Islam Pedoman Hidup: Benarkah Nabi Sulaiman Alaihissallam Dan Nabi Musa Alaihissallam Memakai Jimat?

Selasa, 05 Juni 2018

Benarkah Nabi Sulaiman Alaihissallam Dan Nabi Musa Alaihissallam Memakai Jimat?



Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA

Alhamdulillâh wahdah wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh.

Barangkali pertanyaan di atas terasa begitu aneh, asing atau mungkin lucu di telinga sebagian besar pembaca, yang telah mendapatkan hidayah untuk mengenal akidah yang murni serta terdidik di atas ajarannya. Namun, lain halnya jika yang membaca adalah orang-orang yang ketergantungan terhadap benda mati (baca: jimat) dan mendarah daging dalam dirinya. Sampai-sampai ketika ada seseorang yang mencoba meluruskan keyakinan paganismenya itu, dia akan amat tersentak dan kaget dengan adanya pemahaman ‘baru’, yang 180 derajat bertolak belakang dengan apa yang diyakininya selama ini.

Sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar, bukan suatu hal yang aneh jika kita berhadapan dengan berbagai fenomena di atas. Seorang Muslim yang cerdas dan memiliki semangat juang tinggi untuk mendakwahkan kebenaran yang telah ia nikmati, tentunya selalu berusaha mempersiapkan dirinya untuk menghadapi berbagai jenis manusia yang amat heterogen latar belakang pemikiran dan tingkat pendidikannya.

Sebagai agama yang menjadikan penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla sebagai tujuan utamanya, tentu saja Islam tidak membenarkan ketergantungan seorang hamba kepada selain Allah Azza wa Jalla, apalagi kepada benda-benda mati seperti jimat. Namun, ternyata masih ada oknum-oknum kurang bertanggung jawab yang berusaha mencari dalih melegalkan praktek pemakaian jimat. Di antara syubhat yang mereka gunakan adalah kisah Nabi Sulaiman Alaihissallam dan cincinnya, juga kisah Nabi Musa Alaihissallam dan tongkatnya, serta kebatilan kesimpulan mereka dari keduanya.
Menurut anggapan mereka, cincin Nabi Sulaiman Alaihissallam dan tongkat Nabi Musa Alaihissallam, adalah benda mati yang diisi Allah Azza wa Jalla kekuatan, yang dimanfaatkan kedua Nabi itu. Menurut mereka, hal itu bukanlah perbuatan syirik, sebab benda-benda itu hanya media perantara. Begitu pula halnya jimat, hanya sekedar media perantara saja, berupa benda mati yang telah Allah Azza wa Jalla isi kekuatan. Berdasarkan analogi ini, penggunaannya tidaklah dianggap sebagai tindak kesyirikan.[1] 

Meskipun syubhat (keraguan) di atas sangat lemah, namun tidak sedikit kaum Muslimin yang termakan syubhat tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bagaimana kejahilan masih sangat menyelimuti mereka. Salah satu langkah terbaik untuk mengatasi fenomena menyedihkan itu adalah dengan upaya semaksimal mungkin menebarkan ilmu syar’i yang benar. Tulisan ini, diharapkan merupakan salah satu bentuk sumbangsih upaya tersebut.

Pembahasan tentang hal ini terbagi menjadi dua yaitu :

PEMBAHASAN KISAH NABI SULAIMAN ALAIHISSALLAM DENGAN CINCINNYA
Kisah aneh ini disebutkan dalam beberapa literatur tafsir, tatkala memasuki pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan fitnah (ujian) yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,

وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَىٰ كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ
Artinya: “Sungguh Kami telah menguji Sulaiman dan kami letakkan sebuah jasad di atas singgasananya. Kemudian dia bertaubat”. [Shâd/38:34]

Redaksi kisah tersebut cukup panjang, intinya: “Konon Nabi Sulaiman Alaihissallam menikahi seorang wanita yang sangat beliau cintai, namanya Jarâdah. Hanya saja ia menyembah berhala di rumah Nabi Sulaiman Alaihissallam, tanpa sepengetahuan beliau. 

