Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan ditanya, “Apakah
benar bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak generasi silam?
Apakah kehidupan kita mesti didasari atas ijtihad-ijtihad yang ada di
masa lampau dan setiap yang kita perbuat mesti dikaitkan
dengan ijtihad-ijtihad tersebut, lalu kita memperluasnya atau
menafsirkannya?“.
Beliau menjawab:
Ya, tidak diragukan lagi bahwasanya ijtihad mutlak
telah terhenti sejak waktu yang sangat lama karena tidak ada yang
memenuhi kriteria tersebut. Namun pintu ijtihad belum tertutup bahkan
terbuka. Akan tetapi mana orang-orang yang layak memasukinya?
Secara khusus, ijtihad bukanlah perkara yang mudah
karena padanya terdapat syarat-syarat, komponen-komponen dan
kekhususan-kekhususan dan harus memiliki kapabilitas yang mapan sehingga
dengan semua hal ini seseorang mampu berijtihad dalam menghasilkan
hukum-hukum syar’i. Dan barangsiapa yang belum memiliki semua hal
ini maka ia boleh taklid kepada ulama yang terdahulu dan mengambil hasil
ijtihad mereka yang dinilai lebih kuat dengan berlandaskan dalil. Ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui” (QS An Nahl : 43).
Terkadang taklid menjadi wajib jika dirinya tidak
mampu berijtihad dan tidak ada padanya kapabilitas untuk berijtihad.
Karenanya, ia boleh mengambil dari perkataan ulama yang terpercaya agar
ia mengambil faedah dari mereka dan berjalan di atas cahaya mereka.
Allah Ta’ala befirman
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian” (QS At Taghabun : 16).
Adapun jika seseorang tidak menguasai
syarat-syarat ijtihad dan juga tidak mengambil perkataan para ulama,
maka ini suatu kesalahan dan penyimpangan.
***
Penerjemah: Andi Ihsan
Artikel Muslim.or.id