LEBIH BAIK BERBEDA DENGAN MASYARAKAT DARIPADA BERBEDA DENGAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc
Footnote
[1] Bahjatu Qulûbi al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûnil Akhyâr fî Syarhi Jamâwi’ Akhbâr hlm. 213.
[2] Al-I’tishâm 1/13-22 dengan diringkas.
[3] Al- I’tishâm 1/24.
[4] Bahjatu Qulûbi al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûnil Akhyâr fî Syarhi Jamâwi’ Akhbâr hlm. 214.
Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc
Hidup di masa-masa yang jauh dari kenabian, akan membuat orang bisa
jauh dari petunjuk-petunjuk dan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh
Rasûlullâh, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab,
perlahan-lahan, ajaran-ajaran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
merupakan sebaik-baik petunjuk dimarjinalkan dari amaliah sehari-hari
umat. Petunjuk-petunjuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pasti
mengantarkan manusia menuju cinta Allâh Azza wa Jalla kalah pamor
dengan tradisi yang berkembang di tengah masyarakat.
Pendek kata, yang benar dipandang buruk dan tercela serta pantas
dimusuhi dan orang yang mengamalkannya patut dicurigai sebagai penganut
ajaran sesat. Sedangkan perkara-perkara yang merupakan keburukan dan
kemungkaran dalam perspektif syariat menjadi kebiasaan dan kebenaran
yang mesti diamini oleh segenap anggota masyarakat. Bila ada yang coba
mengkritisi, vonis sesat akan segera tersemat pada orang tersebut.
Inilah dampak belum tersebarnya ilmu yang shahih di tengah masyarakat.
Ilmu yang berstandar pada qâlallâhu wa qâla rasûluhu. Sementara yang berkembang di sebagian masyarakat, amalan mereka bersumber pada qiila wa qaala (katanya), ra`yu (pendapat orang) atau istihsân (anggapan baik dari individu tertentu).
Maka, tidak mengherankan bila orang yang berpegang-teguh dengan
ajaran Islam akan merasa terasing meski di kampung halamannya sendiri,
dikarenakan ia berpenampilan beda dari kebanyakan orang, memiliki aqidah
(keyakinan) yang agak lain daripada yang lain dan mengamalkan
amaliah-amaliah ibadah yang tidak biasa dikerjakan oleh lingkungan
sekitar.
Orang yang teguh di atas ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan bahkan dianggap mengimpor pemahaman dari luar negeri,
sehingga dikategorikan sebagai pemikiran transnasional, meskipun hal
tersebut tertuang dalam buku-buku hadits dan kitab-kitab Ulama Islam
yang mu’tabar.
HIDUP TERASING SAAT KOMITMEN DENGAN PETUNJUK NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa keadaan
terasing pun akan kembali dialami oleh orang-orang yang komitmen dengan
ajaran Islam di masa mendatang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam bermula dengan terasing, dan akan kembali sebagaimana
bermula dalam keadaan terasing. Maka, kemuliaan bagi orang-orang yang
terasing”. [HR. Muslim no.232].
Tidak itu saja, cobaan demi cobaan akan dihadapi orang-orang yang
terasing itu. Cobaan-cobaan berat yang terlukis dalam hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الْقَابِضُ عَلَى دِيْنِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
Akan tiba suatu masa pada manusia, orang yang memegangi ajaran agamanya, layaknya orang yang menggenggam bara api [HR. At-Tirmidzi. Hadits shahih. Lihat Shahîh al-Jâmi’ no.8002].
Hadits mulia ini memuat dua perkara: (1) berita dan (2) arahan.
Berita yang dimaksud adalah berita dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang menurunnya kebaikan dan faktor-faktor penyebabnya dan
semakin banyaknya keburukan dan faktor-faktor pendukungnya.
Pada masa itu, orang yang mutamassik (komitmen) dengan
ajaran Islam berjumlah sangat sedikit di tengah masyarakat. Dan jumlah
yang sedikit ini akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang berat,
layaknya orang yang memegangi bara api, lantaran begitu dahsyatnya
penolakan orang-orang yang menentang, banyaknya fitnah yang menyesatkan,
kerasnya terjangan syubhat-syubhat, menggilanya godaan-godaan syahwat,
gencarnya usaha pendangkalan aqidah dan kecenderungan manusia kepada
dunia serta beratnya hidup dalam kesendirian karena tidak ada yang
mendukung dan menolong.
Akan tetapi, orang yang komitmen kuat dengan agamanya dalam situasi
demikian, yang bertahan diri dengan menghadapi penentangan dan berbagai
rintangan, mereka adalah sebaik-baik manusia dan orang-orang yang
berderajat paling tinggi di sisi Allâh Azza wa Jalla. Mereka adalah
insan-insan yang berbashirah dan memiliki keyakinan kuat. Mereka adalah
orang-orang yang mempunyai keimanan yang teguh.
Sedangkan terkait kandungan kedua dari hadits di atas, yaitu arahan,
sesungguhnya hadits tersebut mengarahkan umat agar melatih diri untuk
menghadapi keadaan tersebut, menyadari bahwa keadaan tersebut pasti akan
terjadi dan orang yang menghadapi rintangan-rintangan tersebut dan
tetap bersabar di atas agama dan imannya mendapatkan kedudukan tinggi di
sisi Allâh Azza wa Jalla. Allâh Azza wa Jalla akan menolong dan
membantunya untuk melakukan apa yang Allâh cintai dan ridhai. Karena
sesungguhnya pertolongan akan datang sesuai dengan tingkat cobaan.
Melihat realita yang ada di masa sekarang, Syaikh as-Sa’di
rahimahullah mengatakan, “Betapa miripnya zaman kita dengan keadaan
yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [1]
Di masa sekarang, seseorang yang komitmen dengan ajaran Islam
dilabeli dengan label aliran sesat atau ajarannya keras, radikal, bahkan
disematkan label teroris juga. Dakwahnya dituduh sebagai biang
pemecah-belah umat. Terkadang harus mengalami pengusiran, menghadapi
demo masyarakat yang telah terhasut provokasi murahan.
BELAJAR DARI PENGALAMAN IMAM SYATHIBI RAHIMAHULLAH
Menengok sejarah hidup Ulama dalam menyikapi problematika dakwah dan
keteguhan di atas Sunnah sangat penting. Seseorang akan mendapatkan
pelajaran berharga dari kesabaran dan keteguhan Ulama saat mengamalkan
Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendakwahkannya dan
menghadapi tuduhan dan cibiran dari pihak lain. Ia akan berkesimpulan
bahwa harus bersabar dan bertahan di atas jalan istiqomah, tidak ada
pilihan lain.
Imam Syâthibi yang bernama asli Ibrâhîm bin Mûsâ al-Ghirnâthi
asy-Syâthibi salah satu sosok teladan yang pantas menjadi inspirasi
bagi umat Islam dalam masalah ini. Beliau seorang Ulama dari negeri
Granada yang dahulu masuk ke wilayah kekuasaan kaum Muslimin melalui
tangan Thâriq bin Ziyâd pada tahun 92 H. Lahir pada tahun 720 H dan
wafat tahun 790 H. Dalam kurun waktu 70 tahun tersebut, beliau habiskan
untuk thalabil ilmi, menyebarkan al-haq, menghidupkan Sunnah dan memadamkan bid’ah. Beliau t telah mewariskan kitab-kitab penting, di antaranya, al-I’tishâm dan al-Muwafaqât.
Dalam muqaddimah kitab al-I’tishâm, Imam Syathibi
rahimahullah mengisahkan tentang perjalanan hidupnya untuk dijadikan
inspirasi dan cermin agar orang selalu bertahan dan bersabar di atas
jalan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa perlu
mempedulikan omongan ahli bid’ah, “Allâh Azza wa Jalla telah memberikan
karunia kepadaku dan melapangkan dadaku untuk memahami makna-makna
syariah, sesuatu yang di luar dugaanku dan telah menghunjamkan pada
diriku bashirah bahwa Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya
tidak meninggalkan celah bagi orang untuk berbicara tentang jalan
hidayah dan tidak memberikan peluang yang berarti di luar al-Qur`ân dan
Sunnah untuk memperoleh hidayah, dan agama ini telah sempurna,
kebahagiaan puncak terakhir melalui jalan yang digariskan, jalan menuju
Allâh Azza wa Jalla dalam apa yang disyariatkan, selain itu hanyalah
kesesatan, dusta, bohong dan kerugian, dan orang yang memegangi keduanya
dengan dua tangannya telah berpegang teguh dengan tali yang kuat dan
memperoleh segala kebaikan dunia dan akhirat. Selain keduanya, hanyalah
impian-impian kosong, khayalan belaka dan bayangan-bayangan saja.
Dan telah tegak kebenaran hal tersebut bagiku dengan sebuah bukti
kebenaran yang tidak ada syubhat sedikit pun yang mengitarinya. Yaitu
firman Allâh Azza wa Jalla :
ذَٰلِكَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ
Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan
kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia itu tidak
mensyukuri(-Nya)” [Yûsuf/12:38]
Segala puji dan syukur bagi Allâh sebanyak-banyaknya.
Dari situ, aku kondisikan diriku untuk berjalan pada jalan hidayah
sesuai yang Allâh Azza wa Jalla mudahkan bagiku. Aku mulai dengan
pokok-pokok agama untuk aku amalkan dan yakini dan kemudian dengan
cabang-cabangnya yang berlandaskan pokok-pokok agama tersebut. Dalam
proses tersebut, menjadi jelas bagiku apa yang termasuk sunnah dan apa
yang termasuk bid’ah, sebagaimana menjadi jelas bagiku hal-hal yang
boleh dan tidak boleh. Hal tersebut aku timbang dengan ilmu tentang
pokok-pokok agama dan kaedah-kaedah fikih. Selanjutnya, aku tuntut
diriku untuk berjalan bersama Jamaah yang disebutkan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan istilah sawâdul a’zham tentang
karakter yang dipegangi oleh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para Sahabat Radhiyallahu anhum dan meninggalkan bid’ah yang telah
dinyatakan oleh Ulama sebagai bid’ah yang sesat dan amalan yang
dibuat-buat.
Pada saat-saat itu, aku masih ikut serta dalam aktifitas orang-orang
pada umumnya, dengan menyampaikan khutbah dan menjadi imam shalat dan
aktifitas keagamaan lainnya. Ketika aku ingin istiqomah di atas jalan
ini, aku dapati diriku tampak terasing di tengah manusia pada waktu itu,
lantaran jalan hidup mereka telah didominasi oleh adat-adat tertentu
dan endapan-endapan bid’ah telah mengintervensinya.
Pikiranku maju-mundur, antara mengikuti Sunnah dengan resiko
menyelisihi kebiasaan manusia, sehingga pasti akan muncul respon buruk
sebagaimana dahulu terjadi terhadap orang-orang yang tidak sejalan
dengan adat-istiadat, apalagi bila para pemegang adat-istiadat tersebut
mengklaim apa yang mereka lakukan adalah Sunnah, sementara yang lain
bukan, hanya saja, di balik kesulitan dan beban berat tersebut ada
pahala besar, ataukah aku harus mengikuti mereka, maka akibatnya aku
menyelisihi Sunnah dan generasi Salafus Shaleh, sehingga nantinya aku
masuk ke dalam rangkaian biografi orang-orang yang sesat – aku berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari hal itu –
, aku pun mengikuti budaya yang berlaku, dan dianggap sebagai orang
yang membaur dengan mereka, bukan orang yang menyelisihi mereka?!.
Namun, aku melihat bahwa adanya kesulitan akibat mengikuti Sunnah
adalah keselamatan, dan orang-orang tidak akan dapat menyelamatkan aku
sedikit pun dari siksa Allâh.
Maka, aku pun perlahan-lahan berjalan dalam prinsip itu dalam
sebagian urusan, sehingga akhirnya ‘Kiamat’ harus aku hadapi, celaan
datang kepadaku dengan bertubi-tubi, cercaan mengarah panahnya kepadaku,
dan aku pun dituduh berbuat bid’ah, sesat, dan aku pun dipandang orang
dungu dan bodoh.
Kadang-kadang mereka menjelek-jelekkan sudut pandangku dengan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati.
Aku pernah dituduh mengatakan doa itu tidak berguna dan tidak ada
manfaatnya sama sekali, karena aku tidak selalu berdoa secara
bersama-sama setelah shalat lima waktu ketika aku menjadi imam.
Terkadang aku dianggap beraliran keras dan berlebihan dalam
mempraktekkan agama, karena berpegangan dengan pendapat yang masyhur
dalam madzhab yang dipegangi. Sementara orang-orang menginginkan
pendapat yang mudah bagi penanya dan sesuai dengan keinginannya,
walaupun merupakan pendapat yang syaadz dalam madzhab yang dipegangi, apalagi para Imam tidak seperti itu.
Dalam kesempatan lain, tuduhan membenci para wali Allâh juga terarah
kepadaku. Sebabnya, aku tidak menyukai sebagian orang-orang fakir yang
berbuat bid’ah, dan tidak sejalan dengan sunnah, yang mengaku-aku dapat
memberi hidayah manusia. Aku katakan kepada orang-orang tentang keadaan
mereka ini yang mengaku sebagai orang-orang Sufi.
Aku juga tertuduh bertentangan dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah,
dikarenakan makna Jamaah yang harus diikuti menurut mereka adalah
kebiasaan yang dilakukan masyarakat pada umumnya, dan jamaah yang ada di
setiap masa, walaupun bertentangan dengan Salafus Shaleh. Mereka tidak
tahu bahwa maksud Jamaah adalah mengikuti apa yang dipegangi oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik.
Mereka telah berbohong tentang aku dalam semua tuduhan tersebut atau
hanya mengira-ngira saja. Dan segala puji bagi Allâh Azza wa Jalla dalam
setiap keadaan”.[2]
Itulah ungkapan yang mengindikasikan
keteguhan sang imam di atas Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan siap menghadapi resiko dari masyarakatnya Dan silahkan
perhatikan ungkapan hati Imam Syathibi di atas, betul-betul sangat
mirip dengan apa yang terjadi belakangan ini. Orang-orang dituduh
sesat, stigma-stigma buruk dilontarkan kepada mereka, tanpa ada alasan
dan kesalahan selain karena orang-orang tersebut sadar betapa
pentingnya hidup ber-Islam dengan petunjuk Sunnah dan kemauan kuat
mereka untuk menjalankannya. Itu saja!. Sekali lagi, seolah-oleh beliau
bicara tentang orang-orang yang komitmen dengan Sunnah yang mengalami
gangguan dari pihak lain sekarang ini.
Dan poin yang juga mesti dipetik dari nasehat beliau di atas adalah
lisannya tetap memuji Allâh Azza wa Jalla dan dikuatkan dengan
pernyataan beliau di bawah ini, “Setelah pengingkaran terhadapku
terjadi, karena hidayah yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadaku, wa lahul hamd,
aku tetap mencari-cari perkara-perkara bid’ah yang telah disinggung
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Beliau peringatkan umat darinya
serta menjelaskannya sebagai bid’ah dan keluar dari jalan yang lurus,
dan telah diisyaratkan oleh Ulama untuk mendeteksi dan mengenalkan
sebagian darinya, agar aku hindari sebisa mungkin. Dan aku mencari
sunnah-sunnah yang cahayanya hampir-hampir dipadamkan oleh
bid’ah-bid’ah. Semoga aku bisa menampakkannnya dengan mengamalkannya dan
aku pun kelak terhitung menjadi orang yang menghidupkannya pada Hari
Kiamat, sebab tidaklah ada suatu bid’ah kecuali lenyaplah sunnah sebagai
akibatnya”[3].
PETUNJUK SYAIKH AS-SA’DI RAHIMAHULLAH DALAM MENGHADAPI PENENTANG DAKWAH
Seorang Mukmin tidak putus asa saat berada dalam keadaaan demikian dari
rahmat Allâh Azza wa Jalla. Pandangannya tidak boleh hanya terpaku pada
faktor-faktor yang zhahir saja, akan tetapi hatinya harus kembali
kepada Allâh al-Karîmul Wahhâb yang akan mendatangkan kemudahan setelah kesulitan.
Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah telah menerangkan
langkah-langkah yang diambil seorang Mukmin yang menghadapi berbagai
rintangan dalam menjalankan Islam yang benar dan mendakwahkannya. Beliau
rahimahullah mengatakan, “Seorang Mukmin dalam kondisi-kondisi demikian
adalah orang yang senantiasa mengucapkan lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh, hasbunallâh wa ni’mal wakîl, ‘alallâhi tawakkalnâ (hanya kepada Allâh kami bertawakkal), Allâhumma lakal hamdu, wa ilaikal musytâ, wa antal musta’ân, wa bikal mustaghâts
(ya Allâh, bagi-Mu segala puji, dan kepada-Mulah disampaikan
keluh-kesah, Engkaulah tempat kami meminta pertolongan, dan bersama
Engkaulah segala bantuan), wa lâ haula wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil azhâm.
(Setelah itu) ia melakukan segala sesuatu yang mampu ia perbuat dalam
keimanan, menasehati dan berdakwah. Bila belum bisa melakukan perubahan
yang besar, perbaikan sekecil apapun ia syukuri. Demikian pula
(disyukuri) hilangnya sebagian keburukan atau berkurangnya tingkatan
keburukan, bila belum memungkinkan keburukan itu sirna semua.” [4]
Kemudian beliau rahimahullah mengutip firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
Barang siapa yang bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. [ath-Thalâq/65:2]
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Barang siapa yang bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupi (keperluan)nya. [ath-Thalâq/65:3]
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allâh, niscaya Allâh menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. [ath-Thalâq/65:4]
Semoga Allâh Azza wa Jalla memudahkan urusan para penyeru umat kepada
Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberikan hidayah kepada
umat Islam untuk mencintai Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan mengagungkan dan mengamalkannya. Amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XXI/1438H/2017M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079]
_______Footnote
[1] Bahjatu Qulûbi al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûnil Akhyâr fî Syarhi Jamâwi’ Akhbâr hlm. 213.
[2] Al-I’tishâm 1/13-22 dengan diringkas.
[3] Al- I’tishâm 1/24.
[4] Bahjatu Qulûbi al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûnil Akhyâr fî Syarhi Jamâwi’ Akhbâr hlm. 214.