Dikisahkan bahwa kekuatan Nabi Sulaiman Alaihissallam, baik yang berkenaan dengan kerajaan maupun kenabian beliau, terletak pada cincin yang ia pakai. Pada suatu hari ketika hendak memasuki kamar kecil, beliau menitipkan cincinnya kepada salah seorang istrinya; Amînah. Sebelum beliau menyelesaikan hajatnya, datanglah setan yang menyamar dalam bentuk Nabi Sulaiman Alaihissallam dan mengambil cincin tersebut lalu menduduki singgasana Nabi Sulaiman Alaihissallam. Sehingga Nabi Sulaiman Alaihissallam kehilangan kekuatannya, dan berubah bentuk, kemudian terusir dari kerajaannya. Si iblis berkuasa dan ‘menggagahi’ para istri Nabi Sulaiman Alaihissallam, sampaipun pada masa haidh mereka. Hingga akhirnya Nabi Sulaiman Alaihissallam menemukan cincinnya kembali, dalam perut seekor ikan yang dia dapatkan dari seorang nelayan tempat beliau bekerja, dst”.[2] 

Komentar Para Ulama Atas Kisah Tersebut:
 
Para pakar tafsir klasik dan kontemporer serta selain mereka, memvonis batilnya kisah tersebut seraya menyebutkan, kisah ini tidak lebih hanyalah isrâiliyyât (dongeng-dongeng yang dinukil dari bani Israil) yang batil.
 
Berikut statemen mereka [3] :
1. Ibnu Hazm rahimahullah (w. 456 H) menegaskan, “Ini semua khurafat kisah palsu dan dusta. Isnâdnya sama sekali tidak shahîh”.[4]
2. Al-Qâdhî ‘Iyâdh rahimahullah (w. 544 H) berkata, “Tidak shahîh”.[5]
3. Ibn al-Jauzî rahimahullah (w. 597 H) menyebutkan kisah di atas “tidak absah dan tidak disebutkan oleh orang yang terpercaya”[6].
4. Al-Qurthubî rahimahullah (w. 671 H) mengomentari pendapat orang yang menafsirkan “ujian” dengan kisah di atas, “Pendapat ini dilemahkan (para Ulama)”[7].
5. An-Nasafî rahimahullah (w. 710 H) menegaskan, “Ini termasuk kebatilan (yang dikarang) orang Yahudi”.[8]
6. Abu Hayyân rahimahullah (w. 745 H) bertutur, “Kisah ini tidak halal untuk dinukil dan termasuk karangan orang-orang Yahudi serta kaum zindiq”[9].
7. Ibn Katsîr rahimahullah (w. 774 H) menerangkan, “Ini termasuk isrâîliyyât [10], nampaknya ini termasuk kedustaan Bani Israil. Oleh karena itu di dalamnya banyak terdapat hal-hal munkar”[11].
8. Al-Îjî rahimahullah (w. 894 H) menjelaskan, “Ketahuilah, tidak ada satupun hadits shahîh yang menyebutkan perincian kisah tersebut. Adapun apa yang dinukil dari salaf, kemungkinan besar termasuk isrâîliyyât”.[12]
9. Al-Alûsî Abu ats-Tsanâ rahimahullah (w. 1270 H) berkata, “Allahu akbar! Ini kedustaan yang besar dan perkara yang serius. Keabsahan penisbatan cerita ini kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu tidak kita terima”[13].

Dan masih banyak komentar lain yang senada [14], sengaja tidak kami nukil semua; khawatir berdampak pada terlalu panjangnya tulisan ini.

Adapun pernyataan sebagian Ulama yang menyebutkan bahwa sanad (jalur periwayatan) kisah tersebut hingga Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu kuat, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsîr rahimahullah[15] , Ibnu Hajar al-‘Asqalânî rahimahullah [16] dan as-Suyûthî rahimahullah [17] ; hal tersebut tidaklah menafikan kebatilan kisah ini. Sebab andaikan sanad tersebut memang shahîh sampai ke Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau hanyalah menukil kisah batil tersebut dari Ahlul Kitab yang masuk Islam [18]. Jadi kisah tersebut tidak diambil Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buktinya pada kesempatan lain, Ibnu Katsîr rahimahullah dan as-Suyûthî rahimahullah menegaskan bahwa kisah tersebut termasuk khurafat isrâîliyyât.[19] 

