KEKELIRUAN FATWA DALAM KASUS KONTEMPORER (NAWAZIL) [1]
Allah
Azza wa Jalla menutup dakwah para Rasul dengan dakwah Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah Azza wa Jalla memenangkan
risalah beliau hingga hari kiamat nanti. Allah Azza wa Jalla ciptakan
generasi Sahabat dan Tabi’in yang bertugas menegakkan hujjah kepada
manusia. Juga memerintahkan mereka untuk menjaga syariat Islam dan
bertafaqquh fiddîn (belajar ilmu agama). Allah Azza wa Jalla berfirman:
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitâb dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. [Ali Imrân/3:79]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ
كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ
Tidak
sepatutnya bagi Mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang) mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. [at-Taubah/9:122]
Dalam
ayat yang mulia ini Allah Azza wa Jalla membagi mereka menjadi dua
kelompok. Salah satunya diperintahkan untuk berjihad di jalan-Nya dan
yang lainnya diperintahkan menuntut ilmu agama. Hal ini agar kaum
Muslimin dapat merujuk dan bertanya kepada mereka dalam permasalahan
kontemporer (nawâzil) yang terjadi di kalangan kaum Muslimin,
sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui [an-Nahl/16:43]
SYARAT BERFATWA DALAM NAWAZIL
Tidak
dipungkiri lagi ijtihâd para Ulama dalam memberikan fatwa pada masalah
kontemporer (Nawâzil) sangat dibutuhkan umat ini. Apalagi permasalahan
kontemporer (Nawâzil) sangat banyak dan terus bermunculan . Namun
tentunya, yang bisa berbicara untuk memutuskan permasalahan ini
hanyalah para ulama yang memenuhi syarat, di antaranya:
1.
Seorang mujtahid (ahli ijtihad/memiliki kemampuan untuk berijtihad
–red), walaupun bukan mujtahid mutlak dan hanya bisa berijtihad dalam
sebagian bidang ilmu.
2. Harus memiliki gambaran jelas dan pemahaman yang benar terhadap permasalahan yang akan dijadikan sebagai obyek ijtihdnya.
3. Dalam menetapkan hukum, dia bersandar pada dalil syari yang mu’tabar (yang dibenarkan).
BEBERAPA KEKELIRUAN FATWA YANG SERING DITEMUI DALAM KASUS KONTEMPORER
Para
Ulama yang berfatwa dalam masalah Nawâzil terkadang keliru walaupun
secara kuantitas tiga syarat di atas sudah terpenuhi. Kekeliruan
tersebut bertingkat-tingkat, tidak sama, ada yang jelas dan ada yang
samar. Berikut ini beberapa kekeliruan yang samar dalam fatwa nawâzil:
1. Menetapkan
hukum pada suatu kasus yang terdiri dari beberapa permasalahan
berdasarkan hukum asal dari masing-masing permasalahan pembentuk kasus
tersebut tanpa melihat bagaimana hukumnya ketika maslah-masalah itu
digabung.
Sebagai contoh adalah jual beli murâbahah [2]. Jual beli yang tersusun dari tiga akad yaitu akad wâkalah (perwakilan), akad Muwâ’adah bisy-Syirâ’ (janji membeli) dan akad jual beli kredit. Ketiga akad ini sah dan dibenarkan. Berdasarkan hal ini maka jual beli murâbahah adalah akad yang shahîh.
Inilah
yang disampaikan orang yang mensahkan jual beli ini, tanpa menengok
kepada pengertian yang muncul apabila ketiga akad itu disatukan.
Sedangkan
Ulama yang melarangnya, berpendapat bahwa walaupun jual beli murâbahah
ini tersusun dari tiga akad tersebut, namun keadaan dan faktor
pendorong pengadaan dan penyebarannya menunjukkan hanyalah rekayasa
riba. Di mana penjual -yaitu bank pembiaya- ingin meminjamkan uang
kepada pembeli dengan profit (bunga). Demikian juga pembeli ingin
meminjam dari bank dengan bunga. Barang tersebut hanya dijadikan
rekayasa hingga berubah bentuk menjadi pinjaman dengan bunga yang
kemudian dinamakan jual beli murâbahah.
Contoh lainnya adalah fatwa sebagian Ulama tentang al-Ijârah al-Muntahiyah bit-tamlîk (finance leasing), ketika menyatakan sebagai adalah akad yang sah, karena tersusun dari ijârah (sewa menyewa), jual beli (Bai’) atau pemberian (Hibah).
Ijârah jelas disepakati kebolehannya. Kemudian apabila masa ijârah
(sewa-menyewa) selesai, maka pemilik barang memiliki kebebasan penuh
untuk menjual barangnya atau menghibahkannya kepada siapa yang ia sukai
atau tetap menahan barang itu sebagai miliknya. Tidak ada seorangpun
yang mampu mencegah pemilik barang beraktifitas dalam barang miliknya
dengan jual beli atau dihibahkan.
Bukan
maksud di sini memaparkan pendapat yang membolehkan atau yang melarang
dalam masalah ini atau lainnya. Tetapi hanya memberikan peringatan
tentang pentingnya mengkompromikan antara melihat kepada permasalahan
menyeluruh (an-Nazhar al-Kulli al-Ijmâli) dengan melihat permasalahan
secara rinci (an-nazhar al-Juz’i at-tafshîli) ketika hendak menetapkan
satu hukum pada sebuah nawazil. Juga hendak menjelaskan bahwa membatasi
hanya dengan salah satu sisi tinjauan saja dapat menjerumuskan pada
kesalahan.
Sudah
menjadi kewajiban seorang ulama ahli fikih untuk melihat dengan teliti
permasalahan dan akad transaksi kontemporer dan memahami hakekatnya
serta meninjau akibat yang ditimbulkannya.
2. Berkelit dari Realita.
Banyak
mufti yang apabila ditanya tentang masalah kontemporer, dia menjawab
dengan menerangkan hukum masalah tersebut dari sisi hukum asal,
kemudian menyampaikan syarat-syarat hukumnya. Padahal pada kenyataannya
syarat tersebut sangat sulit dilaksanakan.
Sebagai
contoh: sebagian mufti (ahli fatwa) ketika ditanya tentang hukum
financial leasing (al-Ijârah al-Muntahiyah bit-Tamlîk) menjawab bahwa
itu boleh. Tetapi penanya melanjutkan lagi bahwa mereka mengharuskan
asuransi. Maka sang mufti menjawab: kamu jangan setuju dengan
asuransinya; ambil saja mobilnya tanpa asuransi dan asuransinya tidak
mengikat.
Mufti
ini seharusnya memperjelas gambaran yang ada dalam praktek. Semua
financial leasing (ijârah al-muntahiyah bit-Tamlîk) dalam praktek
ternyata berisi asuransi.
Semestinya
ia menjelaskan, financial leasing dengan syarat mengikuti asuransi itu
boleh atau tidak? Kemudian setelah itu dia bisa memberikan penjelasan
tambahan bahwa financial leasing itu boleh dilakukan bila sudah
memenuhi beberapa syarat. Dilanjutkan dengan penjabaran syarat-syarat
tersebut, bila syarat-syarat tersebut dilanggar maka hukumnya begini
dan begitu.
Contoh
lain: seorang ditanya tentang hukum kompetisi sepak bola, lalu dia
menjawab bahwa pada asalnya hal itu diperbolehkan, kecuali bila
terdapat hal-hal yang dilarang syari’i.
Perhatikanlah
jawaban ini, tidak sesuai dengan pertanyaannya. Pertanyaan penanya
tersebut tidak lepas dari kenyataan yang terlihat di lapangan.
Kompetisi ini tidak lepas dari berbagai pelanggaran syari’at seperti
membuang-buang waktu, membuka aurat, kerusakan akhlak, menghabiskan
umur dan membuang-buang harta. Hal-hal ini jelas bertentangan dengan
maqâshid syari’at (tujuan syariat) dari banyak sisi.
Kemudian
juga, si penanya tidak menanyakan hukum asal. Seandainya si penanya
menanyakan hukum asal, maka si mufti seharusnya mengingatkan si penanya
tentang realita yang terjadi di lapangan setelah menjelaskan hukum
asalnya.
Kesimpulannya, seorang mufti sebaiknya tidak menjawab dengan cara di atas dan berusaha untuk memperhatikan dua perkara:
a.
Menjelaskan bentuk realitanya dan tidak lupa menjelaskan hukumnya;
karena tidak menjelaskan kenyataan atau berkelit darinya adalah
kekeliruan yang berbahaya.
b.
Menyampaikan hukum asal dengan penjelasan ketentuan dan syarat-syarat
yang mencakup kemungkinan bentuk-bentuk lain dari yang telah ada dan
akan ada.
Fatwa yang memenuhi dua hal ini akan menjadi lebih jelas dan baku.
3. Permasalahan istilah dan bahasa yang umum.
Merupakan
satu keniscayaan ketika hendak menetapkan hukum terhadap satu masalah
kontemporer untuk melihat hakekat permasalahannya, tidak silau dengan
nama-nama atau pun istilahnya. Karena hukum syara’ hanya berhubungan
dengan hakekat dan pengertian, bukan kepada lafadz dan susunan kata.
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa bermain dengan istilah-istilah agama
menjadi fenomena pada banyak transaksi-transaksi yang tidak benar
dewasa ini. Buktinya, bila melihat seluruh transaksi yang muncul dari
bank-bank syari’at atau konvensional, tidak akan ada pelayanan yang
menggunakan nama riba secara terang-terangan. Namun, apakah ini semua
menunjukkan seluruh transaksi tersebut bukan ribawi?
Perhatikanlah
pula pengorbanan dan keberanian yang dilakukan oleh sebagian kaum
muslimn Palestina yang lemah saat berhadapan dengan orang-orang Yahudi,
musuh kaum Muslimin. Sebagian mereka menamakannya ‘amaliyah istisyhadiyyah (usaha untuk mendapatkan mati syahid –re), sementara orang lain menamainya dengan ‘amaliyah intihariyyah (perbuatan bunuh diri –red). Padahal setiap penamaan memiliki makna tersendiri. Yang menjadi problem dalam pemberian nama yaitu ketika tidak peduli dengan makna dan kandungan nama itu.
Tidak logis, kalau kita menghukumi perbuatan diatas dengan hukum haram
sementara pada saat yang sama kita menamainya dengan ‘amaliyah
istisyhadiyyah. Sebaliknya, bagaimana bisa perbuatan itu dihukumi
sesuai dengan syari’at, sementara dia digelari ‘amaliyah intihariyyah.
Kaedah
baku dan standar dalam hal ini adalah sedapat mungkin menggunakan
nama-nama syar’i dalam penamaan seluruh perkara. Namun bila ada
permasalahan yang baru dan tidak ada nama yang syar’I untuknya, maka
wajib menamainya dengan nama yang dikenal secara bahasa, yang pas dan
yang menunjukkan hakekat permasalahan tersebut.
4. Tidak cermat dalam melihat perkembangan dan perubahan nawâzil.
Ini
termasuk kesalahan karena hakekat nawâzil terkadang mengalami sedikit
perubahan dan pergeseran. Perubahan ini terkadang merubah hakekat
nawâzil secara keseluruhan dari hakekat sebelumnya. Meski terjadi
perubahan, namun istilah nawazil tetap melekat pada keduanya, baik
sebelum ataupun setelah terjadi perubahan.
Memberikan fatwa hanya berdasarkan gambaran pertama dari suatu permasalahan pada suatu kejadian akan melahirkan tashawwur (gambaran) yang keliru dan kesalahan dalam memahaminya (miss understanding).
Kalau
demikian, orang yang ingin memahami kejadian tersebut secara sempurna,
sudah seharusnya terus meng-update informasi tentangnya. Khususnya pada
zaman ini, dimana perubahan itu begitu cepat terjadi.
Sudah
dimaklumi bahwa sebuah fatwa bisa berubah seiring dengan perubahan
waktu, tempat dan keadaan serta adat yang berlaku. Dari sini sudah
seharusnya seorang mufti memperhatikan waktu, tempat, kondisi dan
keadaan yang berhubungan dengannya, serta adat yang berlaku dalam
hukumnya terhadap satu permasalahan kontemporer.
Untuk
itu, kewajiban mufti dalam urusan kontemporer ini adalah menjelaskan
bentuk masalahnya dan hukumnya serta memberikan batasan hukum terhadap
masalahnya secara khusus, serta memperhatikan sumber hukumnya. Akan
lebih baik lagi bila diberikan tanggal keluarnya fatwa tersebut.
Sebagai
contoh dalam hal ini adalah sikap Syaikh Abdurrahmân bin Nashir
as-Sa’di rahimahullah dalam salah satu fatwanya. Beliau rahimahullah
menyampaikan bahwa sebagian Ulama terdahulu telah berfatwa bahwa
seorang wanita apabila meninggal dunia dalam keadaan mengandung bayi
yang masih hidup, maka dilarang membedah perutnya untuk mengeluarkan
bayinya. Karena ini termasuk al-mutslah (merusak jenazah/mayat).
Kemudian beliau rahimahullah memberikan komentar: “Namun
pada masa-masa terakhir ini, ilmu bedah telah berkembang pesat dan
akhirnya membedah perut atau sebagian anggota badan tidak lagi dianggap
al-mutslah. Mereka bisa melakukannya terhadap orang yang masih hidup
dengan keridhaan dan keinginan terhadap aneka ragam pengobatan.
Sehingga saya cenderung seandainya para ahli fikih terdahulu
menyaksikan keadaan ini tentu mereka akan memperbolehkan membedah perut
orang hamil, dengan sebab keberadaan bayinya masih hidup dan demi
mengeluarannya. Khususnya bila masa hamil sudah usai dan diketahui atau
besar kemungkinan bayinya akan bisa diselamatkan”.
Setelah menyampaikan kecenderungan beliau rahimahullah, syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan : “al-mutslah yang mereka jadikan sebagai alasan untuk melarang tindakan ini menunjukkan asumsi ini “[3]
5. Cenderung mempermudah dan meringankan fatwa, tanpa melihat kepada maqâshid syari’at.
Anggapan
mereka bahwa inilah yang paling sesuai dengan keadaan manusia di zaman
ini. Karena (kebanyakan –red) manusia saat ini tidak lagi berpegang
teguh dengan hukum-hukum agama dan sibuk dengan gemerlap kehidupan.
Untuk itu, harus dilakukan pendekatan agama kepada mereka yang berjiwa
lemah dan yang lainnya, supaya mereka bisa menerima dan mencari
hukum-hukum syara’. Ini upaya yang wajib dilakukan. Namun pendapat yang
memberikan kemudahan tersebut harus memiliki dasar yang kuat yang
menopangnya berupa nash atau qiyas atau pendapat imam ahli fikih yang
diikuti.
Di antara contohnya adalah fatwa sebagian Ulama yang membolehkan seorang wanita bepergian haji dengan teman-teman yang dipercaya tanpa mahram.[4]
6. Kecenderungan untuk memperberat dan melarang tanpa memperhatikan maqashid syari’at.
Dengan
asumsi ini lebi hati-hati dan cocok dengan keadaan sebagian kaum
Muslimin yang sering meremehkan dan tidak mau melaksanakan tugas-tugas
syari’at. Terkadang sikap meremehkan ini pada akhirnya bisa menyeret
seseorang meninggalkan aturan-aturan agama sama sekali.
Di antara contohnya adalah fatwa sebagian
Ulama yang menyatakan tidak boleh melempar jumrah di malam hari, juga
fatwa yang menyatakan bahwa bayi tabung hukumnya haram secara mutlak.
7. Berhujjah hanya dengan fatwa Jamâ`i dan menjadikannya tanpa merasa butuh dengan yang lain.
Yang
dimaksud dengan fatwa` Jamâ`i adalah semua fatwa dan ketetapan ataupun
penjelasan dikeluarkan oleh sebagian al-Majâmi’ (konferensi) dan lajnah
ilmiyah. Tetapi terkait dengan hal ini, ada beberapa point penting yang
perlu diperhatikan:
a. Fatwa yang bersumber dari banyak Ulama lebih pantas untuk diterima dibandingkan fatwa perorangan.
b.
Harus membedakan antara fatwa yang disampaikan mayoritas Ulama namun
masih ada Ulama yang menyelisihinya dengan masalah Ijmâ’. Juga harus
diketahui bahwa fatwa jama’i tidak sampai pada martabat ijmâ’ , baik
dalam peran sebagai hujjah dan kesepakatan.
c.
Kelemahan fatwa secara berjama`ah yaitu terkadang fatwa itu muncul
karena tekanan fihak tertentu dan biasanya tidak memiliki sarana
informasi yang memadai.
d.
Terkadang pendapat yang dikeluarkan konferensi (al-Majma’) adalah
pendapat minoritas, walaupun dikeluarkan dengan kesepakatan mereka
semuanya. Sebab tidak semua Ulama dunia bisa ikut serta dalam
konferensi tersebut.
e.
Di antara ide yang sering dilontarkan yaitu ide pembentukan perkumpulan
para Ulama dunia yang independen, tidak berada di bawah satu kekuatan
atau satu pemerintahan. Perkumpulan ini yang akan mempelajari dan
meneliti masalah-masalah kontemporer yang terjadi di tengah umat dengan
tanpa tekanan dari fihak manapun.
8. Berhujjah dengan fatwa perorangan, mengamalkannya serta pasrah kepadanya.
Yang dimaksud dengan fatwa perorangan (al-Iftâ` al-Fardi) adalah fatwa dan ketetapan yang keluar dari seorang Ulama.
Tetapi dalam hal in ada beberapa point penting yang perlu diperhatikan:
a. Fatwa perorangan adalah penyempurna dan sekaligus unsur pembentuk fatwa kelompok (al-Iftâ al-Jamâ’i).
b. Kebenaran terkadang ada pada satu individu bukan pada mayoritas. Ini adalah perkara yang sudah diakui oleh syara’ dan nyata.
c. Sebagian fatwa mufti tidak dianggap. Karena, terkenal suka meremehkan suatu permasalahan dan mengikuti hawa nafsu.
d.
Pendapat seorang mufti atau lebih, kadang tersiarkan dan tersebar luas
hingga orang menyangka ini adalah pendapat mayoritas, padahal
sebenarnya tidak demikian.
Demikian sebagian kekeliruan yang nampak dalam banyak fatwa kontemporer, semoga menjadi pencerahan bagi kita semua.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab Fikih Nawazil 1/68-77 karya Muhammad Husain al-Jizani oleh Ustadz Kholid Syamhudi
[2]. Lihat Rubrik Fikih Majalah As-Sunnah Edisi 03 Tahun XII
[3]. Fatwa as-Sa’diyah hlm 189-190
[4]. Fatwa ini nampaknya memberikan kemudahan pada manusia, padahal sebenarnya malah sebaliknya, jika kita melihat kepadatan jama’ah haji yang sangat beresiko menimbulkan berbagai bahaya bagi sebagian jama’ah haji bahkan bisa menyebabkan kematian. Khususnya bagi mereka yang lemah seperti jompo, orang sakit dan wanita. Dengan cara pandang ini, kalau ingin memberikan kemudahan bagi kaum wanita mestinya mereka dilarang berhaji tanpa ada mahram yang menjaga mereka.
Dengan kata lain, bukankah pelarangan wanita berhaji tanpa mahram akan mengakibatkan berkurangnya kepadatan dan memperkecil jumlah jama’ah haji?
[1]. Diangkat dari kitab Fikih Nawazil 1/68-77 karya Muhammad Husain al-Jizani oleh Ustadz Kholid Syamhudi
[2]. Lihat Rubrik Fikih Majalah As-Sunnah Edisi 03 Tahun XII
[3]. Fatwa as-Sa’diyah hlm 189-190
[4]. Fatwa ini nampaknya memberikan kemudahan pada manusia, padahal sebenarnya malah sebaliknya, jika kita melihat kepadatan jama’ah haji yang sangat beresiko menimbulkan berbagai bahaya bagi sebagian jama’ah haji bahkan bisa menyebabkan kematian. Khususnya bagi mereka yang lemah seperti jompo, orang sakit dan wanita. Dengan cara pandang ini, kalau ingin memberikan kemudahan bagi kaum wanita mestinya mereka dilarang berhaji tanpa ada mahram yang menjaga mereka.
Dengan kata lain, bukankah pelarangan wanita berhaji tanpa mahram akan mengakibatkan berkurangnya kepadatan dan memperkecil jumlah jama’ah haji?
Sumber: https://almanhaj.or.id/3462-kekeliruan-fatwa-dalam-kasus-kontemporer-nawazil.html