A. Pengertian ikhtilaf (perbedaan pendapat)
Ikhtilaf menurut
bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab
yang asal katanya adalah : khalafa- yakhlifu-khilafan ( (خلف- يخلف-خلافا ), maknanya lebih umum daripada al-dhiddu (الضد), sebab
setiap hal yang berlawanan : al diddain (الضدين ), pasti akan saling
bertentangan (mukhtalifan) (مختلفا ).
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan
pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu,
baik berlainan itu dalam bentuk tidak sama ataupun bertentangan secara
deamitral.
Jadi yang dimaksud ihtilaf
adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap
satu obyek hukum.
Sedangkan yang dimaksud
ikhtilaf dalam pembahasan ini disini, adalah perbedaan pendapat diantara ahli
hukum islam (fukahaq) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat
furu’iyyah, bukan pada
masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan
metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain. Misalnya perbedaan
pendapat fukahaq tentang hukum wudu’ seorang lelaki yang menyentuh perempuan
dan hukum membaca surah al-Fatihah bagi ma’mum dalam sholat, dan lain-lain.
Perbedaan pendapat
dalam hukum islam (الإختلافة الفقهية)
Bagaikan buah yang
banyak yang berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan sunnah, bukan
sebagai buah yang banyak yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan
batang pohon itu adalah al-Qur’an dan sunnah, cabang-cabangnya
adalah dalil-dalil naqli dan aqli, sedangkan buahnya adalah hukum islam (fiqh)
meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya.
Dari uraian di atas, jelas
terdapat perbedaan antara orang awam dari kaum Muslimin dan Ahlul kitab yang
mengikuti pendapat pendeta mereka. Orang awam dari Kaum Muslimin yang mengikuti
pendapat imam-imam mereka, pendapatnya diistinbatkan dari al-Qur’an dan sunnah,
sebagaimana diperintahkan Allah dalam firmannya:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, ( Q.S. AL-Nahl: 43)
Sedangkan Ahlul kitab yang di
dalam beragama mengikuti pendapat-pendapat para pendeta dan ulama mereka,
sumbernya adalah dari diri para pendeta sendiri yang menurut al-Qur’an banyak
yang bertentangan dengan perintah Tuhan mereka. Hal ini dijelaskan Allah dalam
firmannya:
ٱتَّخَذُوٓا۟ أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَٰنَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.(Q.S. al-Taubah: 31)
Diterangkan dalam
hadits bahwa ketika datang Adiy bin Hatim al- Tha’iy kepada Rasulullah SAW. Dan
beliau membaca ayat ini, lalu Adiy berkata, saya berpendapat bahwa mereka itu
tidak menyembah mereka (orang-orang yang alim atau rahib-rahib
mereka) Maka Rasulullah SAW. Bersabda, Tentu saja mereka itu menyembahnya,
bahwasanya mereka (orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka) telah
mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram kepada mereka, kemudian
mereka (ahlu al-kitab) itu mengikutinya, begitulah cara penyembahan mereka
kepadanya. Hal ini dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir.
B. Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Dalam sejarah perkembangan
hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum beberapa masalah
hukum, telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW. Ketika beliau masih
hidup. Tetapi perbedaan pendapat itu segera dapat dipertemukan dengan mengembalikannya
kepada Rasululla SAW. Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan
sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum terhadap masalah (kasus)
tertentu, misalnya Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para saudara si
mayat, karena kakek dia jadikan seperti ayah, dimana nash menyatakan, bahwa
ayah menghijab (menghalagi) kewarisan para saudara. Sedang Umar bin Khathtab
memberikan warisan dari si mayat kepada para saudara tersebut, karena kakek
termasuk dalam kata-kata ayah yang dinyatakan dalam nash.
Perbedaan pendapat
dikalangan Shahabat Nabi itu, tidak banyak jumlahnya, karena masalah yang
terjadi pada masa itu tidak sebanyak yang timbul pada generasi berikutnya.