Bedakan antara keabsahan penisbatan kisah tersebut kepada seseorang dengan kebatilan kisah itu sendiri. Perbedaan ini bisa kita analogikan dengan pemikiran-pemikiran sesat yang bermunculan di zaman ini. Penisbatan pemikiran tersebut kepada para kreatornya memang absah, tapi pemikiran itu sendiri sesat dan batil.[20] 

Kebatilan-Kebatilan Yang Terkandung Dalam Kisah Tersebut.

Selain kisah tersebut diragukan keabsahan sanadnya, alur ceritanya juga mengandung kebatilan-kebatilan yang berkonsekuensi menodai kesucian kenabian dan keyakinan-keyakinan batil lainnya:
1. Penyamaran setan dalam bentuk Nabiyullâh.
2. Setan berhasil ‘menggagahi’ para istri Nabiyullâh, bahkan di saat mereka haidh!
3. Kekuatan dan kenabian Sulaiman Alaihissallam tergantung pada cincin yang ia pakai dan bersumber darinya. Akan abadi jika cincin itu ada dan akan musnah jika cincin tersebut hilang.
4.Perubahan bentuk Nabi Sulaiman Alaihissallam .
5.Adanya penyembahan terhadap berhala di dalam rumah Nabiyullâh[21]. 

Tafsir Yang Benar Untuk Ayat 34 Dari Surat Shâd Di Atas.

Jika kita telah mengetahui bahwa kisah Nabi Sulaiman Alaihissallam dengan cincinnya batil, maka kisah tersebut tidak layak untuk dijadikan sebagai tafsir dari ayat al-Qur’ân. Namun timbul pertanyaan, “Tafsir seperti apakah yang benar dari ayat tersebut?”.
 
Para Ulama pakar[22] menyebutkan, tafsir yang paling pas untuk “ujian” yang disebut ayat tersebut di atas, adalah hadits shahîh yang diriwayatkan oleh Bukhâri dan Muslim:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ سُلَيْمَانُ: َلأََطُوْفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى تِسْعِينَ امْرَأَةً كُلُّهُنَّ تَأْتِي بِفَارِسٍ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ: قُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَمْ يَقُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَطَافَ عَلَيْهِنَّ جَمِيعًا فَلَمْ يَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلاَّ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ جَاءَتْ بِشِقِّ رَجُلٍ، وَايْمُ الَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Pada suatu hari) Nabi Sulaiman Alaihissallam berkata, “Malam ini aku akan berhubungan badan dengan sembilan puluh istriku. Masing-masing (pasti) akan melahirkan lelaki penunggang kuda yang kelak berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla. Malaikat berkata padanya, “Katakan insyaAllah!”. Tetapi Nabi Sulaiman tidak mengucapkan insyaAllah. Lalu beliau berhubungan badan dengan seluruh istrinya tersebut, namun tidak seorangpun dari mereka yang mengandung, kecuali hanya satu. Itupun tatkala bersalin, melahirkan bayi hanya setengah badan [HR. Bukhâri dan Muslim]

Demi Allah, andaikan Nabi Sulaiman Alaihissallam mengucapkan insyaAllah; niscaya (akan lahir sembilan puluh anak laki-laki) seluruhnya menjadi penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah”[23]. 

Kesimpulannya: kisah yang menyebutkan bahwa ‘kesaktian’ Nabi Sulaiman Alaihissallam bersumber dari cincin yang ia pakai, tidak bisa dipertanggungjawabkan, baik dari sisi sanad maupun alur ceritanya. Sehingga otomatis, tidak bisa dijadikan dalih untuk melegalisasi praktek pemakaian jimat.

