Sebagian orang beranggapan dengan hartanya “yang penting halal”. Padahal halal saja belum cukup.
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kata berkah [البركة] secara bahasa artinya sesuatu yang tumbuh dan bertambah atau langgeng dan abadi. (Lisan al-Arab, 10/395).
Ketika seseorang mengucapkan,
اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد
Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, maknanya adalah Ya Allah, kokohkanlah, langgengkanlah kebaikan dan kemuliaan untuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya. (Ahkam at-Tabarruk, Dr. Abdul Aziz Rais, hlm. 2)
Istilah untuk harta, bisa dipahami dua hal:
Pertama, harta yang boleh dimanfaatkan
Berdasarkan pengertian ini maka semua harta yang halal bagi muslim, adalah harta yang berkah. Meskipun harta itu habis pakai.
Karena harta halal adalah keberkahan bagi mukmin, sehingga ketika
mereka menikmati harta itu, tidak menjadi sumber masalah ketika di
akhirat.
Allah berfirman,
قُلْ
مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ
الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Katakanlah:
“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat”. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat
itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. al-A’raf: 32)
Rizki yang halal di dunia, Allah sediakan untuk orang yang beriman. Sehingga ketika mereka menikmatinya, mereka tidak berdosa.
Kedua, harta berkah dalam arti yang bertambah dan berkembang
Inilah makna berkah yang lebih sering kita pahami. Tidak sebatas halal, namun bertambah, sehingga mencukupi kebutuhan semuanya.
Allah berjanji bagi orang yang beriman dan bertaqwa, akan dibukakan pintu keberkahan dari langit dan bumi,
وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. al-A’raf: 96).
Allah berikan kepada kampung yang bertaqwa jatah rizki yang lebih. Tidak sebatas halal, tapi melimpah. Dan itulah keberkahan yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang bertaqwa.
Dan
ini bukan sebatas halal, karena semua yang Allah turunkan di muka bumi
adalah halal bagi manusia, kecuali yang dilarang. Sementara orang
bertaqwa diberi lebih, sebagai balasan baik untuk mereka.
Seperti doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ
Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya dan berkahilah semua yang Engkau berikan kepadanya. (HR. Bukhari 6334)
Kata Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
فوالله إن مالي لكثير، وإن ولدي وولد ولدي يتعاقبون على نحو المئة
Demi Allah, hartaku sangat banyak. Sementara anak dan cucu-cucuku, mencapai 100 orang. (HR. Ibnu Hibban 7177)
Ketika Zubair wafat, beliau meninggalkan warisan berupa tanah hutan. Ketika dijual, harganya naik sangat tinggi. Abdullah Zubair radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,
وَكَانَ
الزُّبَيْرُ اشْتَرَى الْغَابَةَ بِسَبْعِينَ وَمِائَةِ أَلْفٍ ،
فَبَاعَهَا عَبْدُ اللَّهِ بِأَلْفِ أَلْفٍ وَسِتِّمِائَةِ أَلْفٍ
Zubair
pernah membeli tanah hutan seharga 170.000, kemudian tanah itu dijual
oleh putranya, Abdullah bin Zubair seharga 1.600.000 (HR. Bukhari 3129).
Hadis ini diletakkan al-Bukhari dalam kitab shahihnya di Bab, “keberkahan harta orang yang berperang.”
Semua yang Halal harus Bertambah?
Berangkat
dari pemahaman di atas, bahwa berkah artinya bertambah, dan harta halal
adalah harta yang berkah, sebagian orang memahami, harta halal harus
bertambah. Dan jika tidak bertambah, ini indikasi bahwa harta itu tidak
halal.
Hingga
ada sebagian orang yang melakukan usaha, diberi modal kawannya, namun
ternyata usahanya gagal dan bahkan mengalami kerugian. Kesimpulan yang
dia berikan, modal usahanya tidak berkah, karena berasal dari harta
yang haram.
Memang
dia tidak menuduh kawannya bekerja di dunia haram. Tapi setidaknya
kesimpulan ini tidak lepas dari nuansa suudzan kepada pemodal.
“Harta
halal adalah harta yang berkah, karena itu harus bertambah. Jika tidak
bertambah, itu tanda bahwa harta itu tidak berkah.”
Kesimpulan ini tidaklah benar. Karena membuat konsekuensi kebalikan dari sebuah kalimat, tidak semuanya benar.
Ada kaidah mengatakan,
لازم القول ليس بلازم
Konsekuensi dari pernyataan, tidak semuanya benar.
Harta halal, memang berkah. Berkah dalam arti, bisa dimanfaatkan tanpa ada hukuman.
Tapi bukan berarti harta halal akan terus berkembang, dan menghasilkan banyak harta. Tidak ada jaminan demikian.
Dulu
ada beberapa ulama yang melakukan usaha dan mereka gagal. Bahkan
diantara mereka ada yang masuk penjara, gara-gara menanggung utang yang
sangat besar.
Diantaranya
Muhammad bin Sirin. Seorang ulama besar tabiin, muridnya sahabat Anas
bin Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berprofesi
sebagai saudagar. Akan tetapi, pada akhir hayatnya, beliau ditimpa
pailit dan terlilit utang sebesar 30.000 dirham, sehingga beliau pun
dipenjara. Beliau baru dapat terbebas dari penjara setelah putranya,
yang bernama Abdullah, melunasi utangnya.
Tentu saja bukan modal beliau yang bermasalah. Harta beliau halal, dan beliau seorang ulama yang wara’ terhadap harta.
Allahu a’lam.
Read more http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://pengusahamuslim.com/5724-harta-halal-belum-tentu-berkah.html