Islam Pedoman Hidup: Studi Kritis Membangun Masjid Di Dekat Masjid

Minggu, 20 Desember 2015

Studi Kritis Membangun Masjid Di Dekat Masjid


Studi Kritis Membangun Masjid
Di Dekat Masjid

بسم الله الرحمن الرحيم

Muqoddimah

 الحمد لله و أشهد أن لا إله إلاالله, و أن محمدا عبده ورسوله , صلى الله عليه و على اله و صحبه و من تبع هداه, أما بعد

Sungguh membangun masjid adalah suatu keutamaan yang besar, imam Muslim rohimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :


عَنْ عُثْمَانِ بْنَ عَفَّانَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ مِثْلَهُ

Dari Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- dia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membangun masjid ikhlas karena Allah maka Allah akan membangunkan baginya yang serupa dengannya di surga.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Masajid wa Mawadhi’ as-Shalah)
Namun sebagian orang karena hanya dorongan semangat ditambah ketidaktahuannya akan hukum-hukum dan mashlahat syar’i diapun membangun masjid tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya dan akibat yang jelek yang ditimbulkannya dikemudian hari.

Telah banyak kita saksikan orang-orang yang bersemangat menegakkan sunnah membangun masjid di dekat masjid yang sudah ada tanpa dia sadari akan mafsadat yang ditimbulkannya, karena itu perlu ada pembahasan tersendiri tentang Membangun Masjid Di Dekat Masjid, pembahasan akan kami bagi dalam 5 Bab yaitu, Bab Masjid Sebagai Pemersatu, Bab Kisah Masjid Dhiror, Bab Membantah Syubhat, Bab mashlahat sholat di Masjid yang telah ada walaupun jauh, dan Bab Mudhorot Membangun Masjid Di Dekat Masjid.

Bab Masjid Sebagai Pemersatu

Alloh ta’ala berfirman,

وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٥)
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,” (Ali-Imron: 105)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَتُسَوُّوْنَ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

“Sungguh luruskanlah shaf-shaf kalian, atau kalau tidak demikian sungguh Allah akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berpaling.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- berkata: Rasulullah-shollallahu alaihi wasallam- bersabda:
اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ

“Luruslah kalian dan jangan kalian berselisih. Lantaran itu, hati-hati kalian akan berselisih”. (HR. Al-Imam Muslim dalam Shohih-nya (432))

Dalam hadits lain beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ

“Kalian akan benar-benar meluruskan shaf, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalian berselisih”. (HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (717), dan Muslim dalam Shohih-nya(436))

Dalil-dalil diatas menunjukkan kepada kita bahwa sholat berjam’ah adalah pemersatu kaum muslimin, dan masjid sebagai tempat sholat merupakan tempat yang memersatukan kaum muslimin, dan Rosululloh shollalohu ‘alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah beliau pertama kali membangun masjid, setelah unta tunggangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di suatu tempat di Madinah, maka kaum muslimin menjadikannya sebagai tempat untuk menunaikan shalat. Tempat itu merupakan tempat penjemuran kurma milik Suhail dan Sahl, dua anak yatim dari Bani Najjâr yang berada dalam pemeliharaan As’ad bin Zurârah.

Ketika tunggangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di tempat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 هَذَا إِنْ شَاءَ اللهُ الْمَنْزِلُ
 “Ini Insya Allah, tempat menetap” [HR Bukhâri]

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kedua anak yatim itu dan menawar tanah itu untuk dijadikan masjid. Tetapi kedua anak itu berkata: “Justru kami ingin memberikannya kepada anda, wahai Rasulullah”. Meski demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa enggan menerima pemberian dua anak kecil ini, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap membelinya. Dan di atas tanah ini, Masjid Nabawi dibangun. (HR Bukhâri, al-Fath, 15/101, no. 3906.)

Maka Jadilah Masjid Nabawi sebagai tempat Ibadah dan pusat persatuan pemerintahan kaum muslimin di Madinah.


Bab Kisah Masjid Dhiror

Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, di kota suci ini ada seorang laki-laki dari bani Khazraj berjuluk Abu Amir Ar-Râhib. Lelaki ini pada masa jahiliyah beragama Nasrani dan mempelajari kitab-kitabnya, sehingga dia termasuk orang yang tekun beribadah pada masa itu. Di sisi lain dia juga mempunyai kedudukan dan pengaruh besar dalam kabilahnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, kaum Muslimin bersatu di bawah tampuk kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam; sehingga Islam menjadi kuat, apalagi setelah Allah Azza wa Jalla memenangkannya pada waktu perang Badar.

Melihat keadaan seperti ini Abu Amir tidak rela, sehingga dia menampakkan permusuhannya terhadap kaum Muslimin; sampai-sampai dia pergi ke Mekah menemui orang-orang kafir Quraisy untuk mengajak memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin di Madinah. Mereka pun setuju dan kemudian menyusun kekuatan; hingga terjadilah perang Uhud. Dia juga mengajak kaum Anshar untuk bekerja sama dan menyetujui pemikirannya. Namun ketika mereka mengetahui maksud buruknya, mereka berkata, ”Wahai musuh Allah Azza wa Jalla, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikanmu sebagai orang yang dibenci setiap orang yang melihatmu”, Mereka mencaci-maki dan mencelanya; lalu dia pulang dan berkata, ”Demi Allah Azza wa Jalla, kejelekan telah menimpa kaumku”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengajaknya untuk masuk Islam serta membacakan al-Qur’ân kepadanya sebelum dia lari ke negeri Romawi. Meskipun demikian, dia tetap menolak masuk Islam, bahkan mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku tidak menemui suatu kaum yang memerangimu kecuali aku bersama mereka”. Maka beliau mendoakan dia agar mati di tempat yang jauh dalam keadaan terusir.

Lelaki ini memang selalu bersama orang-orang kafir dalam semua peperangan melawan kaum Muslimin. Kemudian ketika mereka kalah dalam perang di Hawazun, dia pergi ke negeri Romawi meminta bantuan raja Romawi untuk memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sana dia juga menyuruh orang-orang munafik (dari penduduk Madinah) untuk membangun masjid dhirâr.

Atas dasar perintah tersebut, mereka lalu mendirikan masjid berdekatan dengan masjid Quba’. Masjid tersebut selesai didirikan sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Tabuk. Lalu mereka mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta agar beliau mengunjungi mereka dan shalat di masjid itu. Sebenarnya mereka bermaksud (mengelabui kaum Muslimin) menjadikan shalat beliau ini sebagai hujjah bagi mereka, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyetujui pembangunan masjid tersebut. Mereka menyebutkan kepada beliau alasan mendirikan masjid itu; yaitu untuk orang-orang tua maupun yang sakit (yang tidak bisa hadir shalat berjama’ah di masjid Quba’) pada saat malam musim dingin (akan tetapi alasan ini tidaklah benar adanya).

Kemudian Allah Azza wa Jalla melarang rasul-Nya agar tidak melaksanakan shalat di masjid tersebut, dengan menurunkan ayat,


وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,”kami tidak menghendaki selain kebaikan.”Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” [at-Taubah/9:107]

Dijelaskan, “Mereka yang mendirikan masjid dhirâr adalah sekawanan orang (munafik) dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang. Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada orang-orang Mukmin dan masjid mereka’, dan untuk menguatkan kekafiran orang-orang munafik, serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin. Pada awalnya mereka semua shalat berjamaah di satu masjid (masjid Quba’), kemudian terpecah menjadi dua masjid (di masjid Quba’ dan masjid dhirâr). Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum Mukminin. Juga untuk menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu yaitu Abu Amir ar-Râhib. Mereka sesungguhnya bersumpah dengan mengatakan,”Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan yaitu menunaikan shalat dan berdzikir di dalamnya serta memberi kemudahan bagi para jama’ah.” Dan Allah Azza wa Jalla menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).

Larangan Allah Azza wa Jalla tersebut telah di sebutkan dengan jelas di dalam ayat berikutnya, yaitu:

 لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah kamu shalat di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah Azza wa Jalla menyukai orang-orang yang bersih.” [at-Taubah/9:108]

Larangan Allah Azza wa Jalla ini tidaklah khusus bagi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi kaum Muslimin juga termasuk dalam larangan tersebut; sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, “Ayat (di atas) merupakan larangan dari Allah Azza wa Jalla kepada Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak shalat di masjid tersebut selamalamanya, dan umatnya mengikutinya dalam hal ini.”

Kemudian Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat di masjid Quba’ yang telah didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama. Maksudnya atas dasar ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan juga untuk mempersatukan ukhuwah kaum Muslimin serta sebagai markas mereka.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mâlik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya berkata kepada mereka berdua, ”Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang dzalim (masjid dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah.” Maka keduanya pun berangkat; sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata kepada Ma’an, “Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.” Sesaat kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan berjalan dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya, sehingga orang yang berada di dalamnya (berlarian) keluar.

Sedangkan Abu Amir ar-Râhib; dia mati di kota Qansarin (wilayah Romawi) akibat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atasnya.

[Lihat Tafsir Ibnu Katsîr Juz 4, Aisarut Tafâsîr (Juz 2), Tafsir Ath-thabary (Juz 14), Tafsir As-Sa’di (Hal.351), Tafsir Abu Su’ûd (Juz 4), Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8)]

Maka setiap masjid yang dibangun dengan memberikan madharat dan memecah belah kaum Muslimin serta untuk memusuhi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hukumnya wajib dihancurkan (oleh penguasa) dan haram shalat di dalamnya.

Karena itu berhati-hatilah membangun masjid baru agar tidak menyerupai kaum munafiqun yang membangun masjid dhiror.

Bab Membantah Syubhat

 Orang-orang yang bersemangat menegakkan sunnah tanpa ilmu lalu membangun masjid di dekat masjid yang telah ada, dengan berbagai alasan pun mereka kemukakan, diantara alasan mereka:

–         Syubhat yang pertama, mereka katakan bahwa yang menjadi imam di Masjid yang telah ada bukan Ahlussunnah.

Bantahan:

 Alasan itu tertolak sebab menyelisihi manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa berangsiapa yang meninggalkan sholat dibelakang ahlul bid’ah (yang tidak kafir) maka dia juga ahlul bid’ah, dan berikut fatwa ulama yang mencela orang yang tidak mau sholat dibelakang imam ahlul bid’ah yang tidak sampai kafir;

1.       Ibnu Hazm berkata, “Kami tidak mengetahui seorang pun shahabat yang tidak mau bermakmum di belakang al Mukhtar, Ubaidillah bin Ziyad dan al Hajjaj, padahal tidak ada orang yang lebih fasik dibandingkan mereka.  Alloh berfirman yang artinya, “Dan hendaknya kalian tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan perbuatan melampaui batas” (QS al Maidah:3). Siapa yang mengajak kita untuk melakukan dosa maka kita tidak akan merespon dan membantunya. Ini semua merupakan pendapat Abu Hanifah, Syafii dan Abu Sulaiman…. Dari Ubaidullah bin Adi bin al Khiyar, beliau menemui Utsman (bin Affan) yang terkepung di dalam rumahnya lalu berkata, “Engkau adalah imam shalat untuk banyak orang dan sekarang engkau dalam kondisi terkepung akhirnya yang menjadi imam shalat untuk kami adalah pelaku tindakan onar. Kami merasa berat untuk shalat di belakangnya”. Utsman mengatakan,

إنَّ الصَّلاةَ أَحْسَنُ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ فَإِذَا أَحْسَنَ النَّاسُ فَأَحْسِنْ مَعَهُمْ، وَإِذَا أَسَاءُوا فَاجْتَنِبْ إسَاءَتَهُمْ

Sesungguhnya shalat adalah sebaik-baik amal manusia. Jika orang lain berbuat baik maka berbuat baiklah bersama mereka. Namun jika mereka melakukan keburukan maka jauhilah keburukan yang mereka lakukan”.