STUDI KRITIS KISAH NABI MUSA ALAIHISSALLAM DENGAN TONGKATNYA
 
Jika pada studi kritis kisah Nabi Sulaimân Alaihissallam dan cincinnya, pembahasannya lebih banyak menitikberatkan pada keabsahan kisah tersebut; maka studi kritis kisah Nabi Mûsa Alaihissallam dan tongkatnya, tidak menempuh metode serupa. Sebab kisah tersebut sudah tidak diragukan lagi keabsahannya. Berhubung nash kisah penggunaan tongkat Nabi Mûsa Alaihissallam telah disebutkan dalam al-Qur’ân.

Pembahasan kita kali ini akan cenderung mengkritisi sisi istidlâl (penarikan kesimpulan) dari kisah tersebut, yang digunakan para pendukung pemakaian jimat. Hal itu bisa diuraikan sebagai berikut : 

Analogi Mereka Yang Keliru.

Perlu diketahui bahwa Nabi Mûsa Alaihissallam memakai tongkatnya tersebut, berdasarkan perintah dan wahyu dari Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana jelas disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla :
 
فَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ ۖ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
Artinya: “Lalu Kami wahyukan kepada Mûsa, “Pukullah laut itu dengan tongkatmu!”. Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar”. [asy-Syu’arâ/26:63]

Juga dalam firman-firman Allah Azza wa Jalla lainnya.

Yang menjadi pertanyaan: “Apakah para penjaja jimat itu mengatakan, bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk memakai jimat, sebagaimana Allah Azza wa Jalla memerintahkan Nabi Mûsa Alaihissallam untuk memakai tongkatnya? ”

Jika mereka menjawab, “Ya” ; berarti mereka telah mendustakan dalil-dalil syar’i yang begitu gamblang melarang pemakaian jimat.
Sebaliknya, jika mereka mengatakan, “Tidak”; maka analogi mereka tentang pemakaian jimat dengan pemakaian tongkat Nabi Mûsa, dikategorikan sebagai analogi keliru; karena kondisi keduanya berbeda.
Silahkan memilih salah satu dari dua jawaban di atas, kedua-duanya tidak lain hanyalah bagaikan memakan buah simalakama.

Dari Manakah ‘Kesaktian’ Jimat Bersumber?
 
Klaim mereka bahwa kekuatan yang ada dalam jimat bersumber dari Allah Azza wa Jalla; sehingga tidak masalah memanfaatkan kekuatan tersebut, adalah klaim yang murni berisi kedustaan atas Allah Azza wa Jalla. Karena jimat-jimat tersebut benda mati yang sama sekali tidak memiliki kekuatan. ‘Kesaktian’ yang mereka klaim dimiliki oleh jimat tersebut hanyalah ilusi dan khayalan yang mereka yakini.

Andaikata jimat tersebut memang memiliki kekuatan, maka kekuatan itu bukanlah dari Allah Azza wa Jalla, tetapi dari para setan yang disembah oleh pembuat jimat tersebut, sebagai bentuk timbal balik atas peribadatan mereka terhadap setan-setan itu.

Pernyataan bahwa kekuatan dan tenaga yang ada dalam jimat tersebut bersumber dari Allah Azza wa Jalla, adalah pernyataan yang keliru, kecuali jika dipandang dari sisi takdir Allah Azza wa Jalla, bukan dari sisi syar’i. Sebab Allah Azza wa Jalla melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah melarang pemakaian jimat. Sehingga dipandang dari sisi syariat, dia dibenci, namun secara takdir, terkadang bisa saja terjadi.

Bukankah Allah Azza wa Jalla telah melarang para hamba-Nya untuk melakukan tindak sihir dalam banyak ayat?[24] Namun meskipun demikian, Allah Azza wa Jalla menghendaki kejahatan sihir tersebut menimpa hamba-Nya yang paling mulia; yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, [25] sebagai hikmah yang dikehendakinya!?
Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak untuk menakdirkan terjadinya sesuatu, maka pasti hal itu akan terjadi. Namun kehendak Allah Azza wa Jalla tersebut, tidak serta merta menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla mencintai dan meridhai sesuatu yang terjadi itu. Inilah keyakinan yang dianut Ahlus Sunnah dalam memahami takdir [26]. 