Disamping itu, perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan sahabat dan Tabiin
(setelah masa sahabat) serta para ulama mujtahidin tidak menyentuh masalah yang
tergolong sebagai dasar-dasar agama yang termasuk ما علم من الدين
باالضرورة (yang telah diketahui dalam agama tanpa perlu dalil) dan hal-hal yang
telah diijmakan serta ditunjukan oleh nash-nash yang qath’i.
Terjadi perbedaan
pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di samping disebabkan oleh faktor-faktor
yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi-segi khusus
yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang
pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjang sejarah hukum islam, sehingga kadang-kadang menimbulakan pertentangan
keras, utamanya di kalangan orang-orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu
dipersoalkan lagi, apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang
terjadi karena perbedaan dalam berijtihad.
Setiap mujtahid
berusaha keras mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menemukan hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan
penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka yang
pokok adalah sama, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Tetapi terkadang hasil temuan
mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai denga hasil
ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.
Syekh Muhammad al-Madany dalam
bukunya Asbab ikhtilaf al-fuqaha membagi sebab-sebab ikhtilaf itu kepada empat
macam yaitu: 1. Pemahaman al-Qur’an da sunnah Rasulullah SAW. 2. Sebab-sebab
khusus tentang sunnah Rasulullah SAW. 3. Sebab-sebab yang berkenaan dengan
qaidah-qaidah ushuliyyah atau fiqhiyyah 4. Sebab-sebab yang khusus mengenai
penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Penjelasan dari masing-masing
penyebab ikhtilaf itu adalah sebagai berikut:
1) Pemahaman Al-Qur’an dan Al-Sunnah
Seperti dmaklumi, sumber utama Syari’at Islam adalah
al-Qur’an dan sunnah Rasul. Keduanya berbahsa Arab. Diantara kata-katanya ada
yang mempunyai arti lebih dari satu (musytarak). Selain itu dalam ungkapannya
terdapat kata am (umum) tetapi yang dimaksudkanya “khusus” . adapun perbedaan
tinjauan dari segi Lughwi dan urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.
.berikut ini dikemukakan dua contoh mengenai kata
musytarak (مشترك) dalam nash al-Qur’an yang menimbulkan ikhtilaf tersebut.
Pertama kata يعفو, kata ini mengandung dua arti
musytarak yaiatu يسقط (menggugurkan), dan يهب (menghibahkan). Konsekuensinya,
para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan siapakah yang berhak
membebaskan sebagian mahar yang telah ditentukan, apakah wali ataupun suami.
Nash al-Qur’an mengenai masalah tersebut adalah:
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن
تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ
ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya
kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah
kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan
oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada
takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.( QS.al-Baqarah:237)
Kata الذي بيده عقدة النكاح dapat diartikan wali nikah dan dapat
pula diartikan suami. Kalau kata يعفو diartikan يسقطه, lebih sesuai kalu yang
dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah wali, yaitu sebagai wali yang membebaskan
kepada suami dari keharusan membayar mahar yang separuhnya lagi yang merupakan
hak anaknya; artinya dibebaskan. Tetapi kalau kata يعفو diartikan dengan يهب
maka sesuailah kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah suami, karena suami dalam kasus perceraian
seperti itu hanya diwajibkan membayar separuh dari mahar yang telah ditentukan
sebelumnya, sedangkan ia membayar mahar penuh. Dan jika suami itu membayar
mahar penuh, berarti ia (suami) menghibahkan haknya yang separuhnya lagi kepada
istrinya.
Pendapat pertama dipelopori oleh ibrahim , alqamah,
hasan, malik dan imm syafi’i, dalam qaul qadimnya. Pendapat kedua dipelopori
oleh ali bian abi tahalib, syuraih, sa’id bin al- musayyab, abu hanifah dan
imam syafi’i dalam qaul jadidnya.
Alasan ataupun dalil dari kedua pendapat tersebuat,
baik dari al-Qur’an, maupun dari Sunnah Rasul secara lebih luas, insyaallah
akan dijelaskan dalam materi kuiah perbandingan mazhab secara praktis. Disini
sebagai sekedar contoh perbedaan pendapat dari kata musytarak.
Kedua, kata al-nafsyu dalam bentuk kata ينفو pada ayat
al-Qur’an. Kata ini mengandung dua arti: majazi (kiasan atau metapora) dan
hakiki. Sebab itu para mujtahid berbeda pendapat dalam menafsirkan firman allah
AWT:
إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ
فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا
ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar(
QS. al-Maidah:33
Jumhur fuqaha’ berpendapat, bahwa yang
dimaksud dengan kalimat أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ adalah di keluarkan dari
permukiman bumi. Sdangkan ulama’ hanafiyah berpendapat lain,
bahwa kalimat tersebut tidak dimaksudkan secara hakiki, akan
tetapi majazi. Dengan demikian, mereka menafsirkan secara hakiki
(dikeluarkan dari permukaan bumi), itu berarti hukuman mati, sedangkan hukuman
mati sudah ada ketentuannya secara jelas.
2) Sebab-sebab khusus mengenai sunnah Rasulullah SAW.
Sebab khusus mengenai sunnah
rasulullah SAW. yang menonjol antara lain:
a. Perbedaan dalam penerimaan
hadist, sampai atau tidaknya suatu hadist kepada sebagian sahabat,
b. Perbedaan dalam menilai
periwayatan hadist (sahih atau tidaknya)
c. Perbedaan mengenai kedudukan syakhsiyyah rasul.
Penjelasan hal tersebut
sebagai berikut:
a. Perbedaan dalam penerimaan hadist
Seperti dima’lumi, para
sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan hadist), kesempatannya
tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majlis rasul, tentunya mereka inilah
yang banya menerima hadistsekaligus meriwayatkannya. Tetapi banyak pula diantara
mereka yang sibuk dengan urusan-urusan peribadunya, sehingga jarang menghadiri
majlis rasul, padhal biasanya dalam majlis itula rasul menjelaskan
masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerentah atau
melarang dan menganjurkan sesuatu contoh mengenai ini adaalah sebagai berikut:
أن ابن عمر كان يأمر النساء إذا غتسلن أن ينقضن رؤوسهن
Ibnu Umar memberi fatwa, bahwa
bila wanita mandi junub hendaklah membuka (mengudar) sanggulnya, sebagaimana
diriwayatkan Imam Muslim. Setelah mendengar fatwa itu, Siti Aisyah RA. Merasa
heran dan berkata:
عجبا لابن عمر هذا يأمر النساء إذا اغتسلن أن ينقضن رؤوسهن أفلا يأمرهن يحلقن
رؤوسهن
Sungguh aneh Ibnu Umar ini
memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi janabah untuk mengudar sanggul.
Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk mencukur rambut
saja.
Kemudian Aisyah meriwayatkan
hadits mengenai soal itu sebagai berikut:
لقد كنت أغتسل مع رسول الله صلى الله عليه وسلم من إناء واحد وما أزيد علي أن أفرغ على رأسي ثلاث إفراغات
Sungguh aku pernah menjadi
bersama Rasulullah SAW. Dari satu bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak
lebih dari tiga siraman.
Contoh lain adalah riwayat
al-Zuhri, bahwa Hindun belum mendengar (mengetahui) hukum shalat mustahadhah,
sehingga ia senantiasa menangis karena tidak dapat melaksanakan shalat:
أن هندا لم تبلغها رخصة رسول الله صلى الله عليه وسلم في المستحاضة وهي التي ينزل
عليها الدم بعد أقص مدة الحيض فكانت تبكي لانها لاتصلي
Bahwa Hindun belum sampai
kepadanya hukum rukhshah shalat mustahadhah (orang yang keluar darah sesudah
batas maksimal haid), sehingga ia senantiasa menangis karena tidak bisa
melakukan shalat.
