Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala
Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid
diin.
Saat ini, alhamdulillah dakwah semakin tersebar luas di
dunia maya. Website dakwah pun semakin menjamur. Ini adalah sesuatu yang patut
disyukuri. Di samping itu dakwah kepada kepahaman menyimpang pun juga semakin
tersebar. Yang terakhir ini pun sangat menyedihkan. Orang awam yang asal
fitrohnya bersih akhirnya ternodai dengan berbagai macam kotoran syubhat
(pemikiran sesat) yang membutakan hati. Di antaranya adalah beberapa syubhat
yang dibawakan oleh para blogger anti salafi, yang menamakan blognya dengan
sebutan abusalafy.
Syubhat yang ada dan cukup keras adalah mengenai pernyataan mereka bahwa Allah
itu ada tanpa tempat. Ini adalah penentangan mereka terhadap aqidah Ahlus
Sunnah yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit dan
Allah berada tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Semoga dengan
pertolongan dan taufik Allah Ta’ala, kami bisa menyingkap kebenaran yang ada. Ya Robbi, a’in ‘ala naili ridhoka (Wahai Rabbku, tolonglah aku
untuk menggapai ridho-Mu).
Keyakinan yang Benar Mengenai Nama dan Sifat Allah
Ada beberapa i’tiqod (keyakinan) yang seharusnya menjadi
pegangan dan keyakinan seorang muslim mengenai asma’ wa shifat (nama dan sifat Allah).
Sebagaimana disebutkan oleh Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni rahimahullah dalam kitab Aqidah Al Wasithiyah,
beliau rahimahullah menyatakan:
ومن الإيمان بالله الإيمان بما وصف به نفسه في كتابه وبما وصفه به
رسوله محمد صلى الله عليه و سلم من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل
بل يؤمنون بأن الله سبحانه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
“Di antara bentuk iman kepada Allah adalah
beriman kepada apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya sendiri dalam Al
Qur’an dan apa yang Rasul-Nya Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sifatkan
tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.
Akan tetapi, mereka (Ahlus Sunnah) itu beriman bahwa tidak ada yang semisal dengan Allah dan Allah Maha Mendengar, lagi Maha
Melihat.”[1]
Mengenai pernyataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni di atas
juga kita jumpai dalam perkataan ulama lainnya. Imam Ahmad bin Hambal
–rahimahullah- mengatakan,
لَا يُوصَفُ اللَّهُ إِلَّا
بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ ، أَوْ وَصَفَهُ بِهِ رَسُولُهُ ، لَا يُتَجَاوَزُ
الْقُرْآنُ وَالْحَدِيثُ
“Allah tidaklah
disifati kecuali dengan apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya sendiri atau yang
disifatkan oleh Rasul-Nya. Hendaklah tidak mensifati Allah selain dari Al
Qur’an dan Al Hadits.”[2]
Dalam pernyataan di atas yang tentu saja hasil dari
penelitian dan penyimpulan Al Qur’an dan As Sunnah, kita dapat mengatakan bahwa
i’tiqod yang mesti diyakini seorang muslim adalah sebagai berikut.
Pertama: Hendaklah seseorang menetapkan nama bagi
Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya dan
ditetapkan oleh Rasul-Nya melalui lisannya.
Kedua: Penetapan nama dan sifat Allah di sini
tanpa melakukan tahrif dan ta’thil serta tanpa melakukan takyif
dan tamtsil.
Tahrif adalah menyelewengkan
makna nama atau sifat Allah dari makna sebenarnya tanpa adanya dalil.
Seperti mentahrif sifat mahabbah (cinta) bagi Allah menjadi irodatul khoir
(menginginkan kebaikan).
Ta’thil adalah menolak nama
atau sifat Allah. Seperti menolak sifat tangan bagi Allah.
Takyif adalah menyebutkan hakekat sesuatu tanpa
menyamakannya dengan yang lain. Seperti menyatakan panjang tangannya adalah
50 cm. Takyif tidak boleh dilakukan terhadap sifat Allah karena Allah tidak
memberitahukan bagaimana hakekat sifat-Nya dengan sebenarnya.
Tamtsil adalah menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk.
Seperti menyatakan Allah memiliki tangan dan sama dengan tanganku.
Keempat hal ini terlarang dalam mengimani nama dan sifat
Allah. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syura: 11)
Ayat,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia” adalah bantahan terhadap orang yang melakukan takyif dan
tamtsil, yaitu yang menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk atau
menyebutkan hakekat sifat Allah padahal yang mengetahuinya hanyalah Allah.
Sedangkan ayat,
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“dan Dia-lah yang Maha Mendengar
dan Melihat” adalah bantahan untuk orang yang melakukan tahrif dan
ta’thil. Karena dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Allah memiliki sifat
mendengar dan melihat. Makhluk pun memiliki sifat mendengar dan melihat, namun
tentu saja kedua sifat Allah ini berbeda dengan makhluk. Oleh
karenanya, kedua sifat tersebut tidak boleh ditahrif (diselewengkan)
maknanya dan tidak perlu dita’thil (ditolak maknanya). Sebagaimana hal
ini juga berlaku untuk sifat-sifat Allah lainnya.
Pahamilah Ayat Sifat Secara Zhohir, Tidak Perlu Mentakwil
Pengasuh blog abu salafy ketika menyanggah hujjah akhi
fadhil Ustadz Abul Jauzaa hafizhohullah mengenai keberadaan Allah di atas
‘Arsy-Nya, ia menyatakan sebagai berikut.
“Yang tampak dari nash-nash
yang menyebut secara lahiriyah bahwa Alah SWT di langit jelas bukan demikian
maksud sebenarnya. Ia mesti dita’wil, sebab Allah
tidak bisa ditanyakan dengan kata tanya: Di mana Dia? Kata di mana? Tidak
pernah disabdakan Nabi saw., seperti telah kami buktikan.”
Kami harap para pembaca dapat memperhatikan kalimat yang
kami garisbawahi. Inilah dasar pemahaman abusalafy ketika ingin menyanggah ideologi keberadaan Allah di
atas ‘Arsy-Nya. Dia punya keyakinan bahwa dalil-dalil yang menyatakan semacam
itu, hendaklah dita’wil yaitu diartikan dengan makna lainnya dan jangan
dipahami secara zhohir (tekstual). Inilah kerancuan abusalafy ketika memahami
nama dan sifat Allah.
Para pembaca sekalian, yang dimaksud dengan memahami secara
zhohir (tekstual) adalah
memahami makna yang tertangkap langsung di dalam benak pikiran. Kami contohkan
adalah ketika kita mengatakan, “Ali melihat singa.” Maka makna yang tertangkap
adalah Ali benar-benar melihat binatang buas yang dinamakan singa. Inilah yang
dimaksudkan memahami secara zhohir. Walaupun masih ada kemungkinan makna singa
di situ bisa dengan makna lainnya seperti berarti pemberani. Misalnya kita
katakan, “Ali Sang Singa menaklukan musuh-musuhnya.” Yang dimaksudkan di sini
bukan singa binatang buas, namun bermakna pemberani karena dipahami dari
konteks kalimat. Namun kalau kita mendengar kata singa secara sendirian, tentu
yang tertangkap dalam benak kita adalah singa yang termasuk binatang buas.
Ketika memahami sifat Allah pun mesti seperti itu. Hendaklah
kita memahami secara zhohir, sesuai makna yang tertangkap dalam benak kita
tanpa kita takwil (palingkan) ke makna lainnya tanpa adanya indikator atau
dalil. Inilah yang diperintahkan dalam Al Qur’an ketika kita memahami ayat Al
Qur’an. Coba kita perhatikan ayat-ayat berikut ini. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ
الْعَالَمِينَ (192) نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ
لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194) بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195)
“Dan sesungguhnya Al Qur’an
ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh
Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab
yang jelas.” (QS. Asy Syu’ara:
192-195).
Lihatlah ayat ini menegaskan bahwa Al Qur’an diturunkan
dengan bahasa Arab yang jelas, yang artinya bisa langsung kita pahami.
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur’an dalam bahasa
Arab supaya kamu memahami(nya).” (QS. Asy Syu’ara:
192-195).
Ayat ini pun demikian yaitu menjelaskan bahwa Al Qur’an itu
diturunkan dengan bahasa Arab yang mudah dipahami secara zhohir, tanpa perlu
dipalingkan ke makna lainnya.
Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan agar kita mengikuti
apa yang Allah turunkan, artinya sesuai yang kita pahami di benak kita. Allah
Ta’ala berfirman,
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ
إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan
janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS. Al
A’rof: 3)
Apabila Allah Ta’ala menurunkan Al Qur’an dengan bahasa Arab
agar mudah direnungkan dan dipahami, lalu Allah memerintahkan untuk
mengikutinya, maka wajib bagi kita memahami ayat-ayat yang ada secara zhohirnya
sesuai yang dimaksudkan oleh bahasa Arab kecuali jika hakekat syar’i yang
dikehendaki bukanlah demikian. Begitu pula hal ini berlaku pada ayat-ayat yang
menjelaskan sifat Allah (tangan, wajah, istiwa’, dsb). Bahkan berpegang dengan
zhohir pada nash-nash yang menjelaskan sifat Allah lebih utama kita praktekan
karena penunjukkan sifat Allah harus tauqifiy (harus dengan dalil), tidak ada
ruang bagi akal untuk merinci sifat Allah.
Jika ada yang mengatakan, “Janganlah pahami ayat yang menunjukkan
sifat Allah secara zhohir, karena makna zhohir bukanlah yang
dimaksudkan?” Kita jawab, “Apa yang dimaksud dengan zhohir yang
kalian inginkan?”
[Pertama] Kalau
yang kalian maksudkan adalah memahami makna yang tertangkap pada nash dengan memahami sifat Allah
tersebut sesuai dengan yang layak bagi-Nya tanpa melakukan tamtsil (penyamaan dengan makhluk), maka ini benar. Hal ini
wajib diterima dan diimani oleh setiap hamba. Karena tidak mungkin Allah
menceritakan mengenai sifat-sifat-Nya, lalu itu bukan yang Allah inginkan dan
tanpa menjelaskannya pada hamba-Nya.
[Kedua] Namun
jika zhohir yang dimaksudkan adalah memahami sifat Allah dengan melakukan
tamtsil (menyamakan sifat tersebut dengan sifat makhluk), maka inilah makna
yang tidak diinginkan. Sebenarnya makna ini bukan makna zhohir dari dalil Al
Kitab dan As Sunnah yang menjelaskan mengenai sifat Allah. Karena pemahaman
zhohir semacam ini adalah pemahaman kufur dan batil serta terbantahkan dengan
dalil dan ijma’ (kesepakatan para ulama).[3]
Silakan pembaca menilai pernyataan abusalafy di atas yang
menyatakan sifat Allah mesti dita’wil. Pernyataan ini sungguh melenceng dari
ijma’ (kesepakatan ulama). Lihat baik-baik klaim ijma’ dari pernyataan ulama
berikut ini.
