MENOLAK ALASAN BASI TENTANG BOLEHNYA MEMAKAI DASI
Ditulis oleh: Al-Akh Shubhan bin Abu Tholhah Al-Jawi
– semoga Alloh menjaga dan memaafkannya-
Darul Hadits Dammaj, pada hari Senin 19 Robi’uts-Tsani 1433
– semoga Alloh menjaga dan memaafkannya-
Darul Hadits Dammaj, pada hari Senin 19 Robi’uts-Tsani 1433
Editor:
Akhuhu Fillah Abu Fairuz Abdurrohman Al Jawiy
-semoga Alloh menjaga dan memaafkannya-
Akhuhu Fillah Abu Fairuz Abdurrohman Al Jawiy
-semoga Alloh menjaga dan memaafkannya-
Di awal pengepungan Rofidhoh –dammarohumulloh– terhadap Ahlussunnah di Dammaj pada tahun ini (1432 H), salah seorang ikhwan dari Malaysia menyodorkan kepadaku tentang jawaban Dzulqornain tentang bolehnya seseorang memakai dasi. Setelah saya membaca jawaban itu, maka dapat disimpulkan bahwa ia membolehkan seseorang memakai dasi dengan tiga alasan:
- Dasi itu bukanlah suatu bentuk ibadah khusus orang kafir.
- Hal ini sudah tersebar di kalangan kaum muslimin.
- Tidak ada pelanggaran syar’iy di dalamnya.
Semua alasan ini adalah alasan basi yang insya Alloh akan kita jawab satu persatu([1]) dengan memohon pertolongan Alloh semata.
Jawaban alasan pertama:
Ketahuilah, bahwasanya sesuatu dikatakan tasyabbuh itu tidaklah disyaratkan bahwa hal tersebut harus berupa bentuk ibadah khusus orang kafir, akan tetapi tasyabbuh
masuk juga dalam perbuatan, perkataan, pakaian dan hari raya mereka.
Alangkah banyaknya hal-hal yang dilarang dalam syariat dan hal tersebut
bukanlah ibadah khusus orang kafir, akan tetapi syariat memerintahkan
kita untuk menyelisihi orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rohimahulloh– berkata: “Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang kafir ada tiga macam:
- Disyariatkan dalam agama kita dan agama mereka.
- Awalnya disyariatkan dalam agama kita, kemudian dinaskh (dihapus hukumnya).
- Tidak disyariatkan sama sekali.
Dari tiga macam ini, adakalanya tasyabbuh itu dalam masalah
ibadah, adat-istiadat atau terkumpul di dalamnya dua perkara tersebut:
ibadah dan adat-istiadat, sehingga semuanya menjadi sembilan macam.”
Kemudian Syaikhul Islam –rohimahulloh– memberikan contoh
dari pembagian tersebut berupa perintah dari syariat untuk menyelisihi
mereka, sehingga seseorang tidak terjatuh ke dalam bentuk tasyabbuh.([2])
Alloh ta’ala berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا
انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيم﴾ [البقرة: 104]
Alloh ta’ala menyerukan kepada kaum mukminin: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian berkata: “Ro’ina,” (perhatikanlah kami) –sebagaimana itu adalah perkataan orang-orang kafir- akan
tetapi ucapkanlah: “Unzhurna” (perhatikanlah kami) dan dengarkanlah
oleh kalian!” Orang-orang kafir itu akan mendapatkan siksaan yang
pedih.”
Ibnu Katsir –rohimahulloh– berkata: “Di dalam ayat ini
terdapat pendalilan tentang larangan yang keras dan ancaman untuk
menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan, pakaian, hari
raya, ibadah dan semua perkara mereka yang tidak disyariatkan bagi
kita.”([3])
Pengertian tasyabbuh
Sebelum saya menyebutkan beberapa contoh bentuk tasyabbuh yang bukan dalam bentuk ibadah khusus orang kafir, maka saya sebutkan terlebih dahulu pengertian tasyabbuh yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh– dalam kitab beliau: Iqtidho’ Ash-Shirootil-Mustaqiim Fii Mukhoolafati Ashhaabil Jahiim (1/271). Beliau mengatakan:
والتشبه يعم من فعل الشيء لأجل أنهم فعلوه، وهو نادر، ومن تبع غيره
في فعل لغرض له في ذلك إذا كان أصل الفعل مأخوذا عن ذلك الغير. اهـ
“Tasyabbuh itu mencakup orang yang melakukan sesuatu hanya semata-mata dikarenakan kaum itu melakukannya dan ini adalah jarang terjadi.([4])
Juga siapa yang mengikuti orang lain dalam suatu perbuatan dengan suatu
tujuan, apabila asal perbuatan itu diambil dari orang lain tersebut.”