2.       Ibnu Umar juga mau bermakmum di belakang al Hajjaj dan an Najdah yaitu an Najdah al Haruri salah seorang pemimpin Khawarij. Yang kedua adalah khawarij (baca:ahli bid’ah). Sedangkan yang pertama adalah manusia yang paling fasik. Meski demikian, Ibnu Umar berkata, “Shalat adalah sebuah kebaikan. Aku tidak peduli siapakah yang menemaniku dalam kebaikan tersebut” (Al Muhalla 4/213).

3.       Tentang shalat di belakang ahli bid’ah, Al Hasan al Bashri berkata, “Shalatlah (di belakangnya) sedangkan bid’ahnya adalah urusan dia sendiri” (Disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya).

4.       Al-Imam al Bukhari membuat sebuah bab berjudul: “Keimaman Seorang yang Terlibat Fitnah dan Seorang Ahli Bid’ah” Lalu beliau menyebutkan riwayat,


عَنْ عُبَيْدِاللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ خِيَارٍ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِي اللَّهم عَنْهم وَهُوَ مَحْصُورٌ فَقَالَ إِنَّكَ إِمَامُ عَامَّةٍ وَنَزَلَ بِكَ مَا نَرَى وَيُصَلِّي لَنَا إِمَامُ فِتْنَةٍ وَنَتَحَرَّجُ فَقَالَ الصَّلَاةُ أَحْسَنُ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ فَإِذَا أَحْسَنَ النَّاسُ فَأَحْسِنْ مَعَهُمْ وَإِذَا أَسَاءُوا فَاجْتَنِبْ إِسَاءَتَهُمْ

Dari ‘Ubaidullah bin ‘Adi bahwa beliau masuk menemui ‘Utsman bin ‘Affan saat beliau dikepung maka ia mengatakan: Sesungguhnya engkau adalah imam jama’ah, dan telah menimpamu apa yang kami lihat dan (sekarang yang) mengimami kami adalah imam fitnah , kami merasa takut berdosa. Maka ‘Utsaman berkata: Shalat adalah sebaik-baik apa yang dilakukan oleh manusia, maka jika mereka berbuat baik, berbuat baiklah bersama mereka dan jika mereka berbuat jelek maka jauhilah kejelekan mereka. [Shahih, HR Al Bukhari. lihat fathul bari :2/188 no: 695]

5.       Ibnu Abi Zamaniin meriwayatkan dari Syabib ia mengatakan: Bahwa Najdah Al Haruri (orang khowarij) bersama teman-temannya datang (ke Makkah) maka ia melakukan perjanjian damai dengan Ibnu Zubair (yang menguasai Makkah saat itu, pent) lalu ia (Najdah) mengimami orang-orang selama sehari semalam dan Ibnu Az-Zubair sehari semalam, maka Ibnu Umar shalat di belakang mereka berdua, Sehingga seseorang mengkritik Ibnu Umar lantas beliau menjawab: Kalau mereka menyeru, ‘Mari kepada amal yang baik’, maka kita menyambutnya, dan jika mereka menyeru, ‘Mari kita bunuh jiwa’, maka kami mengatakan: Tidak!!. Dan beliau mengeraskan suaranya [‘Usulussunnah karya Ibnu Abi Zamanin :3/1003 dinukil dari Mauqif ahlissunah, dan Al-Baihaqi meriwayatkan yang semakna: 3/122 dalam As-Sunanul kubra]

6.       Ibnu Taimiyyah mengatakan: Adalah Abdullah Ibnu ‘Umar dan selain beliau dari kalangan sahabat, shalat di belakang Najdah Al Haruri (seorang berpemahaman bid’ah khawarij)[Minhajussnnah:5/247 Mauqif:1/352]

7.       ‘Umair bin Hani mengatakan: Aku melihat Ibnu ‘Umar, Ibnu Zubair, Najdah, dan Al Hajjaj, maka Ibnu Umar mengatakan: Mereka (penduduk Makkah yang berperang) berjatuhan dalam neraka sebagaimana lalat jatuh ke dalam kuah. Tapi jika beliau mendengar seorang muadzin, beliau cepat-cepat menuju kepadanya -yakni muadzin mereka- lalu shalat bersama mereka [Al Mushonnaf karya Abdurrazzaq:2/387 As Sunanul Kubra, Al Baihaqi:3/122]

8.       Abdul Karim Al Bakka’: Saya mendapati sepuluh dari sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam semuanya shalat di belakang imam yang jahat [Sunan Al Kubra:3/122 dan Al Bukhari dalam tarikhnya, lihat Fathul Bari karya Ibnu rajab:4/183]

9.       Nafi’ mengatakan: Bahwa Ibnu ‘Umar menyendiri ke Mina saat pertempuran antara Ibnu Zubair dengan Hajjaj di Mina, lalu ia shalat di belakang Hajjaj. [Sunan Al Kubra:3/121]

Demikian riwayat dari sebagian Sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang membuktikan bahwa mereka shalat di belakang ahli bid’ah atau orang fasiq yang sekelas Hajjaj bin Yusuf selama mereka belum kafir.

Riwayat dari Tabi’in,

1.        Ja’far bin Barqon mengatakan: Saya bertanya kepada Maimun bin Mihran tentang shalat di belakang seseorang yang disebut khawarij, ia menjawab: ‘Sesungguhnya engkau shalat bukan karena orang itu tapi karena Allah, dulu kami shalat di belakang Al Hajjaj padahal dia haruri azraqi (orang khawarij)’. Lalu aku memandangnya. Maka beliaupun berkata: ‘Dia adalah yang kamu selisihi pendapatnya ia menganggapmu kafir dan menghalalkan darahmu, dan Hajjaj dulu semacam itu’ [Fathul Bari, Ibnu rajab:4/183]

2.        Al Hasan Al Basri ditanya tentang shalat di belakang ahli bid’ah maka beliau menjawab: Shalatlah, dan bid’ahnya ditangung imam itu sendiri [HR. Al Bukhari secara mu’alaq dan Sa’id bin Manshur dinukil dalam Fathul Bari:4/182 karya Ibnu Rajab dan Fathul Bari, Ibnu Hajar :2/188]

3.        Al A’masy mengatakan: Adalah murid-murid besar Ibnu Mas’ud shalat jum’at bersama Al Mukhtar dan mereka mengharap pahala dari perbuatan itu. [Usulussunah karya Ibnu Abi Zamanin:3/1004 dinukil dari Mauqif Ahlissunnah]

4.        Seseorang berkata kepada Al Hasan Al Bashri: Datang seseorang dari Khawarij mengimami kami, apakah kami shalat di belakangnya? Beliau menjawab: Ya, telah ada yang lebih jelek darinya mengimami orang-orang. [Usulussunah karya Ibnu Abi Zamanin:3/1005]

5.        Qotadah mengatakan: Saya bertanya kepada Said Ibnu Al Musayyib: Apakah kita boleh shalat di belakang Al Hajjaj? Ia menjawab: Kami sungguh akan shalat di belakang orang yang lebih jelek darinya.

Inilah beberapa riwayat dari tabi’in yang sejalan dengan apa yang dilakukan para sahabat.

·         Ibnu Taimiyyah mengatakan:
(…Seandainya makmum mengetahui bahwa imamnya seorang ahli bid’ah dan mengajak kepada bid’ahnya atau seorang fasiq yang menampakkan kefasikannya sedang dia adalah imam rawatib yang tidak mungkin shalat kecuali di belakangnya seperti imam shalat jum’at dan dua hari raya dan imam di shalat haji di Arafah dan semacamnya maka makmum hendaknya shalat di belakangnya, (demikian) menurut mayoritas ulama’ salaf dan khalaf (belakangan) dan itu adalah madzhab Asy Syafi’i, Ahmad dan yang lainya …Dan barangsiapa meninggalkan shalat jum’at dan jama’ah di belakang imam yang fajir/jahat maka dia adalah ahli bid’ah menurut imam Ahmad dan yang lainya dari kalangan imam ahlussunnah… [Al Fatawa:23/352-354]

juga beliau mengatakan: (…Adapun shalat di belakang imam ahli bid’ah maka masalah ini ada perselisihan ulama di dalamnya dan ada perinciannya. Jika tidak ia dapatkan imam selainnya seperti shalat jum’at yang tidak didirikan kecuali di satu tempat, dua hari raya dan shalat-shalat saat pelaksanaan haji di belakang imam musim haji maka yang semacam ini tetap dilakukan di belakang orang yang baik dan orang yang fajir/jahat dengan kesepakatan Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan yang meninggalkan shalat semacam ini di belakang para imam hanyalah ahli bid’ah seperti orang-orang Rafidhah/Syi’ah dan yang sejenisnya…[Al Fatawa:23/355]

Katanya juga : (…Oleh karenanya orang-orang yang meninggalkan jum’at dan jama’ah di belakang para imam yang jahat secara mutlak terangap -menurut ulama salaf dan para imam- sebagai ahli bid’ah …..[Al Fatawa:23/343-344]

·          Imam an-Nawawi rohimahulloh berkata: “Bahwa shalat di belakang orang yang fasik dan pemimpin yang zhalim, sah shalatnya. Sahabat-sahabat kami telah berkata: Shalat di belakang orang fasik itu sah tidak haram akan tetapi makruh, demikan juga dimakruhkan shalat di belakang ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak sampai kepada tingkat kufur (bid’ahnya tidak menjadikan ia keluar dari islam). Tetapi bila bid’ahnya adalah bid’ah yang menyebabkan ia keluar dari islam, maka shalat di belakangnya tidak sah, sebagaimana shalat di belakang orang kafir. Dan Imam as-Syafi’i menyebutkan dalam al-Muktashar bahwa makruh hukumnya shalat di belakang orang fasik dan ahli bid’ah, kalau dikerjakan juga, maka shalatnya tetap sah, dan inilah pendapat jumhur ulama.”

·          Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuuri hafidhohulloh ditanya.
Soal :
Apakah sah shalat di belakang seorang ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu?


