Islam Pedoman Hidup: Sifat ‘Ibadurrahman (5), Tidak Menghadiri Acara Maksiat

Jumat, 22 September 2017

Sifat ‘Ibadurrahman (5), Tidak Menghadiri Acara Maksiat


Beberapa saat yang lalu kami telah mengupas tafsir surat Al Furqon di ayat-ayat terakhir. Sekarang kita lanjutkan dengan bahasan tafsir surat tersebut di ayat 72 yang membahas tentang sifat hamba Allah yang beriman lainnya yaitu enggan menghadiri acara maksiat.

Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72)

Tidak Menghadiri Acara Maksiat

Mengenai maksud ayat,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

Ada 8 pendapat ulama yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi mengenai tafsiran ayat tersebut.
1. Yang dimaksud dengan az zuur adalah shonam (berhala) milik orang musyrik. Demikian pendapat Adh Dhohahk dari Ibnu ‘Abbas.
2. Yang dimaksud dengan az zuur adalah ghina’ (nyanyian). Yang menafsirkan seperti ini adalah Muhammad bin Al Hanafiyah, dan Makhul. Diriwayatkan dari Laits dari Mujahid, ia berkata bahwa yang dimaksud adalah mereka tidak mendengarkan nyanyian.
3. Yang dimaksud az zuur adalah syirik. Demikian dikatakan oleh Adh Dhohak dan Abu Malik. Artinya di sini mereka tidak menghadiri perbuatan kesyirikan.
4. ‘Ikrimah berkata bahwa yang dimaksud az zuur adalah permainan di masa jahiliyah.
5. Qotadah dan Ibnu Juraij berkata bahwa yang dimaksud az zuur adalah kedustaan.
6. ‘Ali bin Abi Tholhah berkata bahwa yang dimaksud az zuur adalah persaksian palsu. Hal ini sebagaimana penafsiran yang kami bawakan di awal tulisan.
7. Yang dimaksud az zuur adalah perayaan orang musyrik. Demikian pendapat Ar Robi’ bin Anas.
8. Yang dimaksud az zuur adalah majelis khianat. Demikian kata ‘Amr bin Qois. (Zaadul Masiir, 6/109)

Pendapat-pendapat di atas menyebutkan macam-macam perbuatan zur dan tidak saling bertentangan. Sehingga tafsiran-tafsiran tersebut bisa memaknakan ayat di atas. Intinya, hamba beriman tidaklah mengahadiri acara maksiat. Maka kita dapat maknakan ayat tersebut:
– sifat hamba beriman tidak menghadiri perbuatan syirik dan berhala orang musyrik.
– sifat hamba beriman tidak menghadiri perayaan non muslim, yaitu tidak menghadiri acara natal, tahun baru, valentine, dan imlek. Jika tidak menghadiri acara-acara tersebut, maka berarti tidak merayakannya.
– sifat hamba beriman juga tidak menghadiri perbuatan maksiat seperti majelis berisi dusta, pengkhianatan dan persaksian palsu.
– sifat hamba beriman juga tidak menghadiri acara musik atau konser musik, terserah acara tersebut berisi nyanyian atau lagu rock, dangdut, pop dan termasuk pula yang berbau religi yang diiringi alat musik (biasa disebut nasyid).

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Hamba Allah yang beriman tidaklah menghadiri az zuur, yang dimaksud adalah perkataan dan perbuatan yang haram. Mereka benar-benar menjauhi majelis yang terdapat perkataan dan perbuatan yang haram, seperti melecehkan ayat Allah, debat kusir, berdebat yang batil, ghibah (menggunjing orang), namimah (mengadu domba), mencela, menuduh dusta, mempermainkan ayat Allah, mendengarkan nyanyian haram, meminum khomr, bertelekan di permadani sutra, di tempat yang terdapat gambar makhluk bernyawa dan selainnya. Jika mereka tidak menghadiri perbuatan-perbuatan haram tadi, tentu saja mereka tidak mengatakan atau melakukannya.” (Taisir Al Karimir Rahman, 587)

Bertemu dengan yang Berbuat Laghwu

Ayat selanjutnya menyebutkan,
وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Yang dimaksud dengan laghwu ada lima pendapat:
1. Perbuatan maksiat, demikian kata Al Hasan.
2. Perbuatan menyakiti orang musyrik, demikian kata Mujahid.
3. Perbuatan batil (tidak ada faedah), demikian kata Qotadah.
4. Syirik,  demikian kata Adh Dhohak.
5. Jika mengingat nikah dan perbuatan menggembirakan, demikian kata Mujahid dan Muhammad bin ‘Ali.
Ketika mereka melewati orang yang berbuat maksiat, berbuat syirik atau yang perbuatan yang tidak berfaedah, maka balasan mereka,
مَرُّوا كِرَاماً
Yang dimaksud dengan ayat ini ada 3 pendapat:
1. Berjalan dengan penuh lemah lembut, demikian kata Ibnu As Saib.
2. Mereka berpaling, demikian kata Maqotil.
3. Jika mereka orang yang melakukan hal yang tidak berfaedah, mereka melampauinya. Demikian kata Al Faro’.

Ringkasnya, maksud ayat di atas bahwasanya hamba beriman tidaklah bermaksud menghadiri dan tidak pula mendengar perbuatan yang haram. Namun jika mereka tidak sengaja menemukan hal-hal maksiat tersebut, mereka memuliakan diri mereka dengan menjauh darinya. Demikian keterangan Syaikh As Sa’di (Taisir Al Karimir Rahman, 587). Dari keterangan beliau ini, hamba beriman bukanlah orang yang berniatan menghadiri perbuatan maksiat, termasuk perayaan non muslim atau majelis sia-sia yang terdapat nyanyian. Namun jika mereka tidak sengaja menghadirinya, mereka benar-benar menjauhinya. Semoga Allah memudahkan kita menjadi hamba yang benar-benar memiliki sifat demikian.

Walhamdulillah. Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:
  • Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H.
  • Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah , cetakan pertama, tahun 1423 H.

Dirampungkan -berkat nikmat kemudahan dari Allah- di Ummul Hamam, Riyadh KSA
18 Syawal 1432 H (16/09/2011)
www.rumaysho.com


Share Ulang: