Definisi Taqlid
Kata taqliid (تَقْلِيْدٌُ) adalah mashdar dari qallada – yuqallidu (قَلَّدَ - يُقَلِّدُ). Secara bahasa, ia adalah bermakna :
وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقلادة
”Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkannya seperti kalung” [Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul oleh Ibnu ’Utsaimin hal. 49 – Maktabah Al-Misykah. Definisi yang serupa dikatakan pula oleh Asy-Syinqithi dalam Mudzakaratu Ushuulil-Fiqh hal. 305 – Cet. Multaqaa Ahlil-Hadiits].
قبول قول الغير من غير معرفة دليله
”Menerima satu perkataan tanpa mengetahui dalilnya” [Mudzakaratu Ushuulil-Fiqh hal. 306 – Cet. Multaqaa Ahlil-Hadiits].
اتباع من ليس قوله حجة
”Mengikuti orang yang perkataannya bukan hujjah” [Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul oleh Ibnu ’Utsaimin hal. 49 – Maktabah Al-Misykah].
العمل بقول الغير من غير حجة
”Satu perbuatan yang didasarkan oleh satu perkataan tanpa hujjah” [Irsyaadul-Fuhuul oleh Asy-Syaukani juz 2 hal. 51 – Maktabah Al-Misykah].
Al-Amidy mendefinisikan hal yang mirip dengan Asy-Syaukani [Ihkaamul-Ahkaam 4/220].
Apakah taqlid itu terpuji dalam ilmu ?
Al-Hafidh
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur : Jami’u
Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi juz 2 hal. 36-37 mengatakan :
العلم
عند العلماء المتكلمين في هذا المعنى هو ما استيقنته وتبينته وكل من استقن
شيئا وتبينه فقد علمه وعلى هذا من لم يستيقن الشيء وقال به تقليدا أفلم
يعلمه والتقليد عند جماعة العلماء غير الاتباع لأن الاتباع هو ان تتبع
القائل على ما بان لك من فضل قوله وصحة مذهبه والتقليد أن تقول بقوله وأنت
لا تعرفه ولا وجه القول ولا معناه
“Definisi
ilmu menurut ulama adalah : Sesuatu yang kamu perdalami dan kamu
pahami, dan setiap orang yang mendalami sesuatu dan memahaminya maka
sesungguhnya dia mengetahui. Atas dasar ini, maka orang yang tidak
mendalami sesuatu, lalu ia mengatakannya karena taqlid, maka dia tidak
mengetahuinya. Sedangkan taqlid menurut ulama adalah bukan ittiba’
(mengikuti). Sebab ittiba’ adalah bila kamu mengikuti orang yang
berpendapat tentang sesuatu yang telah kamu ketahui keshahihan
(kebenaran) pendapatnya. Sedangkan taqlid adalah bila kamu mengatakan
pendapat seseorang dan kamu tidak mengetahui arah dan arti pendapat
tersebut” [selesai].
Bahkan Ibnu Abdil-Barr menulis dalam
kitabnya tersebut satu bab khusus yang berjudul : Kerusakan Taqlid dan
Penafikannya; Serta Perbedaan Antara Taqlid dan Ittiba’ [باب فساد التقليد ونفيه والفرق بين التقليد والاتباع].
Pada bab tersebut beliau menukil perkataan salah seorang pembesar ulama
Malikiyyah yang bernama : Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bashri
Al-Maliki :
وقال
أبو عبد الله بن خويز منداد البصري المالكي التقليد معناه في الشرع الرجوع
إلى قول لا حجة لقائله عليه وذلك ممنوع منه في الشريعة والاتباع ما ثبت
عليه حجة وقال في موضع آخر من كتابه كل من ابتعت قوله من غير أن يجب عليك
قوله لدليل يوجب ذلك فأنت مقلده والتقليد في دين الله غير صحيح وكل من أوجب
عليك الدليل اتباع قوله فأنت متبعه والاتباع في الدين مسوغ والتقليد ممنوع
Dan
berkata Abu ‘Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bashri Al-Maliki : “Makna
taqlid dalam syari’at adalah merujuk suatu pendapat yang tidak memiliki
hujjah, dan yang demikian itu adalah dilarang dalam syari’at. Sedangkan
ittiba’ adalah (merujuk) pada satu pendapat yang disertai hujjah
(dalil)”. Dan beliau berkata di tempat yang lain : “Setiap orang yang
Engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mengharuskan hal itu,
maka Engkau adalah orang yang taqlid kepadanya. Sementara taqlid
tidaklah dibenarkan dalam agama Allah. Setiap orang yang Engkau ikuti
karena adanya dalil yang mengharuskan Engkau mengikuti pendapatnya, maka
Engkau dianggap ittiba’ (mengikutinya). Ittiba’ adalah hal yang
diperkenankan dalam agama sedangkan taqlid adalah hal yang dilarang”
[selesai – lihat Jami’u Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi 2/117].
Imam
As-Suyuthi berkata : “Sesungguhnya orang yang taqlid itu tidak
dinamakan orang yang berilmu” [Dinukil As-Sindi dalam hasyiyah-nya/
terhadap Sunan Ibni Majah 1/7 dan dia menetapkannya].
Bagaimana bisa seorang yang taqlid (muqallid) dinamakan sebagai orang yang berilmu padahal ia hanya mendasarkan perkataan dan perbuatannya hanya dengan konsep “ikut-ikutan” ? Hakekat seorang muqallid, tidaklah membangun amalnya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pengetahuan ijma’.