Jawab :
Selama belum dikafirkan atau selama belum mencapai batas kekufuran, maka mayoritas ulama mengatakan bahwasanya shalat di belakang mubtadi’ tersebut –menjad makmum baginya- sah. Dan barangsiapa tidak mau shalat di belakang mubtadi’ maka dia juga mubtadi’, yang aku maksudkan adalah : barangsiapa tidak menganggap sahnya shalat tersebut. Adapun jika didapatkan seorang imam yanbg mustaqim (lurus agamanya) maka hendaknya dia shalat di belakang imam yang mustaqim tersebut, dan tidak boleh baginya untuk shalat di belakang mubtadi’ yang meninggalkan Sunni tersebut. Hal ini dinukilkan oleh Ibnu Abil ‘Izz di “Syarhuth Thawiyyah” pada bagian ucapan: “Dan kami berpendapat untuk shalat di belakang orang yang baik maupun orang yang jahat, dari kalangan muslimin.”Dan hal itu merupakan ucapan mayoritas ulama sebagaimana kamu ketahui. Dan tinggallah dalil, yaitu hadits Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat seseorang meludah ke kiblat masjid maka beliau berkata:
“Jangan sampai orang ini menjadi imam untuk shalat kalian.”

Padahal dia itu muslim, dan shalat di belakangnya sah. Akan tetapi dilihat siapakah yang lebih utama untuk kaum muslimin.(Al Hafidh Ibnu Hajar di Fathul Bari(2/69) di bawah hadits no 405, berkata. “Abu Daud dan Ibnu Hibban punya riwauat dari Hadits As Saib bin Kholad: “Bahwasanya ada seseorang yang mengimami suatu kaum lalu dia meludah ke kiblat. Ketika selesai, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata : “Janganlah orang ini mengimami sholat kalian”(Al Hadits))

“Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Furqan 74)

Inilah kesimpulannya, bahwasanya shalat di belakang mubtadi’ selama bid’ahnya belum mencapai batasan kufur tetap sah. Adapun shalat di belakang seorang mubtadi’ yang kafir tidak sah. Juga shalat di belakang seorang mubtadi’ bersamaan dengan adanya seorang Sunni padahal tak ada kesulitan untuk shalat di belakangnya, itulah yang afdhal, maka jadilah shalat di belakang mubtadi’ itu makruh, dan fatwa-fatwa tentang ini semuanya jelas dan condong kepada pendapat para Salaf semoga Allah meridhai mereka semua. (Fatwa-Fatwa Syaikh Yahya (hafidzohulloh) Atas Pertanyaan Mancanegara, Darul Hadits Dammaj)

Demikianlah perkataan Salaful Ummah rohimahumulloh jami’an, Maka hati-hatilah dari meninggalkan imam kaum muslimin (walaupun fasiq) sebab, Ibnu Taimiyyah rohimahulloh ta’ala mengatakan: “Dan barangsiapa meninggalkan shalat jum’at dan jama’ah di belakang imam yang fajir/jahat maka dia adalah ahli bid’ah menurut imam Ahmad dan yang lainya dari kalangan imam ahlussunnah” [Al Fatawa:23/352-354]


–         Syubhat yang kedua mereka katakan “kami diizinkan oleh penguasa membangun masjid di dekat masjid yang sudah ada”.

 Bantahan:
 Tidak ada keta’atan dalam bermaksiat kepada Alloh, sungguh orang yang memecah belah kaum muslimin sadar ataupun tidak telah bermaksiat kepada Alloh ta’ala, Alloh ‘azza wa jalla berfirman,


إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (١٥٩)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”. (Al-An’aam: 159)


وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (١٠٧)
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (Attaubah: 107)


مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (٣٢)
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Arruum: 32)


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ibnul Qayyim berkata dalam I’lamul Muwaqqi’in 1/38:

 “(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum muslimin) untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan Allah mengulangi fi’il (ati’uu) (=taatilah) sebagai i’lam (pemberitahuan) bahwa taat kepada rasul itu harus disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih dahulu kepada apa yang Allah perintahkan dalam Al-Qur`an. Jadi, kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada dalam Al-Qur`an maupun tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi Al-Qur`an dan juga semisalnya (As-Sunnah). Dalam ayat ini juga, Allah tidak memerintahkan untuk menyendirikan taat kepada Ulil Amri. Bahkan Allah membuang fi’il (ati’uu) dan menjadikannya di dalam kandungan taat kepada Rasul, sebagai pemberitahuan bahwa mereka (Ulil Amri) itu ditaati dalam rangka taat kepada Rasul.” (lihat Hujiyyatu Ahaditsil Ahad fil Ahkami Al-Aqaid hal. 11-12)

Berkata Al Imam Al Barbahari Rahimahullahu Ta’ala: 

واعلم أنه لا طاعة لبشر في معصية الله عزوجل
 Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada manusia dalam bermaksiat kepada Allah ‘Azza wajalla.

Syaikh Allamah Ahmad bin Yahya An Najmi:

Dalil tentang hal ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)

Juga sabda beliau shallallahu ’alaihi wasallam,

عَلَى الْمَرْءِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Wajib bagi seseorang untuk mendengar dan taat dalam apa yang ia sukai dan benci, kecuali ia diperintah berbuat maksiat. Maka bila ia diperintah berbuat maksiat, ia tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 2955 dan Muslim no. 1839)

Dalil-dalil ini menunjukkan bahwasanya ketaatan kepada pemerintah itu terikat dengan dua syarat:

1. Dalam perkara yang ma’ruf, sehingga tidak ada kewajiban taat dalam kemaksiatan.

2. Dalam jangkauan kemampuan seorang hamba. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada orang yang berbai’at kepadanya,

كُنَّا نبُاَيِعُ رَسُولَ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلىَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، يَقُولُ لَنَا: فِيْمَااسْتَطَعْتُ

“Dulu kami membai’at Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam untuk mendengar dan menaati perintah beliau, kemudian beliau katakan kepada kami: ‘(katakanlah dalam bai’atmu): Dalam perkara yang aku mampu’.” (HR. Muslim no. 1867, lihat keterangan An-Nawawi tentang hadits ini)

Hingga para wanita yang berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengatakan,
 “Demi Allah, Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada diri-diri kami sendiri.”
 Yang demikian itu setelah mereka berbai’at kepada beliau Shallallahu’alaihi wasallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit maupun lapang dan dalam keadaan senang maupun benci, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata kepada mereka,
 “Dalam perkara-perkara yang kalian mampu”
 Wabillahit taufiq.
 [Dari Kitab Irsyaadus Saari ila Taudhihi Syarhis Sunnah lil Imam Al Barbahari]

Maka membangun masjid didekat masjid walaupun diizinkan pemerintah maka hal itu tidak bisa dijadikan alasan pembolehannya, sebab dampak yang ditimbulkannya dapat merusak persatuan kaum muslimin.

–         Syubhat yang ketiga mereka katakan “kami ingin membangun pusat dakwah (Markiz) hlussunnah dengan membangun masjid yang baru sebab masjid yang telah ada bukan milik kita”.
 Bantahan:

Rosululloh sholalloh ‘alaihi wa sallam berdakwah menyeru manusia dalam berbagai keadaan dan tempat, beliau adalah yang paling baik metode dakwahnya dan beliau menyeru manusia kepada tauhid dan bersatu diatas kebenaran bukan berdakwah dengan memecah belah manusia,

Alloh ta’ala berfirman,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (١٠٣)

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imron: 103)

Dan tidak perlu memaksakan diri berdakwah di masjid jika memang sudah tidak bisa lagi, bukankah dakwah itu luas baik itu ada markiz atau tidak, bukankah sholatmu yang kamu nampakkan sesuai sunnah itu juga dakwah ? bahkan di rumah dan pasar-pasar pun bisa berdakwah,

Alloh ta’ala berfirman:

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الأسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا (٧)

Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?, (Al-Furqon: 7)

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الأسْوَاقِ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا (٢٠)

Dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha melihat. (Al-Furqon: 20)

Imam Bukhari telah meriwayatkan satu sisi dari kisah ini, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “tatkala turun ayat {firmanNya: ‘dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat’ [Q.S. asy-Syu’ara’ : 214] } Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam naik ke atas bukit Shafa lalu memanggil-manggil : ‘wahai Bani Fihr! Wahai Bani ‘Adiy! Seruan ini diarahkan kepada suku-suku Quraisy. Kemudian tak berapa lama, merekapun berkumpul. Karena maha pentingnya panggilan itu, seseorang yang tidak bisa keluar memenuhinya, mengirimkan utusan untuk melihat apa gerangan yang terjadi?. Maka, tak terkecuali Abu Lahab dan kaum Quraisypun berkumpul juga. Kemudian beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam berbicara: ‘bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku beritahukan kepada kalian bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?. Mereka menjawab: ‘ya! Kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran’. Beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Sesungguhnya aku adalah sebagai pemberi peringatan kepada kalian terhadap azab yang amat pedih’. Abu Lahab menanggapi: ‘celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami?. Maka ketika itu turunlah ayat {firmanNya: “binasalah kedua tangan Abu Lahab…”} [Q.S. al-Masad: 1] “.

Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan satu sisi yang lain dari kisah tersebut, yaitu riwayat dari Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu, dia berkata: “Tatkala ayat ini turun {firmanNya: ‘dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat’ [Q.S. asy-Syu’ara’ : 214] } Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mendakwahi mereka baik dalam skala umum ataupun khusus. Beliau berkata: ‘wahai kaum Quraisy! Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Ka’b! Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Fathimah binti Muhammad! Selamatkanlah dirimu dari api neraka. Demi Allah! sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatupun (untuk menyelamatkan kalian) dari azab Allah selain kalian memiliki ikatan rahim yang akan aku sambung karenanya”.

Lihatlah bagaimana awal Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam berdakwah ditengah kaumnya dan tidak langsung membangun markiz.

–         Syubhat yang keempat mereka katakan “masjid yang telah ada, jauh jaraknya”.

 Bantahan:

 Perlu diketahui bagaimanakah jarak yang jauh dari sisi syar’i?

 Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata:

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
“Seorang buta pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah, maka beliaupun memberikan keringanan kepadanya. Ketika orang itu beranjak pulang, beliau kembali bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (azan)?” laki-laki itu menjawab, “Ia.” Beliau bersabda, “Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).” (HR. Muslim no. 653)

Suatu saat, datang Atban bin Malik -salah seorang sahabat Rasul dari Anshar yang mengikuti perang Badr bersama Rasul- kepada Rasul seraya berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah penglihatanku maka aku melakukan shalat bersama kaumku. Jika hujan turun dan menggenangi lembah yang membentang antara tempatku dengan tempat mereka sehingga aku tak dapat melakukan shalat bersama mereka di masjid mereka. Wahai Rasul, aku mengharap engkau datang mengunjungiku dan melaksanakan shalat di rumahku.” Lantas Rasululah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Aku akan melaksanakannya, insya-Allah.” Atban berkata: “Keesokan harinya, di waktu siang, datanglah Rasul besama Abu Bakar. Kemudian Rasul meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau tidak duduk ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; “Di bagian manakah engkau ingin aku mengerjakan shalat di rumahmu?”. Lantas aku tunjuk satu sudut yang berada di rumahku. Lantas Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kamipun turut berdiri dan mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan membaca salam”. (Lihat: Shohih Bukhari 1/115, 170 dan 175. Shohih Muslim 1/445, 61 dan 62)

Dari dua hadits diatas, dapat kita ambil pelajaran:

1.       Jika adzan masih dapat didengar maka wajib menjawab adzan tersebut dengan mendatangi sholat berjama’ah (bagi laki-laki yang balig) maka tidak boleh orang yang masih mendengar adzan untuk mengatakan jauh jaraknya sehingga dia meninggalkan shalat berjama’ah dan kemudian membangun masjid baru.

