Khotbah Jum’at di Masjid Nabawi, 10 Rabiul Awal 1438 H
Khotib : Syekh Abdul Bari Bin Awadh At-Tsubaiti
Penerjemah : Usman Hatim
Khotbah Pertama
Perubahan merupakan ciri khas kehidupan. Tidak ada yang permanen dalam hidup ini; ada sehat dan ada sakit; pasang dan surut, dihormati dan dihinakan, lapar dan kenyang, miskin dan kaya, menikah dan cerai, aman dan takut, sedih dan senang, termasuk fluktuatif ekonomi.
Perubahan semacam ini telah menjadi ketetapan Allah yang tidak terelakkan. Hal itu dapat kita baca dalam peristiwa sejarah sepanjang masa. Manakala kehidupan mengalami perubahan secara negatif, biasanya orang-orang yang berjiwa kerdil merasa sedih, tersakiti dan pesimis, lalu mereka kendur semangat dan bermalas-malas menjalani kehidupan dengan penuh{?:tanpa=dass} gairah.
Termasuk prinsip dasar akidah seorang muslim adalah beriman kepada ketetapan takdir, manisnya dan pahitnya, serta meyakini bahwa segala pengaturan urusan kehidupan adalah milik Allah, dan bahwa perubahan hidup merupakan hak prerogatif Allah, bukan kapasitas manusia.
Beriman terhadap ketentuan takdir merupakan motivator paling kuat untuk mengatasi bencana dan melanjutkan kerja dengan penuh semangat dan percaya diri dalam mencari rezeki, disamping mempertahankan hidup untuk memberi agar tidak mandek.
Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :
Khotib : Syekh Abdul Bari Bin Awadh At-Tsubaiti
Penerjemah : Usman Hatim
Khotbah Pertama
Perubahan merupakan ciri khas kehidupan. Tidak ada yang permanen dalam hidup ini; ada sehat dan ada sakit; pasang dan surut, dihormati dan dihinakan, lapar dan kenyang, miskin dan kaya, menikah dan cerai, aman dan takut, sedih dan senang, termasuk fluktuatif ekonomi.
Perubahan semacam ini telah menjadi ketetapan Allah yang tidak terelakkan. Hal itu dapat kita baca dalam peristiwa sejarah sepanjang masa. Manakala kehidupan mengalami perubahan secara negatif, biasanya orang-orang yang berjiwa kerdil merasa sedih, tersakiti dan pesimis, lalu mereka kendur semangat dan bermalas-malas menjalani kehidupan dengan penuh{?:tanpa=dass} gairah.
Termasuk prinsip dasar akidah seorang muslim adalah beriman kepada ketetapan takdir, manisnya dan pahitnya, serta meyakini bahwa segala pengaturan urusan kehidupan adalah milik Allah, dan bahwa perubahan hidup merupakan hak prerogatif Allah, bukan kapasitas manusia.
Beriman terhadap ketentuan takdir merupakan motivator paling kuat untuk mengatasi bencana dan melanjutkan kerja dengan penuh semangat dan percaya diri dalam mencari rezeki, disamping mempertahankan hidup untuk memberi agar tidak mandek.
Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :
"
وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ
بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ،
وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا
بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلَامُ وَجَفَّتْ
الصُّحُفُ “ رواه الترمذي بإسناد صَحِيح
“Ketahuilah sekiranya
seluruh umat manisia sepakat untuk memberi manfaat kepadamu, niscaya
mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali karena suatu hal yang telah
ditetapkan oleh Allah untukmu. Dan sekiranya seluruh umat manusia
bersepakat untuk memberikan madharat kepadamu, niscaya mereka tidak akan
bisa melakukannya kecuali karena sesuatu hal yang telah ditetapkan oleh
Allah atasmu. Pena takdir telah diangkat dan lembaran ketetapan telah
mengering”. HR Tirmizi dengan isnad shahih.
Pesan ini
merupakan penguatan jiwa seseorang untuk bergantung kepada Allah semata
dalam segala perikehidupan dan urusan akhiratnya. Maka hendaklah ia
hanya memohon kepada Allah, tidak mengharapkan kecuali anugerahNya. Maka
sebagaimana seseorang secara lisan hanya memohon kepada Allah, demikian
pula hatinya hendaklah tidak bergantung kecuali kepada Allah.
Dengan demikian tercapailah kejayaan dan kemuliaan. Sementara orang
yang bergantung kepada sesama makhluk hanya akan tertimpa kehinaan dan
kemerosotan.
Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :
"
مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ، فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ، لَمْ تُسَدَّ
فَاقَتُهُ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللَّهِ، أَوْشَكَ اللَّهُ لَهُ،
بِالْغِنَى، إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ، أَوْ غِنًى عَاجِلٍ " رواه أبو داود
والترمذي
“Barangsiapa yang tertimpa kemiskinan lalu mengadukannya
kepada sesama manusia, maka tidak akan teratasi kemiskinannya itu. Dan
barangsiapa yang mengadukannya kepada Allah, maka Allah mempercepatkan
kecukupan baginya; mungkin dengan kematian segera atau kekayaan segera”.
HR Abu Dawud dan Tirmizi.
Hendaklah seorang hamba berbaik
sangka kepada Tuhannya dengan meyakini bahwa ketentuan dan ketatapan
takdir Allah tentu didasarkan pada kebijaksanaan Allah yang mencerminkan
kesempurnaan keadilan dan kasih sayang-Nya; dimana Allah menjadikan
miskin bagi siapa yang dikehandaki-Nya dan menjadikan kaya bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Memuliakan orang yang dikehendakiNya dan
menghinakan orang yang dikehendakiNya pula.
Orang mukmin
selalu hidup dalam kepuasan hati apapun kondisinya. Jika seseorang telah
merasa puas terhadap dirinya dan ridha kepada Tuhannya, maka tenanglah
hidupnya hari ini yang sedang ia jalani. Jika keyakinannya kepada Allah
telah merasuk, maka tenteramlah hatinya untuk hari esok dan masa
depannya.
Iman (percaya) kepada ketentuan dan ketetapan
takdir Allah bukan berarti seseorang menyerah kepada realita yang ada,
lalu cenderung mengikuti rutinitas kehidupan dengan kepasrahan hati
karena frustrasi dan putus asa. Tetapi iman kepada ketentuan dan
ketetapan takdir justru mendorong seseorang untuk menolak takdir dengan
takdir pula, yaitu mengikuti prosedur yang benar dengan kesabaran dan
ketabahan serta berusaha merubah kondisi menjadi lebih baik.
Betapa banyak orang miskin yang kondisinya Allah balikkan menjadi kaya.
Betapa banyak orang yang dirundung kesedihan lalu Allah jadikan
keadaannya menjadi senang. Betapa banyak orang yang nestapa, lalu Allah
rubah menjadi ceria. Betapa banyak orang yang sakit yang kemudian Allah
selimuti dengan pakaian kesehatan lahir batin. Betapa banyak orang yang
terzalimi, akhirnya bisa menyaksikan di dunia ini pembalasan Allah
terhadap orang yang menzaliminya.
Manusia sering merasa
panik ketika menghadapi perubahan kondisi secara mendadak, kecuali
orang-orang yang menjalankan shalat dengan konsisten saja (yang tidak
panik). Firman Allah :
إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا ، إِذَا
مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا، وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا ، إِلا
الْمُصَلِّينَ [ المعارج / 19 -22 )
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir; Apabila ditimpa kesusahan berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat”. Qs Alma’arij : 19-22
Terkadang manusia lupa akan tugasnya merubah kondisi menjadi lebih baik,
lantaran dirinya sibuk menganalisis persoalannya, mengkaji apa yang ada
di balik peristiwa dan hidup dalam fatamorgana hayalan. Maka hilanglah
kesempatannya dan sia-sialah waktunya lantaran memperbincangkan hal-hal
yang tidak berguna bagi dirinya. Padahal Rasulullah –shallallahu alaihi
wa sallam- telah mengingatkan :
"احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ " رواه مسلم
“Fokuskan perhatianmu terhadap hal-hal yang bermanfaat bagi dirimu”. HR Muslim
Adapun menggerutu dan selalu mengeluh dan menilai zaman sudah rusak,
lalu membangkitkan semangat negatif di tengah masyarakat, sungguh
demikian itu mematikan aspirasi, mengendurkan kebulatan tekad dan
menghentikan laju pembangunan.