Syaikh Abu ‘Ammar Yasir Al-’Adeniy –hafidzohulloh– berkata dalam risalah: Hukmu Al-Ihtifaal bi Ro’si As-Sanah Al-Miladiy (hukum memperingati tahun baru masehi), hal. 24: “Tasyabbuh
secara istilah adalah menyerupai selain kaum muslimin dengan sesuatu
yang menjadi ciri khas mereka, sama saja apakah dalam masalah aqidah,
ibadah atau adat istiadat.”
Beberapa contoh bentuk larangan tasyabbuh terhadap orang-orang kafir yang bukan dalam ibadah khusus mereka
1. Larangan memakai pakaian mu’ashfar.([5])
عن عبد الله بن عمرو بن العاص -رضي الله عنه- قال: رأى رسول الله صلى الله عليه و سلم علي ثوبين معصفرين، فقال: «إن هذه من ثياب الكفار فلا تلبسها».
Dari ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-’Ash –rodhiyallohu ‘anhu– berkata: “Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam- melihatku memakai dua pakaian mu’ashfar, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang kafir, maka janganlah kamu memakainya.” (HR. Muslim: 2077)
عن عبد الله بن عمرو -رضي الله عنه- قال: رأى النبي صلى الله عليه و سلم علي ثوبين معصفرين، فقال: «أأمك أمرتك بهذا؟!» قلت: أغسلهما؟ قال: «بل أحرقهما!».
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash –rodhiyallohu ‘anhu- berkata: “Rosululloh melihatku memakai dua pakaian mu’ashfar, maka beliau bersabda: “Apakah ibumu yang menyuruhmu untuk memakainya?!” Lalu aku berkata: “Aku cuci baju ini, wahai Rasululloh?” Maka beliau menjawab: “Bahkan bakarlah saja!” (HR. Muslim: 2078)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rohimahulloh– mengatakan: “Ini adalah larangan untuk memakai pakaian orang kafir dari sisi warna, maka bagaimana kalau menyerupai pakaian mereka persis sekali dalam bentuk atau modelnya? Tentu larangannya akan lebih besar.”([6])
2. Perintah untuk menyemir uban dengan selain warna hitam.
عن أبي هريرة -رضي الله عنه-: أن النبي صلى الله عليه و سلم قال: «إن اليهود والنصارى لا يصبغون، فخالفوهم».
Dari Abu Huroiroh –rodhiyallohu ‘anhu-, beliau mengatakan bahwa Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashoro tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah mereka!” (HR. Bukhori dan Muslim)
عن جابر بن عبدالله -رضي الله عنه- قال: أتي بأبي قحافة يوم فتح مكة
ورأسه ولحيته كالثغامة بياضًا، فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «غيروا هذا بشيء واجتنبوا السواد».
Dari Jabir bin ‘Abdulloh –rodhiyallohu ‘anhu– berkata: “Telah didatangkan Abu Quhafah pada hari fathu Makkah. Rambut dan jenggotnya putih seperti tsaghomah.([7])” Maka Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Ubahlah warna uban ini dan jauhilah warna hitam.” (HR. Muslim: 2102) ([8])
3. Larangan memotong jenggot.
عن ابن عمر -رضي الله عنهما- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «خالفوا المشركين أحفوا الشوارب وأوفوا اللحى».
Dari Ibnu Umar –rodhiyallohu ‘anhuma– berkata Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Selisihilah orang-orang musyrikin; cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.”
عن أبي هريرة -رضي الله عنهما- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «جزوا الشوارب وأرخوا اللحى خالفوا المجوس».
Dari Abu Huroiroh –rodhiyallohu ‘anhu-, berkata Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot, selisihilah orang-orang Majusi.”
Tiga contoh di atas merupakan perintah dari Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam–
terhadap umatnya agar tidak menyerupai orang-orang kafir meskipun tiga
perkara tersebut bukanlah ibadah khusus orang kafir, tetapi hanyalah
dalam masalah pakaian, rambut, kumis dan jenggot. Akan tetapi, tatkala
kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nashoro tidak menyemir uban dan suka
memotong jenggot mereka, maka syariat memerintahkan untuk tidak
menyerupai mereka. Sebab seorang muslim sangatlah berbeda dengan orang
kafir walaupun hanya dalam penampilan. Syariat kita sangatlah
memperhatikan akan hal ini. Perkara ini tidaklah samar bagi seorang
penuntut ilmu.
Siapa yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ibadah khusus
mereka, maka hendaknya membawakan sepotong saja dari dalil atau bukti
yang menunjukkan akan perkataannya itu. Bahkan syariat melarang kita
untuk menyerupai orang-orang kafir walaupun hanya dalam bentuk
perkataan.
Alloh ta’ala berfirman:
«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ»
Dalam ayat ini, Alloh menyerukan kepada kaum mukminin: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengatakan (kepada Muhammad): “Roo’ina” -seperti perkataan orang-orang kafir itu-, tetapi katakanlah: “Unzhurna” dan dengarlah!” Bagi orang-orang yang kafir itu siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqoroh: 104)
Ibnu Katsir –rohimahulloh– berkata: “Alloh melarang
hamba-hambanya yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam
keadaan dan perbuatan mereka. Hal itu dikarenakan orang-orang Yahudi
mempergunakan kalimat-kalimat yang di dalamnya terdapat tauriyah([9]) terhadap apa yang mereka inginkan berupa ejekan –bagi merekalah laknat Alloh-. Apabila mereka ingin mengatakan: “Dengarkanlah kami,” mereka mengatakan: “Roo’inaa.” Mereka inginkan darinya “arru’unah” yang bermakna ketololan…
Tatkala terjadi kudeta terhadap pemerintah Yaman, semboyan para pemberontak yang terlontar kepada diri presiden adalah: “Irhal…Irhal…!” yang bermakna: “Pergilah… pergilah kamu,” sebagai bentuk pengusiran terhadap presiden Yaman waktu itu. Maka Syaikh Yahya –hafidhohulloh–
ditanya tentang hukum mengucapkan kalimat tersebut, maka beliau
menganjurkan untuk menjauhi perkataan itu walaupan kita tidak
memaksudkan apa yang mereka maksudkan, kemudian beliau menyebutkan
firman Alloh:
﴿وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا الله فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ﴾ [الحشر: 19]
“Janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh,
lalu Alloh menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah
orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)
Hal ini menunjukkan bahwa masalah tasyabbuh termasuk
permasalahan yang cukup luas dan berbahaya. Sengaja saya menyebutkan hal
ini untuk menunjukkan bagaimana semangat Syaikh Yahya –hafidhohulloh– dalam menasehati murid-murid beliau untuk menjauhi segala bentuk tasyabbuh, walaupun hanya dalam bentuk ucapan.
Dalam kesempatan lain, beliau juga ditanya oleh salah seorang
tentara Yaman yang hadir dalam majelis beliau tentang hukum memotong
jenggot bagi tentara, dengan alasan bahwa hal ini adalah perintah dari
atasan. Kalau kita tidak memotong jenggot kita, maka akan dikeluarkan
dari ketentaraan. Maka beliau pun menjawab akan terlarangnya hal
tersebut dengan menyebutkan dalil-dalilnya. Kemudian tentara itu
berkata: “Ya Syaikh, kalau begitu kita tidak punya pekerjaan?!” Syaikh
pun menjawab: “Kamu menuntut ilmu di sini -yakni di Dammaj-.”
Subhanalloh, lihat bagaimana Syaikh Yahya mendidik
orang-orang yang hadir dalam majelis beliau untuk berpegang teguh dengan
dalil dan tidak taat kepada atasan walaupun harus keluar dari
profesinya. Sebab seseorang tidak diperbolehkan untuk taat kepada
makhluk apabila terjatuh ke dalam maksiat terhadap Kholiq (Alloh ta’ala), sebagaimana sabda Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
«لا طاعة في معصية الله، إنما الطاعة في المعروف»
“Tidak ada ketaatan dalam rangka bermaksiat kepada Alloh. Sesungguhnya ketaatan itu dalam perkara kebaikan.” (HR. Bukhori, no. 7257 dan Muslim, no. 1840 dari ‘Ali -rodhiyallohu ‘anhu-)
Syaikh Yahya juga pernah mengatakan: “Ikatlah diri kalian dengan
dalil dan janganlah kalian mengikat diri kalian dengan individu.” Nas’alullohat-taufiq([11]).
Jawaban alasan yang kedua:
Alasan kedua ini dijawab oleh para ulama:
1. Syaikh Al-Albaniy –rohimahulloh-.
Pertanyaan: “Ya Syaikh, bagaimana pendapat Anda dengan fatwa yang mengatakan: “Tidak apa-apa memakai bantholun (celana pantalon) meskipun ia adalah pakaian orang kafir. Akan tetapi telah tersebar di kalangan kaum muslimin. Juga bantholun
bukanlah pakaian khusus orang-orang kafir dan sekarang telah menjadi
pakaian kaum muslimin, maka boleh memakainya dengan syarat tidak
membentuk aurat.”
Jawaban: “Orang yang memfatwakan hal ini ia hanyalah
mengetahui satu perkara saja dan tidak mengetahui beberapa perkara
lainnya… Maka di sini terdapat kesalahan yang tersembunyi dari dua sisi:
- Pertama, bantholun tidaklah dilupakan oleh orang-orang kafir dan menjadi pakaian khusus kaum muslimin. Masih ada pada kebanyakan negara Islam yang belum mengetahui bantholun. Setiap negara yang dekat dengan negeri-negeri kafir semakin banyak tersebar bantholun, dengan sebab cepatnya pergerakan musuh-musuh Islam… Maka celana bantholun sampai saat ini masih menjadi pakaian orang-orang kafir.
- Kedua, hal yang luput dari orang yang memfatwakan hal ini bahwasanya di dalam bantholun terdapat musykilah lain, yaitu membentuk aurot.”([12])
2. Syaikh Sholeh Al-Fauzan –hafidzohulloh-.
Beliau mengatakan: “Adapun jika seorang wanita memotong rambutnya dengan alasan tasyabbuh terhadap laki-laki, wanita-wanita kafir dan fasiqoh
(wanita-wanita fasik), maka tidak diragukan lagi keharomannya walaupun
hal itu banyak terjadi di kalangan kaum muslimah selama asalnya adalah
merupakan bentuk tasyabbuh, maka hukumnya adalah harom. Banyaknya hal ini terjadi di kalangan muslimah, tidaklah menjadikannya menjadi boleh. Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
«من تشبه بقوم فهو منهم»
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka.” ([13])
Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda:
«ليس منّا من تشبه بغيرنا»
“Bukan termasuk dari golongan kita orang-orang yang menyerupai selain kita.” (HR. Tirmidzi, no. 2695 dari ‘Abdulloh bin ‘Amr –rodhiyallohu ‘anhu– disebutkan dalam As-Shohihah, no. 2194).” ([14])
3. Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-’Abbad –hafidhohulloh-.
Beliau ditanya tentang syubhat ini, lalu beliau menjawab: “Yakni apabila telah tersebar, maka tidak benar untuk dikatakan tasyabbuh?!
Hal ini melazimkan semua kekhususan orang-orang kafir apabila telah
diikuti oleh kaum muslimin dan tersebar di kalangan mereka, maka hal itu
menjadi mubah! Ini adalah kesalahan yang sangat fatal!”([15])
4. Syaikh Robi’ bin Hadi Al-Madkholiy –hafidzohulloh–
Ketika beliau ditanya tentang hal ini, lalu beliau menjawab:
“Tersebarnya maksiat dan bid’ah tidaklah menjadikan sebab untuk
membolehkannya. Seandainya hal ini diterima, maka akan dibolehkan pula
potong jenggot dan yang semisalnya dari perbuatan maksiat dan bid’ah!” ([16])
Dari penjelasan para ulama di atas, sangat jelas bahwa tersebarnya
sesuatu di kalangan kaum muslimin tidaklah menjadikan hal itu boleh
hukumnya walaupun sebagian perkataan para ulama di atas bukan dalam
masalah dasi secara khusus, akan tetapi konteks ucapan mereka adalah
sedang membantah qo’idah (kaedah) tersebut secara umum. Yang
mengherankan, jika ada yang membolehkan memakai dasi hanya karena
anak-anak sekolah memakainya, maka siapa anak-anak sekolah itu?? Apakah
mereka seorang qudwah (teladan) yang patut untuk dicontoh perbuatannya?!
Ikhwaniy fillah, kalau kita mengikuti kemauan semua orang, maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Alloh. Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ الله﴾ [الأنعام: 116]
“Jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh.” (QS. Al-An’am: 116).
Yang lebih mengherankan lagi, apabila ada yang memasukkan perkara makan dan minum dalam permasalahan tasyabbuh, yang hal ini tidaklah masuk dalam masalah tasyabbuh, kecuali dalam bentuk sifat atau tata caranya, misalnya makan dengan tangan kiri. Maka hal ini terlarang karena tasyabbuh dengan syaithon. Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
«لا تأكلوا بالشمال، فإن الشيطان يأكل بالشمال»
“Janganlah kalian makan dengan tangan kiri, karena syaithon itu makan dengan tangan kiri.” (HR. Muslim, no. 2019 dari Jabir –rodhiyallohu ‘anhu-)
Hal yang masuk dalam tasyabbuh adalah tata cara makannya,
bukan makannya itu sendiri, sebab kita diciptakan sebagai makhluk yang
butuh terhadap makan dan minum. Jangankan orang kafir, bahkan kucing,
marmut dan siput pun juga makan dan minum!
Jawaban alasan ketiga.
Sebelum kita menjawab alasan ketiga, maka kita sebutkan terlebih dahulu ucapan ahlul ‘ilmi tentang dasi:
1. Kalam Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy –rohimahulloh-.
Beliau mengatakan dalam kitabnya “Tuhfatul Mujib” (hal. 291), tatkala berbicara tentang ‘Abdul Karim Zaidan: “Abdul Karim Zaidan adalah fuaisiq (seorang fasik yang hina), memotong jenggotnya, memakai bantholun
dan dasi… Saya ingin sekiranya dia duduk bersama orang Nashoro, maka
kamu tidak akan bisa membedakan yang mana orang Nashoro dan mana orang
muslim. Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
«من تشبه بقوم فهو منهم»
Terkadang mereka mendatangkan orang yang menyerupai musuh-musuh
Islam dan melihat bahwasanya petunjuk musuh Islam itu lebih baik.”
Beliau juga mengatakan dalam hal. 253: “‘Abdul Karim Zaidan itu memotong jenggotnya,memakai dasi dan bantholun. Kamu tidak bisa membedakan antara dia dan seorang nashroni.”
Kemudian Syaikh Muqbil –rohimahulloh– menimpali
ucapannya ini dengan perkataannya: “Saya telah diingkari lantaran
perkataan ini. Akan tetapi saya akan tetap mengatakannya meskipun kamu
tidak suka, wahai orang yang mengingkari! Saya tidak memaksudkan bahwa
dia itu Nashroni, akan tetapi yang aku maksud bahwa penampilannya seperti penampilan seorang nashroni.”
2. Kalam Syaikh Al-Albaniy –rohimahulloh-.
Syaikh –rohimahulloh– mengatakan dalam sebagian durus (pelajaran) beliau: “Perkara tasyabbuh
terhadap orang kafir telah menjadi perkara yang sangat gampang sekali.
Saya contohkan, misalnya borneta (topi berlidah). Kemudian kita turun
sejengkal, kita ambil sebuah ikatan (di leher) yang mereka namakan dengan karfattah (dasi).
Apa maksud dari hal ini, wahai pembaca? Tidak lain kecuali hanyalah
pakaian orang kafir yang dibawa oleh orang-orang kafir tatkala mereka
menguasai negara kita. Kemudian syaithon menghias-hiasi kita
dengan pakaian ini, kemudian kita meniru dan menyerupai mereka… Kemudian
dia juga merasa sempit sebagaimana seseorang merasa sempit dengan
memakai bantholun dan yang semisalnya. Kesimpulannya: hal ini tidaklah diinginkan darinya melainkan hanyalah tasyabbuh semata!”([17])
3. Kalam Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-’Abbad –hafidhohulloh-.
Pertanyaan: “Apakah memakai dasi termasuk tasyabbuh dengan orang kafir?”([18]) Jawab: “Tidak diragukan lagi bahwa memakainya termasuk tasyabbuh dengan orang-orang kafir. Syaikh Hammad menamakannya dengan belenggu yang ada di leher.”([19])
Ketika beliau –hafidzohulloh– ditanya tentang hukum memakai dasi, maka beliau menjawab: “Memakai dasi itu adalah suatu bentuk berlebih-lebihan dalam tasyabbuh terhadap orang orang kafir.” Penanya mengatakan: “Yakni harom?” Beliau menjawab: “Tidak diragukan lagi, memakainya adalah harom dan di dalamnya terdapat unsur berlebihan dalam tasyabbuh terhadap orang-orang kafir.”([20])
4. Kalam Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajuriy -hafidhohulloh-.
Beliau mengatakan: “Apa yang terjadi pada kaum muslimin berupa tasyabbuh dalam penampilan dzohir berupa memakai bantolun, dasi,
memotong jenggot, berusaha untuk berbicara dengan bahasa mereka… dan
selain dari itu yang tersebar di kalangan kaum muslimin bukanlah perkara
yang biasa. Tidak lain ia adalah peperangan yang menyeluruh terhadap
kaum muslimin, mencakup penyebaran keyakinan yang akan mencabut dari
kaum muslimin kecintaan mereka terhadap Islam, orang-orang Islam dan
syiar-syiarnya. Lalu menggantinya dengan kecintaan terhadap orang-orang
kafir, perbuatan-perbuatan dan keadaan mereka sedikit demi sedikit. Maka
hal ini tidaklah diragukan akan keharomannya.
Orang yang merenungi hadits Ibnu ‘Umar –rodhiyallohu ‘anhuma– bahwasanya Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
«من تشبه بقوم فهو منهم»،
maka akan melihat hal itu dengan jelas. Sehingga bagi kaum muslimin –waffaqohumulloh– agar berqona’ah dengan apa yang Alloh telah muliakan mereka dengannya berupa agama yang sangat agung ini dan merasa mulia dengannya, sebab kemuliaan seorang muslim itu sesuai dengan pemuliaan dan pengagungannya terhadap agama ini.
Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَلله الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ﴾ [المنافقون: 8]
“Padahal kemuliaan itu hanyalah milik Alloh, Rosul-Nya dan orang-orang mukmin.” (QS. Al-Munafiqun: 8) ([21])
Dari perkataan ahlul ‘ilmi di atas, maka sangat jelas bahwa memakai dasi merupakan suatu bentuk tasyabbuh
terhadap orang kafir. Maka tidaklah benar kalau dikatakan bahwa di
dalamnya tidak ada pelanggaran syariat. Bahkan pelanggaran syariatnya
adalah terjatuhnya dia ke dalam tasyabbuh itu sendiri, baik sengaja ataupun tidak, sebab perkara tasyabbuh itu tidak disyaratkan padanya adanya unsur kesengajaan untuk memaksudkan perbuatannya itu dalam rangka tasyabbuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh– berkata:([22])
“Telah lalu penjelasannya bahwa apa yang diperintahkan oleh Alloh dan
Rosul-Nya berupa penyelisihan terhadap orang kafir adalah sesuatu yang
disyariatkan, baik hal itu dimaksudkan oleh pelakunya atau tidak, karena kebanyakan kaum muslimin tidak memaksudkan perbuatan mereka untuk tasyabbuh.”([23])
Kemudian Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rohimahulloh– mengomentari
ucapan ini dengan perkataannya: “Ini adalah suatu permasalahan yang
perlu diperhatikan, karena sebagian orang apabila diingatkan tentang tasyabbuh, maka ia mengatakan: “Saya tidak memaksudkannya untuk tasyabbuh.” Unsur tasyabbuh itu telah terjadi, sama saja apakah kamu maksudkan atau tidak. Selama penyerupaan itu terjadi, maka tidak ada bedanya apakah dia meniatkannya untuk tasyabbuh atau tidak.” ([24])
Dengan memuji kepada Alloh, selesailah tulisan yang sederhana ini
sebagai bentuk jawaban dan penjelasan terhadap alasan basi yang
disebutkan oleh Dzulqornain. Mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk saya sendiri dan para pembaca.
Perlu diketahui bahwa tulisan saya ini bukanlah membahas masalah tasyabbuh secara
meluas, akan tetapi hanyalah menjelaskan secara singkat tiga alasan
yang disebutkan oleh sang ustadz tersebut yang membolehkan memakai dasi.
Bagi ikhwah yang ingin mengetahui secara meluas masalah tasyabbuh ini, maka bisa membaca sendiri beberapa kitab yang membahas masalah tersebut, di antaranya:
1. “Iqtidho’ Ashirothol Mustaqim Fi Mukholafati Ashhabil Jahim”, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh-. Kitab ini adalah kitab terbaik dalam pembahasan masalah tasyabbuh.
2. “Al-Idhoh wat Tabyin lima Waqo’a Al-Aktsarun min Musyabahatil Musyrikin”, karya Syaikh Hamud At-Tuwaijiriy –rohimahulloh– dengan taqdim dari Syaikh Ibnu Baaz –rohimahulloh-.
3. “Idzharul Adillah fi Hukmit-Tasyabbuh bil-Kuffar Al-Adzillah”, karya akhunalfadhil Abdurrohman bin Abdul Majid Asy-Syamiriy –hafidzohulloh– dengan taqdim (pengantar) Syaikhuna Yahya bin ‘Ali Al-Hajuriy –hafidzohulloh-.
Terakhir, saya selalu menasehatkan untuk diri saya dan ikhwan semua
untuk terus-menerus bersunguh-sungguh dalam menuntut ilmu sampai Alloh
mencabut nyawa kita dalam keadaan kita sebagai penuntut ilmu. Apalagi
kita berada di zaman yang sangat sedikit para penuntut ilmunya dan
sangat banyaknya para penuntut dunia. Apabila kita mengikuti keinginan
semua orang, maka kita tidak akan bisa menuntut ilmu. Alangkah indahnya
perkataan Syaikh Muqbil -rohimahulloh- dalam kitabnya “Al-Mushoro’ah”
(hal. 199). Beliau mengatakan: “Masyarakat kita tidaklah membantu kita
dalam kebaikan. Sekolah juga tidak membantu kita dalam kebaikan.
Keluarga juga tidak membantu dalam kebaikan. Seandainya kita mentaati
keluarga dan para kerabat kita, maka kita tidak akan bisa menuntut ilmu.
Hendaknya kamu tidak memperdulikan mereka dan terus maju menuntut
ilmu.”
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
نسأل الله تعالى أن يحفظ علينا ديننا وأن يتوفانا مسلمين
([1]) Catatan Editor وفقه الله: Saudara kita yang mulia Abu Abdil
Karim Subhan Al Jawiy حفظه الله meminta saya untuk membantu dalam muroja’ah
risalah penulis yang bagus ini, dalam bab saling menolong di jalan
Alloh. Saya berharap agar semua ikhwah tidak merasa keberatan dengan
kehadiran saya dalam risalah ini dan tidak menuduh bahwasanya sang
editor merasa bagaikan seorang syaikh yang memeriksa dan
memberikan pengantar seperlunya. Insya Alloh editor tidak merasa yang
demikian itu, hanya saja manakala editor mendapati sebagian orang
meremehkan sang penulis yang mulia ini, maka editor ingin sedikit
menjelaskan bahwasanya tulisan penulis cukup bagus dan merupakan nasihat
yang tepat. Cukuplah Alloh ta’ala sebagai saksi terhadap apa yang ada di dalam dada.
-tambahan editor ISNAD-
Berikut rekaman suara dan keterangan dari FATWA Dzulqornain tentang bolehnya memakai dasi untuk kaum muslimin (dia adalah Dzulqornain bin Muhammad Sunusi, asal Makassar. oleh sebagian pengikutnya si da’i kondang ini dielu-elukan sebagai ahlul fiqh-nya orang indonesia lantaran memiliki buanyak sekali kaidah-kaidah ushul fiqh yang keluar dari lisannya atau rekaman kajian di tasjilat-tasjilat komersilisasi dan seringnya mengadakan “dauroh-dauroh” fiqh bertaraf Nasional dengan membuat proposal-proposal tasawul menarik harta-harta kaum muslimin, dzulqornain pernah menjadi murid Syaikh Muqbil -rahimahulloh- sebagaimana si mubtadi’ – si pencela sunnah, ahlul hadits dan para ulama ahlussunnah dijamannya- yakni Luqman ba’abduh (bekas wakil panglima Lasykar Khowarij wal Jama’ah era Ja’far Umar Tholib )
Dzulqornain bin Muhammad Sunusi -hadahulloh-, ditanya pada 16 Rajab 1432H ” Bagaimana pendapatmu jika kita disuruh atasan untuk memakai dasi, apakah wajib untuk kita mentaatinya, dan benarkah bahwa berdasi itu (memakainya ;ed) bentuk menyerupai orang kafir ?“
Berkata Dzulqornain ” Ndak ya..dasi itu sudah biasa orang pakai dasi, dimana-mana orang pakai dasi, Anak sekolah pakai dasi (hadirin tertawa) semuanya orang pakai dasi, Mana menyerupai orang kafir ?? dia bukan bentuk ibadah khusus orang kafir..jelas yaa ?!! Gak semua orang yang dilakukan orang kafir dikatakan menyerupai orang kafir !! orang kafir makan minum..kita juga makan minum..(majelis tertawa) serupa kan ?? yang dikatakan menyerupakan orang kafir kalau merupakan ciri ibadah mereka, atau ciri khusus mereka, gak ada ditempat lain, nah itu baru menyerupai orang kafir, tapi kalau sudah tersebar ditengah kaum muslimin, itu dak menyerupai orang kafir namanya…sepanjang tidak ada pelanggaran syariat didalamnya.. dan memakai dasi itu bukan hal yang ….jelas yaa ?! baik, itu dari sisi hukum tasyabbuh nya.. saya sebutkan tadi -wallohu a’lam- dak ada bentuk tasyabbuh padanya.
-tambahan editor ISNAD-
Berikut rekaman suara dan keterangan dari FATWA Dzulqornain tentang bolehnya memakai dasi untuk kaum muslimin (dia adalah Dzulqornain bin Muhammad Sunusi, asal Makassar. oleh sebagian pengikutnya si da’i kondang ini dielu-elukan sebagai ahlul fiqh-nya orang indonesia lantaran memiliki buanyak sekali kaidah-kaidah ushul fiqh yang keluar dari lisannya atau rekaman kajian di tasjilat-tasjilat komersilisasi dan seringnya mengadakan “dauroh-dauroh” fiqh bertaraf Nasional dengan membuat proposal-proposal tasawul menarik harta-harta kaum muslimin, dzulqornain pernah menjadi murid Syaikh Muqbil -rahimahulloh- sebagaimana si mubtadi’ – si pencela sunnah, ahlul hadits dan para ulama ahlussunnah dijamannya- yakni Luqman ba’abduh (bekas wakil panglima Lasykar Khowarij wal Jama’ah era Ja’far Umar Tholib )
Dzulqornain bin Muhammad Sunusi -hadahulloh-, ditanya pada 16 Rajab 1432H ” Bagaimana pendapatmu jika kita disuruh atasan untuk memakai dasi, apakah wajib untuk kita mentaatinya, dan benarkah bahwa berdasi itu (memakainya ;ed) bentuk menyerupai orang kafir ?“
Berkata Dzulqornain ” Ndak ya..dasi itu sudah biasa orang pakai dasi, dimana-mana orang pakai dasi, Anak sekolah pakai dasi (hadirin tertawa) semuanya orang pakai dasi, Mana menyerupai orang kafir ?? dia bukan bentuk ibadah khusus orang kafir..jelas yaa ?!! Gak semua orang yang dilakukan orang kafir dikatakan menyerupai orang kafir !! orang kafir makan minum..kita juga makan minum..(majelis tertawa) serupa kan ?? yang dikatakan menyerupakan orang kafir kalau merupakan ciri ibadah mereka, atau ciri khusus mereka, gak ada ditempat lain, nah itu baru menyerupai orang kafir, tapi kalau sudah tersebar ditengah kaum muslimin, itu dak menyerupai orang kafir namanya…sepanjang tidak ada pelanggaran syariat didalamnya.. dan memakai dasi itu bukan hal yang ….jelas yaa ?! baik, itu dari sisi hukum tasyabbuh nya.. saya sebutkan tadi -wallohu a’lam- dak ada bentuk tasyabbuh padanya.
([2]) Iqtidho’ (1/473), cet. ‘Alamul Kutub.
([3]) Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, surat Al-Baqoroh ayat: 104.
([4]) Mungkin hal ini ketika di zamannya. Adapun di zaman kita
sekarang, alangkah banyaknya yang menyerupai orang-orang kafir, sehingga
mengakibatkan mereka terjatuh ke dalam bentuk tasyabbuh dan juga
karena mereka melihat bahwa perbuatan orang-orang kafir tersebut
sebagai bentuk kemajuan zaman. (komentar Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rohimahulloh- terhadap kitab Al-Iqtidho’, hal. 106, cet. Dar Ibnul Haitsam)
([5]) Pakaian mu’ashfar adalah pakaian yang dicelup dengan daun tumbuhan ‘ushfur. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rohimahulloh– menerangkan sebab dilarangnya hal itu -selain merupakan pakaian orang kafir- juga dikarenakan warnanya yang merah. (lihat Syarhul ‘Umdah, kitab Sholat, hal. 378, Fathul ‘Allam: 2/252-255, karya Syaikhuna Muhammad bin Hizam –hafidzohulloh-)
([6]) Ta’liqot Syaikh Ubnu Utsaimin terhadap kitab Al-Iqtidho’, hal. 167.
([7]) Abu ‘Ubaid berkata: “Tsaghomah adalah sejenis tumbuhan yang bunganya berwarna putih.” (Syarh Shohih Muslim, karya Imam An-Nawawiy)
([8]) Tambahan editor وفقه الله: Syaikhul Islam رحمه الله berkata:
وهذا اللفظ دل على الأمر بمخالفتهم والنهي عن مشابهتهم فإنه إذا نهى عن
التشبه بهم في بقاء بيض الشيب الذي ليس من فعلنا، فلأن ينهى عن إحداث
التشبه بهم أولى ، ولهذا كان هذا التشبه يكون محرمًا بخلاف الأول.
(“الاقتضاء” /1 / ص 303).
“Lafazh ini menunjukkan perintah untuk menyelisihi mereka dan larangan
untuk menyerupai mereka. Jika beliau melarang dari menyerupai mereka
dalam masalah: tetap adanya uban putih yang itu bukanlah dari perbuatan
kita, maka pastilah perbuatan untuk sengaja menyerupai mereka itu lebih
terlarang. Oleh karena itulah, maka sengaja menyerupai mereka itu
diharomkan, berbeda dengan yang pertama.” (“Iqtidho”/1/hal. 303).
([9])Tauriyah adalah memutlakkan suatu lafadz
yang dzohirnya mengandung suatu makna, tetapi yang diinginkan oleh si
pengucapnya adalah makna lain yang dikandung pula oleh lafadz tersebut,
tetapi berbeda dengan dzohirnya. (lihat Al-Mishbahul Munir fii Ghorib Asy-Syarhil-Kabir (2/656), karya Ahmad bin Muhammad Al-Fayumi –rohimahulloh-).
([10]) Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqoroh, ayat 104.
([11]) Tambahan editor وفقه الله: Berapa banyak orang yang
mengetahui dalil dan syari’ah, akan tetapi hatinya kurang tergerak untuk
tunduk pada Alloh dan mematuhi dalil dan syari’ah Alloh yang telah
diketahuinya itu! Maka permohonan untuk mendapatkan taufiq adalah do’a
yang besar. Makna taufiq adalah sebagaimana ucapan Al Imam Ibnul Qoyyim
رحمه الله:
والتوفيق: إرادة الله من نفسه أن يفعل بعبده ما يصلح به العبد بأن يجعله
قادرا على فعل ما يرضيه مريدا له محبا له مؤثرا له على غيره ويبغض إليه ما
يسخطه ويكرهه إليه. (“مدارج السالكين”/2 /46).
“Taufiq adalah keinginan Alloh dari diri-Nya agar berbuat pada hamba-Nya
perkara yang dengannya hamba tersebut menjadi baik, dengan cara
menjadikannya mampu melakukan apa yang membuat Alloh ridho, dia
menginginkannya, mencintainya, lebih mengutamakannya daripada yang lain
dan menjadikannya membenci terhadap perkara yang Alloh benci.”
(“Madarijus Salikin”/2/hal, 46).
([12]) Silsilatul Huda wan-Nuur, kaset no. 813, dinukil dari kitab Al-Qisthoos, hal. 302.
([13]) Tambahan editor وفقه الله: Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, no. 5232 (hadits hasan) dari Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma-.
([14]) Nashihah wa Fataawa Khoshshoh lil-Mar’ah, hal. 74.
([15]) Al-Qisthoos, hal. 309-310.
([16]) Al-Qisthoos, hal. 310.
([17]) Durus Syaikh Al-Albany (5/13), Maktabah Syamilah.
([18]) Durus Sunan Abi Dawud (16/201).
([19]) Isyarat terhadap firman Alloh ta’ala:
﴿إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلَالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُونَ﴾ [يس: 8]
“Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, sehingga mereka tertengadah.” (QS. Yasiin: 8).
([24]) Ta’liqot ‘ala Kitab Iqtidho’, hal. 226, cet. Dar Ibnul Haitsam.
from= https://kebenaranhanya1.wordpress.com/2017/02/13/hukum-memakai-dasi/