Keyakinan ini dibangun di atas banyak dalil syar’i. Antara lain, firman Allah Azza wa Jalla :
مَنْ يَشَإِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah (dalam kesesatan); niscaya akan disesatkan-Nya. Dan barangsiapa dikehendaki Allah (untuk diberi petunjuk); niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus”. [al-An’âm/6:39]

Dan firman-Nya:

وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Artinya: “Dan Allah tidak mencintai kerusakan”. [al-Baqarah/2:205]

Ayat pertama menunjukkan bahwa apa yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Adapun ayat kedua menunjukkan adanya berbagai hal yang dibenci Allah Azza wa Jalla, tidak Dia cintai dan ridhai. Hal ini membuktikan adanya perbedaan antara kehendak dengan kecintaan dan keridhaan.[27] 

Hubungan prinsip ini dengan klaim mereka bahwa kekuatan yang ada dalam jimat bersumber dari Allah Azza wa Jalla, adalah bahwa andaikan jimat tersebut memang mempunyai kekuatan yang bersumber dari Allah Azza wa Jalla, maka semua itu tidak menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla meridhai dan mencintai pemakaian jimat. Karena terkadang Allah Azza wa Jalla menakdirkan terjadinya sesuatu yang sebenarnya tidak ia cintai. Dan hal ini salah satu contoh nyatanya.

Argumentasi Mereka Termasuk Tindak Melawan Dalil Dengan Rasio.
 
Dalih para pemakai jimat tersebut, bisa dikategorikan dalam tindak melawan dalil syar’i dengan argumen akal belaka. Sebab dalil-dalil dari al-Qur’ân dan Sunnah telah begitu gamblang menjelaskan haramnya pemakaian jimat, bahkan sebagiannya memvonis syirik perbuatan tersebut. Alangkah naifnya jika dalil-dalil shahîh tersebut dilawan dengan argumen akal-akalan!
 
Sebegitu banyaknya hadits yang melarang pemakaian jimat dan beraneka ragam metode Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam penyampaiannya, sampai-sampai hadits-hadits tersebut bisa diklasifikasikan menjadi beberapa macam[28]:

Jenis pertama: Hadits-hadits yang menyebutkan vonis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan tersebut sebagai tindak kesyirikan.
Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa menggantungkan jimat; berarti berbuat syirik”[29]. 

Jenis kedua: Hadits-hadits yang menyebutkan pemberitahuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihwal terputusnya pertolongan Allah Azza wa Jalla dan perhatian-Nya dari pemakai jimat.
Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
Barangsiapa menggantungkan sesuatu; dijadikan ketergantungannya ada padanya”.[30]
As-Suyûthî menjabarkan hadits di atas, “Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “dijadikan ketergantungannya ada padanya” merupakan kiasan akan tidak adanya pertolongan Allah Azza wa Jalla bagi orang tersebut”[31]. 

Jenis ketiga: Hadits-hadits yang menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keburukan bagi orang yang memakai jimat.
Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ، وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barang siapa menggantungkan jimat, semoga Allah tidak menjadikan ia mencapai apa yang diinginkan. Dan barang siapa menggantungkan wada’ah (salah satu jenis jimat), semoga Allah tidak menjadikan dirinya tenang”[32]. 

Jenis keempat: Hadits-hadits yang menyebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat untuk memotong jimat yang digantung di leher hewan ternak.

Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabat:
أَنْ لاَ يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلاَدَةٌ إِلاَّ قُطِعَتْ
“Janganlah kalung yang terbuat dari tali (jimat) dibiarkan tergantung di leher onta, melainkan dipotong”[33]. 

Jenis kelima: Hadits-hadits yang menyebutkan penegasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi siapa saja yang mati dalam keadaan memakai jimat; maka ia tidak akan beruntung selamanya.
Di antara jenis hadits tersebut, ada
lah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala melihat salah seorang Sahabat memakai jimat:
فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا
Jika engkau mati dalam keadaan jimat ini masih engkau pakai; niscaya engkau tidak beruntung selamanya”[34].

Jenis keenam: Hadits-hadits yang menyebutkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang-orang yang memakai jimat. 

Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِيْ؛ فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ، أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا، أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيْعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ؛ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ بَرِيْءٌ
Wahai Ruwaifi’, nampaknya sepeninggalku, engkau akan panjang umur. Beritahukanlah kepada orang-orang, barang siapa yang mengepang jenggotnya, atau mengalungkan tali (sebagai jimat), atau beristinja dengan kotoran hewan atau tulang; maka Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya”[35]. 

Lihatlah dalil-dalil syar’i yang amat beragam metode penyampaiannya, begitu jelas menunjukkan haramnya pemakaian jimat. Apakah seluruh dalil di atas dan dalil-dalil lain yang senada akan di’adu’ dengan argumentasi akal belaka?! Tidakkah mereka merasa khawatir tertimpa ancaman Allah Azza wa Jalla :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. [an-Nûr/24:63]

Kita tutup tulisan ini dengan merenungi ulasan yang disampaikan asy-Syâthibî (w. 790 H), tatkala beliau menggambarkan bagaimanakah generasi terbaik umat ini menyikapi dalil-dalil syar’i?

Beliau bertutur, “Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi sesudah mereka, tidak pernah melawan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapat-pendapat mereka. Baik mereka mengetahui maknanya ataupun tidak, sejalan dengan apa yang mereka ketahui ataupun tidak. Itulah konsekuensi penyampaian hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaklah oknum yang gemar mengedepankan sesuatu yang penuh kekurangan –yaitu akal– atas sesuatu yang sempurna –yaitu syariat–; mengambil pelajaran dari hal itu”.[36]

Wallâhu ta’âla a’la wa a’lam. Wa shallallâhu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘alâ alihi wa shahbihi ajma’în.