Orang mukmin dengan
pertimbangan akalnya yang jernih akan membiarkan perubahan berjalan;
Betapa banyak bencana yang di dalamnya tersimpan anugerah. Betapa banyak
cobaan yang kemudian memunculkan kenikmatan.
Orang mukmin
menyadari bahwa adanya perubahan dalam hidup ini merupakan nikmat agung
yang dapat membukakan pintu optimisme dan jendela harapan. Dalam
perubahan ada kesempatan meraih kesuksesan, peningkatan dan kemajuan.
Ketika bencana dan kesulitan telah memuncak, Rasulullah –shallallahu
alaihi wa sallam- memberikan kabar gembira yang menggelorakan harapan
dalam jiwa dengan ungkapan yang meyakinkan akan janji Allah dan
pertolongan-Nya.
فعَنْ عَدِيّ بنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ بَيْنَمَا أنا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ، فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ،
فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ، فَقَالَ: يَا عَدِيُّ! هَلْ رَأَيْتَ
الْحِيرَةَ؟ قُلْتُ: لَمْ أَرَهَـا، وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا. قَالَ:
فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَـاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ
الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ
اللهَ. قُلْتُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِي: فَأَيْنَ دُعَّارُ طَيِّئٍ
الَّذِينَ قَدْ سَعَّرُوا الْبِلاَدَ؟! وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ
لَتُفْتَحَنَّ كُنُوزُ كِسْرَى. قُلْتُ: كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ؟! قَالَ
كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ. وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَـاةٌ لَتَرَيَنَّ
الرَّجُلَ يُخْرِجُ مِلْءَ كَفِّهِ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ، يَطْلُبُ
مَنْ يَقْبَلُهُ مِنْهُ، فَلاَ يَجِدُ أَحَدًا يَقْبَلُهُ مِنْهُ " رواه
البخاري
”Ketika aku bersama Nabi -shallallahu alaihi wa sallam,
tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu dia mengadu kepadanya tentang
kemiskinannya, kemudian datang lagi yang lain, dan mengadu kepada beliau
tentang para pembegal jalanan. Selanjutnya beliau berkata, ‘Wahai Adi,
Apakah engkau melihat (kota) al-Hirah?’ ‘Aku belum melihatnya, sementara
aku telah mendapatkan berita tentang itu’ jawabku. Beliau bersabda,
‘Jika umurmu panjang, niscaya engkau akan melihat seorang wanita
melakukan perjalanan dari al-Hirah hingga dia melakukan thawaf di
sekeliling Ka’bah tanpa merasa takut kepada seorang pun kecuali kepada
Allah,’ aku pun bertanya di dalam hati, ‘kemanakah para pembegal dari
Thayyi’ yang telah membuat kekacauan di berbagai negeri itu?!’. (Sabda
Rasul), ‘Dan seandainya umurmu panjang, niscaya akan dibukakan harta
simpanan Kisra.’ Aku bertanya, ‘Kisra bin Hurmuz?!’ Beliau menjawab,
‘Kisra bin Hurmuz, dan seandainya umurmu panjang, niscaya engkau akan
melihat seorang laki-laki mengeluarkan emas atau perak sepenuh kedua
telapak tangannya, dia mencari orang yang akan menerimanya, lalu dia
sama sekali tidak mendapati seorang pun yang mau menerimanya”. HR
Bukhari.
Seorang muslim diperintahkan mengadakan perubahan pada
dirinya, perilakunya dan kehidupannya menjadi lebih baik; yaitu dengan
memilih jalan petunjuk kebaikan, mencegah perubahan-perubahan negatif
sebagai wujud peneladanan terhadap petunjuk Nabi –shallallahu alaihi wa
sallam-.
Beliau telah melakukan berbagai perubahan dalam kehidupan pribadinya dan kehidupan sahabat-sahabatnya, pada tataran ucapan dan perbuatan.
" سَمَّى حَرْبًا سَلْمًا، وَشَعْبَ
الضَّلَالَةِ، سَمَّاهُ شَعْبَ الْهُدَى، وَسَمَّى بَنِي مُغْوِيَةَ، بَنِي
رِشْدَةَ " رواه أبوداود بإسناد صحيح
“Beliau merubah istilah
“harb” (perang) menjadi “salm” (damai), “Syi’bah Dhalalah” (perkampungan
kesesatan) menjadi “Syi’bah alhuda” (perkampungan petunjuk). Beliau
menyebut suku “Bani Mughwiyah” (Anak keturunan penyesat) menjadi “Bani
Risydah” (Anak keturunan terbimbing). HR. Abu Dawud dengan isnad shahih.
Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- anti tempat-tempat yang namanya
mengerikan. Maka ketika datang ke Madinah yang kala itu terkenal dengan
nama “Yatsrib” (kehancuran), beliau pun merubahnya menjadi “Thibah”
(bersih dan harum) sekaligus mengganti seluruh paradigma yang keliru.
Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bertanya :
"
مَا تَعُدُّونَ الرَّقُوبَ فِيكُمْ قَالَ قُلْنَا الَّذِي لَا يُولَدُ
لَهُ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ بِالرَّقُوبِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ الَّذِي لَمْ
يُقَدِّمْ مِنْ وَلَدِهِ شَيْئًا قَالَ فَمَا تَعُدُّونَ الصُّرَعَةَ
فِيكُمْ قَالَ قُلْنَا الَّذِي لَا يَصْرَعُهُ الرِّجَالُ قَالَ لَيْسَ
بِذَلِكَ وَلَكِنَّهُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ " رواه
مسلم
“Menurut kalian, siapakah sebenarnya orang yang mandul di
antara kalian itu? (Perawi) berkata; Kami menjawab; Yaitu orang yang
tidak mempunyai anak. Rasulullah bersabda: Bukan itu yg dimaksud dengan
mandul. Tetapi ia adalah orang yg tidak dapat memberikan (nilai
kebaikan) apapun kepada anaknya.. Rasulullah bertanya lagi: Siapakah
orang yang kalian anggap paling kuat? (Perawi) berkata; Kami menjawab;
Yaitu orang yang tidak terkalahkan oleh orang lain. Rasulullah
menjelaskan: Bukan itu yang dimaksud, tetapi orang paling kuat adalah
orang yg dapat menguasai dirinya ketika sedang marah”. HR Muslim
Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :
"
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا
دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ
يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي
قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ
هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ
أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ"
رواه مسلم
“Apakah kalian tahu siapa orang yang bangkrut itu?”
Mereka menjawab, orang yang bangkrut adalah orang yang tidak mempunyai
uang dirham maupun kekayaan.” Nabi -shallallahu alaihi wa sallam-
menjelaskan : Orang yang bangkrut diantara umatku ialah orang yang
datang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa dan zakat, namun
(ketika di dunia) telah mencaci si A, menuduh si B, memakan harta si C,
menumpahkan darah si D dan memukul si E. Maka masing-masing mereka akan
diberi pahala dari amal kebaikan orang tersebut. Jika telah habis pahala
kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan dilimpahkan kepadanya, lalu ia
dilemparkan ke dalam neraka”.HR Muslim.
Terkadang seorang
muslim tertawan oleh kepuasan negatif yang mendominasi alam pikirannya,
sehingga merasa tidak berdaya lagi untuk merubah dirinya menjadi lebih
baik. Itu memang kendala sangat rumit, yang menyeret seseorang mundur
total ke belakang. Maka dia harus merubah haluan ke arah positif yang
demikian mantap dan tegap dalam hati dan pikiran bahwa hidup itu perlu
berusaha dan bahwa setiap problem pastilah ada solusinya, betapapun
besarnya problem itu.