2.       Jika antara rumahnya dan masjid ada lembah yang membentang yang dapat digenangi air ketika hujan sehingga menghalangi dan sangat memberatkannya untuk berjama’ah maka dia boleh sholat dirumahnya dan inilah udzur dan batasan yang seharusnya menjadi ukuran untuk membangun masjid baru di rumahnya jika diizinkan penguasa.

Renungkanlah,

َنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَلَتِ الْبِقَاعُ حَوْلَ الْمَسْجِدِ فَأَرَادَ بَنُو سَلِمَةَ أَنْ يَنْتَقِلُوا إِلَى قُرْبِ الْمَسْجِدِ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لَهُمْ « إِنَّهُ بَلَغَنِى أَنَّكُمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَنْتَقِلُوا قُرْبَ الْمَسْجِدِ ». قَالُوا نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَرَدْنَا ذَلِكَ. فَقَالَ « يَا بَنِى سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ ».

Dari Jabir bin ‘Abdillah berkata, “Di sekitar masjid ada beberapa bidang tanah yang masih kosong, maka Bani Salamah berinisiatif untuk pindah dekat masjid. Ketika berita ini sampai ke telinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rupanya telah sampai berita kepadaku bahwa kalian ingin pindah dekat masjid.” Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah, kami memang ingin seperti itu.” Beliau lalu bersabda, “Wahai Bani Salamah, tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan dicatat, tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan dicatat.” [HR. Muslim no. 665.]

Mengapa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa salam tidak menyuruh Bani Salamah membangun masjid sendiri? Dari pelajaran tersebut maka bagaimana keadaan orang yang membangun masjid di dekat masjid? Apalagi yang memisahkan kedua masjid tersebut hanya jalanan beraspal yang anak kecil sakalipun bisa melewatinya. Wallohul musta’an.

Bab mahslahat sholat di Masjid yang telah ada walaupun jauh,

1.       Menjalankan sunnah (tuntunan) Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya,


وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (١١٥)

“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)

2.       Mendapatkan banyak pahala sebab setiap langkah menuju masjid mengangkat derajat dan menghapus kesalahan,

َنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَلَتِ الْبِقَاعُ حَوْلَ الْمَسْجِدِ فَأَرَادَ بَنُو سَلِمَةَ أَنْ يَنْتَقِلُوا إِلَى قُرْبِ الْمَسْجِدِ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لَهُمْ « إِنَّهُ بَلَغَنِى أَنَّكُمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَنْتَقِلُوا قُرْبَ الْمَسْجِدِ ». قَالُوا نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَرَدْنَا ذَلِكَ. فَقَالَ « يَا بَنِى سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ ».

Dari Jabir bin ‘Abdillah berkata, “Di sekitar masjid ada beberapa bidang tanah yang masih kosong, maka Bani Salamah berinisiatif untuk pindah dekat masjid. Ketika berita ini sampai ke telinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rupanya telah sampai berita kepadaku bahwa kalian ingin pindah dekat masjid.” Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah, kami memang ingin seperti itu.” Beliau lalu bersabda, “Wahai Bani Salamah, tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan dicatat, tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan dicatat.” [HR. Muslim no. 665.]

Disebutkan dalam Tafsir Ath Thobari sebuah riwayat dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata,

شكت بنو سَلِمة بُعد منازلهم إلى النبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فنزلت( إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ) فقال: “عَلَيكُمْ مَنَازِلَكُم تُكْتَبُ آثارُكم”

“Bani Salamah dalam keadaan kebimbangan karena tempat tinggal mereka jauh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas turunlah ayat (yang artinya), “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan (QS. Yasin: 12)”. Beliau bersabda, “Tetaplah kalian di tempat tinggal kalian. Bekas-bekas langkah kalian akan dicatat.” [Tafsir Ath Thobari, 20/498.]

Dari Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu anhu- dia berkata:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
“Siapa yang berkehendak menjumpai Allah besok (hari kiamat) sebagai seorang muslim, hendaklah dia menjaga shalat wajib yang lima ini, dimanapun dia mendengar panggilan shalat itu. Karena sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk, dan sesungguhnya semua shalat di antara sunnah-sunnah petunjuk itu. Kalau seandainya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana shalatnya orang yang tidak hadir (shalat jamaah) karena dia berada di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan sekiranya kalian meninggalkan sunnah-sunnah nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat. Tidaklah seseorang bersuci dengan baik, kemudian dia menuju salah satu masjid yang ada, melainkan Allah akan menulis kebaikan baginya dari setiap langkah kakinya, dan dengannya Allah mengangkat derajatnya, dan menghapus kesalahan karenanya. Menurut pendapat kami (para sahabat), tidaklah seseorang itu tidak hadir shalat jamaah, melainkan dia seorang munafik yang sudah jelas kemunafikannya. Sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan di shaff (barisan) shalat yang ada.” (HR. Muslim no. 654)

Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab shahih mereka meriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه berkata: Rasululah صلي الله عليه وسلم bersabda:

صَلاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أنَّهُ إذَا تَوَضَّأ فَأحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إلَى الْمَسْجِدِ لا يُخْرِجُهُ إلاّ الصَّلاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إلاّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلاّهُ تَقُوْلُ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، وَلا يَزَالُ أحَدُكُمْ فِي صَلاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاةَ

Pahala shalat seseorang yang berjamaah melebihi pahala shalat sendirian di rumahnya dan dipasarnya dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu apabila ia berwudhu` dengan sebaik-baiknya, kemudian ia pergi menuju masjid, tidak ada tujuan lain kecuali untuk shalat berjama`ah maka tidaklah setiap langkah yang diayunkannya melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapuskan untuknya satu dosa, apabila ia melakukan shalat berjama`ah maka para malaikat senantiasa mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dan juga ia belum berhadats. Para Malaikat berdoa: “Allahumma shalli `alaihi, Allahummarhamhu (Ya Allah, Ampunilah dia dan rahmatilah).” Dan tetap ia dianggap shalat selama ia menunggu waktu shalat berikutnya tiba. (Lafadz hadits bagi Bukhari)

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه dari Nabi –alaihish sholatu wassalam- bahwa beliau bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ نُزُلاً كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ
“Barangsiapa menuju masjid pada waktu pagi hari atau sore hari maka Allah akan memberikan jamuan hidangan baginya di surga pada setiap pagi dan sore.” (HR. Al-Bukhari no. 148 dan Muslim no. 669)

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan mengangkat derajat.” (HR. Muslim no. 1553)

Dari Abu Musa katanya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ
“Manusia paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh perjalanannya, lalu yang selanjutnya. Dan seseorang yang menunggu shalat hingga melakukannya bersama imam, lebih besar pahalanya daripada yang melakukannya (sendirian) kemudian tidur.” (HR. Muslim no. 662)

3.       Menampakkan syi’ar islam dengan berjalan ke Masjid sebab dengan anda berjalan memakai jubah dan sarung yang sesuai sunnah maka orang-orang akan mengambil pelajaran darinya.

Alloh ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (٣٢)
“Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari Ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)

4.       Dakwah kepada masyarakat sebab dengan berjalan melewati rumah-rumah masyarakat maka mendorong mereka untuk sholat berjama’ah di masjid juga bi idznillaah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.)

Bab diantara mudhorot membangun Masjid di dekat Masjid

1.         Memecah Belah kaum muslimin

Alloh ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (١٠٧)
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (Attaubah: 107)

2.         Menimbulkan sifat fanatik hizbyyah (al-wala’ dan al-baro’ yang sempit kepada kelompoknya) yang ada di masjid tersebut sebab masjid yang berdekatan akan saling memperebutkan jama’ah siapa yang paling banyak.


Alloh ta’ala berfirman,
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (٣٢)
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Arruum: 32)

3.         Berlomba-lomba meninggikan bangunan yang tercela.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi sebelum manusia berlomba-lomba meninggikan gedung-gedung”. (HR. Bukhari)

4.         Berkurangnya keutamaan pahala langkah berjalan dari rumah menuju sholat berjama’ah sebab masjidnya saling berdekatan.

5.         Berkurangnya pahala berjama’ah sebab jam’ah terbagi dua.

Faedah:
 Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bagaimana mendirikan shalat jama’ah kedua setelah dilakukan jama’ah di dalam satu masjid.

Jawaban:

Ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum shalat jama’ah kedua. Sebelum aku menunjukkan perbedaan-perbedaan (pendapat) di antara mereka dan menjelaskan mana yang rajih (unggul) dan marjuh (lemah), aku perlu membatasi (pengertian) jama’ah (kedua) yang diperselisihkan itu.

Permasalahan yang diperselisihkan adalah (shalat) jama’ah yang didirikan disatu masjid yang sebelumnya sudah didirikan oleh imam dan muadzdzin tetap (masjid tersebut).

Adapun jama’ah-jama’ah yang didirikan di tempat lain, seperti di rumah, di masjid jalanan, kompleks pertokoan tidak termasuk yang dipermasalahkan.

Ulama-ulama mengambil pendapat, bahwa mendirikan jama’ah untuk kedua kalinya dalam satu masjid yang ada imam dan mu’adzdzin rawatibnya hukumnya makruh, berdasar pengambilan dari dua sisi dalil.
[1]. Dalil naqli (dari syara’)
[2]. Dalil nazhari meliputi periwayatan dan hikmah disyari’atkannya shalat berjama’ah.

Adapun berdasar dalil naqli : Setelah para ulama ahli hadits meneliti kehidupan Rasul Allah, mereka menemukan bahwa Rasul Allah sepanjang hidupnya senantiasa shalat berjama’ah bersama para sahabatnya di masjid beliau. Bila di antara para sahabatnya ada yang ketinggalan, tidak bisa shalat berjama’ah bersama rasul Allah di masjid, mereka shalat sendiri dan tidak menunggu siapa pun. Tidak menengok kanan-kiri, seperti dilakukan orang sekarang, meminta satu atau banyak orang untuk bersama shalat jama’ah dan salah seorang dari mereka dijadikan imam.

Demikian itu tidak pula diperbuat oleh orang-orang salaf (terdahulu). Bila mereka masuk masjid, ternyata sudah selesai didirikan shalat jama’ah, mereka shalat sendiri-sendiri. Begitulah yang dijelaskan oleh Iman Syafi’i dalam kitabnya Al-Um. Ungkapan Imam Syafi’i berkaitan dengan masalah ini lebih banyak dibanding ungkapan imam-imam lain.

Imam Syafi’i berkata :
“Bila ada beberapa orang masuk masjid, lantas mendapati imam telah selesai shalat (jama’ah) lakukanlah shalat sendiri-sendiri. Bila mereka melakukan shalat berjama’ah sendiri (lagi) boleh saja. Tapi, aku tidak menyukai semacam itu. Karena hal itu bukan merupakan karakteristik salaf”

Kemudian Imam Syafi’i melanjutkan :
“Adapun masjid yang ada di pinggir jalan (yang disediakan untuk para musafir) yang tidak punya imam dan muadzdzin tetap, maka melakukan (shalat) jama’ah berulang kali di dalam masjid tersebut tidak apa-apa”.

Imam Syafi’i berkata pula :
Aku telah hafal (beberapa riwayat), sesungguhnya ada sekelompok shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketinggalan shalat berjama’ah.

Lantas merekapun shalat sendiri-sendiri. Padahal mereka mampu mendirikan shalat jama’ah lagi. Tapi, hal itu tidak dilakukannya, karena mereka tidak suka di satu masjid diadakan (shalat) jama’ah dua kali.

Semua ini merupakan ucapan Imam Syafi’i. Beliau menyebutkan, bahwa para shahabat apabila ketinggalan shalat berjama’ah (bersama Rasulullah) mereka shalat sendiri-sendiri. Begitulah disebutkan oleh Imam Syafi’i dengan riwayat muallaq (artinya Imam Syafi’i tidak langsung mendapatkan riwayat itu dari seorang rawi tapi rawinya menggantungkan riwayatnya). Al-Hafidzh Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah mengaitkannya dalam kitabnya yang masyhur Al-Mushannaf. Riwayatnya berdasarkan sanad yang kuat dari Hasan Al-Bashri, bahwa sesungguhnya para shahabat apabila ketinggalan shalat berjama’ah mereka shalat sendiri-sendiri.

Juga diriwayatkan Imam Ath-Thabari dalam kitabnya Mu’jam Al-Kabir dengan sanad yang bagus dari shahabt Ibnu Mas’ud. Yaitu suatu saat Ibnu Mas’ud bersama dua temanya keluar dari rumah menuju masjid untuk mengikuti shalat jama’ah. Saat itu ia melihat orang-orang keluar masjid, mereka sudah selesai melakukan shalat jama’ah. Maka Ibnu Mas’ud pun kembali ke rumah bersama dua temannya. Ia shalat berjama’ah bersama mereka di rumah sekaligus sebagai imam.

Ibnu Mas’ud kembali (ke rumah). Padahal keshahabatannya dengan Rasul Allah cukup dikenal, pemahaman tentang keislamannya mendalam, andai kata beliau tahu mendirikan jama’ah berulang-ulang kali di masjid itu diysrai’atkan, pasti beliau dengan kedua temannya itu masuk masjid dan mendirikan shalat berjama’ah di situ. Karena beliau jelas tahu bahwa Rasul Allah pernah bersabda.

“Artinya : Seutama-utama shalat seseorang itu dirumahnya kecuali shalat fardhu”.
Kemudian apa yang mencegah Ibnu Mas’ud melaksanakan shalat fardhu itu di masjid. ?

Jawabnya.

Karena Ibnu Mas’ud tahu bahwa sesungguhnya apabila melakukan shalat di masjid, beliau akan melakukannya secara sendiri-sendiri. Ibnu Mas’ud berpendapat, bahwa shalat berjama’ah di rumah bersama dengan dua temannya akan lebih utama dari pada shalat sendiri-sendiri meskipun dilakukan di masjid.

Semua ini merupakan kumpulan dalil-dalil naqli yang menguatkan pendapat jumhur (ulama) bahwa mengadakan jama’ah untuk kedua kalinya di satu masjid itu makruh hukumnya.

Kemudian para ulama itu pun tidak kehabisan jalan untuk mendapatkan dalil-dalil lain selain yang sudah dipaparkan. Misalnya, melalui lstimbath dan melihat secara tajam berkenaan dalil-dalil itu.

Imam Bukhari dan lmam Muslim meriwayatkan hadits dari shahabat Abu Hurairah, Rasul Allah bersabda:

“Artinya : Aku memiliki kehendak untuk menyuruh seseorang menjadi imam shalat (di masjid), kemudian aku menyuruh beberapa lelaki untuk mengambil (mengumpulkan) kayu bakar dan aku keluar menuju ke rumah orang-orang yang tidak mengikuti shalat berjamaah di masjid. Maka, aku bakar rumahnya. Demi Zat yang jiwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam berada di tangan-Nya, andaikata orang-orang ku mengetahui bahwa di dalam masjid itu akan ditemukan dua benda yang sangat berharga pasti mereka akan menyaksikannya pula”[Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Hadits ini merupakan ancaman dari Rasul Allah atas orang-orang yang suka menyelisihi terhadap kehadiran (untuk) shalat jamaah di masjid dengan cara membakar rumahnya. Saya (Al-Albani) melihat, bahwa hadits ini telah memberikan gambaran kepada kita tentang hukum permasalahan terdahulu (yaitu bahwa shalat berjamaah dua kali atau lebih dalam satu masjid yang ada imam dan mu’adzdzin tetapnya dihukumi makruh (dibenci). Hadits ini bisa pula memberikan gambaran kepada saya untuk bisa menerima penuturuan lmam Syafi’i yang diwashalkan oleh lmam lbnu Abi Syaibah bahwa sesungguhnya para shahabat tidak mau mengulang shalat jamaah di dalam satu masjid. Hal demikian itu disebabkan, (andai) kita melakukan pembenaran bahwa shalat jamaah yang kedua atau yang ketiga itu disyariatkan (oleh agama) di dalam satu masjid, kemudian pada sisi lain ada ancaman yang sangat keras dari Rasul Allah bag! orang-orang yang meninggalkan shalat jamaah, maka (timbul pertanyaan, ed) shalat jamaah yang keberapa yang apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman yang sangat berat sekali?

Apabila (pengandaian) ini dijawab dengan ucapan, “Shalat jamaah (yang apabila ditinggalkan itu mendapat ancaman sangat berat) adalah shalat jamaah yang pertama”.

Pengandaian ini juga bisa dilanjutkan dengan perkataan: “Kalau begitu, jamaah yang kedua dan lainnya tidak disyariatkan?” Kalau dijawab “Ancaman ini meliputi atau mencakup atas orang-orang yang meninggalkan jamaah, keberapa saja” maka jawapan itu bisa ditimpali: “Kalau begitu ancaman Rasul Allah tidak bisa dibuat hujjah untuk orang-orang yang tidak mengikut jamaah yang keberapa pun, kerana andai kata orang-orang yang tidak mengikuti jamaah itu didatangi secara mendadak, saat mereka tidak berangkat (ke masjid, ed) dan kita menemukan mereka sedang santai-santai saja dengan anak dan isteri dan apabila ditegur mengapa tidak mengikuti shalat jamaah? Maka, mereka akan menjawab: “Kami akan mengikuti jamaah yang kedua saia, atau yang ketiga saja.” Bila begitu, apakah ancaman Rasul Allah itu dibuat hujjah atas mereka? Oleh kerana itu bila Rasul Allah berkehendak mencari ganti seseorang yang menduduki kedudukan beliau (sebagai imam) dalam shalat berjamaah, lantas beliau mendatangi rumah-rumah orang yang meninggalkan shalat berjamaah untuk membakarnya merupakan dalil yang sangat besar sekall untuk mengatakan bahwa shalat jamaah kedua, ketiga kaii di satu masjid adalah tidak ada sama sekali.

Demikianlah bila dikaitkan dengan dalil-dalil naqli yang telah menjadi pedoman para ulama.

Adapun berkaitan dengan dalil nazhari, bisa dijelaskan sebagai berikut:
Keberadaan fadhilah (keutamaan) shalat berjamaah telah banyak dihadirkan melalui hadits-hadits yang masyhur, dan salah satu diantaranya:
“Artinya : Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian, keutamaannya dua puluh lima (datam satu riwayat dua puluh tujuh) derajat”.
Inilah keutamaan shalat berjamaah

Sebuah hadits lagi.
“Artinya : Sesungguhnya shalat seorang laki-laki (yang berjamaah) dengan seorang laki-laki lain. lebih bersih di sisi Allah daripada shalatnya (seseorang yang) sendirian. Dan shalatnya seorang laki-laki (yang berjamaah) bersama dengan dua orang laki-laki lebih bersih lagi di sisi Allah daripada shalat berjamaah dengan satu oang laki laki”

Dan begitu seterusnya, semakin banyak peserta jamaah smakin banyak pula pahala yang diterima.

Apabila kita mengingat makna (arti) ini (yaitu, makna kalimat dalam riwayat di atas, ed), kemudian kita melihat akibat dari penetapan kebolehan mengulangi kembali shalat jamaah di dalam satu masjid yang punya imam dan mu’adzdzin tetap, akibatnya sangat buruk sekali bila diukur dengan hukum Islam (yang telah kita paparkan sebelumnya), yaitu shalat jamaah hanya satu kali. Kerana berpendapat, bahwa shalat jamaah itu boleh didirikan berulang ulang di dalam satu masjid yang ada imam dan muadzdzin ratib (tetap) nya bisa mengarah pada sedikitnya jamaah peserta shalat jamaah yang pertama. Hal ini tentu bertentangan dengan ajakan yang bisa kita petik dari hadits:
“Artinya : Shalat seorang laki-laki dengan laki-laki lain itu lebih bersih dari shalat seorang laki-laki yang sendirian saja”

Karena hadits ini memotivasi agar jamaah bisa banyak pesertanya, begitu pula, pendapat yang membenarkan bolehnya mengulang (menyelenggarakan kembali) shalat jamaah di satu masjid,.niscaya bakal menciptakan kondisi peserta jamaah itu kecil, dan jelas sekali bakal memecah belah persatuan kaum muslimin.

Sekali lagi, kita dituntut melihat secara jernih, bahwa penyebutan harus mengingat hadits Ibnu Mas’ud (dalam shahih Muslim) semisal dengan hadits Abu Hurairah:
“Artinya : Aku berkeinginan menyuruh seseorang untuk menjadi imam shalat di masjid… dan seterusnya”

Hadits ini, (ashbabulwurudnya), berkenaan dengan orang-orang yang menyelisihi shalat Jum’at. Kita mengetahui bahwa lbnu Mas’ud melepaskan kata ancaman (mestinya berdasar ancaman Nabi, ed) terhadap setiap orang yang meninggalkan jamaah. Baik jamaah Jum’at atau jamaah lainnya. Kita pun mengetahui bahwa sesungguhnya shalat jamaah Jum’at dan shalat jamaah lainnya sama. Sama di dalam berjamaahnya dan ada ancamannya. Hal itu menunjukkan tidak ada jamaah untuk kedua kalinya bagi kedua shalat tersebut.

Untuk shalat Jum’at, sampai sekarang orang masih menjaga pesatuannya. Tidak ada yang berpendapat bahwa Jum’at itu secara syariat bisa dilaksanakan dua atau tiga kali di dalam satu masjid, dan semua ulama dari golongan (madzhab) manapun sepakat akan hal itu. Oleh itu, kita bisa melihat masjid-masjid itu penuh sesak dengan jamaah di hari Jum’at. Meskipun, kita juga tidak melupakan, dan ingat secara pasti, bahwa di antara sebab meluapnya masjid-masjid di saat jamaah Jum’at itu di antaranya kerana yang hadir bukan hanya yang biasa melakukan jamaah di masjid itu. Namun, kita pun tidak ragu pula bahwa penuhnya masjid pada hari Jum’at itu kerana orang Islam tidak membiasakan mendirikan shalat Jum’at lagi setelah shalat Jum’at pertama dilaksanakan. (alhamdulillah).

Jadi kalau umat Islam, misalnya mendirikan jamaah selain Jum’at sama persis dengan mendirikan jamaah Jum’at seperti pada zaman Rasulullah, kita pasti bias melihat bagaimana penuhnya masjid masjid itu dengan jamaahnya. Oleh kerana orang-orang yang rindu akan shalat berjamaah, di dalam hatinya tidak ingin ia ketinggalan jamaah, lantaran tidak mungkin ia bias mendirikan jamaah baru. Kemudian semacam ini bias mendorong mereka untuk betul-betul melaksanakan jamaah tepat waktu dengan sebaik-baiknya.

Sebaliknya, (tidak dimilikinya keyakinan seperti ini) jiwa seorang muslim akan menganggap ringan bila ia ketinggalan jamaah, kerana ia pun akan bisa menutup dengan jamaah yang kedua, ketiga sampai kesepuluh misalnya. Cara pandang demikian itu akan melemahkan kehendak dan semangat diri untuk mnghadiri jamaah.

Dan Pembahasan Berikutnya.

Pertama.

Kita perlu memperjelas bahwa para ulama yang berpendapat tidak disyariatkannya jamaah kedua, seperti yang telah diterangkan di awal artikel ini, dan andai terpaksa dilakukan hukumnya makruh, adalah jumhur para imam salaf, termasuk di datamnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan lmam Syafi’i. Adapun lmam Ahmad dalam salah satu riwayat dan dalam riwayat lain yang dibawa oleh seorang muridnya yang bemama Abu Dawud As-Sijistani di dalam kitabnya Masa-il al-lmam Ahmad, Imam Ahmad berkata:
“Sesungguhnya mengulang jamaah di dalam dua masjid al-Haramain (masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah) hukumnya sangat makruh (dibenci)”

Hal ini dilihat dari keutamaan. (Maksudnya, ucapan Imam Ahmad di bahagian awal artikel ini memberikan gambaran kepada kita), bahawa kemakruhan jamaah ulang di masjid-masjid lain juga ada. Tapi, kemakruhan itu bisa lebih berat apabila jamaah ulang itu dilakukan di masjid Makkah ataupun Madinah. Jadi riwayat dari lmam Ahmad ini bisa bertemu (sama) pula dengan pendapat para imam yang tiga: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i.

Kedua.

Ada riwayat lain dari Imam Ahmad, yang riwayat ini masyhur di kalangan pengikutnya, pada intinya lmam Ahmad.dan pengikut-pengikutnya daripada ahli tafsir membawakan hadits yang diriwayatkan oleh lmam Tirmidzi, lmam Ahmad sendiri dan lain-lainnya dari kalangan shahabat Abu Sa’id al-Khudri:
“Artinya : Ada seorang lelaki masuk masjid dan Rasul Allah sudah selesai berjamaah shalat. Di sekitar Rasul waktu itu masih ada beberapa shahabat. Maka, Rasul Allah melihat lelaki itu akan melakukan shalat sendiri. Kemudian Rasul Allah bersabda, Adakah seseorang yang bisa bersedekah kepadanya ?, Kemudian ada seorang laki-laki berdiri, lantas shalat bersamanya. Maka(seseorang itupun) shalat bersamanya”

Dalam satu riwayat yang dibawakan oleh lmam Abu Bakar al-Baihaqi datam kitab Sunan al-Kubra menjelaskan, bahawa laki-laki yang bersedekah dimaksud adalah shahabat Abu Bakar. Tetapi, riwayat ini dhaif sanadnya. Adapun yang shahih adalah riwayat yang tidak menyebutkan nama laki-laki dimaksud.

Kemudian ada yang berhujjah dengan hadits ini bahwa jamaah kedua (ketiga dan seterusnya) boleh dengan alasan: “Rasul Allah telah setuju adanya jamaah kedua.
Jawaban terhadap pendapat ini, yang berdalil dengan hadits di atas dalah: ‘Kita harus memperhatikan bahawa jamaah yang diterangkan dalam hadits itu bukan jamaah yang kita persoalkan. Karena, jamaah yang termuat di dalam hadits itu jamaahnya seorang yang masuk masjid setelah masjid itu selesai digunakan untuk shalat jamaah. Dan lagi, orang itu pun akan melakukan shalat sendiri. Setelah Rasul Allah melihat yang demikian itu, Rasul Allah meminta para shahabat di dekatnya yang sudah shalat berjamaah bersama beliau kiranya ada yang mau bersedekah untuknya. Kemudian ada yang bangkit menuruti perintah Rasul, dan dia melakukan shalat nafilah (sunnah).

Begitu yang terjadi. ltu merupakan jamaah yang terdiri dari dua orang, satu imam dan satu makmum. Imam melakukan shalat fardhu dan yang makmum melakukan shalat sunnah. Maka, siapakah yang berkeyakinan bahwa hal ini jamaah? Seandainya tidak ada yang bershalat sunnah, tentu tak akan ada jamaah. Kalau begitu, jamaah semacam itu namanya berjamaah tathawwu’ dan tanafful, bukan jamaah (shalat) fardhu. Padahal perselisihan pendapat tentang jamaah ini, persoalannya berputar pada jamaah shalat fardhu yang dilakukan jamaah, persoalannya berputar pada jamaah shalat fardhu yang dilakukan untuk kedua kalinya di satu masjid (yang ada imam ratibnya dan mu’adzdzin). Oteh kerana itu mengambil dalil dengan hadits Abi Sa’id dan ditempatkan dalam kerangkan perselisihan tentu tidak bisa dibenarkan. Apalagi bila dikuatkan dengan kalimat hadits:
“Artina : Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya ? Maka, (sesearang itupun) shalat bersamanya”.

Kejadian ini terjadi karena adanya orang yang bersedekah dan yang disedekahi. Seandainya kita tanyakan kepada orang yang sangat sedikit pemahaman dan ilmunya, siapa (dari dua orang ini) yang bersedekah dan yang disedekahi dalam peristiwa ini?

Maka, jawabnya pasti orang yang besedekah ialah orang yang melakukan shalat lagi, yang sebelumnya sudah shalat berjamaah dibelakang Rasuluilah, dan orang yang disedekahi adalah orang yang datang belakangan sehabis jamaah Rasulullah.
Pertanyaannya itu sendiri apabila kita lemparkan ke dalam masalah jamaah yang diperselisihkan kebolehannya, (misalnya) ada enam atau tujuh orang masuk masjid secara bersamaan dan menemukan imam sudah selesai melakukan jamaah shalat. Kemudian salah satu dari mereka maju ke depan (untuk menjadi imam sedang lainnya di belakang mengatur diri dalam posisi makmum), dan mereka mendirikan jamaah kedua.

Pertanyaan, siapa di antara mereka yang bersedekah dan siapa pula yang disedekahi?
Pertanyaan ini tidak akan mampu dijawab oleh siapa pun, sebagaimana menjawab (contoh) pertanyaan pertama. Jamaah shalat yang ini dilakukan setelah imam dan makmum di masjid itu selesai melakukan shalat jamaah fardhu. Jadi, dalam hal ini tidak ada yang bersedekah dan tidak ada pula yang disedekahi.

Bedanya jelas sekali. Dalam contoh pertama, orang yang bersedekah adalah laki-laki yang (shalat) nafilah (sunnah) yang sudah shalat bersama Rasul Allah yang tentunya mendapatkan nilai tambah (pahala) sebanyak dua puluh tujuh derajat. Jadi dia bisa disebut orang kaya. Kerana kemampuannya pula dia bisa bersedekah kepada orang lain dan kepada yang menjadi imam (melalui shalat sunnah dengan bermakmum di belakang orang yang shalat sendirian). Kalau tidak begitu, orang itu akan shalat sendiri. Dia miskin, dan dia memerlukan orang yang bisa memberi sedekah padanya. Sebab, dia tidak bisa mengupayakan orang yang bisa memberi sedekah.

Dalam contoh ini, jelas ada orang yang memberi sedekah dan ada yang diberi sedekah. Adapun yang kita perselisihkan tidak demikian. Rombongan yang datangng setelah selesai jamaah shalat di masjid, semuanya fakir, semuanya ketinggalan jamaah pertama (bersama imam). Jadi kalau kita bersandar dengan:
“Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya. Maka (seseorang itu pun) shalat bersamanya”

Hal itu tidak bisa tepat. Perumpamaan ini tidak sah untuk dijadikan dalil bagi peristiwa kedua (yaitu, bagi serombongan orang melakukan shalat jamaah kedua).
Sisi pengambilan dalil lainnya yang mereka bawakan adalah sabda beliau:
“Artinya : Shalat berjamaah dibanding shalat sendiri, keutamaannya dua puluh tujuh derajat”

Mereka mengambil dalil ini, berdasarkan pemahaman bahwa al pada kalimat al-Jamaah adalah li as-syumul (bagi keseluruhan). Artinya, bahwa semua shalat jamaah (baik pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, ed) di dalam satu masjid memperoleh keutamaan bila dibandingkan shalat sendirian.

(Untuk mengomentari itu) kami akan mengatakan berdasarkan dalil terdahulu: Sesungguhnya al di sini bukan untuk keseluruhan, akan tetapi al dimaksud adalah li al-‘ahdi (untuk penunjukan). Maksudnya, menunjuk kepada shalat jamaah sebagaimana disyariatkan Rasul Allah yang semua manusia dihasung kepadanya. (Bahkan), beliau mengancam orang-orang yang meninggalkannya dengan ancaman akan membakar rumah-rumah mereka dan Rasul Allah juga memberikan sifat kepada orang-orang yang meninggalkannya dengan sebutan munafiqin. Adalah shalat jamaah yang memiliki keutamaan dibanding shalat sendiri, yaitu shalat jamaah yang pertama. Wallahu Ta’ala a’lam. [Disalin dari buku HUKUM SHALAT JAMA’AH KEDUA, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani]

Jika mendirikan Jama’ah kedua dalam satu masjid sangat dibenci maka bagaimana dengan mendirikan masjid dekat masjid?.

6.         Mendorong berbuat bid’ah yayasan, kotak amal, proposal dan meminta-minta yang tercela sebab dalam membangun masjid baru akan membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga merekapun membuat yayasan.

Fatwa Para Ulama tentang Yayasan:

Fatwa Syaikh Yang mulia Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i –رحمه الله

Pertanyaan: Seandainya ada orang yang berkata: “Sesungguhnya keberadaan yayasan-yayasan dakwah telah terdapat faktor-faktor yang menuntut pendiriannya di zaman nabi dan tidak terdapat penghalang yang merintangi pendiriannya. Oleh karena itu apabila seseorang melakukannya setelah nabi, maka itu termasuk perkara yang muhdats. Bagaimana kebenaran perkara ini?”

Jawab: “Segala puji bagi Alloh dan sholawat kepada nabi kita Muhammad -صلى الله عليه وسلم-, keluarganya, sahabat dan orang-orang yang loyal kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang pantas untuk diibadahi selain Alloh, tidak ada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi bahwa Muhammad -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- adalah hamba dan rosul-Nya. ‘Amma ba’du:

Pertanyaan yang diajukan ini adalah pertanyaan penting! Oleh karena itu, kami dari dahulu mengatakan bahwa meninggalkan yayasan-yayasan itu lebih baik dari keberadaannya. Sebab nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- dan para sahabatnya pada saat itu sangatlah butuh kepada harta benda daripada kita. Bahkan mereka lebih dahsyat kebutuhannya daripada kita. Bersamaan dengan itu mereka tidak menghidupkan yayasan. Karena hal itulah kami katakan bahwa meninggalkannya lebih baik dari keberadaannya. Sebaik-sebaik petunjuk adalah petunjuk nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم-. Tinggalkanlah jam’iyyah tersebut! Sebab sesungguhnya jam’iyyah itu akan menjadi penyebab hizbiyah. Prinsip mereka adalah barangsiapa yang bersama kita, maka kita menolongnya dan barangsiapa yang tidak bersama kita, maka kita tidak akan menolongnya. Padahal nabi -صلى الله عليه وسلم- telah mengatakan sebagaimana dalam Ash-Shohihain dari Nu’man bin Basyir –رضي الله عنهما-:

«مثل المؤمنين فى تراحمهم وتوادهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذا اشتكى عضوا تداعى له سائر جسده بالسهر والحمى»
“Permisalan seorang mukmin di dalam kasih sayang mereka, kecintaan mereka dan belas kasih mereka seperti sebuah jasad. Jika salah satu anggotanya mengeluh, maka seluruh badannya akan terbawa begadang dan ditimpa demam.”

Juga dalam Ash-Shohihain dari Abu Musa Al-Asy’ari –رضي الله عنه- berkata:
«المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا»
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan yang satu sama yang lain saling menguatkan satu dengan yang lainnya.”

Yayasan-yayasan itu telah memecah persatuan muslimin. Sebagian orang yang lalai mengatakan: “Muqbil tidak membedakan antara jama’ah-jama’ah dan jam’iyyah.” Adapun jam’iyyah-jam’iyyah tersebut harus tunduk kepada kepentingan-kepentingan khalayak ramai dan harus tunduk kepada peraturan negara. Padahal kegiatan yang berkaitan dengan negara tersebut sedikit barokah-nya, kalau tidak dikatakan bahwa barokah-nya tercabut sama sekali. Bahkan pemerintah menyukai kematian kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Islam. Adapun yang berkaitan dengan perkembangan, kemajuan dan sebagainya, maka siaran-siaran mereka pun mengumumkannya. Dengan ini semua, kami nasehatkan untuk meninggalkan yayasan-yayasan ini, yang merupakan sebab tersia-sianya hak fuqoro’ dan terkadang tidak sampai kepada si fakir itu sedikit pun, sebagaimana dikatakan: ‘kita mengambil dunia seluruhnya dengan memakai namanya’, tetapi tidak ada di tangan mereka harta tersebut sedikit pun. Kami menasehatkan kepada para pedagang bahwa sepantasnyalah bagi mereka untuk mengarahkan pembagian zakat mereka kepada orang-orang yang membutuhkan karena yayasan-yayasan itu sudah menjadi penyebab hizbiyyah di kebanyakan negara Islam. Wallohul musta’an.”

(Kaset Al-Ghorotusy-Syadidah ‘alal-Jam’iyyatil-Jadidah, side-A yang direkam pada malam 10 Safar 1420H)

~Fatwa Asy-syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi waffaqahulloh~

”Yayasan Sarana Perpecahan ”

Segala puji bagi Alloh , salam dan salawat senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad , keluarga-nya serta seluruh sahabat-nya.

Kemudian setelah itu , sungguh saya telah berkunjung kepada Syaikh dan orang tua kita yang mulia Robi’ ibni Hadi Umair Al-Madhkoly -semoga Alloh menjaganya- bertepatan pada hari Senin sore tanggal 15 Sya’ban 1432 H dan diantara pertanyaan yang saya ajukan kepada beliau adalah :
Apa hukum mendirikan yayasan-yayasan sosial , agar saudara-saudara salafiyyun di Tunisia dapat mendatangkan para ulama untuk melakukan proses pelajaran dan daurah ilmiyyah melalui yayasan-yayasan tersebut ?

Maka beliaupun menjawab :
Saya berpendapat , sesungguhnya yayasan adalah salah satu penyebab terpecah-belahnya salafiyyun dan munculnya kelompok-kelompok hizby , maka saya nasehatkan agar menjauhkan diri dari yayasan-yayasan tersebut , dan sebaiknya mereka menuntut ilmu dimesjid-mesjid dan saya melihat tidak bolehnya mereka bergabung dalam yayasan tersebut. ( Apabila mereka tidak mampu menjalankan proses belajar-mengajar di mesjid maka bagi mereka untuk belajar dirumah-rumah mereka )¹ , selesai jawaban beliau.

Kemudian saya bertanya kepada beliau : Apa hukum mendirikan pondok pesantren sebagai pusat menuntut ilmu dibawah naungan yayasan ?

Maka beliau menjawab : Hendaknya mereka ,melaksanakan proses belajar mengajar dimesjid-mesjid – semoga Alloh memberikan keberkahan padamu- , selesai jawaban beliau.

Maka kita memohon kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala untuk saudara-saudara kita di Tunisia agar Alloh memberikan kepada mereka petunjuk dan kebaikan , dan semoga Alloh memberikan taufiq untuk mengambil ucapan para ulama karena didalamnya ada kebaikan , petunjuk , cahaya dan kebenaran.

Dan Alloh-lah yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui , salam dan salawat senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad , keluarganya dan para sahabat-nya

Ditulis oleh : Hamid ibnu Khamis ibnu Robi’ Al-Junaiby 1 Ramadhan 1432H

Fatwa Yang Mulia Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri –حفظه الله

Pertanyaan: Apakah zakat itu boleh diserahkan kepada kepala kabilah atau kepada yayasan-yayasan?

Jawaban: “Apabila kepala kabilah tersebut merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah dan dia dibebankan untuk mengurus zakat, maka zakat itu boleh diserahkan kepadanya. Nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- bersabda:

«تؤخذ من أغنياءهم فترد على فقراءهم»
“Zakat itu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka.”

Orang-orang yang mengumpulkan zakat pada masa Rosululloh -صلى الله عليه وسلم- adalah wakil-wakil beliau. Akan tetapi jika kepala kabilah tersebut bukan perpanjangan tangan dari pemerintah, maka kebanyakan mereka mengumpulkan zakat tetapi kemudian menyia-nyiakannya. Engkau telah tahu bahwasanya mereka itu bukanlah para penguasa atau pemerintah dan kebanyakan kepala kabilah itu adalah koruptor. Kita tidak mengatakan semuanya koruptor, akan tetapi banyak dari mereka itu koruptor yang seandainya mereka mampu, mereka akan mengambil harta itu dari arah mana saja, baik halal maupun harom. Adapun yayasan-yayasan, mereka telah menghalangi orang-orang yang miskin dari apa-apa yang telah Alloh tetapkan untuk mereka yang berupa zakat. Mereka akan memberikan zakat tersebut kepada orang-orang yang sekelompok atau sejalan dengan mereka. Sesungguhnya yayasan-yayasan ini telah menguasai harta-harta para pemberi zakat untuk memerangi dakwah salafiyyah dan untuk fanatisme golongan serta untuk orang-orang yang bersama mereka. Mereka juga menyimpan zakat-zakat itu di bank-bank (yang melakukan praktek riba). Mereka dengan zakat itu membeli televisi, parabola dan mengerahkan diri mereka untuk hal tersebut dan menyia-nyiakan waktu mereka untuk mengurusinya. Kemudian mereka memberikan zakat tersebut kepada orang-orang yang tidak berhak menerima zakat dan menghalangi orang-orang yang seharusnya berhak menerimanya. Zakat itu ketika berada di tangan para pengurus yayasan tersebut menjadi pelayan hizbiyyah dan menjadi pemerang dakwah dan Islam.

Sesungguhnya menyerahkan zakat kepada yayasan-yayasan termasuk meletakkan harta bukan pada tempatnya. Aku tidak menasehatkan kepada seorang pun yang memiliki harta untuk menyerahkan zakatnya kepada yayasan-yayasan. Mereka itu bukanlah orang-orang yang bisa dipercaya untuk mengurusi harta umat. Ini adalah suatu nasehat, kami mengetahui benar hal tersebut demikian juga setiap orang-orang yang mengenal yayasan-yayasan itu.

Yayasan-yayasan itu di dalamnya terdapat banyak penyelewengan seperti memotret gambar yang bernyawa, meminta-minta harta kepada manusia dan tidak menjaga darinya, menyia-nyiakan waktu untuk datang kepada orang-orang kaya. Barangsiapa tersibukkan dengan hal tersebut, maka dia telah dipalingkan dari mencari ilmu yang syar’i dan terfitnah dengan dunia serta menjadi pengikut hizbiyyun. Bahkan dia menjadi sangkar bagi ahli tahazzub (orang yang berfanatik golongan). Kami tidak mengetahui dari seorang ulama salaf pun yang dirinya condong kepada yayasan-yayasan sebagaimana yang mereka lakukan. Cukuplah yayasan-yayasan tersebut sebagai suatu perkara yang sangat buruk, karena sesungguhnya dia itu dibangun di atas asas kemaksiatan.

Alloh -سبحانه وتعالى- berfirman:

﴿ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ﴾[التوبة:109]
“Ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang telah runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka jahannam.” (QS. At-Taubah: 109)

Siapa saja yang diberi sesuatu oleh mereka tanpa melalui jalan meminta-minta sebagaimana di dalam hadits Umar dan dia merasa aman atas dirinya, dan tidaklah kami merasa aman atasnya. Adapun dari sisi halal-haromnya, bukanlah ia suatu yang diharomkan kecuali jika menjurus kepada fitnah. Maka yang diinginkan adalah menjauhinya.

«دع ما يريبك إلى ما لا يريبك»
“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu.” (Al-Hadits)

«ومن يستعفف يعفه الله ومن يستغن يغنه الله ومن يصبر يصبره الله وما أعطى أحد من عطاء خير وأوسع من الصبر»
“Maka barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Alloh akan menjaga kehormatannya. Barangsiapa merasa cukup, maka Alloh akan mencukupinya. Barangsiapa yang berusaha untuk sabar, maka Alloh akan memberikan kesabaran padanya dan tidaklah seseorang diberikan sesuatu yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Al-Hadits)

Dengan ini kami nasehatkan untuk menjauhi yayasan-yayasan tersebut. Yayasan-yayasan itu sesuatu yang buruk lagi merusak yang ditumbuhkan semata-mata untuk memerangi dakwah salafiyyah dan mencerai-beraikannya.

Wahai saudaraku! Pada masa Rosululloh –صلى الله عليه وسلم-, di manakah yayasan-yayasan mereka? Tidakkah (saat itu) semua hak-hak sampai kepada orang yang berhak untuk memperolehnya? Adapun sekarang, yayasan-yayasan itu merupakan perkara yang baru (bid’ah), hendaklah orang-orang yang hadir menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir. Barangsiapa yang marah dengan perkataanku ini, maka di antara kita ada kitabulloh dan sunnah rosululloh -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- sebagai penengah.

«من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد»
“Barangsiapa mengadakan perkara baru dalam agama kami apa-apa yang bukan darinya, maka ia tertolak.”

Sesungguhnya tuntutan untuk membentuk yayasan telah ada pada zaman Rosululloh -صلى الله عليه وعلى آله وسلم-, akan tetapi mereka tidak membentuknya. Utsman bin Affan dan Abdurrohman bin Auf serta segolongan dari sahabat, mereka adalah orang-orang yang memiliki harta. Sebagian yang lain adalah orang-orang yang miskin seperti ahlus suffah (sahabat-sahabat yang tinggal di teras masjid Nabawi). Namun mereka tidaklah mengatakan: “Dirikanlah untuk mereka yayasan-yayasan.” Tidaklah akan menjadi bagus umat ini kecuali dengan apa-apa yang orang-orang terdahulu menjadi baik dengannya. Tidak perlu orang-orang menakuti kami dengan banyaknya yayasan. Kesesatan atau kebatilan walaupun banyak, tetap ia itu batil. Kebatilan tidak boleh dibiarkan bertambah dan tersebar. Bahkan jika kebatilan itu tersebar, maka tidaklah akan menambah kecuali keburukan dan kemudhorotan.

Pertanyaan: Orang yang mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang ada dalam jam’iyyah tersebut, apakah boleh baginya untuk menyalurkan zakat kepada mereka?
Jawab: “Ia berdosa, jika meletakkan hartanya kepada jam’iyyah sementara ia mengetahui kerusakan-kerusakan dan kemungkaran-kemungkaran yang ada di dalamnya serta mengetahui perpecahan yang terjadi di antara kaum muslimin. Demi Alloh, Jam’iyyah-jam’iyyah itu telah memecah belah salafiyyin di Kuwait, Sudan, dan di Yaman. Tidaklah Abul Hasan Al-Mishry dan semisalnya menjadi rusak melainkan karena sebab jam’iyyah. Juga tidaklah Abdurahman Abdul Kholik rusak melainkan dari jalur jam’iyyah. Demikian juga Abdulah bin As-Sabt, Al-Khuwaini, Muhammad Al-Mahdi, Abdul Majid Ar-Roimi, Muhammad bin Musa Al-Baidhoni, ‘Aqil Al-Maqthori dan ashhabu baro’atidz-dzimmah (pengikut Abul Hasan), mereka telah rusak dan berkelompok-kelompok. Mereka tidaklah rusak melainkan dari jalur dunia yaitu fitnah jam’iyyah dan mengumpulkan harta.[21]

Oang yang mengetahui kemungkaran-kemungkaran tersebut dan tetap memberikan zakat melalui mereka berarti ia saling bantu-membantu dengan mereka dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Barangsiapa yang bantu-membantu atas perbuatan dosa dan permusuhan, maka dia berdosa. Hal ini karena Alloh –تعالى- berfirman:

﴿ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ﴾
“Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”
(Itithaful Kirom, hal. 30-32)

Pertanyaan: Apa hukum pembentukan wadah untuk menjalin hubungan para da’i salafiyah dalam rangka memelihara da’wah dan persatuan para da’i di atas satu kalimat? Jazakumullahu khoiron.

Jawab: “Hal itu tidaklah dibutuhkan! Robithoh Islamiyyah (Hubungan Islamiyyah) yang mereka namakan dengan hubungan dunia Islam adalah gerakan ikhwany (Ikhwanul Muslimun). Yang menjadi ikatan diantara kita adalah Kitab dan Sunnah. Nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- :

«المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضًا»
“Seorang mu’min bagi mu’min yang lainnya adalah seperti sebuah bangunan yang sebagian menguatkan sebagian yang lain.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Musa Al-Asy’ari)

Alloh -سبحانه وتعالى- berfirman:

﴿إنما المؤمنون إخوة﴾ [الحجرات: 10]
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.”

Nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- bersabda:

«قضاء الله أحق وشرط الله أوثق»
“Keputusan Alloh lebih berhak (untuk ditaati) dan syarat-syarat yang ditentukan Alloh lebih kuat (ntuk dipenuhi).” (Muttafaqun ‘alaihi dari Aisyah –رضي الله عنها-)

«لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه»
“Tidaklah sempurna keimanan salah seorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik –رضي الله عنه-)

Maka alat pengikat itu adalah Islam. Kami tidak butuh kepada hubungan-hubungan atau ikatan-ikatan yang dibuat-buat yang tidak ada pada pendahulu kita yang telah lalu. Nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- tatkala datang orang-orang Muhajirin kepada beliau, maka Nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshor. Kemudian setelah itu membesarlah kekuatan Islam dan jadilah persaudaraan Islam di atas itu semua.” (Al-As’ilah Al-Indonesiyyah, 26 Jumada Tsaniyyah 1424H)

Syaikh –حفظه الله- ketika diajukan pertanyaan kepada beliau bahwa sebagian jam’iyyah-jam’iyyah yang ada tidak berada di atas aturan yang sama, atau jam’iyyah-jam’iyyah yang ada di sebagian negara tidaklah sama dengan jam’iyyah-jam’iyyah yang ada di negara lainnya.

Beliau menjawab: “Hal ini merupakan perkara-perkara yang mempercepat tersebarnya kejelekan! Hal-hal yang jam’iyyah-jam’iyyah itu berkembang di atasnya telah kami dapati di sebagian slogan-slogan mereka. Akan tetapi semua itu tidaklah menjadikan saudara-saudara kita tersebut boleh menceburkan diri dalam jam’iyyah-jam’iyyah itu dengan alasan bahwa jam’iyyah yang satu ini lebih sedikit kegiatannya dibandingkan dengan jam’iyyah-jam’iyyah lainnya dan tidak … Alloh tidaklah akan menyempitkan saudara-saudara kita salafiyyun sehingga dakwah mereka tidaklah bisa tegak kecuali dengan jam’iyyah. Pada jam’iyyah-jam’iyyah itu ada at-tashwir (potret gambar makhluk bernyawa) atau penyimpanan harta di bank atau susunan kepengurusan jam’iyyah, diantaranya ketua serta wakilnya. Kami juga mengetahui keadaan jam’iyyah yang tunduk kepada undang-undang negara. Sama saja, apakah mereka menamakannya dengan jam’iyyah atau mu’assasah (yayasan) atau dengan nama-nama lainnya yang mereka inginkan. Oleh karena itulah telah berlalu jawaban untuk permasalahan ini dengan jawaban yang tegas yang telah Alloh mudahkan untuk saudara-saudara kita salafiyyun, baik yang ada di sini maupun di sana, yaitu untuk menjauh dari jam’iyyah-jam’iyyah tersebut. Demi Alloh, kami telah melihat madhorot, kejelekan dan perpecahan yang ditimbulkannya serta ke-hizbiyyah-annya dan perbuatan-perbuatan lainnya yang muncul dari mereka dan telah memecah-belah salafiyyun.

Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Alloh dengan menjauhi celah-celah fitnah. Jam’iyyah-jam’iyyah itu wakaupun mempunyai program-program yang lebih sedikit dengan apa-apa yang telah kusebutkan, tetap merupakan pintu yng menyampaikan pada fitnah. Tidaklah pertanyaan yang kalian dengar ini muncul kecuali merupakan akibat dari fitnah jam’iyyah. Maksudnya adalah bahwasanya salafiyyun mengingkari jam’iyyah-jam’iyyah tersebut, tetapi mereka tetap saja melandaskan amaln mereka pada sebagian fatwa yang mungkin mereka ambil dari sebagian orang yang belum jelas baginya dampak-dampak buruk jam’iyyah atau diambil dari sebagian orang yang kami anggap bahwa fatwanya tersebut keliru. Oleh karena itu –barokallohu fiikum-, menjauhlah dari jam’iyyah-jam’iyyah ini walaupun di sana ada perbedaan-perbedaan (diantara masing-masing jam’iyyah). Jam’iyyah-jam’iyyah itu di sana (demikian-demikian) dan di sini demikian. Mereka terus-menerus menjalankan program-program serta pemikiran-pemikiran mereka. Menjauh…menjauhlah (dari jam’iyyah tersebut)…!

# Perkataan Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali Hafizhohulloh.

Pertanyaan pertama:
Apa hukum Jam’iyyah secara umum? Dan apa pendapatmu terhadap orang yang membolehkan pemilu?

Jawab:

“Adapun Jam’iyyah maka pengetahuanku tentang kondisi aslinya, walaupun didirikan pada mulanya atas dasar tolong-menolong, namun dalam perjalannya menuju hizbiyyah. Aku tidak melihat sebuah jam’iyyah pun kecuali dia itu hizbiyyah. Walaupun tampak pada awalnya jauh dari hizbiyyah atau dia telah berusaha untuk menyelamatkan diri dari hizbiyyah, namun taring-taring hizbiyyah telah mencengkeramnya.

Maka semua jam’iyyah adalah menimbulkan hizbiyyah, kecuali yang Alloh rahmati dan itu sangat sedikit. Ini sebatas pengetahuanku dan ilmuku serta pendalamanku tentang jam’iyyah tersebut. Adapun pemilu, maka aku katakan: “Dia adalah permainan syaithon untuk umat Islam. Hal ini tidak boleh baik itu mencalonkan diri atau memilih, karena metode ini adalah dilakukan oleh orang-orang fajir dari kalangan para da’i sebagai tangga untuk memperoleh kedudukan, kepemimpinan dan dunia. Berapa banyak kita lihat dari mereka berkoar: “Kita ingin mengubah”, akan tetapi setelah mereka masuk kedalam parlemen, merekalah yang berubah. Bahkan mereka terpelanting dari kepribadian islamy. Maka cara menyelamatkan diri adalah dengan menjauhinya”.

Pertanyaan kedua:

Syaikh yang mulia, Salim Al Hilaly –Semoga Alloh mengokohkanmu- Anda mengatakan bahwa anda tidak mengetahui jam’iyyah melainkan ada hizbiyyahnya, kecuali yang Alloh rahmati yang jumlahnya sedikit. Apa maksud dari perkataan ini?? Dan siapakah yang dikecualikan?? Jazakumullohu Khoiron.

Jawab:

Maksudku dengan pengecualian ini adalah barangsiapa yang mengetahui bahwa disana ada sebuah jam’iyyah yang tidak hizbiyyah maka beri tahukan kepadaku, supaya aku mengubah sikap terhadap jam’iyyah-jam’iyyah (tersebut).

(Soal-Jawab Syaikh Salim ketika berziaroh ke Darul Hadist dammaj tanggal 23-25 Jumadits Tsany 1430.) (dikutip dari Yayasan sarana dakwah tanpa Barokah, Abul Husain Muhammad bin Muhyiddin Al-Jawi.)

7.         Tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran sebab saling membantu membangun masjid dhiror yang menimbulkan perpecahan.


وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢)

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2)

_____________________________ 

 Selesai, walhamdulillaahi robbil ‘alamin,

Alfaqir ilalloh
Abu Ibrohim Sa’iid ibn nursalim ibn zainal ’abidin ibn ya’qub ibn malla Al-Indunisy Al-Makassary
Makassar, Sabtu 21 Muharrom 1433 H


From= https://kebenaranhanya1.wordpress.com/2011/12/20/studi-kritis-membangun-masjid-di-dekat-masjid/