MEYAKINI DAN MENGAMALKAN DALIL, BUKAN MENCARI-CARI DALIL
Ustadz Muhammad Ashim bin Musthofa Lc
Kewajiban seorang Muslim, tidaklah berbicara atau berpendapat hingga
mengikuti apa yang difirmankan oleh Allâh Azza wa Jalla dan disabdakan
oleh Rasul-Nya. Sikap ketundukan dan ketaatan tersebut sebagai
pengamalan firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allâh dan
Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Hujurât/49:1].
Ayat ini memuat adab yang agung yang wajib dijadikan pedoman oleh
setiap Muslim. Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Ini adalah
adab-adab yang Allâh Azza wa Jalla hendak mendidik hamba-hambaNya kaum
Mukminin dalam bermuamalah dengan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu dengan sikap menghargai, menghormati dan mengagungkan Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. [1]
“Syaikh as-Sadi rahimahullah berkata, “Ini memuat adab dengan Allâh
Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, serta mengagungkan, menghormati dan
memuliakan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Mengenai makna ayat di atas, kata Syaikh as-Sadi rahimahullah, “Allâh
Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya yang beriman melalui
konsekuensi keimanan mereka kepada Allâh dan Rasul-Nya untuk
melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya
dan hendaknya mereka berjalan di belakan perintah-perintah Allâh dan
mengikuti Sunnah Rasûlullâh dalam seluruh urusan mereka, dan agar
mereka tidak berjalan di depan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu dengan tidak mengatakan sesuatu
hingga Allâh Azza wa Jalla mengfirmankan sesuatu, dan tidak
memerintahkan sesuatu hingga Allah memerintahkannya. Inilah hakikat
beradab di hadapan Allâh dan Rasul-Nya dan merupakan indikator
kebahagiaan dan keselamatan seorang hamba”. [2]
Jadi, umat Islam tidak boleh tergesa-gesa dalam segala urusan di
hadapannya. Akan tetapi, mereka harus menjadi pengikut Beliau dalam
semua urusan. [3]
Komitmen dengan prinsip penting ini, akan menyelamatkan manusia dari kesesatan di dunia dan celaka di akhirat.
Allâh Azza wa Jalla berfirman.
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ
فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ ﴿١٢٣﴾ وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ
لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa
yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari
Kiamat dalam keadaan buta. [Thâhâ/20:123-124]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Allâh Azza wa Jalla menjamin
tidak sesat di dunia dan celaka di akhirat bagi siapa saja yang membaca
Al-Qur`an dan mengamalkan kandungannya”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menegaskan:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِيْ كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ
Aku tinggalkan di tengah kalian, jika kalian berpegang-teguh
dengannya, maka tidak akan sesat, ‘Kitabullah dan Sunnahku”. [4]
Dan di antara perkara penting yang umat Islam harus berpegang-teguh
dengan al-Qur`an dan Sunnah adalah perkara-perkara aqidah. Sebab, akal
pikiran manusia tidak mampu mengetahuinya dengan terperinci kecuali
melalui jalan wahyu. Maka, seorang Muslim yang memegangi petunjuk wahyu,
sungguh ia telah berpegangan dengan tali Allâh Azza wa Jalla yang kuat
dan memperoleh hidayah menuju jalan yang lurus. [5]
Kondisi para Sahabat kondisi pengikut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang terbaik yang pernah dijumpai hidup di muka bumi ini. Mereka
tidak meyakini sesuatu atau berpendapat apapun hingga mereka jumpai
firman Allâh Azza wa Jalla dan sabda Rasul-Nya. Mereka mengikuti
dalil-dalil, bukan dalil-dalil syar’i yang mengikuti kehendak, pendapat
dan keyakinan mereka. Dalil-dalil mereka ikuti dan wahyu mereka pegangi.
Maka, mereka pun menjadi generasi yang selamat dan terbaik.
Setelah masa generasi para Sahabat pergi meninggalkan umaat Islami,
muncullah pemikiran-pemikiran dan ideologi-ideolOgi di tengah umat Islam
yang hanya berlandaskan ahwa (hawa nafsu), seperti Khawarij,
Qadariyyah, Jahmiyyah, Rafidhah, Murji’ah, Mu’tazilah dan lainnya.
Karenanya, tidak mungkin ada ayat ataupun hadits yang mendukung mereka!.
Ada ungkapan menarik dari Imam Ibnu Katsîr rahimahullah yang mengatakan, “Alhamdulillâh, seorang mubtadi’
mana saja tidak memiliki sandaran apapun yang shahih dari ayat-ayat
al-Qur`ân, sebab al-Qur`ân datang untuk memperjelas al-haq
dari kebatilan, menerangkan perbedaan antara hidayah dan kesesatan,
tidak ada sedikit pun kontradiksi maupun perbedaan antar ayat, sebab
al-Qur`ân bersumber dari Allâh Azza wa Jalla, turun dari Dzat Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji”.[6]
Para pengusung pemikiran dan ideologi baru ini memiliki keyakinan
(yang salah) terlebih dahulu, baru kemudian mencari-cari dalil untuk
pembenarannya. Maka, ajaran agama adalah sesuatu yang mereka katakan dan
syariat adalah apa yang mereka pegangi. Sementara dalil-dalil Al-Qur`ân
dan Sunnah bila tidak seiring dengan pandangan dan keyakinan mereka,
maka akan mereka takwilkan dengan penakwilan yang bermacam-macam.
Inilah perbedaan paling yang kentara dan mendasar antara seorang Sunni (pengikut Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan Bid’i (pelaku bid’ah). Seorang Sunni memposisikan dirinya dan kemauannya di belakang dan menjadikannya harus
mengikuti dalil-dalil yang ada. Berbeda halnya dengan pelaku bid’ah,
memposisikan hawa nafsunya sebagai hakim (penilai) syariat dan
mengendalikannya.
Imam Syâthibi rahimahullah mengatakan, “Oleh sebab itulah, ahli bid’ah dikenal dengan predikat Ahlul Ahwa,
karena mereka memperturutkan hawa nafsu (ra`yu, keinginan dan keyakinan
pribadi mereka), enggan mengambil dalil-dalil syar’i sebagai kebutuhan
dan dasar pendalilan. Mereka justru lebih mendahulukan hawa nafsu mereka
dan bertumpu pada ra`yu-ra`yu mereka sendiri, sementara dalil-dalil
syar’i, mereka lihat belakangan”. [7]
Syaikhul Islam rahimahullah menambahkan, “Ahli bid’ah dari kalangan
ahli ilmu dan ahli kalam, mereka mempelajari ilmu dengan apa yang mereka
ada-adakan, bukan dengan mengikuti ilmu syar’i dan kemudian
mengamalkannya”. [8]
Oleh sebab itu, metodologi ‘ilmiah’ ahli bid’ah berjalan di atas
asas: ‘mengucapkan, melakukan, meyakini, baru kemudian mencari-cari
dalil pembenarnya’. Sementara ketika fakta menunjukkan nash-nash
al-Qur`ân dan Hadits tidak sejalan dengan hawa nafsu mereka, maka,
mereka pun tetap melangkah dengan melakukan tahrîf
(pengotak-atikan) terhadap nash-nash syar’I tersebut. Dengan
demikian, pada diri mereka telah terkumpul dua kesalahan besar: mendahului Allâh dan Rasul-Nya dan mentahrif kalamullah dan kalam Rasul-Nya.
Karena itulah, Syaikh Hamd al-‘Utsmân memasukkan karakter ini,
meyakini dahulu baru mencari-cari dalil pembenaran atas yang diyakini,
sebagai salah satu faktor yang memalingkan seseorang dari hidayah Allah
Azza wa Jalla .[9]
Maka, sudah seharusnya setiap Muslim dan Muslimah mengingat-ingat pedoman yang telah digariskan Al-Qur`ân dan Surat Al-Hujurât:1
di atas, dengan mengikuti perintah Allâh Azza wa Jalla dan petunjuk
Rasul-Nya. Itulah konsekuensi dan tuntutan keimanan umat Islam
terhadap Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Maka, kewajiban tiap Mukmin untuk
tidak berbicara dalam suatu apapun yang terkait agama kecuali dengan
mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan tidak mendahului Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan
tetapi, ia mesti mencari tahu apa yang disabdakan Nabi dalam masalah
tersebut, sehingga perkataannya mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan ilmunya mengikuti perintah Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Demikianlah para Sahabat dahulu dan orang-orang yang
mengikuti jalan mereka dengan ihsan (baik) dari
kalangan Tabi’in dan para imam umat Islam. Tidak ada di antara mereka
yang mengkonter nash-nash syari’i dengan akal mereka dan tidak membangun
agamanya dengan petunjuk yang datang dari selain Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Petunjuk Beliaulah yang dijadikan obyek utama yang
dipelajarinya dan menjadi sumber pendapatnya. Mereka mencermati dan
merenunginya. Inilah prinsip Ahli Sunnah”. [10]
Penyakit ini; berbicara, melakukan dan meyakini dalam agama terlebih
dahulu, lantas mencari-cari dalil yang menjustifikasinya; tidak hanya
kabur pada para pelaku bid’ah saja, bahkan memang hal tersebut bersifat
samar, hampir-hampir setiap muslim tidak selamat darinya kecuali
orang-orang yang dilindungi oleh Allah Azza wa Jalla. Karena sifatnya
yang tidak transparan dan kerusakannya yang besar terhadap agama, maka
para Ulama menyampaikan nasehatnya dan menjelaskan masalah ini demi
kebaikan bagi umat.
Semoga Allâh Azza wa Jalla berikan taufik kepada kita untuk terus
melakukan thalabul ilmi agar mengetahui dalil-dalil yang menjadi
landasan perintah yang kita lakukan dan larangan yang kita tinggalkan,
sehingga kita dekat dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan membangun agama kita di atas ittiba’. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XX/1437H/2017M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079]
_______Footnote
[1] Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm 7/364.
[2] Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 743.
[3] Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm 7/364.
[4] HR. Al-Hâkim dalam al-Mustadrak 1/93. Dishahîhkan oleh Al-Albâni dalam Shahihul Jâmi’ no.2934.
[5] Manhaj al-Imâm asy-Syâfi’i fî Itsbâti al-Aqîdah 1/56.
[6] Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 1/145.
[7] Al-I’tishâm 2/172.
[8] Minhâjus Sunnah 5/170.
[9] Ash-Shawârifu ‘anil Haq. 118-121.
[10] Majmû’ al-Fatâwâ 13/62-63.