Itulah sebabnya mengapa orang-orang
yang hebat mampu menciptakan perubahan dalam berbagai bidang kehidupan.
Mereka merubah sikap persengketaan dan permusuhan menjadi kasih sayang,
persaudaraan dan persahabatan. Mereka mampu membalikkan teman-teman
jahat menjadi sahabat setia. Mereka berhasil mengatasi tradisi-tradisi
buruk adat istiadat yang bertentangan dengan agama dan tidak sejalan
dengan orbitnya.
Langkah-langkah perubahan yang paling
mendasar dalam kehidupan manusia adalah merubah diri sendiri. Di sinilah
dimulainya proses perubahan kondisi umat yang sedang menghadapi segala
bentuk keterbelakangan, kemiskinan dan kemunduran. Selanjutnya
mempersenjatai diri mereka dengan ilmu yang merupakan pilar utama bagi
tegaknya peradaban dan kemajuan di setiap zaman. Firman Allah :
" إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ " [ الرعد/11]
“Sesungguhnya
Allah tidak merubah kondisi sesuatu kaum sehingga mereka merubah
kondisi yang ada pada diri mereka”.Qs Ar-Ra’d : 11
Termasuk konsekuensi perubahan ke arah yang lebih baik adalah berhati tulus. Firman Allah :
وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ [ فصلت/23]
“Dan
yang demikian itu adalah prasangka hatimu yang telah kamu sangkakan
kepada Tuhanmu, itulah yang membinasakan kamu, maka jadilah kamu
termasuk orang-orang yang merugi”.Qs Fushilat: 23
Disebutkan dalam hadis :
" أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي " رواه البخاري ومسلم
“Aku sesuai persangkaan hambaKu terhadapKu, dan Aku selalu bersamanya ketika ia mengingat Aku”. HR Bukhari dan Muslim.
==== 00 ====
Khotbah Kedua
Adalah merupakan aksioma bahwa Islam melarang segala perubahan ciptaan
manusia yang justru merusak kehidupannya, memperlemah agamanya dan
membinasakan ibadah ritualnya. Termasuk menyerang harta benda dan nyawa,
mengacaukan keamanan, memakan harta orang lain secara batil,
suap-menyuap, korupsi, menyebar-luaskan kekejian dan membangkitkan
kekacauan.
Seorang muslim secara apriori pastilah menolak perubahan yang mengarah pada kejahatan. Dia tidak ingin berkontribusi dengan perbuatan ataupun pernyataan dalam menciptakan perubahan yang justru berpotensi terhadap lenyapnya nikmat. Firman Allah:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ [ إبراهيم/28]
“Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan
kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?”. Qs Ibrahim :
28
Bagi kita ada teladan yang baik pada diri Rasulullah
–shallallahu alaihi wa sallam-. Beliau selalu mendekatkan diri kepada
Allah –subhanahu wa ta’ala- untuk memohon pertolonganNya dalam mengatasi
setiap perubahan yang mendatangkan keburukan dan bencana. Beliau
memohon perlindungan-Nya dari kemiskinan, kehinaan, perasaan minder,
ketidak-berdayaan, kemalasan, terlilit hutang, penguasaan oleh kaum
penindas dan penyakit yang ganas.
Beliau selalu memohon
kepada Allah kesehatan lahir dan batin di dunia dan akhirat, serta
memohonkan agar kaum muslimin dijauhkan dan diselamatkan dari malapetaka
dan bencana.
Kita tidak dapat lepas dari pertolongan Allah
dalam memantapkan hati kita sekejap matapun. Jika bukan karena Allah,
maka bergeserlah sudah atap dan pijakan dasar keimanan kita dari
posisinya. Firman Allah :
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ [ إبراهيم/ 27]
“Allah memantapkan (keimanan) orang-orang mukmin dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan dunia dan akhirat”. Qs Ibrahim: 27
=== Doa Penutup ===
from=https://firanda.com/index.php/artikel/khutbah-jum-at-masjid-nabawi-terjemahan/1122-perbaikan-diri