكَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُوم , وَالْمُنْفَرِد
”Hadits
ini sebagai dalil bagi madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah dan yang
sepakat dengannya bahwasannya diperbolehkan untuk membawa anak baik
laki-laki dan perempuan serta hewan yang suci dalam shalat fardlu dan
shalat sunnah, baik ia seorang imam, makmun, atau orang yang shalat
sendirian (munfarid)” [Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi].
Namun menjadi
wajib bagi orang tua atau siapa saja yang membawa anak tersebut untuk
menjaga ketenangan shalat berjama’ah. Ia bisa meletakkannya dalam
shaff tersendiri bersama anak-anak lain di belakang shaff orang dewasa.
Jika hal ini malah menimbulkan kegaduhan (sebagaimana tabi’at
anak yang senang bermain jika berkumpul dengan sesamanya), maka ia bisa
meletakkannya diantara shaff-shaff orang dewasa agar supaya mereka
merasa segan untuk berbuat kegaduhan karena berdekatan dengan orang
dewasa. Jika dengan cara inipun anak tersebut masih menimbulkan
kegaduhan yang sangat mengganggu, sebaiknya anak tersebut jangan dibawa
ke masjid hingga ia bisa lebih tenang jika dibawa ke masjid untuk
shalat berjama’ah. Dan ini menjadi tugas bagi para pendidik
(orang tua) di rumah. Wallaahu a’lam.
Abul-Jauzaa' 1429 --Catatan kaki :
[1] Perhatikanlah ! Tangisan bayi yang didengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa keberadaan anak-anak yang dibawa orang tuanya dalam shalat berjama’ah di masjid adalah fenomena yang biasa di jaman itu.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2008/05/hukum-membawa-anak-ke-masjid-boleh.html