Memahami Sifat Allah Secara Zhohir adalah Ijma’ (Kesepakatan Para
Ulama)
Al Imam Al Khothobiy rahimahullah mengatakan, “Madzhab
salaf dalam mengimani sifat Allah adalah menetapkan dan memahaminya secara
zhohir (tekstual), mereka menolak menyebutkan hakikat (kaifiyah) sifat tersebut
dan mereka tidak melakukan tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat
makhluk).”[4]
Al Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah,
“Ahlus Sunnah berijma’ (bersepakat) dalam menetapkan sifat Allah yang terdapat
dalam Al Kitab dan As Sunnah, mereka memahaminya sesuai dengan hakikatnya dan
bukan dipahami secara majas. Namun ingatlah mereka tidak menyebutkan kaifiyah
sifat tersebut (seperti menggambarkan bagaimana bentuk tangan dan wajah Allah,
pen). Berbeda halnya dengan Jahmiyah, Mu’tazilah dan Khowarij; mereka semua
mengingkari sifat Allah, mereka tidak mau memahami sesuai dengan makna
hakikatnya. Mereka malah menganggap bahwa orang-orang yang menetapkan sifat
sebagai musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk). Namun menurut
mereka yang menetapkan sifat bagi Allah (yaitu Ahlus Sunnah) menilai bahwa
Mu’tazilah cs–lah yang telah menafikan (meniadakan) Allah sebagai sesembahan.”[5]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Para
salaful ummah dan para imam telah bersepakat (berijma’) bahwa nash-nash yang
menjelaskan sifat Allah haruslah dipahami secara zhohir (tekstual)
sesuai dengan sifat yang layak bagi Allah tanpa melakukan tahrif (penyelewengan
makna). Dan ingatlah bahwa memahami secara sifat Allah secara zhohir tidak berarti kita
menyamakan Allah dengan makhluk.”[6]
Jadi, kenapa kita harus pahami dalil-dalil yang menjelaskan
sifat Allah secara zhohir (seperti sifat tangan, wajah, ghodob (murka), istiwa’
Allah)? Jawabannya:
1.
Tidak mungkin bagi Allah membicarakan sesuatu,
namun itu bukan yang Dia inginkan atau menyelisihi zhohirnya tanpa ada
penjelasan.
2.
Menetapkan sifat bagi Allah adalah tauqifi yaitu
butuh dalil, sehingga kalau makna sifat Allah mau diselewengkan dari makna
zhohir harus dengan dalil.
3.
Inilah kesepakatan (ijma’) para ulama ahlus
sunnah.
Tuduhan: Menetapkan Sifat Allah Berarti Melakukan Tasybih
Inilah tuduhan lainnya dari abusalafy dalam beberapa
tulisannya terhadap orang yang menetapkan Allah berada di atas langit. Beliau
menyebut mereka yang menetapkan sifat semacam itu sebagai mujassimah atau musyabbihah, yang berarti menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya. Inilah yang diisyaratkan oleh Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni.
Beliau rahimahullah mengatakan,
“Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang menolak sifat Allah, mereka
menyebut setiap orang yang menetapkan sifat bagi Allah sebagai mujassimah atau
musyabbihah. Bahkan di antara mereka menyebut para Imam besar yang telah
masyhur (seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut
setia mereka) sebagai mujassimah atau musyabbihah (yang menyerupakan Allah
dengan makhluk).”
Inilah bloger abusalafy yang mengikuti jejak Mu’tazilah dan
Jahmiyah. Tidak beda jauh antara dia dengan mereka. Namun tenang saja,
alhamdulillah tuduhan seperti ini sudah disanggah oleh ulama-ulama terdahulu.
Perhatikan kalam mereka berikut ini.
Nu’aim bin Hammad Al Hafizh rahimahullah mengatakan,
“Siapa yang menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya, maka dia kafir. Siapa yang mengingkari sifat Allah yang
Allah tetapkan bagi diri-Nya, maka dia kafir. Namun, menetapkan sifat yang
Allah tetapkan bagi diri-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya tidaklah
disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk).”
Ishaq bin Rohuwyah rahimahullah mengatakan,
“Yang disebut tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk), jika kita mengatakan, ‘Tangan Allah sama dengan
tanganku atau pendengaran-Nya sama dengan pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih. Namun
jika kita mengatakan sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa
Allah memiliki tangan, pendengaran dan penglihatan; dan kita
tidak sebut, ‘Bagaimana hakikat tangan Allah, dsb?’ dan tidak pula kita katakan,
‘Sifat Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama
dengan tangan kita)’;
seperti ini tidaklah disebut tasybih. Karena
ingatlah Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11)
Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan,
“Seandainya menetapkan ketinggian
bagi Allah Ta’ala (di atas seluruh makhluk-Nya) bermakna tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka
setiap orang yang menetapkan sifat yang lainnya bagi Allah Ta’ala seperti
menetapkan bahwa Allah itu Qodir (Maha Kuasa), Allah itu saami’ (Maha Mendengar) atau Allah itu bashiir (Maha Mendengar), orang-orang yang
menetapkan seperti ini juga haruslah disebut musyabbihah. Namun tidak
seorang muslim pun pada hari ini yang mereka menisbatkan diri pada Ahlus Sunnah
wal Jama’ah mengatakan bahwa orang yang menetapkan sifat-sifat tadi bagi Allah
adalah musyabbihah (melakukan tasybih atau menyerupakan Allah
dengan makhluk), berbeda dengan para penolak sifat Allah yaitu Mu’atzilah,
dll.”[7]
Ringkasnya, jika kita yang menyatakan Allah di
atas langit adalah musyabbihah, maka
seharusnya engkau katakan pula pada orang-orang yang menetapkan sifat
mendengar, melihat, bahkan sifat wujud adalah musyabbihah karena
sifat-sifat ini juga ada pada makhluk. Namun, pasti engkau akan mengelak, tidak
mau mengatakan demikian.
Jadi, jika kami mengatakan bahwa Allah di atas langit, di
atas seluruh makhluk-Nya, itu bukanlah berarti Allah serupa dengan makhluk.
Jadi kami yang menetapkan sifat bukanlah musyabbihah,
seperti klaim Anda.
Justru orang yang menolak sifat Allah atau mengatakan, ‘Allah
tidak berada di atas langit’, karena tidak boleh kita pahami ayat-ayat yang
menyatakan demikian secara zhohirnya, namun makna yang lainnya’; mereka itulah sebenarnya musyabbihah? Kok, tuduhan ini bisa berbalik?
Ini buktinya. Perlu diketahui bahwa setiap orang yang
menolak sifat Allah (mu’athilah) sebelumnya mereka terlebih dahulu menyerupakan
sifat Allah dengan makhluk (melakukan tasybih). Sebelumnya mereka berpikir,
“Kalau kita menetapkan sifat tangan, wajah, dan sifat lainnya bagi Allah, maka
ini sama saja kita menyerupakan Allah dengan makhluk”. Lalu agar sifat Allah
tidak sama dengan makhluk, setelah itu mereka menolak sifat Allah, yaitu
menolak sifat tangan, wajah, dan sifat lainnya. Inilah pemikiran mu’athilah
(para penolak sifat) pertama kali. Sehingga para ulama mengatakan, “Kullu mu’athil musyabbih”, yaitu setiap orang yang
menolak sifat Allah, mereka juga adalah orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluk (melakukan tasybih). Karena takut menyerupakan Allah, akhirnya mereka
menolak sifat Allah. Jadi siapakah sebenarnya yang musyabbihah atau mujassimah?
Nantikan serial selanjutnya dari pembahasan ini mengenai
berbagai dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah tentang keberadaan Allah di atas
langit.
Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah
mudahkan untuk pembahasan selanjutnya.
Diselesaikan
di malam hari, di Panggang-Gunung Kidul, 26 Rabi’ul Awwal 1431 H (12/03/2010)
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)
[1] Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al
Haroni Ibnu Taimiyah, hal. 8, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1426 H
[2] Aqowiluts Tsiqoot fii Ta’wilil
Al Asma’ wa Ash Shifaat wal ayat Al Muhkamat wal Mutasyabihaat, Mar’i bin Yusuf Al
Hambali Al Maqdisi, Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth, hal. 234, Muassasah Ar Risalah,
cetakan pertama, 1406 H.
[3] Penjelasan ini kami
sarikan dari Taqribut Tadmuriyah, Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, hal. 45-46, Darul Atsar, cetakan pertama,
tahun 1422 H.
[4] Lihat Mukhtashor
Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Al Hafizh Syamsuddin Adz Dzahaby, Tahqiq:
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 38, Al Maktab Al Islami, cetakan
kedua, 1412 H.