Beda dengan Ittiba'
Konsep
taqliid sangatlah berbeda dengan ittiba . Ittiba’ adalah mengikuti
satu pendapat dari seorang ulama dengan didasari pengetahuan dalil yang
dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah memberikan
penjelasan yang menukil dari perkataan Abu Dawud : “Aku mendengar Imam
Ahmad bin Hanbal menyatakan : Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa
yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya radliyallaahu ‘anhum” [selesai – lihat I’lamul-Muwaqqi’in 2/139].
Konsep ittiba’ inilah yang tercermin dari perkataan :
Al-Imam An-Nu'man bin Tsabit, Abu Hanifah :
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه
“Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami sebelum dia mengetahui dari mana kami mengambilnya” [Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 6/293].
Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i :
أجمع المسلمون على أن من استبان له سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يحل له أن يدعها لقول أحد
“Kaum
muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah mendapatkan
kejelasan baginya tentang Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena
pendapat seseorang” [Al-Fulani halaman 68].
Al-Imam Malik bin Anas :
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
“Aku
ini hanyalah manusia yang terkadang salah terkadang benar. Maka
perhatikanlah pendapatku, setiap pendapat yang sesuai dengan Kitabullah
dan Sunnah Nabi-Nya, maka ambillah. Dan yang tidak sesuai maka
tinggalkanlah” [Ibnu Abdil-Barr dalam Al-Jami’ 2/32].
Al-Imam Ahmad bin Hanbal :
لا تقلدني، ولا تقلد مالكاً ولا الشافعي ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا
“Jangan
engkau taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi’i,
Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri. Tetapi ambillah darimana mereka mengambil”
[Ibnul-Qayyim dalam I’lamul-Muwaqqi’in 2/302].
Sedikit
uraian di atas dapat memberikan kejelasan kepada kita bahwa taqlid itu
secara umum adalah perkara yang dicela dalam agama; dan ittiba’ adalah
perkara yang dipuji dalam agama.
Dalil yang menjadi hujjah bathilnya taqlid adalah firman Allah :
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ اتّبِعُوا مَآ أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتّبِعُ مَآ
أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَآءَنَآ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ
شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang
telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." "(Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?."[QS. Al-Baqarah : 170].
Mungkin
sebagian orang merasa bingung mengapa ayat tersebut dijadikan sebagai
dalil celaan terhadap taqlid padahal redaksinya memakai kata ittabi’uu (اتّبِعُوا) dan nattabi’ (نَتّبِعُ).
Maka hal ini dapat dijelaskan : Kata tabi’a (تَبِعَ)
mempunyai makna bahasa, yaitu : mengikuti. Dan konteks mengikuti dalam
ayat tersebut adalah mengikuti hal yang jelek dari perbuatan nenek
moyang mereka dimana mereka (kaum kafir ‘Arab) tidak mempunyai hujjah
tentang hal itu. Inilah yang disebut para ulama sebagai taqlid; yaitu
mengikuti sesuatu tanpa hujjah/dalil (walaupun secara redaksi ayat
menggunakan tabi’a). Ini adalah taqlid dalam pengertian istilah
sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Mari kita simak apa yang
dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya (Al-Jami’u li Ahkaamil-Qur’an – penjelasan QS. Al-Baqarah ayat 170) :
قال علماؤنا: وقوة ألفاظ هذه الآية تعطي إبطال التقليد
“Telah
berkata ulama-ulama kami bahwa kekuatan lafadh-lafadh yang terkandung
dalam ayat ini menandakan batalnya taqlid” [selesai].
Al-Imam Asy-Syaukani dalam Fathul-Qadir (penjelasan QS. Al-Baqarah ayat 170) berkata :
وفي هذه الآية من الذم للمقلدين والنداء بجهلهم الفاحش واعتقادهم الفاسد ما لا يقادر قدره
“Dalam
ayat tersebut terdapat celaan terhadap para muqallid (orang-orang yang
taqlid), dan menyerukan kejahilan dan aqidah mereka yang rusak, yang
tidak lagi mempunyai nilai” [selesai].
Kebalikan dari itu, di sisi lain Allah menggunakan kata tabi’a dalam makna positif dan terpuji. Allah berfirman :
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبّونَ اللّهَ فَاتّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رّحِيمٌ
Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [QS. Ali ‘Imran : 31].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat tersebut :
هذه
الاَية الكريمة حاكمة على كل من ادعى محبة الله وليس هو على الطريقة
المحمدية فإنه كاذب في دعواه في نفس الأمر حتى يتبع الشرع المحمدي, والدين
النبوي في جميع أقواله وأفعاله وأحواله
“Ayat
yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta
kepada Allah, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam. Karena orang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan
cintanya kepada Allah sampai dia ittiba’ kepada syari’at agama Nabi
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam segala ucapan dan tindak
tanduknya” [selesai].
Mengikuti Allah dan Rasul ekuivalen dengan
mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hal ini tentu berbeda dengan ayat
celaan terhadap taqlid (QS. Al-Baqarah : 170) dimana "mengikuti" dalam
ayat tersebut dalam konteks mengikuti kebiasaan nenek moyang. Nenek
moyang bukanlah hujjah. Di sinilah perbedaan dua sisi "mengikuti" -
antara taqlid dan ittiba'.
Abul-Jauzaa’ 1429
NB :
Ini adalah tambahan atau bahkan mungkin pengulangan dari apa yang
dijelaskan oleh Al-Ustadz Arif Fathul Ulum yang banyak ditulis kembali,
disitir, atau direpro oleh sebagian ikhwah di beberapa website, blog,
atau milis.
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2008/07/taqlid-dan-sedikit-penjelasan-tentang.html