--------------------------------------------
Kota Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Ahad 25 Rabi’ul Awwal 1430
Daftar Pustaka:
1. Al-Qur’ân dan Terjemahannya.
2. Al-I’tishâm, karya Ibrâhim bin Mûsa asy-Syâthibî, tahqîq Masyhûr bin Hasan, Amman: ad-Dâr al-Atsariyyah, cet II, 1428/2007.
3. Al-Jâmi’ ash-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr an-Nadzîr, karya Jalaluddin as-Suyûthî, Beirut: Dâr al-Fikr, cet I, 1401/1981.
4. Al-Qadhâ’ wal-Qadar fî Dhau’il-Kitâb was-Sunnah wa Madzâhibun-Nâs fîhi, karya Dr. Abdurrahmân bin Shâlih al-Mahmûd, Riyâdh: Dâr al-Wathan, cet II, 1418/1997.
5. Ghâyatul-Marâm fî Takhrîj Ahâdîtsil-Halâl wal-Harâm, karya Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albânî, Beirut: al-Maktab al-Islâmi, cet I, 1400/1980.
6. Madârijus-Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în, karya Ibnu al-Qayyim, tahqîq Muhammad Hâmid al-Faqî, Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1393/1973.
7. Mazhâhirul-Inhirâf fî Tauhîd al-‘Ibâdah ladâ Ba’dhi Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islâm minhâ, karya Abdullâh Zaen, tesis di Jurusan Akidah Universitas Islam Madinah, 1428/2008.
8. Mazhâhirul-Inhirâf fî Tauhîd al-‘Ibâdah ladâ Ba’dh Muslimî Uganda wa Subul Mu’âlajatihâ ‘alâ Dhau’il-Islâm, karya Husain Muhammad Buwa, tesis di Jurusan Akidah Universitas Islam Madinah, 1412/1992.
9. Shahîhul-Bukhârî, karya Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, bersama Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, cetakan al-Maktabah as-Salafîyyah.
10. Shahîhul-Jâmi’ ash-Shaghîr wa Ziyâdatuh (al-Fath al-Kabîr), karya Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, Beirut: al-Maktab al-Islâmi, cet III, 1408/1988.
11. Shahîh Ibn Hibbân dengan tartîb Ibn Balbân yang berjudul Al-Ihsân fî Taqrîb Shahîh Ibn Hibbân, tahqîq Syu’aib al-Arna’ûth, Beirût: Mu’assasah ar-Risâlah, cet I, 1408/1988.
12. Shahîh Muslim, karya Imâm Muslim bin al-Hajjâj, tahqîq Muhammad Fu’âd Abdul Bâqi, Beirût: Dâr Ihya’ at-Turâts al-‘Arabî.
13. Sunan an-Nasâ’î, karya an-Nasâ’i, bersama Syarh al-Hafîzh Jalâluddin as-Suyûthi dan Hâsyiyah al-Imam as-Sindî, Beirut: Dârul-Ma’rifah, cet I, 1411/1991.
14. Sunan at-Tirmidzî, karya Abû Îsâ at-Tirmidzî, ‘inâyah Masyhûr Salmân, Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif, cet I.
Sunan Ibn Mâjah, karya Muhammad bin Yazîd al-Qazwînî, bersama Mishbâh az-Zujâjah fi Zawâ’id Ibn Mâjah, karya Syihâbuddin al-Bûshîrî, Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif, cet I, 1419/1998.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Menjawab Kontroversi Seputar Jimat makalah tulisan Zahra Fahira, sebagaimana dalam Majalah Misteri, edisi 387 (hal. 61-62).
[2]. Lihat: kisah lengkapnya, dengan berbagai redaksi dan konteks yang beragam dalam: Tafsîr ath-Thabarî (XX/88-92), Tafsîr Ibn Abî Hâtim (X/3241-3243), Tafsîr al-Baghawî (VII/90-94), ad-Durr al-Mantsûr karya as-Suyûthî (XII/570-583) dan yang lainnya.
[3]. Dalam mengumpulkan berbagai statemen mereka, kami amat terbantu dengan apa yang ditulis dalam buku Mausû’ah al-Isrâ’iliyyât wa al-Maudhû’ât fi Kutub at-Tafsîr karya Muhammad Ahmad ‘Isa (II/760-769) dan Asbâb al-Khatha’ fî at-Tafsîr – Dirâsah Ta’shîliyyah karya Dr. Mahmud Muhammad Ya’qub (I/182-185).
[4]. Sebagaimana dinukil al-Qâsimî dalam Mahâsin at-Ta’wîl (XIV/5105).
[5]. Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Mushthafâ (II/836).
[6]. Zâd al-Masîr (VII/133).
[7]. Tafsîr al-Qurthubî (XVIII/22).
[8]. Tafsîr an-Nasafî (III/156).
[9]. Tafsîr al-Bahr al-Muhîth (VII/527).
[10]. Tafsîr Ibn Katsîr (VII/68), lihat pula al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/340-341).
[11]. Ibid (VII/69).
[12]. Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân (hal. 812).
[13]. Rûh al-Ma’ânî (XXIII/199).
[14]. Semisal komentar az-Zamakhsyarî (w. 538 H) dalam al-Kasysyâf (IV/90-91), ar-Râzi (w. 606 H) dalam Tafsîrnya (XXVI/207), as-Suyûthî (w. 911 H) dalam Manâhil ash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdîts asy-Syifâ (hal. 228 no. 1244), asy-Syinqîthî (w. 1393) dalam Adhwâ’ al-Bayân (IV/101 dan VII/37), Abu Syahbah dalam al-Isrâ’îliyyât wa al-Maudhû’ât fi Kitub at-Tafsîr (hal. 272).
[15]. Lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (VII/69).
[16]. Lihat: Al-Kâfî asy-Syâf fî Takhrîj Ahâdîts al-Kasysyâf (IV/90) sebagaimana dalam Mausû’ah al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalânî al-Hadîtsiyyah (IV/586).
[17]. Lihat: Ad-Durr al-Mantsûr (XII/571). Tafsîr Ibn Katsîr (VII/68), dan al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/340-341).
[18]. Ibnu Abbâs menukil kisah tersebut dari Ka’ab al-Ahbâr, sebagaimana dalam ad-Durr al-Mantsûr (XII/573).
[19]. Lihat: Manâhiuash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdîts asy-Syifâ (hal. 228 no. 1244),
[20]. Lihat: al-Isrâ’îliyyât wal-Maudhû’ât fi Kitubit-Tafsîr (hal. 96 dan 272).
[21]. Lihat: Asbâbul-Khatha’ fît-Tafsîr (I/182-183) dan Tafsîr ar-Râzî (XXVI/207).
[22]. Lihat: Tafsîr ar-Râzî (XXVI/208), Tafsîr an-Nasafî (III/155-156), al-Bahr al-Muhîth (VII/527-528), Rûh al-Ma’ânî (XXIII/198) dan Adhwâ’ ul-Bayân (IV/100-101).
[23]. HR. Bukhâri (XI/524 no. 6639 –al-Fath) dan Muslim (III/1276 no. 1654).
[24]. Antara lain dalam al-Baqarah/2:102 dan an-Nisâ/4:51-52.
[25]. Sebagaimana dalam HR. Bukhâri (X/232 no. 5763 –al-Fath) dan Muslim (IV/1719 no. 2189) dari hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[26]. Lihat: Madârijus-Sâlikîn karya Ibnul Qayyim (II/192).
[27]. Lihat: Al-Qadhâ’ Wal-Qadar Fî Dhau’il-Kitâb Was-Sunnah Wa Madzâhibun-Nâs Fîhi, karya Dr. Abdurrahmân bin Shâlih al-Mahmûd (hal. 295-296).
[28]. Dalam menyusun pengklasifikasian ini, kami banyak terbantu dengan buku Mazhâhirul-Inhirâf ‘an Tauhîdil-‘Ibâdah Ladâ Ba’dhi Muslimî Uganda, karya Husain Muhammad Buwa (hal. 46-49). Untuk lebih luasnya, silahkan merujuk tesis kami: Mazhâhirul-Inhirâf ‘An Tauhîdil-‘Ibâdah Ladâ Ba’dhi Muslimî Indonesia Wa Mauqiful-Islâm Minhâ (II/905-910).
[29]. HR. Ahmad (XXVIII/637 no. 17422) dan al-Hâkim (IV/219) dari hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir. Al-Haitsami dalam Majma’ uz-Zawâ’id (V/103) berkomentar, “Para perawi Ahmad terpercaya”. Syaikh al-Albânî dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/889-890 no. 492) menshahîhkan hadits ini.
[30]. HR. At-Tirmidzi (hal. 468 no. 2072) dan al-Hâkim (IV/216) dari hadits Abdullâh bin ‘Ukaim. As-Suyûthi dalam al-Jâmi’ ash-Shaghîr (II/590 no. 8599) mengisyaratkan bahwa hadits ini hasan. Syaikh al-Albânî dalam Ghâyatul-Marâm (hal. 181 no. 297) menyimpulkan bahwa hadits ini hasan.
[31]. Syarh as-Suyûthî li Sunan an-Nasâ’î (VII/128 –Sunan an-Nasâ’î).
[32]. HR. Ahmad (XXVIII/623 no. 17404), al-Hâkim (IV/216) dan Ibnu Hibbân (XIII/451 no. 6086) dari hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir. Al-Hâkim menshahîhkan sanad hadits ini dan adz-Dzahabi menyepakatinya. Al-Haitsami dalam Majma’ uz-Zawâ’id (IX/304-305) berkomentar, “Hadits ini diriwayatkan Ahmad dengan redaksi yang panjang juga redaksi yang ringkas, dan diriwayatkan pula oleh Abu Ya’lâ. Para perawi hadits yang redaksinya panjang termasuk katagori perawi kitab ash-Shahîh”.
[33]. HR. Bukhâri (VI/141 no. 3005) dan Muslim (III/1672-1673 no. 2115) dari hadits Abu Basyîr al-Anshârî.
[34]. HR. Ahmad (XXXIII/204 no. 20000), Ibnu Hibbân (XIII/449 no. 6085) dan al-Hâkim (IV/216) dari hadits ‘Imrân bin Hushain. Al-Hâkim mensahihkan isnâdnya dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Al-Bûshiri dalam Mishbâh az-Zujâjah (III/481 –Sunan Ibn Mâjah) menghasankan isnâdnya.
[35]. HR. Abu Dâwud (I/31-32 no. 36) dari hadits Ruwaifi’ bin Tsâbit. Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul-Jâmi’ (II/1310 no. 7910) menshahîhkan hadits ini.
[36]. Al-I’tishâm (III/427-428).
_______________
Share Ulang: