Studi Kritis Membangun Masjid
Di Dekat Masjid
بسم
الله الرحمن الرحيم
Muqoddimah
الحمد
لله و أشهد أن لا إله إلاالله, و أن محمدا عبده ورسوله , صلى الله عليه و على اله
و صحبه و من تبع هداه, أما بعد
Sungguh membangun masjid adalah suatu keutamaan yang besar,
imam Muslim rohimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :
عَنْ
عُثْمَانِ بْنَ عَفَّانَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ فِي
الْجَنَّةِ مِثْلَهُ
Dari Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- dia berkata; Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
membangun masjid ikhlas karena Allah maka Allah akan membangunkan baginya yang
serupa dengannya di surga.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Masajid wa Mawadhi’
as-Shalah)
Namun sebagian orang karena hanya dorongan semangat ditambah
ketidaktahuannya akan hukum-hukum dan mashlahat syar’i diapun membangun masjid
tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya dan akibat yang jelek yang
ditimbulkannya dikemudian hari.
Telah banyak kita saksikan orang-orang yang bersemangat
menegakkan sunnah membangun masjid di dekat masjid yang sudah ada tanpa dia
sadari akan mafsadat yang ditimbulkannya, karena itu perlu ada pembahasan
tersendiri tentang Membangun Masjid Di Dekat Masjid, pembahasan akan kami bagi
dalam 5 Bab yaitu, Bab Masjid Sebagai Pemersatu, Bab Kisah Masjid Dhiror, Bab
Membantah Syubhat, Bab mashlahat sholat di Masjid yang telah ada walaupun jauh,
dan Bab Mudhorot Membangun Masjid Di Dekat Masjid.
Bab Masjid Sebagai
Pemersatu
Alloh ta’ala berfirman,
وَلا
تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ
الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٥)
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.
mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,” (Ali-Imron:
105)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَتُسَوُّوْنَ
صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“Sungguh luruskanlah shaf-shaf kalian, atau kalau tidak demikian sungguh Allah akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berpaling.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu-
berkata: Rasulullah-shollallahu alaihi wasallam- bersabda:
اِسْتَوُوْا
وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ
“Luruslah kalian dan jangan kalian berselisih. Lantaran itu, hati-hati kalian akan berselisih”. (HR. Al-Imam Muslim dalam Shohih-nya (432))
Dalam hadits lain beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda:
لَتَسُوُّنَّ
صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Kalian akan benar-benar meluruskan shaf, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalian berselisih”. (HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (717), dan Muslim dalam Shohih-nya(436))
Dalil-dalil diatas menunjukkan kepada kita bahwa sholat
berjam’ah adalah pemersatu kaum muslimin, dan masjid sebagai tempat sholat
merupakan tempat yang memersatukan kaum muslimin, dan Rosululloh shollalohu
‘alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah beliau pertama kali membangun masjid,
setelah unta tunggangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di
suatu tempat di Madinah, maka kaum muslimin menjadikannya sebagai tempat untuk
menunaikan shalat. Tempat itu merupakan tempat penjemuran kurma milik Suhail
dan Sahl, dua anak yatim dari Bani Najjâr yang berada dalam pemeliharaan As’ad
bin Zurârah.
Ketika tunggangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berhenti di tempat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَذَا
إِنْ شَاءَ اللهُ الْمَنْزِلُ
“Ini Insya Allah, tempat menetap” [HR Bukhâri]
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil
kedua anak yatim itu dan menawar tanah itu untuk dijadikan masjid. Tetapi kedua
anak itu berkata: “Justru kami ingin memberikannya kepada anda, wahai Rasulullah”.
Meski demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa enggan menerima
pemberian dua anak kecil ini, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tetap membelinya. Dan di atas tanah ini, Masjid Nabawi dibangun. (HR Bukhâri,
al-Fath, 15/101, no. 3906.)
Maka Jadilah Masjid Nabawi sebagai tempat Ibadah dan pusat
persatuan pemerintahan kaum muslimin di Madinah.
Bab Kisah Masjid
Dhiror
Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke
Madinah, di kota suci ini ada seorang laki-laki dari bani Khazraj berjuluk Abu
Amir Ar-Râhib. Lelaki ini pada masa jahiliyah beragama Nasrani dan mempelajari
kitab-kitabnya, sehingga dia termasuk orang yang tekun beribadah pada masa itu.
Di sisi lain dia juga mempunyai kedudukan dan pengaruh besar dalam kabilahnya.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, kaum
Muslimin bersatu di bawah tampuk kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam; sehingga Islam menjadi kuat, apalagi setelah Allah Azza wa Jalla
memenangkannya pada waktu perang Badar.
Melihat keadaan seperti ini Abu Amir tidak rela, sehingga
dia menampakkan permusuhannya terhadap kaum Muslimin; sampai-sampai dia pergi
ke Mekah menemui orang-orang kafir Quraisy untuk mengajak memerangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin di Madinah. Mereka pun setuju
dan kemudian menyusun kekuatan; hingga terjadilah perang Uhud. Dia juga
mengajak kaum Anshar untuk bekerja sama dan menyetujui pemikirannya. Namun
ketika mereka mengetahui maksud buruknya, mereka berkata, ”Wahai musuh Allah
Azza wa Jalla, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikanmu sebagai orang yang
dibenci setiap orang yang melihatmu”, Mereka mencaci-maki dan mencelanya; lalu
dia pulang dan berkata, ”Demi Allah Azza wa Jalla, kejelekan telah menimpa
kaumku”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengajaknya untuk
masuk Islam serta membacakan al-Qur’ân kepadanya sebelum dia lari ke negeri
Romawi. Meskipun demikian, dia tetap menolak masuk Islam, bahkan mengatakan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku tidak menemui suatu kaum
yang memerangimu kecuali aku bersama mereka”. Maka beliau mendoakan dia agar
mati di tempat yang jauh dalam keadaan terusir.
Lelaki ini memang selalu bersama orang-orang kafir dalam
semua peperangan melawan kaum Muslimin. Kemudian ketika mereka kalah dalam
perang di Hawazun, dia pergi ke negeri Romawi meminta bantuan raja Romawi untuk
memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sana dia juga menyuruh
orang-orang munafik (dari penduduk Madinah) untuk membangun masjid dhirâr.
Atas dasar perintah tersebut, mereka lalu mendirikan masjid
berdekatan dengan masjid Quba’. Masjid tersebut selesai didirikan sebelum
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Tabuk. Lalu mereka
mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta agar beliau
mengunjungi mereka dan shalat di masjid itu. Sebenarnya mereka bermaksud
(mengelabui kaum Muslimin) menjadikan shalat beliau ini sebagai hujjah bagi
mereka, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyetujui
pembangunan masjid tersebut. Mereka menyebutkan kepada beliau alasan mendirikan
masjid itu; yaitu untuk orang-orang tua maupun yang sakit (yang tidak bisa
hadir shalat berjama’ah di masjid Quba’) pada saat malam musim dingin (akan tetapi
alasan ini tidaklah benar adanya).
Kemudian Allah Azza wa Jalla melarang rasul-Nya agar tidak
melaksanakan shalat di masjid tersebut, dengan menurunkan ayat,
وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ
وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ
إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang
mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin),
untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu
kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka
sesungguhnya bersumpah,”kami tidak menghendaki selain kebaikan.”Dan Allah menjadi
saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).”
[at-Taubah/9:107]
Dijelaskan, “Mereka yang mendirikan masjid dhirâr adalah
sekawanan orang (munafik) dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang.
Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada
orang-orang Mukmin dan masjid mereka’, dan untuk menguatkan kekafiran
orang-orang munafik, serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin. Pada awalnya
mereka semua shalat berjamaah di satu masjid (masjid Quba’), kemudian terpecah
menjadi dua masjid (di masjid Quba’ dan masjid dhirâr). Mereka ingin
mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan
memecah belah shaf kaum Mukminin. Juga untuk menunggu kedatangan orang yang
telah memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sejak dahulu yaitu Abu Amir ar-Râhib. Mereka sesungguhnya bersumpah dengan
mengatakan,”Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan yaitu menunaikan shalat dan
berdzikir di dalamnya serta memberi kemudahan bagi para jama’ah.” Dan Allah
Azza wa Jalla menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta
(dalam sumpahnya).
Larangan Allah Azza wa Jalla tersebut telah di sebutkan
dengan jelas di dalam ayat berikutnya, yaitu:
لَا
تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ
يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah kamu shalat di dalam masjid itu selama-lamanya.
Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah
lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri. Dan Allah Azza wa Jalla menyukai orang-orang yang bersih.”
[at-Taubah/9:108]
Larangan Allah Azza wa Jalla ini tidaklah khusus bagi
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi kaum Muslimin juga
termasuk dalam larangan tersebut; sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsîr
rahimahullah, “Ayat (di atas) merupakan larangan dari Allah Azza wa Jalla
kepada Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak shalat di masjid
tersebut selamalamanya, dan umatnya mengikutinya dalam hal ini.”
Kemudian Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat di masjid Quba’ yang
telah didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama. Maksudnya atas dasar
ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan juga untuk mempersatukan ukhuwah
kaum Muslimin serta sebagai markas mereka.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus
Mâlik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya berkata kepada
mereka berdua, ”Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang
dzalim (masjid dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah.” Maka keduanya pun
berangkat; sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata kepada Ma’an,
“Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.” Sesaat
kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan berjalan
dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya, sehingga
orang yang berada di dalamnya (berlarian) keluar.
Sedangkan Abu Amir ar-Râhib; dia mati di kota Qansarin
(wilayah Romawi) akibat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atasnya.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsîr Juz 4, Aisarut Tafâsîr (Juz 2),
Tafsir Ath-thabary (Juz 14), Tafsir As-Sa’di (Hal.351), Tafsir Abu Su’ûd (Juz
4), Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8)]
Maka setiap masjid yang dibangun dengan memberikan madharat
dan memecah belah kaum Muslimin serta untuk memusuhi Allah Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hukumnya wajib dihancurkan (oleh
penguasa) dan haram shalat di dalamnya.
Karena itu berhati-hatilah membangun masjid baru agar tidak
menyerupai kaum munafiqun yang membangun masjid dhiror.
Bab Membantah
Syubhat
Orang-orang yang bersemangat menegakkan sunnah tanpa
ilmu lalu membangun masjid di dekat masjid yang telah ada, dengan berbagai
alasan pun mereka kemukakan, diantara alasan mereka:
– Syubhat yang pertama,
mereka katakan bahwa yang menjadi imam di Masjid yang telah ada bukan
Ahlussunnah.
Bantahan:
Alasan itu tertolak sebab menyelisihi manhaj
Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa berangsiapa yang meninggalkan sholat
dibelakang ahlul bid’ah (yang tidak kafir) maka dia juga ahlul bid’ah, dan
berikut fatwa ulama yang mencela orang yang tidak mau sholat dibelakang imam
ahlul bid’ah yang tidak sampai kafir;
1.
Ibnu Hazm
berkata, “Kami tidak mengetahui seorang pun shahabat yang tidak mau
bermakmum di belakang al Mukhtar, Ubaidillah bin Ziyad dan al Hajjaj, padahal
tidak ada orang yang lebih fasik dibandingkan mereka. Alloh
berfirman yang artinya, “Dan hendaknya kalian tolong menolong dalam kebaikan
dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan perbuatan melampaui
batas” (QS al Maidah:3). Siapa yang mengajak kita untuk melakukan dosa maka
kita tidak akan merespon dan membantunya. Ini semua merupakan pendapat Abu
Hanifah, Syafii dan Abu Sulaiman…. Dari Ubaidullah bin Adi bin al Khiyar,
beliau menemui Utsman (bin Affan) yang terkepung di dalam rumahnya lalu
berkata, “Engkau adalah imam shalat untuk banyak orang dan sekarang engkau
dalam kondisi terkepung akhirnya yang menjadi imam shalat untuk kami adalah
pelaku tindakan onar. Kami merasa berat untuk shalat di belakangnya”. Utsman
mengatakan,
إنَّ
الصَّلاةَ أَحْسَنُ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ فَإِذَا أَحْسَنَ النَّاسُ فَأَحْسِنْ
مَعَهُمْ، وَإِذَا أَسَاءُوا فَاجْتَنِبْ إسَاءَتَهُمْ
Sesungguhnya shalat adalah
sebaik-baik amal manusia. Jika orang lain berbuat baik maka berbuat baiklah
bersama mereka. Namun jika mereka melakukan keburukan maka jauhilah keburukan
yang mereka lakukan”.
2.
Ibnu Umar juga mau
bermakmum di belakang al Hajjaj dan an Najdah yaitu an Najdah al Haruri salah
seorang pemimpin Khawarij. Yang kedua adalah khawarij (baca:ahli bid’ah).
Sedangkan yang pertama adalah manusia yang paling fasik. Meski demikian, Ibnu
Umar berkata, “Shalat adalah sebuah kebaikan. Aku tidak peduli siapakah
yang menemaniku dalam kebaikan tersebut” (Al Muhalla 4/213).
3.
Tentang shalat di belakang
ahli bid’ah, Al Hasan al Bashri berkata, “Shalatlah (di belakangnya) sedangkan
bid’ahnya adalah urusan dia sendiri” (Disebutkan oleh Bukhari dalam
Shahihnya).
4.
Al-Imam al Bukhari membuat
sebuah bab berjudul: “Keimaman Seorang yang Terlibat Fitnah dan Seorang Ahli
Bid’ah” Lalu beliau menyebutkan riwayat,
عَنْ
عُبَيْدِاللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ خِيَارٍ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ
عَفَّانَ رَضِي اللَّهم عَنْهم وَهُوَ مَحْصُورٌ فَقَالَ إِنَّكَ إِمَامُ عَامَّةٍ
وَنَزَلَ بِكَ مَا نَرَى وَيُصَلِّي لَنَا إِمَامُ فِتْنَةٍ وَنَتَحَرَّجُ فَقَالَ
الصَّلَاةُ أَحْسَنُ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ فَإِذَا أَحْسَنَ النَّاسُ فَأَحْسِنْ
مَعَهُمْ وَإِذَا أَسَاءُوا فَاجْتَنِبْ إِسَاءَتَهُمْ
Dari ‘Ubaidullah bin ‘Adi bahwa
beliau masuk menemui ‘Utsman bin ‘Affan saat beliau dikepung maka ia
mengatakan: Sesungguhnya engkau adalah imam jama’ah, dan telah menimpamu apa
yang kami lihat dan (sekarang yang) mengimami kami adalah imam fitnah , kami
merasa takut berdosa. Maka ‘Utsaman berkata: Shalat adalah sebaik-baik apa
yang dilakukan oleh manusia, maka jika mereka berbuat baik, berbuat baiklah
bersama mereka dan jika mereka berbuat jelek maka jauhilah kejelekan
mereka. [Shahih, HR Al Bukhari. lihat fathul bari :2/188 no: 695]
5.
Ibnu Abi Zamaniin
meriwayatkan dari Syabib ia mengatakan: Bahwa Najdah Al Haruri (orang khowarij)
bersama teman-temannya datang (ke Makkah) maka ia melakukan perjanjian damai
dengan Ibnu Zubair (yang menguasai Makkah saat itu, pent) lalu ia (Najdah)
mengimami orang-orang selama sehari semalam dan Ibnu Az-Zubair sehari semalam,
maka Ibnu Umar shalat di belakang mereka berdua, Sehingga seseorang mengkritik
Ibnu Umar lantas beliau menjawab: Kalau mereka menyeru, ‘Mari kepada amal
yang baik’, maka kita menyambutnya, dan jika mereka menyeru, ‘Mari kita bunuh
jiwa’, maka kami mengatakan: Tidak!!. Dan beliau mengeraskan suaranya
[‘Usulussunnah karya Ibnu Abi Zamanin :3/1003 dinukil dari Mauqif ahlissunah,
dan Al-Baihaqi meriwayatkan yang semakna: 3/122 dalam As-Sunanul kubra]
6.
Ibnu Taimiyyah
mengatakan: Adalah Abdullah Ibnu ‘Umar dan selain beliau dari kalangan
sahabat, shalat di belakang Najdah Al Haruri (seorang berpemahaman bid’ah
khawarij)[Minhajussnnah:5/247 Mauqif:1/352]
7.
‘Umair bin Hani mengatakan:
Aku melihat Ibnu ‘Umar, Ibnu Zubair, Najdah, dan Al Hajjaj, maka Ibnu Umar
mengatakan: Mereka (penduduk Makkah yang berperang) berjatuhan dalam neraka
sebagaimana lalat jatuh ke dalam kuah. Tapi jika beliau mendengar seorang
muadzin, beliau cepat-cepat menuju kepadanya -yakni muadzin mereka- lalu shalat
bersama mereka [Al Mushonnaf karya Abdurrazzaq:2/387 As Sunanul Kubra, Al
Baihaqi:3/122]
8.
Abdul Karim Al
Bakka’: Saya mendapati sepuluh dari sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam semuanya shalat di belakang imam yang jahat [Sunan Al Kubra:3/122
dan Al Bukhari dalam tarikhnya, lihat Fathul Bari karya Ibnu rajab:4/183]
9.
Nafi’
mengatakan: Bahwa Ibnu ‘Umar menyendiri ke Mina saat pertempuran antara
Ibnu Zubair dengan Hajjaj di Mina, lalu ia shalat di belakang
Hajjaj. [Sunan Al Kubra:3/121]
Demikian riwayat dari sebagian Sahabat Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam yang membuktikan bahwa mereka shalat di belakang
ahli bid’ah atau orang fasiq yang sekelas Hajjaj bin Yusuf selama mereka belum
kafir.
Riwayat dari Tabi’in,
1.
Ja’far bin Barqon
mengatakan: Saya bertanya kepada Maimun bin Mihran tentang shalat di belakang seseorang
yang disebut khawarij, ia menjawab: ‘Sesungguhnya engkau shalat bukan karena
orang itu tapi karena Allah, dulu kami shalat di belakang Al Hajjaj padahal dia
haruri azraqi (orang khawarij)’. Lalu aku memandangnya. Maka beliaupun
berkata: ‘Dia adalah yang kamu selisihi pendapatnya ia menganggapmu kafir dan
menghalalkan darahmu, dan Hajjaj dulu semacam itu’ [Fathul Bari, Ibnu
rajab:4/183]
2.
Al Hasan Al Basri
ditanya tentang shalat di belakang ahli bid’ah maka beliau
menjawab: Shalatlah, dan bid’ahnya ditangung imam itu sendiri [HR. Al
Bukhari secara mu’alaq dan Sa’id bin Manshur dinukil dalam Fathul Bari:4/182
karya Ibnu Rajab dan Fathul Bari, Ibnu Hajar :2/188]
3.
Al A’masy
mengatakan: Adalah murid-murid besar Ibnu Mas’ud shalat jum’at bersama Al
Mukhtar dan mereka mengharap pahala dari perbuatan itu. [Usulussunah karya
Ibnu Abi Zamanin:3/1004 dinukil dari Mauqif Ahlissunnah]
4.
Seseorang berkata
kepada Al Hasan Al Bashri: Datang seseorang dari Khawarij mengimami kami,
apakah kami shalat di belakangnya? Beliau menjawab: Ya, telah ada yang lebih
jelek darinya mengimami orang-orang. [Usulussunah karya Ibnu Abi
Zamanin:3/1005]
5.
Qotadah mengatakan:
Saya bertanya kepada Said Ibnu Al Musayyib: Apakah kita boleh shalat di
belakang Al Hajjaj? Ia menjawab: Kami sungguh akan shalat di belakang
orang yang lebih jelek darinya.
Inilah beberapa riwayat dari tabi’in yang sejalan dengan apa
yang dilakukan para sahabat.
·
Ibnu Taimiyyah mengatakan:
(…Seandainya makmum mengetahui
bahwa imamnya seorang ahli bid’ah dan mengajak kepada bid’ahnya atau seorang
fasiq yang menampakkan kefasikannya sedang dia adalah imam rawatib yang tidak
mungkin shalat kecuali di belakangnya seperti imam shalat jum’at dan dua hari
raya dan imam di shalat haji di Arafah dan semacamnya maka makmum hendaknya
shalat di belakangnya, (demikian) menurut mayoritas ulama’ salaf dan khalaf
(belakangan) dan itu adalah madzhab Asy Syafi’i, Ahmad dan yang lainya …Dan
barangsiapa meninggalkan shalat jum’at dan jama’ah di belakang imam yang
fajir/jahat maka dia adalah ahli bid’ah menurut imam Ahmad dan yang lainya dari
kalangan imam ahlussunnah… [Al Fatawa:23/352-354]
juga beliau mengatakan: (…Adapun
shalat di belakang imam ahli bid’ah maka masalah ini ada perselisihan ulama di
dalamnya dan ada perinciannya. Jika tidak ia dapatkan imam selainnya seperti
shalat jum’at yang tidak didirikan kecuali di satu tempat, dua hari raya dan
shalat-shalat saat pelaksanaan haji di belakang imam musim haji maka yang
semacam ini tetap dilakukan di belakang orang yang baik dan orang yang
fajir/jahat dengan kesepakatan Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan yang
meninggalkan shalat semacam ini di belakang para imam hanyalah ahli bid’ah
seperti orang-orang Rafidhah/Syi’ah dan yang sejenisnya…[Al Fatawa:23/355]
Katanya juga : (…Oleh karenanya
orang-orang yang meninggalkan jum’at dan jama’ah di belakang para imam yang
jahat secara mutlak terangap -menurut ulama salaf dan para imam- sebagai ahli
bid’ah …..[Al Fatawa:23/343-344]
·
Imam an-Nawawi
rohimahulloh berkata: “Bahwa shalat di belakang orang yang fasik dan pemimpin
yang zhalim, sah shalatnya. Sahabat-sahabat kami telah berkata: Shalat di
belakang orang fasik itu sah tidak haram akan tetapi makruh, demikan juga
dimakruhkan shalat di belakang ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak sampai kepada
tingkat kufur (bid’ahnya tidak menjadikan ia keluar dari islam). Tetapi bila
bid’ahnya adalah bid’ah yang menyebabkan ia keluar dari islam, maka shalat di
belakangnya tidak sah, sebagaimana shalat di belakang orang kafir. Dan Imam
as-Syafi’i menyebutkan dalam al-Muktashar bahwa makruh hukumnya
shalat di belakang orang fasik dan ahli bid’ah, kalau dikerjakan juga, maka
shalatnya tetap sah, dan inilah pendapat jumhur ulama.”
·
Syaikh Yahya bin Ali
Al Hajuuri hafidhohulloh ditanya.
Soal :
Apakah sah shalat di belakang seorang ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu?
Apakah sah shalat di belakang seorang ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu?
Jawab :
Selama belum dikafirkan atau selama belum mencapai batas kekufuran, maka mayoritas ulama mengatakan bahwasanya shalat di belakang mubtadi’ tersebut –menjad makmum baginya- sah. Dan barangsiapa tidak mau shalat di belakang mubtadi’ maka dia juga mubtadi’, yang aku maksudkan adalah : barangsiapa tidak menganggap sahnya shalat tersebut. Adapun jika didapatkan seorang imam yanbg mustaqim (lurus agamanya) maka hendaknya dia shalat di belakang imam yang mustaqim tersebut, dan tidak boleh baginya untuk shalat di belakang mubtadi’ yang meninggalkan Sunni tersebut. Hal ini dinukilkan oleh Ibnu Abil ‘Izz di “Syarhuth Thawiyyah” pada bagian ucapan: “Dan kami berpendapat untuk shalat di belakang orang yang baik maupun orang yang jahat, dari kalangan muslimin.”Dan hal itu merupakan ucapan mayoritas ulama sebagaimana kamu ketahui. Dan tinggallah dalil, yaitu hadits Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat seseorang meludah ke kiblat masjid maka beliau berkata:
Selama belum dikafirkan atau selama belum mencapai batas kekufuran, maka mayoritas ulama mengatakan bahwasanya shalat di belakang mubtadi’ tersebut –menjad makmum baginya- sah. Dan barangsiapa tidak mau shalat di belakang mubtadi’ maka dia juga mubtadi’, yang aku maksudkan adalah : barangsiapa tidak menganggap sahnya shalat tersebut. Adapun jika didapatkan seorang imam yanbg mustaqim (lurus agamanya) maka hendaknya dia shalat di belakang imam yang mustaqim tersebut, dan tidak boleh baginya untuk shalat di belakang mubtadi’ yang meninggalkan Sunni tersebut. Hal ini dinukilkan oleh Ibnu Abil ‘Izz di “Syarhuth Thawiyyah” pada bagian ucapan: “Dan kami berpendapat untuk shalat di belakang orang yang baik maupun orang yang jahat, dari kalangan muslimin.”Dan hal itu merupakan ucapan mayoritas ulama sebagaimana kamu ketahui. Dan tinggallah dalil, yaitu hadits Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat seseorang meludah ke kiblat masjid maka beliau berkata:
“Jangan sampai orang ini menjadi
imam untuk shalat kalian.”
Padahal dia itu muslim, dan
shalat di belakangnya sah. Akan tetapi dilihat siapakah yang lebih utama untuk
kaum muslimin.(Al Hafidh Ibnu Hajar di Fathul Bari(2/69) di bawah hadits no
405, berkata. “Abu Daud dan Ibnu Hibban punya riwauat dari Hadits As Saib bin
Kholad: “Bahwasanya ada seseorang yang mengimami suatu kaum lalu dia meludah ke
kiblat. Ketika selesai, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata :
“Janganlah orang ini mengimami sholat kalian”(Al Hadits))
“Dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Furqan 74)
Inilah kesimpulannya, bahwasanya shalat di belakang mubtadi’ selama bid’ahnya belum mencapai batasan kufur tetap sah. Adapun shalat di belakang seorang mubtadi’ yang kafir tidak sah. Juga shalat di belakang seorang mubtadi’ bersamaan dengan adanya seorang Sunni padahal tak ada kesulitan untuk shalat di belakangnya, itulah yang afdhal, maka jadilah shalat di belakang mubtadi’ itu makruh, dan fatwa-fatwa tentang ini semuanya jelas dan condong kepada pendapat para Salaf semoga Allah meridhai mereka semua. (Fatwa-Fatwa Syaikh Yahya (hafidzohulloh) Atas Pertanyaan Mancanegara, Darul Hadits Dammaj)
Demikianlah perkataan Salaful Ummah rohimahumulloh jami’an,
Maka hati-hatilah dari meninggalkan imam kaum muslimin (walaupun fasiq) sebab,
Ibnu Taimiyyah rohimahulloh ta’ala mengatakan: “Dan barangsiapa meninggalkan
shalat jum’at dan jama’ah di belakang imam yang fajir/jahat maka dia adalah
ahli bid’ah menurut imam Ahmad dan yang lainya dari kalangan imam
ahlussunnah” [Al Fatawa:23/352-354]
– Syubhat yang kedua
mereka katakan “kami diizinkan oleh penguasa membangun masjid di dekat masjid
yang sudah ada”.
Bantahan:
Tidak ada keta’atan dalam bermaksiat kepada Alloh,
sungguh orang yang memecah belah kaum muslimin sadar ataupun tidak telah
bermaksiat kepada Alloh ta’ala, Alloh ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّ
الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
(١٥٩)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan
mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada
mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian
Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”.
(Al-An’aam: 159)
وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ
وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ
إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (١٠٧)
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang
yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang
mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin
serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya
sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain
kebaikan.” dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah
pendusta (dalam sumpahnya).” (Attaubah: 107)
مِنَ
الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ
فَرِحُونَ (٣٢)
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka.” (Arruum: 32)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ibnul Qayyim berkata dalam I’lamul Muwaqqi’in 1/38:
“(Dalam ayat ini)
Allah memerintahkan (kaum muslimin) untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya,
dan Allah mengulangi fi’il (ati’uu) (=taatilah) sebagai i’lam (pemberitahuan)
bahwa taat kepada rasul itu harus disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih
dahulu kepada apa yang Allah perintahkan dalam Al-Qur`an. Jadi, kalau Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati secara
mutlak, baik perintah itu ada dalam Al-Qur`an maupun tidak, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi Al-Qur`an dan juga semisalnya (As-Sunnah).
Dalam ayat ini juga, Allah tidak memerintahkan untuk menyendirikan taat kepada
Ulil Amri. Bahkan Allah membuang fi’il (ati’uu) dan menjadikannya di dalam
kandungan taat kepada Rasul, sebagai pemberitahuan bahwa mereka (Ulil Amri) itu
ditaati dalam rangka taat kepada Rasul.” (lihat Hujiyyatu Ahaditsil Ahad fil
Ahkami Al-Aqaid hal. 11-12)
Berkata Al Imam Al Barbahari Rahimahullahu Ta’ala:
واعلم
أنه لا طاعة لبشر في معصية الله عزوجل
Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ketaatan
kepada manusia dalam bermaksiat kepada Allah ‘Azza wajalla.
Syaikh Allamah Ahmad bin Yahya An Najmi:
Dalil tentang hal ini adalah sabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam,
لاَ
طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي
الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim
dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Juga sabda beliau shallallahu ’alaihi wasallam,
عَلَى
الْمَرْءِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ
بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib bagi seseorang untuk mendengar dan taat dalam apa yang ia
sukai dan benci, kecuali ia diperintah berbuat maksiat. Maka bila ia diperintah
berbuat maksiat, ia tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 2955
dan Muslim no. 1839)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwasanya ketaatan kepada
pemerintah itu terikat dengan dua syarat:
1. Dalam perkara yang ma’ruf, sehingga tidak ada kewajiban
taat dalam kemaksiatan.
2. Dalam jangkauan kemampuan seorang hamba. Nabi
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada orang yang berbai’at kepadanya,
كُنَّا
نبُاَيِعُ رَسُولَ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلىَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ، يَقُولُ لَنَا: فِيْمَااسْتَطَعْتُ
“Dulu kami membai’at Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
untuk mendengar dan menaati perintah beliau, kemudian beliau katakan kepada
kami: ‘(katakanlah dalam bai’atmu): Dalam perkara yang aku mampu’.” (HR. Muslim
no. 1867, lihat keterangan An-Nawawi tentang hadits ini)
Hingga para wanita yang berbai’at kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam mengatakan,
“Demi Allah, Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada
kami daripada diri-diri kami sendiri.”
Yang demikian itu setelah mereka berbai’at kepada
beliau Shallallahu’alaihi wasallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit
maupun lapang dan dalam keadaan senang maupun benci, maka Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam berkata kepada mereka,
“Dalam perkara-perkara yang kalian mampu”
Wabillahit taufiq.
[Dari Kitab Irsyaadus Saari ila Taudhihi
Syarhis Sunnah lil Imam Al Barbahari]
Maka membangun masjid didekat masjid walaupun
diizinkan pemerintah maka hal itu tidak bisa dijadikan alasan pembolehannya,
sebab dampak yang ditimbulkannya dapat merusak persatuan kaum muslimin.
– Syubhat yang ketiga mereka katakan “kami ingin membangun pusat dakwah (Markiz) hlussunnah
dengan membangun masjid yang baru sebab masjid yang telah ada bukan milik
kita”.
Bantahan:
Rosululloh sholalloh ‘alaihi wa sallam berdakwah menyeru
manusia dalam berbagai keadaan dan tempat, beliau adalah yang paling baik
metode dakwahnya dan beliau menyeru manusia kepada tauhid dan bersatu diatas
kebenaran bukan berdakwah dengan memecah belah manusia,
Alloh ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ
فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ (١٠٣)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imron: 103)
Dan tidak perlu memaksakan diri berdakwah di masjid jika
memang sudah tidak bisa lagi, bukankah dakwah itu luas baik itu ada markiz atau
tidak, bukankah sholatmu yang kamu nampakkan sesuai sunnah itu juga dakwah ?
bahkan di rumah dan pasar-pasar pun bisa berdakwah,
Alloh ta’ala berfirman:
وَقَالُوا
مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الأسْوَاقِ لَوْلا
أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا (٧)
Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?, (Al-Furqon: 7)
وَمَا
أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ
الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الأسْوَاقِ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً
أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا (٢٠)
Dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha melihat. (Al-Furqon: 20)
Imam Bukhari telah meriwayatkan satu sisi dari kisah ini,
yaitu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “tatkala turun
ayat {firmanNya: ‘dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat’ [Q.S.
asy-Syu’ara’ : 214] } Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam naik ke atas bukit
Shafa lalu memanggil-manggil : ‘wahai Bani Fihr! Wahai Bani ‘Adiy! Seruan ini
diarahkan kepada suku-suku Quraisy. Kemudian tak berapa lama, merekapun
berkumpul. Karena maha pentingnya panggilan itu, seseorang yang tidak bisa
keluar memenuhinya, mengirimkan utusan untuk melihat apa gerangan yang
terjadi?. Maka, tak terkecuali Abu Lahab dan kaum Quraisypun berkumpul juga.
Kemudian beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam berbicara: ‘bagaimana menurut
pendapat kalian kalau aku beritahukan kepada kalian bahwa ada segerombolan
pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?.
Mereka menjawab: ‘ya! Kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran’.
Beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Sesungguhnya aku adalah sebagai
pemberi peringatan kepada kalian terhadap azab yang amat pedih’. Abu Lahab
menanggapi: ‘celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau
kumpulkan kami?. Maka ketika itu turunlah ayat {firmanNya: “binasalah kedua
tangan Abu Lahab…”} [Q.S. al-Masad: 1] “.
Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan satu sisi yang lain dari
kisah tersebut, yaitu riwayat dari Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu, dia
berkata: “Tatkala ayat ini turun {firmanNya: ‘dan berilah peringatan kepada
keluargamu yang terdekat’ [Q.S. asy-Syu’ara’ : 214] } Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi wasallam mendakwahi mereka baik dalam skala umum ataupun khusus. Beliau
berkata: ‘wahai kaum Quraisy! Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai
Bani Ka’b! Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Fathimah binti
Muhammad! Selamatkanlah dirimu dari api neraka. Demi Allah! sesungguhnya aku
tidak memiliki sesuatupun (untuk menyelamatkan kalian) dari azab Allah selain
kalian memiliki ikatan rahim yang akan aku sambung karenanya”.
Lihatlah bagaimana awal Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa
sallam berdakwah ditengah kaumnya dan tidak langsung membangun markiz.
– Syubhat yang keempat
mereka katakan “masjid yang telah ada, jauh jaraknya”.
Bantahan:
Perlu diketahui
bagaimanakah jarak yang jauh dari sisi syar’i?
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata:
أَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ
فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ
تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
“Seorang buta pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan berujar, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang
akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah, maka beliaupun memberikan
keringanan kepadanya. Ketika orang itu beranjak pulang, beliau kembali
bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (azan)?” laki-laki itu
menjawab, “Ia.” Beliau bersabda, “Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah
shalat).” (HR. Muslim no. 653)
Suatu saat, datang Atban bin Malik -salah seorang sahabat
Rasul dari Anshar yang mengikuti perang Badr bersama Rasul- kepada Rasul seraya
berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah penglihatanku maka aku melakukan shalat
bersama kaumku. Jika hujan turun dan menggenangi lembah yang membentang antara
tempatku dengan tempat mereka sehingga aku tak dapat melakukan shalat bersama mereka
di masjid mereka. Wahai Rasul, aku mengharap engkau datang mengunjungiku dan
melaksanakan shalat di rumahku.” Lantas Rasululah shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepadanya: “Aku akan melaksanakannya, insya-Allah.” Atban berkata:
“Keesokan harinya, di waktu siang, datanglah Rasul besama Abu Bakar. Kemudian
Rasul meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau tidak duduk
ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; “Di bagian manakah engkau ingin
aku mengerjakan shalat di rumahmu?”. Lantas aku tunjuk satu sudut yang berada
di rumahku. Lantas Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kamipun turut berdiri dan
mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan membaca salam”. (Lihat:
Shohih Bukhari 1/115, 170 dan 175. Shohih Muslim 1/445, 61 dan 62)
Dari dua hadits diatas, dapat kita ambil pelajaran:
1.
Jika adzan masih dapat
didengar maka wajib menjawab adzan tersebut dengan mendatangi sholat berjama’ah
(bagi laki-laki yang balig) maka tidak boleh orang yang masih mendengar adzan
untuk mengatakan jauh jaraknya sehingga dia meninggalkan shalat berjama’ah dan
kemudian membangun masjid baru.
2.
Jika antara rumahnya dan
masjid ada lembah yang membentang yang dapat digenangi air ketika hujan
sehingga menghalangi dan sangat memberatkannya untuk berjama’ah maka dia boleh
sholat dirumahnya dan inilah udzur dan batasan yang seharusnya menjadi ukuran
untuk membangun masjid baru di rumahnya jika diizinkan penguasa.
Renungkanlah,
َنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَلَتِ الْبِقَاعُ حَوْلَ الْمَسْجِدِ فَأَرَادَ
بَنُو سَلِمَةَ أَنْ يَنْتَقِلُوا إِلَى قُرْبِ الْمَسْجِدِ فَبَلَغَ ذَلِكَ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لَهُمْ « إِنَّهُ بَلَغَنِى
أَنَّكُمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَنْتَقِلُوا قُرْبَ الْمَسْجِدِ ». قَالُوا نَعَمْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَرَدْنَا ذَلِكَ. فَقَالَ « يَا بَنِى سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ
تُكْتَبْ آثَارُكُمْ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ ».
Dari Jabir bin ‘Abdillah berkata, “Di sekitar masjid ada
beberapa bidang tanah yang masih kosong, maka Bani Salamah berinisiatif untuk
pindah dekat masjid. Ketika berita ini sampai ke telinga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rupanya telah sampai berita kepadaku bahwa
kalian ingin pindah dekat masjid.” Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah,
kami memang ingin seperti itu.” Beliau lalu bersabda, “Wahai Bani Salamah,
tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan dicatat,
tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan
dicatat.” [HR. Muslim no. 665.]
Mengapa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa salam tidak
menyuruh Bani Salamah membangun masjid sendiri? Dari pelajaran tersebut maka
bagaimana keadaan orang yang membangun masjid di dekat masjid? Apalagi yang
memisahkan kedua masjid tersebut hanya jalanan beraspal yang anak kecil sakalipun
bisa melewatinya. Wallohul musta’an.
Bab
mahslahat sholat di Masjid yang telah ada walaupun jauh,
1. Menjalankan sunnah (tuntunan) Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya,
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا (١١٥)
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
2. Mendapatkan banyak pahala sebab setiap langkah menuju masjid
mengangkat derajat dan menghapus kesalahan,
َنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَلَتِ الْبِقَاعُ حَوْلَ الْمَسْجِدِ
فَأَرَادَ بَنُو سَلِمَةَ أَنْ يَنْتَقِلُوا إِلَى قُرْبِ الْمَسْجِدِ فَبَلَغَ
ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لَهُمْ « إِنَّهُ بَلَغَنِى
أَنَّكُمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَنْتَقِلُوا قُرْبَ الْمَسْجِدِ ». قَالُوا نَعَمْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَرَدْنَا ذَلِكَ. فَقَالَ « يَا بَنِى سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ
تُكْتَبْ آثَارُكُمْ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ ».
Dari Jabir bin ‘Abdillah berkata, “Di sekitar masjid ada
beberapa bidang tanah yang masih kosong, maka Bani Salamah berinisiatif untuk
pindah dekat masjid. Ketika berita ini sampai ke telinga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rupanya telah sampai berita kepadaku bahwa
kalian ingin pindah dekat masjid.” Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah,
kami memang ingin seperti itu.” Beliau lalu bersabda, “Wahai Bani Salamah,
tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan dicatat,
tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan
dicatat.” [HR. Muslim no. 665.]
Disebutkan dalam Tafsir Ath Thobari sebuah riwayat dari Abu
Sa’id Al Khudri, ia berkata,
شكت
بنو سَلِمة بُعد منازلهم إلى النبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فنزلت( إِنَّا
نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ) فقال:
“عَلَيكُمْ مَنَازِلَكُم تُكْتَبُ آثارُكم”
“Bani Salamah dalam keadaan kebimbangan karena tempat tinggal
mereka jauh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas turunlah ayat (yang
artinya), “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan
apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan (QS.
Yasin: 12)”. Beliau bersabda,
“Tetaplah kalian di tempat tinggal kalian. Bekas-bekas langkah kalian akan
dicatat.” [Tafsir Ath Thobari, 20/498.]
Dari Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu anhu- dia berkata:
مَنْ
سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ
الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ
الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا
الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ
سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ
الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ
اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً
وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا
إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ
يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
“Siapa yang berkehendak menjumpai Allah besok (hari kiamat)
sebagai seorang muslim, hendaklah dia menjaga shalat wajib yang lima ini,
dimanapun dia mendengar panggilan shalat itu. Karena sesungguhnya Allah telah
mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk, dan sesungguhnya semua
shalat di antara sunnah-sunnah petunjuk itu. Kalau seandainya kalian shalat di
rumah-rumah kalian sebagaimana shalatnya orang yang tidak hadir (shalat jamaah)
karena dia berada di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi
kalian. Dan sekiranya kalian meninggalkan sunnah-sunnah nabi kalian, niscaya
kalian akan tersesat. Tidaklah seseorang bersuci dengan baik, kemudian dia
menuju salah satu masjid yang ada, melainkan Allah akan menulis kebaikan
baginya dari setiap langkah kakinya, dan dengannya Allah mengangkat derajatnya,
dan menghapus kesalahan karenanya. Menurut pendapat kami (para sahabat),
tidaklah seseorang itu tidak hadir shalat jamaah, melainkan dia seorang munafik
yang sudah jelas kemunafikannya. Sungguh dahulu seseorang dari kami harus
dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan di shaff (barisan) shalat yang
ada.” (HR. Muslim no. 654)
Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab shahih mereka meriwayatkan
dari Abu Hurairah رضي الله عنه berkata: Rasululah صلي الله
عليه وسلم bersabda:
صَلاةُ
الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ
خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أنَّهُ إذَا تَوَضَّأ فَأحْسَنَ الْوُضُوءَ
ثُمَّ خَرَجَ إلَى الْمَسْجِدِ لا يُخْرِجُهُ إلاّ الصَّلاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً
إلاّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإذَا
صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلاّهُ
تَقُوْلُ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، وَلا يَزَالُ
أحَدُكُمْ فِي صَلاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاةَ
Pahala shalat seseorang yang berjamaah melebihi pahala
shalat sendirian di rumahnya dan dipasarnya dua puluh lima kali lipat. Yang
demikian itu apabila ia berwudhu` dengan sebaik-baiknya, kemudian ia pergi
menuju masjid, tidak ada tujuan lain kecuali untuk shalat berjama`ah maka
tidaklah setiap langkah yang diayunkannya melainkan terangkat baginya satu
derajat dan dihapuskan untuknya satu dosa, apabila ia melakukan shalat
berjama`ah maka para malaikat senantiasa mendoakannya selama ia masih berada di
tempat shalatnya dan juga ia belum berhadats. Para Malaikat berdoa: “Allahumma
shalli `alaihi, Allahummarhamhu (Ya Allah, Ampunilah dia dan rahmatilah).” Dan
tetap ia dianggap shalat selama ia menunggu waktu shalat berikutnya tiba.
(Lafadz hadits bagi Bukhari)
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه dari Nabi –alaihish
sholatu wassalam- bahwa beliau bersabda:
مَنْ
غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ نُزُلاً
كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ
“Barangsiapa menuju masjid pada waktu pagi hari atau sore
hari maka Allah akan memberikan jamuan hidangan baginya di surga pada setiap
pagi dan sore.” (HR. Al-Bukhari no. 148 dan Muslim no. 669)
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ
فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ
خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke
salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu
dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya salah
satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan mengangkat derajat.” (HR.
Muslim no. 1553)
Dari Abu Musa katanya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
إِنَّ
أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى
فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ
الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ
“Manusia paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang
paling jauh perjalanannya, lalu yang selanjutnya. Dan seseorang yang
menunggu shalat hingga melakukannya bersama imam, lebih besar pahalanya
daripada yang melakukannya (sendirian) kemudian tidur.” (HR. Muslim no. 662)
3. Menampakkan syi’ar islam dengan
berjalan ke Masjid sebab dengan anda berjalan memakai jubah dan sarung yang
sesuai sunnah maka orang-orang akan mengambil pelajaran darinya.
Alloh ta’ala berfirman,
ذَلِكَ
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (٣٢)
“Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari Ketakwaan hati.”
(Al-Hajj: 32)
4. Dakwah kepada masyarakat sebab dengan berjalan melewati
rumah-rumah masyarakat maka mendorong mereka untuk sholat berjama’ah di masjid
juga bi idznillaah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ
فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia
mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut
setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang
melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa
orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi
dosa-dosa mereka sedikitpun.” (Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan
An-Nasa‘i no.2554, Sunan
At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359,
360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.)
Bab diantara
mudhorot membangun Masjid di dekat Masjid
1.
Memecah Belah kaum muslimin
Alloh ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ
وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ
إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (١٠٧)
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang
yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang
mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin
serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya
sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain
kebaikan.” dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah
pendusta (dalam sumpahnya).” (Attaubah: 107)
2.
Menimbulkan sifat fanatik hizbyyah
(al-wala’ dan al-baro’ yang sempit kepada kelompoknya) yang ada di masjid
tersebut sebab masjid yang berdekatan akan saling memperebutkan jama’ah siapa
yang paling banyak.
Alloh ta’ala berfirman,
مِنَ
الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ
فَرِحُونَ (٣٢)
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka.” (Arruum: 32)
3.
Berlomba-lomba meninggikan
bangunan yang tercela.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi
sebelum manusia berlomba-lomba meninggikan gedung-gedung”. (HR. Bukhari)
4.
Berkurangnya keutamaan pahala
langkah berjalan dari rumah menuju sholat berjama’ah sebab masjidnya saling
berdekatan.
5.
Berkurangnya pahala berjama’ah
sebab jam’ah terbagi dua.
Faedah:
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bagaimana
mendirikan shalat jama’ah kedua setelah dilakukan jama’ah di dalam satu masjid.
Jawaban:
Ulama fikih
berbeda pendapat tentang hukum shalat jama’ah kedua. Sebelum aku menunjukkan
perbedaan-perbedaan (pendapat) di antara mereka dan menjelaskan mana yang rajih
(unggul) dan marjuh (lemah), aku perlu membatasi (pengertian) jama’ah (kedua)
yang diperselisihkan itu.
Permasalahan
yang diperselisihkan adalah (shalat) jama’ah yang didirikan disatu masjid yang
sebelumnya sudah didirikan oleh imam dan muadzdzin tetap (masjid tersebut).
Adapun jama’ah-jama’ah yang didirikan di tempat lain,
seperti di rumah, di masjid jalanan, kompleks pertokoan tidak termasuk yang
dipermasalahkan.
Ulama-ulama mengambil pendapat, bahwa mendirikan jama’ah
untuk kedua kalinya dalam satu masjid yang ada imam dan mu’adzdzin rawatibnya
hukumnya makruh, berdasar pengambilan dari dua sisi dalil.
[1]. Dalil naqli (dari syara’)
[2]. Dalil nazhari meliputi periwayatan dan hikmah
disyari’atkannya shalat berjama’ah.
Adapun berdasar dalil naqli : Setelah para ulama ahli hadits
meneliti kehidupan Rasul Allah, mereka menemukan bahwa Rasul Allah sepanjang
hidupnya senantiasa shalat berjama’ah bersama para sahabatnya di masjid beliau.
Bila di antara para sahabatnya ada yang ketinggalan, tidak bisa shalat
berjama’ah bersama rasul Allah di masjid, mereka shalat sendiri dan tidak
menunggu siapa pun. Tidak menengok kanan-kiri, seperti dilakukan orang
sekarang, meminta satu atau banyak orang untuk bersama shalat jama’ah dan salah
seorang dari mereka dijadikan imam.
Demikian itu tidak pula diperbuat oleh orang-orang salaf
(terdahulu). Bila mereka masuk masjid, ternyata sudah selesai didirikan shalat
jama’ah, mereka shalat sendiri-sendiri. Begitulah yang dijelaskan oleh Iman
Syafi’i dalam kitabnya Al-Um. Ungkapan Imam Syafi’i berkaitan dengan masalah
ini lebih banyak dibanding ungkapan imam-imam lain.
Imam Syafi’i berkata :
“Bila ada beberapa orang masuk masjid, lantas mendapati imam
telah selesai shalat (jama’ah) lakukanlah shalat sendiri-sendiri. Bila mereka
melakukan shalat berjama’ah sendiri (lagi) boleh saja. Tapi, aku tidak menyukai
semacam itu. Karena hal itu bukan merupakan karakteristik salaf”
Kemudian Imam Syafi’i melanjutkan :
“Adapun masjid yang ada di pinggir jalan (yang disediakan
untuk para musafir) yang tidak punya imam dan muadzdzin tetap, maka melakukan
(shalat) jama’ah berulang kali di dalam masjid tersebut tidak apa-apa”.
Imam Syafi’i berkata pula :
Aku telah hafal (beberapa riwayat), sesungguhnya ada
sekelompok shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketinggalan shalat
berjama’ah.
Lantas merekapun shalat sendiri-sendiri. Padahal mereka
mampu mendirikan shalat jama’ah lagi. Tapi, hal itu tidak dilakukannya, karena
mereka tidak suka di satu masjid diadakan (shalat) jama’ah dua kali.
Semua ini merupakan ucapan Imam Syafi’i. Beliau menyebutkan,
bahwa para shahabat apabila ketinggalan shalat berjama’ah (bersama Rasulullah)
mereka shalat sendiri-sendiri. Begitulah disebutkan oleh Imam Syafi’i dengan
riwayat muallaq (artinya Imam Syafi’i tidak langsung mendapatkan riwayat itu
dari seorang rawi tapi rawinya menggantungkan riwayatnya). Al-Hafidzh Abu Bakar
Ibnu Abi Syaibah mengaitkannya dalam kitabnya yang masyhur Al-Mushannaf.
Riwayatnya berdasarkan sanad yang kuat dari Hasan Al-Bashri, bahwa sesungguhnya
para shahabat apabila ketinggalan shalat berjama’ah mereka shalat sendiri-sendiri.
Juga diriwayatkan Imam Ath-Thabari dalam kitabnya Mu’jam
Al-Kabir dengan sanad yang bagus dari shahabt Ibnu Mas’ud. Yaitu suatu saat
Ibnu Mas’ud bersama dua temanya keluar dari rumah menuju masjid untuk mengikuti
shalat jama’ah. Saat itu ia melihat orang-orang keluar masjid, mereka sudah
selesai melakukan shalat jama’ah. Maka Ibnu Mas’ud pun kembali ke rumah bersama
dua temannya. Ia shalat berjama’ah bersama mereka di rumah sekaligus sebagai
imam.
Ibnu Mas’ud kembali (ke rumah). Padahal keshahabatannya
dengan Rasul Allah cukup dikenal, pemahaman tentang keislamannya mendalam,
andai kata beliau tahu mendirikan jama’ah berulang-ulang kali di masjid itu
diysrai’atkan, pasti beliau dengan kedua temannya itu masuk masjid dan
mendirikan shalat berjama’ah di situ. Karena beliau jelas tahu bahwa Rasul
Allah pernah bersabda.
“Artinya : Seutama-utama shalat seseorang itu dirumahnya
kecuali shalat fardhu”.
Kemudian apa yang mencegah Ibnu Mas’ud melaksanakan shalat
fardhu itu di masjid. ?
Jawabnya.
Karena Ibnu Mas’ud tahu bahwa sesungguhnya apabila melakukan
shalat di masjid, beliau akan melakukannya secara sendiri-sendiri. Ibnu Mas’ud
berpendapat, bahwa shalat berjama’ah di rumah bersama dengan dua temannya akan
lebih utama dari pada shalat sendiri-sendiri meskipun dilakukan di masjid.
Semua ini merupakan kumpulan dalil-dalil naqli yang
menguatkan pendapat jumhur (ulama) bahwa mengadakan jama’ah untuk kedua kalinya
di satu masjid itu makruh hukumnya.
Kemudian para ulama itu pun tidak kehabisan jalan untuk mendapatkan
dalil-dalil lain selain yang sudah dipaparkan. Misalnya, melalui lstimbath dan
melihat secara tajam berkenaan dalil-dalil itu.
Imam Bukhari dan lmam Muslim meriwayatkan hadits dari
shahabat Abu Hurairah, Rasul Allah bersabda:
“Artinya : Aku memiliki kehendak untuk menyuruh seseorang
menjadi imam shalat (di masjid), kemudian aku menyuruh beberapa lelaki untuk
mengambil (mengumpulkan) kayu bakar dan aku keluar menuju ke rumah orang-orang
yang tidak mengikuti shalat berjamaah di masjid. Maka, aku bakar rumahnya. Demi
Zat yang jiwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam berada di tangan-Nya,
andaikata orang-orang ku mengetahui bahwa di dalam masjid itu akan ditemukan
dua benda yang sangat berharga pasti mereka akan menyaksikannya pula”[Hadits
Riwayat Bukhari dan Muslim]
Hadits ini merupakan ancaman dari Rasul Allah atas
orang-orang yang suka menyelisihi terhadap kehadiran (untuk) shalat jamaah di
masjid dengan cara membakar rumahnya. Saya (Al-Albani) melihat, bahwa hadits
ini telah memberikan gambaran kepada kita tentang hukum permasalahan terdahulu
(yaitu bahwa shalat berjamaah dua kali atau lebih dalam satu masjid yang ada
imam dan mu’adzdzin tetapnya dihukumi makruh (dibenci). Hadits ini bisa pula
memberikan gambaran kepada saya untuk bisa menerima penuturuan lmam Syafi’i
yang diwashalkan oleh lmam lbnu Abi Syaibah bahwa sesungguhnya para shahabat
tidak mau mengulang shalat jamaah di dalam satu masjid. Hal demikian itu
disebabkan, (andai) kita melakukan pembenaran bahwa shalat jamaah yang kedua
atau yang ketiga itu disyariatkan (oleh agama) di dalam satu masjid, kemudian
pada sisi lain ada ancaman yang sangat keras dari Rasul Allah bag! orang-orang
yang meninggalkan shalat jamaah, maka (timbul pertanyaan, ed) shalat jamaah
yang keberapa yang apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman yang sangat berat
sekali?
Apabila (pengandaian) ini dijawab dengan ucapan, “Shalat
jamaah (yang apabila ditinggalkan itu mendapat ancaman sangat berat) adalah
shalat jamaah yang pertama”.
Pengandaian ini juga bisa dilanjutkan dengan perkataan:
“Kalau begitu, jamaah yang kedua dan lainnya tidak disyariatkan?” Kalau dijawab
“Ancaman ini meliputi atau mencakup atas orang-orang yang meninggalkan jamaah,
keberapa saja” maka jawapan itu bisa ditimpali: “Kalau begitu ancaman Rasul Allah
tidak bisa dibuat hujjah untuk orang-orang yang tidak mengikut jamaah yang
keberapa pun, kerana andai kata orang-orang yang tidak mengikuti jamaah itu
didatangi secara mendadak, saat mereka tidak berangkat (ke masjid, ed) dan kita
menemukan mereka sedang santai-santai saja dengan anak dan isteri dan apabila
ditegur mengapa tidak mengikuti shalat jamaah? Maka, mereka akan menjawab:
“Kami akan mengikuti jamaah yang kedua saia, atau yang ketiga saja.” Bila
begitu, apakah ancaman Rasul Allah itu dibuat hujjah atas mereka? Oleh kerana
itu bila Rasul Allah berkehendak mencari ganti seseorang yang menduduki
kedudukan beliau (sebagai imam) dalam shalat berjamaah, lantas beliau
mendatangi rumah-rumah orang yang meninggalkan shalat berjamaah untuk
membakarnya merupakan dalil yang sangat besar sekall untuk mengatakan bahwa
shalat jamaah kedua, ketiga kaii di satu masjid adalah tidak ada sama sekali.
Demikianlah bila dikaitkan dengan dalil-dalil naqli yang
telah menjadi pedoman para ulama.
Adapun berkaitan dengan dalil nazhari, bisa dijelaskan
sebagai berikut:
Keberadaan fadhilah (keutamaan) shalat berjamaah telah
banyak dihadirkan melalui hadits-hadits yang masyhur, dan salah satu
diantaranya:
“Artinya : Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian,
keutamaannya dua puluh lima (datam satu riwayat dua puluh tujuh) derajat”.
Inilah keutamaan shalat berjamaah
Sebuah hadits lagi.
“Artinya : Sesungguhnya shalat seorang laki-laki (yang
berjamaah) dengan seorang laki-laki lain. lebih bersih di sisi Allah daripada
shalatnya (seseorang yang) sendirian. Dan shalatnya seorang laki-laki (yang
berjamaah) bersama dengan dua orang laki-laki lebih bersih lagi di sisi Allah
daripada shalat berjamaah dengan satu oang laki laki”
Dan begitu seterusnya, semakin banyak peserta jamaah smakin
banyak pula pahala yang diterima.
Apabila kita mengingat makna (arti) ini (yaitu, makna
kalimat dalam riwayat di atas, ed), kemudian kita melihat akibat dari penetapan
kebolehan mengulangi kembali shalat jamaah di dalam satu masjid yang punya imam
dan mu’adzdzin tetap, akibatnya sangat buruk sekali bila diukur dengan hukum
Islam (yang telah kita paparkan sebelumnya), yaitu shalat jamaah hanya satu
kali. Kerana berpendapat, bahwa shalat jamaah itu boleh didirikan berulang
ulang di dalam satu masjid yang ada imam dan muadzdzin ratib (tetap) nya bisa
mengarah pada sedikitnya jamaah peserta shalat jamaah yang pertama. Hal ini
tentu bertentangan dengan ajakan yang bisa kita petik dari hadits:
“Artinya : Shalat seorang laki-laki dengan laki-laki lain
itu lebih bersih dari shalat seorang laki-laki yang sendirian saja”
Karena hadits ini memotivasi agar jamaah bisa banyak
pesertanya, begitu pula, pendapat yang membenarkan bolehnya mengulang
(menyelenggarakan kembali) shalat jamaah di satu masjid,.niscaya bakal menciptakan
kondisi peserta jamaah itu kecil, dan jelas sekali bakal memecah belah
persatuan kaum muslimin.
Sekali lagi, kita dituntut melihat secara jernih, bahwa
penyebutan harus mengingat hadits Ibnu Mas’ud (dalam shahih Muslim) semisal
dengan hadits Abu Hurairah:
“Artinya : Aku berkeinginan menyuruh seseorang untuk menjadi
imam shalat di masjid… dan seterusnya”
Hadits ini, (ashbabulwurudnya), berkenaan dengan orang-orang
yang menyelisihi shalat Jum’at. Kita mengetahui bahwa lbnu Mas’ud melepaskan
kata ancaman (mestinya berdasar ancaman Nabi, ed) terhadap setiap orang yang
meninggalkan jamaah. Baik jamaah Jum’at atau jamaah lainnya. Kita pun
mengetahui bahwa sesungguhnya shalat jamaah Jum’at dan shalat jamaah lainnya
sama. Sama di dalam berjamaahnya dan ada ancamannya. Hal itu menunjukkan tidak
ada jamaah untuk kedua kalinya bagi kedua shalat tersebut.
Untuk shalat Jum’at, sampai sekarang orang masih menjaga
pesatuannya. Tidak ada yang berpendapat bahwa Jum’at itu secara syariat bisa
dilaksanakan dua atau tiga kali di dalam satu masjid, dan semua ulama dari
golongan (madzhab) manapun sepakat akan hal itu. Oleh itu, kita bisa melihat
masjid-masjid itu penuh sesak dengan jamaah di hari Jum’at. Meskipun, kita juga
tidak melupakan, dan ingat secara pasti, bahwa di antara sebab meluapnya
masjid-masjid di saat jamaah Jum’at itu di antaranya kerana yang hadir bukan
hanya yang biasa melakukan jamaah di masjid itu. Namun, kita pun tidak ragu
pula bahwa penuhnya masjid pada hari Jum’at itu kerana orang Islam tidak membiasakan
mendirikan shalat Jum’at lagi setelah shalat Jum’at pertama dilaksanakan.
(alhamdulillah).
Jadi kalau umat Islam, misalnya mendirikan jamaah selain
Jum’at sama persis dengan mendirikan jamaah Jum’at seperti pada zaman
Rasulullah, kita pasti bias melihat bagaimana penuhnya masjid masjid itu dengan
jamaahnya. Oleh kerana orang-orang yang rindu akan shalat berjamaah, di dalam
hatinya tidak ingin ia ketinggalan jamaah, lantaran tidak mungkin ia bias
mendirikan jamaah baru. Kemudian semacam ini bias mendorong mereka untuk
betul-betul melaksanakan jamaah tepat waktu dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya, (tidak dimilikinya keyakinan seperti ini) jiwa
seorang muslim akan menganggap ringan bila ia ketinggalan jamaah, kerana ia pun
akan bisa menutup dengan jamaah yang kedua, ketiga sampai kesepuluh misalnya.
Cara pandang demikian itu akan melemahkan kehendak dan semangat diri untuk
mnghadiri jamaah.
Dan Pembahasan Berikutnya.
Pertama.
Kita perlu memperjelas bahwa para ulama yang berpendapat
tidak disyariatkannya jamaah kedua, seperti yang telah diterangkan di awal
artikel ini, dan andai terpaksa dilakukan hukumnya makruh, adalah jumhur para
imam salaf, termasuk di datamnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan lmam Syafi’i.
Adapun lmam Ahmad dalam salah satu riwayat dan dalam riwayat lain yang dibawa
oleh seorang muridnya yang bemama Abu Dawud As-Sijistani di dalam kitabnya
Masa-il al-lmam Ahmad, Imam Ahmad berkata:
“Sesungguhnya mengulang jamaah di dalam dua masjid
al-Haramain (masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah) hukumnya
sangat makruh (dibenci)”
Hal ini dilihat dari keutamaan. (Maksudnya, ucapan Imam
Ahmad di bahagian awal artikel ini memberikan gambaran kepada kita), bahawa
kemakruhan jamaah ulang di masjid-masjid lain juga ada. Tapi, kemakruhan itu
bisa lebih berat apabila jamaah ulang itu dilakukan di masjid Makkah ataupun
Madinah. Jadi riwayat dari lmam Ahmad ini bisa bertemu (sama) pula dengan
pendapat para imam yang tiga: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i.
Kedua.
Ada riwayat lain dari Imam Ahmad, yang riwayat ini masyhur
di kalangan pengikutnya, pada intinya lmam Ahmad.dan pengikut-pengikutnya
daripada ahli tafsir membawakan hadits yang diriwayatkan oleh lmam Tirmidzi,
lmam Ahmad sendiri dan lain-lainnya dari kalangan shahabat Abu Sa’id al-Khudri:
“Artinya : Ada seorang lelaki masuk masjid dan Rasul Allah
sudah selesai berjamaah shalat. Di sekitar Rasul waktu itu masih ada beberapa
shahabat. Maka, Rasul Allah melihat lelaki itu akan melakukan shalat sendiri.
Kemudian Rasul Allah bersabda, Adakah seseorang yang bisa bersedekah kepadanya
?, Kemudian ada seorang laki-laki berdiri, lantas shalat bersamanya.
Maka(seseorang itupun) shalat bersamanya”
Dalam satu riwayat yang dibawakan oleh lmam Abu Bakar
al-Baihaqi datam kitab Sunan al-Kubra menjelaskan, bahawa laki-laki yang
bersedekah dimaksud adalah shahabat Abu Bakar. Tetapi, riwayat ini dhaif
sanadnya. Adapun yang shahih adalah riwayat yang tidak menyebutkan nama
laki-laki dimaksud.
Kemudian ada yang berhujjah dengan hadits ini bahwa jamaah
kedua (ketiga dan seterusnya) boleh dengan alasan: “Rasul Allah telah setuju
adanya jamaah kedua.
Jawaban terhadap pendapat ini, yang berdalil dengan hadits
di atas dalah: ‘Kita harus memperhatikan bahawa jamaah yang diterangkan dalam
hadits itu bukan jamaah yang kita persoalkan. Karena, jamaah yang termuat di
dalam hadits itu jamaahnya seorang yang masuk masjid setelah masjid itu selesai
digunakan untuk shalat jamaah. Dan lagi, orang itu pun akan melakukan shalat
sendiri. Setelah Rasul Allah melihat yang demikian itu, Rasul Allah meminta
para shahabat di dekatnya yang sudah shalat berjamaah bersama beliau kiranya
ada yang mau bersedekah untuknya. Kemudian ada yang bangkit menuruti perintah
Rasul, dan dia melakukan shalat nafilah (sunnah).
Begitu yang terjadi. ltu merupakan jamaah yang terdiri dari
dua orang, satu imam dan satu makmum. Imam melakukan shalat fardhu dan yang
makmum melakukan shalat sunnah. Maka, siapakah yang berkeyakinan bahwa hal ini
jamaah? Seandainya tidak ada yang bershalat sunnah, tentu tak akan ada jamaah.
Kalau begitu, jamaah semacam itu namanya berjamaah tathawwu’ dan tanafful,
bukan jamaah (shalat) fardhu. Padahal perselisihan pendapat tentang jamaah ini,
persoalannya berputar pada jamaah shalat fardhu yang dilakukan jamaah, persoalannya
berputar pada jamaah shalat fardhu yang dilakukan untuk kedua kalinya di satu
masjid (yang ada imam ratibnya dan mu’adzdzin). Oteh kerana itu mengambil dalil
dengan hadits Abi Sa’id dan ditempatkan dalam kerangkan perselisihan tentu
tidak bisa dibenarkan. Apalagi bila dikuatkan dengan kalimat hadits:
“Artina : Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya ?
Maka, (sesearang itupun) shalat bersamanya”.
Kejadian ini terjadi karena adanya orang yang bersedekah dan
yang disedekahi. Seandainya kita tanyakan kepada orang yang sangat sedikit
pemahaman dan ilmunya, siapa (dari dua orang ini) yang bersedekah dan yang
disedekahi dalam peristiwa ini?
Maka, jawabnya pasti orang yang besedekah ialah orang yang
melakukan shalat lagi, yang sebelumnya sudah shalat berjamaah dibelakang
Rasuluilah, dan orang yang disedekahi adalah orang yang datang belakangan
sehabis jamaah Rasulullah.
Pertanyaannya itu sendiri apabila kita lemparkan ke dalam
masalah jamaah yang diperselisihkan kebolehannya, (misalnya) ada enam atau tujuh
orang masuk masjid secara bersamaan dan menemukan imam sudah selesai melakukan
jamaah shalat. Kemudian salah satu dari mereka maju ke depan (untuk menjadi
imam sedang lainnya di belakang mengatur diri dalam posisi makmum), dan mereka
mendirikan jamaah kedua.
Pertanyaan, siapa di antara mereka yang bersedekah dan siapa
pula yang disedekahi?
Pertanyaan ini tidak akan mampu dijawab oleh siapa pun,
sebagaimana menjawab (contoh) pertanyaan pertama. Jamaah shalat yang ini
dilakukan setelah imam dan makmum di masjid itu selesai melakukan shalat jamaah
fardhu. Jadi, dalam hal ini tidak ada yang bersedekah dan tidak ada pula yang
disedekahi.
Bedanya jelas sekali. Dalam contoh pertama, orang yang
bersedekah adalah laki-laki yang (shalat) nafilah (sunnah) yang sudah shalat
bersama Rasul Allah yang tentunya mendapatkan nilai tambah (pahala) sebanyak
dua puluh tujuh derajat. Jadi dia bisa disebut orang kaya. Kerana kemampuannya
pula dia bisa bersedekah kepada orang lain dan kepada yang menjadi imam
(melalui shalat sunnah dengan bermakmum di belakang orang yang shalat
sendirian). Kalau tidak begitu, orang itu akan shalat sendiri. Dia miskin, dan
dia memerlukan orang yang bisa memberi sedekah padanya. Sebab, dia tidak bisa
mengupayakan orang yang bisa memberi sedekah.
Dalam contoh ini, jelas ada orang yang memberi sedekah dan
ada yang diberi sedekah. Adapun yang kita perselisihkan tidak demikian.
Rombongan yang datangng setelah selesai jamaah shalat di masjid, semuanya
fakir, semuanya ketinggalan jamaah pertama (bersama imam). Jadi kalau kita
bersandar dengan:
“Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya. Maka
(seseorang itu pun) shalat bersamanya”
Hal itu tidak bisa tepat. Perumpamaan ini tidak sah untuk
dijadikan dalil bagi peristiwa kedua (yaitu, bagi serombongan orang melakukan
shalat jamaah kedua).
Sisi pengambilan dalil lainnya yang mereka bawakan adalah
sabda beliau:
“Artinya : Shalat berjamaah dibanding shalat sendiri,
keutamaannya dua puluh tujuh derajat”
Mereka mengambil dalil ini, berdasarkan pemahaman bahwa al
pada kalimat al-Jamaah adalah li as-syumul (bagi keseluruhan). Artinya, bahwa
semua shalat jamaah (baik pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, ed) di dalam
satu masjid memperoleh keutamaan bila dibandingkan shalat sendirian.
(Untuk mengomentari itu) kami akan mengatakan berdasarkan
dalil terdahulu: Sesungguhnya al di sini bukan untuk keseluruhan, akan tetapi
al dimaksud adalah li al-‘ahdi (untuk penunjukan). Maksudnya, menunjuk kepada
shalat jamaah sebagaimana disyariatkan Rasul Allah yang semua manusia dihasung
kepadanya. (Bahkan), beliau mengancam orang-orang yang meninggalkannya dengan
ancaman akan membakar rumah-rumah mereka dan Rasul Allah juga memberikan sifat
kepada orang-orang yang meninggalkannya dengan sebutan munafiqin. Adalah shalat
jamaah yang memiliki keutamaan dibanding shalat sendiri, yaitu shalat jamaah
yang pertama. Wallahu Ta’ala a’lam. [Disalin dari buku HUKUM SHALAT JAMA’AH
KEDUA, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani]
Jika mendirikan Jama’ah kedua dalam satu masjid sangat
dibenci maka bagaimana dengan mendirikan masjid dekat masjid?.
6.
Mendorong berbuat bid’ah yayasan, kotak amal, proposal dan meminta-minta yang
tercela sebab dalam membangun masjid baru akan membutuhkan dana yang tidak
sedikit sehingga merekapun membuat yayasan.
Fatwa Para Ulama tentang Yayasan:
Fatwa Syaikh Yang mulia Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i –رحمه الله–
Pertanyaan: Seandainya ada orang yang berkata: “Sesungguhnya
keberadaan yayasan-yayasan dakwah telah terdapat faktor-faktor yang menuntut
pendiriannya di zaman nabi dan tidak terdapat penghalang yang merintangi
pendiriannya. Oleh karena itu apabila seseorang melakukannya setelah nabi, maka
itu termasuk perkara yang muhdats. Bagaimana kebenaran perkara ini?”
Jawab: “Segala puji bagi Alloh dan sholawat kepada nabi kita
Muhammad -صلى الله عليه وسلم-, keluarganya, sahabat dan orang-orang
yang loyal kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang pantas untuk diibadahi
selain Alloh, tidak ada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi bahwa Muhammad -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- adalah hamba dan rosul-Nya.
‘Amma ba’du:
Pertanyaan yang diajukan ini adalah pertanyaan penting! Oleh
karena itu, kami dari dahulu mengatakan bahwa meninggalkan yayasan-yayasan itu
lebih baik dari keberadaannya. Sebab nabi -صلى الله عليه وعلى
آله وسلم- dan para sahabatnya pada saat itu sangatlah butuh kepada harta
benda daripada kita. Bahkan mereka lebih dahsyat kebutuhannya daripada kita.
Bersamaan dengan itu mereka tidak menghidupkan yayasan. Karena hal itulah kami
katakan bahwa meninggalkannya lebih baik dari keberadaannya. Sebaik-sebaik
petunjuk adalah petunjuk nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم-.
Tinggalkanlah jam’iyyah tersebut! Sebab sesungguhnya jam’iyyah itu akan menjadi
penyebab hizbiyah. Prinsip mereka adalah barangsiapa yang bersama kita, maka
kita menolongnya dan barangsiapa yang tidak bersama kita, maka kita tidak akan
menolongnya. Padahal nabi -صلى الله عليه وسلم- telah mengatakan sebagaimana dalam
Ash-Shohihain dari Nu’man bin Basyir –رضي الله عنهما-:
«مثل المؤمنين فى تراحمهم
وتوادهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذا اشتكى عضوا تداعى له سائر جسده بالسهر والحمى»
“Permisalan seorang mukmin di dalam kasih sayang mereka,
kecintaan mereka dan belas kasih mereka seperti sebuah jasad. Jika salah satu
anggotanya mengeluh, maka seluruh badannya akan terbawa begadang dan ditimpa
demam.”
Juga dalam Ash-Shohihain dari Abu Musa Al-Asy’ari –رضي الله عنه- berkata:
«المؤمن للمؤمن كالبنيان
يشد بعضه بعضا»
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan yang
satu sama yang lain saling menguatkan satu dengan yang lainnya.”
Yayasan-yayasan itu telah memecah persatuan muslimin.
Sebagian orang yang lalai mengatakan: “Muqbil tidak membedakan antara
jama’ah-jama’ah dan jam’iyyah.” Adapun jam’iyyah-jam’iyyah tersebut harus
tunduk kepada kepentingan-kepentingan khalayak ramai dan harus tunduk kepada
peraturan negara. Padahal kegiatan yang berkaitan dengan negara tersebut
sedikit barokah-nya, kalau tidak dikatakan bahwa barokah-nya tercabut sama
sekali. Bahkan pemerintah menyukai kematian kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan Islam. Adapun yang berkaitan dengan perkembangan, kemajuan dan sebagainya,
maka siaran-siaran mereka pun mengumumkannya. Dengan ini semua, kami nasehatkan
untuk meninggalkan yayasan-yayasan ini, yang merupakan sebab tersia-sianya hak
fuqoro’ dan terkadang tidak sampai kepada si fakir itu sedikit pun, sebagaimana
dikatakan: ‘kita mengambil dunia seluruhnya dengan memakai namanya’, tetapi
tidak ada di tangan mereka harta tersebut sedikit pun. Kami menasehatkan kepada
para pedagang bahwa sepantasnyalah bagi mereka untuk mengarahkan pembagian
zakat mereka kepada orang-orang yang membutuhkan karena yayasan-yayasan itu
sudah menjadi penyebab hizbiyyah di kebanyakan negara Islam. Wallohul
musta’an.”
(Kaset Al-Ghorotusy-Syadidah ‘alal-Jam’iyyatil-Jadidah,
side-A yang direkam pada malam 10 Safar 1420H)
~Fatwa Asy-syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi
waffaqahulloh~
”Yayasan Sarana Perpecahan ”
Segala puji bagi Alloh , salam dan salawat senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad , keluarga-nya serta seluruh sahabat-nya.
Kemudian setelah itu , sungguh saya telah berkunjung kepada
Syaikh dan orang tua kita yang mulia Robi’ ibni Hadi Umair Al-Madhkoly -semoga
Alloh menjaganya- bertepatan pada hari Senin sore tanggal 15 Sya’ban 1432 H dan
diantara pertanyaan yang saya ajukan kepada beliau adalah :
Apa hukum mendirikan yayasan-yayasan sosial , agar saudara-saudara
salafiyyun di Tunisia dapat mendatangkan para ulama untuk melakukan proses
pelajaran dan daurah ilmiyyah melalui yayasan-yayasan tersebut ?
Maka beliaupun menjawab :
Saya berpendapat , sesungguhnya yayasan adalah salah satu
penyebab terpecah-belahnya salafiyyun dan munculnya kelompok-kelompok hizby ,
maka saya nasehatkan agar menjauhkan diri dari yayasan-yayasan tersebut , dan
sebaiknya mereka menuntut ilmu dimesjid-mesjid dan saya melihat tidak bolehnya
mereka bergabung dalam yayasan tersebut. ( Apabila mereka tidak mampu
menjalankan proses belajar-mengajar di mesjid maka bagi mereka untuk belajar
dirumah-rumah mereka )¹ , selesai jawaban beliau.
Kemudian saya bertanya kepada beliau : Apa hukum mendirikan
pondok pesantren sebagai pusat menuntut ilmu dibawah naungan yayasan ?
Maka beliau menjawab : Hendaknya mereka ,melaksanakan proses
belajar mengajar dimesjid-mesjid – semoga Alloh memberikan keberkahan padamu- ,
selesai jawaban beliau.
Maka kita memohon kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala untuk saudara-saudara
kita di Tunisia agar Alloh memberikan kepada mereka petunjuk dan kebaikan , dan
semoga Alloh memberikan taufiq untuk mengambil ucapan para ulama karena
didalamnya ada kebaikan , petunjuk , cahaya dan kebenaran.
Dan Alloh-lah yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui , salam
dan salawat senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad , keluarganya dan
para sahabat-nya
Ditulis oleh : Hamid ibnu Khamis ibnu Robi’ Al-Junaiby 1
Ramadhan 1432H
Fatwa Yang Mulia Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri –حفظه الله–
Pertanyaan: Apakah zakat itu boleh diserahkan kepada kepala
kabilah atau kepada yayasan-yayasan?
Jawaban: “Apabila kepala kabilah tersebut merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah dan dia dibebankan untuk mengurus zakat,
maka zakat itu boleh diserahkan kepadanya. Nabi -صلى الله عليه وعلى
آله وسلم- bersabda:
«تؤخذ من أغنياءهم فترد على فقراءهم»
“Zakat itu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka
dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka.”
Orang-orang yang mengumpulkan zakat pada masa Rosululloh -صلى الله عليه وسلم- adalah wakil-wakil beliau. Akan tetapi
jika kepala kabilah tersebut bukan perpanjangan tangan dari pemerintah, maka
kebanyakan mereka mengumpulkan zakat tetapi kemudian menyia-nyiakannya. Engkau
telah tahu bahwasanya mereka itu bukanlah para penguasa atau pemerintah dan
kebanyakan kepala kabilah itu adalah koruptor. Kita tidak mengatakan semuanya
koruptor, akan tetapi banyak dari mereka itu koruptor yang seandainya mereka
mampu, mereka akan mengambil harta itu dari arah mana saja, baik halal maupun
harom. Adapun yayasan-yayasan, mereka telah menghalangi orang-orang yang miskin
dari apa-apa yang telah Alloh tetapkan untuk mereka yang berupa zakat. Mereka
akan memberikan zakat tersebut kepada orang-orang yang sekelompok atau sejalan
dengan mereka. Sesungguhnya yayasan-yayasan ini telah menguasai harta-harta
para pemberi zakat untuk memerangi dakwah salafiyyah dan untuk fanatisme
golongan serta untuk orang-orang yang bersama mereka. Mereka juga menyimpan
zakat-zakat itu di bank-bank (yang melakukan praktek riba). Mereka dengan zakat
itu membeli televisi, parabola dan mengerahkan diri mereka untuk hal tersebut
dan menyia-nyiakan waktu mereka untuk mengurusinya. Kemudian mereka memberikan
zakat tersebut kepada orang-orang yang tidak berhak menerima zakat dan
menghalangi orang-orang yang seharusnya berhak menerimanya. Zakat itu ketika
berada di tangan para pengurus yayasan tersebut menjadi pelayan hizbiyyah dan
menjadi pemerang dakwah dan Islam.
Sesungguhnya menyerahkan zakat kepada yayasan-yayasan termasuk
meletakkan harta bukan pada tempatnya. Aku tidak menasehatkan kepada seorang
pun yang memiliki harta untuk menyerahkan zakatnya kepada yayasan-yayasan.
Mereka itu bukanlah orang-orang yang bisa dipercaya untuk mengurusi harta umat.
Ini adalah suatu nasehat, kami mengetahui benar hal tersebut demikian juga
setiap orang-orang yang mengenal yayasan-yayasan itu.
Yayasan-yayasan itu di dalamnya terdapat banyak
penyelewengan seperti memotret gambar yang bernyawa, meminta-minta harta kepada
manusia dan tidak menjaga darinya, menyia-nyiakan waktu untuk datang kepada
orang-orang kaya. Barangsiapa tersibukkan dengan hal tersebut, maka dia telah
dipalingkan dari mencari ilmu yang syar’i dan terfitnah dengan dunia serta
menjadi pengikut hizbiyyun. Bahkan dia menjadi sangkar bagi ahli tahazzub
(orang yang berfanatik golongan). Kami tidak mengetahui dari seorang ulama
salaf pun yang dirinya condong kepada yayasan-yayasan sebagaimana yang mereka
lakukan. Cukuplah yayasan-yayasan tersebut sebagai suatu perkara yang sangat
buruk, karena sesungguhnya dia itu dibangun di atas asas kemaksiatan.
Alloh -سبحانه وتعالى- berfirman:
﴿ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا
جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ﴾[التوبة:109]
“Ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi
jurang yang telah runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengannya ke
dalam neraka jahannam.” (QS. At-Taubah: 109)
Siapa saja yang diberi sesuatu oleh mereka tanpa melalui
jalan meminta-minta sebagaimana di dalam hadits Umar dan dia merasa aman atas
dirinya, dan tidaklah kami merasa aman atasnya. Adapun dari sisi
halal-haromnya, bukanlah ia suatu yang diharomkan kecuali jika menjurus kepada
fitnah. Maka yang diinginkan adalah menjauhinya.
«دع ما يريبك إلى ما لا يريبك»
“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang
tidak meragukanmu.” (Al-Hadits)
«ومن يستعفف يعفه الله ومن
يستغن يغنه الله ومن يصبر يصبره الله وما أعطى أحد من عطاء خير وأوسع من الصبر»
“Maka barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Alloh
akan menjaga kehormatannya. Barangsiapa merasa cukup, maka Alloh akan
mencukupinya. Barangsiapa yang berusaha untuk sabar, maka Alloh akan memberikan
kesabaran padanya dan tidaklah seseorang diberikan sesuatu yang lebih baik dan
lebih luas daripada kesabaran.” (Al-Hadits)
Dengan ini kami nasehatkan untuk menjauhi yayasan-yayasan
tersebut. Yayasan-yayasan itu sesuatu yang buruk lagi merusak yang ditumbuhkan
semata-mata untuk memerangi dakwah salafiyyah dan mencerai-beraikannya.
Wahai saudaraku! Pada masa Rosululloh –صلى الله
عليه وسلم-, di manakah yayasan-yayasan mereka? Tidakkah (saat itu) semua
hak-hak sampai kepada orang yang berhak untuk memperolehnya? Adapun sekarang,
yayasan-yayasan itu merupakan perkara yang baru (bid’ah), hendaklah orang-orang
yang hadir menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir. Barangsiapa yang
marah dengan perkataanku ini, maka di antara kita ada kitabulloh dan sunnah
rosululloh -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- sebagai penengah.
«من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد»
“Barangsiapa mengadakan perkara baru dalam agama kami
apa-apa yang bukan darinya, maka ia tertolak.”
Sesungguhnya tuntutan untuk membentuk yayasan telah ada pada
zaman Rosululloh -صلى الله عليه وعلى آله وسلم-, akan tetapi mereka
tidak membentuknya. Utsman bin Affan dan Abdurrohman bin Auf serta segolongan
dari sahabat, mereka adalah orang-orang yang memiliki harta. Sebagian yang lain
adalah orang-orang yang miskin seperti ahlus suffah (sahabat-sahabat yang
tinggal di teras masjid Nabawi). Namun mereka tidaklah mengatakan: “Dirikanlah
untuk mereka yayasan-yayasan.” Tidaklah akan menjadi bagus umat ini kecuali
dengan apa-apa yang orang-orang terdahulu menjadi baik dengannya. Tidak perlu
orang-orang menakuti kami dengan banyaknya yayasan. Kesesatan atau kebatilan
walaupun banyak, tetap ia itu batil. Kebatilan tidak boleh dibiarkan bertambah
dan tersebar. Bahkan jika kebatilan itu tersebar, maka tidaklah akan menambah
kecuali keburukan dan kemudhorotan.
Pertanyaan: Orang yang mengetahui penyimpangan-penyimpangan
yang ada dalam jam’iyyah tersebut, apakah boleh baginya untuk menyalurkan zakat
kepada mereka?
Jawab: “Ia berdosa, jika meletakkan hartanya kepada
jam’iyyah sementara ia mengetahui kerusakan-kerusakan dan
kemungkaran-kemungkaran yang ada di dalamnya serta mengetahui perpecahan yang
terjadi di antara kaum muslimin. Demi Alloh, Jam’iyyah-jam’iyyah itu telah
memecah belah salafiyyin di Kuwait, Sudan, dan di Yaman. Tidaklah Abul Hasan
Al-Mishry dan semisalnya menjadi rusak melainkan karena sebab jam’iyyah. Juga
tidaklah Abdurahman Abdul Kholik rusak melainkan dari jalur jam’iyyah. Demikian
juga Abdulah bin As-Sabt, Al-Khuwaini, Muhammad Al-Mahdi, Abdul Majid Ar-Roimi,
Muhammad bin Musa Al-Baidhoni, ‘Aqil Al-Maqthori dan ashhabu baro’atidz-dzimmah
(pengikut Abul Hasan), mereka telah rusak dan berkelompok-kelompok. Mereka
tidaklah rusak melainkan dari jalur dunia yaitu fitnah jam’iyyah dan
mengumpulkan harta.[21]
Oang yang mengetahui kemungkaran-kemungkaran tersebut dan
tetap memberikan zakat melalui mereka berarti ia saling bantu-membantu dengan
mereka dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Barangsiapa yang bantu-membantu
atas perbuatan dosa dan permusuhan, maka dia berdosa. Hal ini karena Alloh –تعالى- berfirman:
﴿ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
وَلَا تعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ﴾
“Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan
janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”
(Itithaful Kirom, hal. 30-32)
Pertanyaan: Apa hukum pembentukan wadah untuk menjalin
hubungan para da’i salafiyah dalam rangka memelihara da’wah dan persatuan para
da’i di atas satu kalimat? Jazakumullahu khoiron.
Jawab: “Hal itu tidaklah dibutuhkan! Robithoh Islamiyyah
(Hubungan Islamiyyah) yang mereka namakan dengan hubungan dunia Islam adalah
gerakan ikhwany (Ikhwanul Muslimun). Yang menjadi ikatan diantara kita adalah
Kitab dan Sunnah. Nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- :
«المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضًا»
“Seorang mu’min bagi mu’min yang lainnya adalah seperti
sebuah bangunan yang sebagian menguatkan sebagian yang lain.” (Muttafaqun
‘alaihi dari Abu Musa Al-Asy’ari)
Alloh -سبحانه وتعالى- berfirman:
﴿إنما المؤمنون إخوة﴾ [الحجرات: 10]
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.”
Nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- bersabda:
«قضاء الله أحق وشرط الله أوثق»
“Keputusan Alloh lebih berhak (untuk ditaati) dan
syarat-syarat yang ditentukan Alloh lebih kuat (ntuk dipenuhi).” (Muttafaqun
‘alaihi dari Aisyah –رضي الله عنها-)
«لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه
ما يحب لنفسه»
“Tidaklah sempurna keimanan salah seorang dari kalian hingga
ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Muttafaqun
‘alaih dari Anas bin Malik –رضي الله عنه-)
Maka alat pengikat itu adalah Islam. Kami tidak butuh kepada
hubungan-hubungan atau ikatan-ikatan yang dibuat-buat yang tidak ada pada
pendahulu kita yang telah lalu. Nabi -صلى الله عليه وعلى
آله وسلم- tatkala datang orang-orang Muhajirin kepada beliau, maka Nabi
-صلى الله عليه وعلى آله وسلم- mempersaudarakan
orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshor. Kemudian setelah itu membesarlah
kekuatan Islam dan jadilah persaudaraan Islam di atas itu semua.” (Al-As’ilah
Al-Indonesiyyah, 26 Jumada Tsaniyyah 1424H)
Syaikh –حفظه الله- ketika diajukan pertanyaan kepada beliau
bahwa sebagian jam’iyyah-jam’iyyah yang ada tidak berada di atas aturan yang
sama, atau jam’iyyah-jam’iyyah yang ada di sebagian negara tidaklah sama dengan
jam’iyyah-jam’iyyah yang ada di negara lainnya.
Beliau menjawab: “Hal ini merupakan perkara-perkara yang
mempercepat tersebarnya kejelekan! Hal-hal yang jam’iyyah-jam’iyyah itu
berkembang di atasnya telah kami dapati di sebagian slogan-slogan mereka. Akan
tetapi semua itu tidaklah menjadikan saudara-saudara kita tersebut boleh
menceburkan diri dalam jam’iyyah-jam’iyyah itu dengan alasan bahwa jam’iyyah
yang satu ini lebih sedikit kegiatannya dibandingkan dengan jam’iyyah-jam’iyyah
lainnya dan tidak … Alloh tidaklah akan menyempitkan saudara-saudara kita
salafiyyun sehingga dakwah mereka tidaklah bisa tegak kecuali dengan jam’iyyah.
Pada jam’iyyah-jam’iyyah itu ada at-tashwir (potret gambar makhluk bernyawa)
atau penyimpanan harta di bank atau susunan kepengurusan jam’iyyah, diantaranya
ketua serta wakilnya. Kami juga mengetahui keadaan jam’iyyah yang tunduk kepada
undang-undang negara. Sama saja, apakah mereka menamakannya dengan jam’iyyah
atau mu’assasah (yayasan) atau dengan nama-nama lainnya yang mereka inginkan.
Oleh karena itulah telah berlalu jawaban untuk permasalahan ini dengan jawaban
yang tegas yang telah Alloh mudahkan untuk saudara-saudara kita salafiyyun,
baik yang ada di sini maupun di sana, yaitu untuk menjauh dari
jam’iyyah-jam’iyyah tersebut. Demi Alloh, kami telah melihat madhorot,
kejelekan dan perpecahan yang ditimbulkannya serta ke-hizbiyyah-annya dan
perbuatan-perbuatan lainnya yang muncul dari mereka dan telah memecah-belah
salafiyyun.
Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Alloh dengan menjauhi
celah-celah fitnah. Jam’iyyah-jam’iyyah itu wakaupun mempunyai program-program
yang lebih sedikit dengan apa-apa yang telah kusebutkan, tetap merupakan pintu
yng menyampaikan pada fitnah. Tidaklah pertanyaan yang kalian dengar ini muncul
kecuali merupakan akibat dari fitnah jam’iyyah. Maksudnya adalah bahwasanya
salafiyyun mengingkari jam’iyyah-jam’iyyah tersebut, tetapi mereka tetap saja melandaskan
amaln mereka pada sebagian fatwa yang mungkin mereka ambil dari sebagian orang
yang belum jelas baginya dampak-dampak buruk jam’iyyah atau diambil dari
sebagian orang yang kami anggap bahwa fatwanya tersebut keliru. Oleh karena itu
–barokallohu fiikum-, menjauhlah dari jam’iyyah-jam’iyyah ini walaupun di sana
ada perbedaan-perbedaan (diantara masing-masing jam’iyyah). Jam’iyyah-jam’iyyah
itu di sana (demikian-demikian) dan di sini demikian. Mereka terus-menerus
menjalankan program-program serta pemikiran-pemikiran mereka.
Menjauh…menjauhlah (dari jam’iyyah tersebut)…!
#
Perkataan Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali Hafizhohulloh.
Pertanyaan pertama:
Apa hukum Jam’iyyah secara umum? Dan apa pendapatmu terhadap
orang yang membolehkan pemilu?
Jawab:
“Adapun Jam’iyyah maka pengetahuanku tentang kondisi
aslinya, walaupun didirikan pada mulanya atas dasar tolong-menolong, namun
dalam perjalannya menuju hizbiyyah. Aku tidak melihat sebuah jam’iyyah pun
kecuali dia itu hizbiyyah. Walaupun tampak pada awalnya jauh dari hizbiyyah
atau dia telah berusaha untuk menyelamatkan diri dari hizbiyyah, namun
taring-taring hizbiyyah telah mencengkeramnya.
Maka semua jam’iyyah adalah menimbulkan hizbiyyah, kecuali
yang Alloh rahmati dan itu sangat sedikit. Ini sebatas pengetahuanku dan ilmuku
serta pendalamanku tentang jam’iyyah tersebut. Adapun pemilu, maka aku katakan:
“Dia adalah permainan syaithon untuk umat Islam. Hal ini tidak boleh baik itu
mencalonkan diri atau memilih, karena metode ini adalah dilakukan oleh
orang-orang fajir dari kalangan para da’i sebagai tangga untuk memperoleh
kedudukan, kepemimpinan dan dunia. Berapa banyak kita lihat dari mereka
berkoar: “Kita ingin mengubah”, akan tetapi setelah mereka masuk kedalam
parlemen, merekalah yang berubah. Bahkan mereka terpelanting dari kepribadian
islamy. Maka cara menyelamatkan diri adalah dengan menjauhinya”.
Pertanyaan kedua:
Syaikh yang mulia, Salim Al Hilaly –Semoga Alloh
mengokohkanmu- Anda mengatakan bahwa anda tidak mengetahui jam’iyyah melainkan
ada hizbiyyahnya, kecuali yang Alloh rahmati yang jumlahnya sedikit. Apa maksud
dari perkataan ini?? Dan siapakah yang dikecualikan?? Jazakumullohu Khoiron.
Jawab:
Maksudku dengan pengecualian ini adalah barangsiapa yang
mengetahui bahwa disana ada sebuah jam’iyyah yang tidak hizbiyyah maka beri
tahukan kepadaku, supaya aku mengubah sikap terhadap jam’iyyah-jam’iyyah
(tersebut).
(Soal-Jawab Syaikh Salim ketika berziaroh ke Darul Hadist
dammaj tanggal 23-25 Jumadits Tsany 1430.) (dikutip dari Yayasan sarana
dakwah tanpa Barokah, Abul Husain Muhammad bin Muhyiddin Al-Jawi.)
7.
Tolong menolong dalam dosa
dan pelanggaran sebab saling membantu membangun masjid dhiror yang menimbulkan
perpecahan.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢)
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2)
_____________________________
Selesai, walhamdulillaahi robbil ‘alamin,
Alfaqir ilalloh
Abu Ibrohim Sa’iid ibn nursalim ibn zainal ’abidin ibn
ya’qub ibn malla Al-Indunisy Al-Makassary
Makassar, Sabtu 21 Muharrom 1433 H
From= https://kebenaranhanya1.wordpress.com/2011/12/20/studi-kritis-membangun-masjid-di-dekat-masjid/