Padahal ada hadis mengenai
rukhshah shalat bagi mustahadhah sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها قا لت: جائت فاطمة بنت أبي حبيش إلى النبي الله عليه وسلم فقالت يا سول الله إني امرأة استحاض فلا أطهر أفأدع الصلاة قال: لاإنما ذالك عرق
وليس بحيض فإذا أقبلت حيضتك فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم ثم صلي (متفق عليه)
Dari Aisyah RA. Ia berkata,
bahwa fathimah binti Hubaisy menghadap Rasulullah SAW. Seraya berkata, Ya
Rasulullah aku adalah seorang wanita mustahadhah, bolehkah aku meninggalkan
shalat? Rasul menjawab, Tidak, sesungguhnya darah tersebut penyakit, bukan darah
haid, maka bila datang waktu haid, tinggalkanlah shalat, dan bila selesai waktu
haid, cucilah darah itu, kemudian shalatlah. (H.R. AL-Bukhari dan Muslim).
b. Perbedaan dalam menilai periwayatan Hadis
Adakalanya sebagian ulama
memandang periwayatan suatu hadits shahih, sedangkan menurut ulama yang lain
tidak, misalnya karena tidak memenuhi semua persyaratan yang telah mereka
tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad, maupun matannya.
Contoh dari segi sanad, adaah
seperti hadist yang dijadikan dasar oleh imam syafi’i tentang wajibnya membaca
al-fatihah bagi ma’mum dalam shalat:
عن عبادة بن صامت قال : صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصبح فثقلت عليه القراءة فلما انصرف قال: إني أراكم تقرؤون وراء إمامكم . قال، قلنا يا رسول الله،
والله، قال: لا تفعلوا إلا بأم القرآن فإنه لا صلاة لمن لم يقرأ بها (رواه داود)
Dari ubadah bin shamit, ia
berkata bahwa rasulullah SAW.Telah sholat subuh agak panjang bacaannya, maka
setelah selsai shalat, rasulullah berkata,’’ aku memperhatikan kalian membaca
dibelakang imam.’’kami menjawab, ‘’ya rasul, demi allah memang kami baca.
‘’rasulullah berkata, ‘’jangan lah kmu membaca, kecuali ummul Qur’an
(al-fatihah) karena sesungguhnya tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca.
(H. R. Abu daud).
Menurut ibnu qudamah
al-maqdisi al-hanbali dalam kitabnya, al-mughni menyatakan, bahwa hadis ubadah
ini tidak ada yang meriwayatkan kecuali ibnu ishaq dan naf’i bin mahmud bin
al-rabi. Sedangkan ibnu ishaq adalah mudallis, dan naf’i lebih rendah lagi, (lebih
buruk lagi) keadaanya dari ibnu ishaq. Contoh dari segi matan hadist adalah
seperti yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من ترك مالا أو حقا فلورثته ومن ترك كلا أو عيالا فإلي.
Barang siapa meninggalkan
harta kekayaan atau hak, maka ia untuk ahli warisnya, dan barangsiapa yang
meninggalkan harta kekayaan tanpa ahli waris (kalalh) atau sebaliknya(
meninggalkan ahli waris tanpa harta kekeyaan) maka itu dalah tanggunganku.
Imam abu Hanifah tidak
mengakui adanya hak,( حقا) dalam muatan hadist tersebut, sehingga beliau tidak
memasukan sebagai tirkah, hak cipta, khiyar, syufah, dan sebagainya. Sedangkan
jumhur fuqaha’( safi’i, maliki, ahmad bin hambal) Menetapkan adanya kata’’haqqn’’
dalam hadits tersebut, sehingga mereka memasukan dalam tirkah: hak cipta,
khiyar, syufah dan sebagainya.
c. Ikhtilaf tentang kedudukan Rasulullah SAW.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa
Rasul di samping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa (Q.S.
al-Kahfi:110). Kadang-kadang beliau bertindak sebagai panglima perang, sebagai
kepala negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan
beliau tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya
ketika melakukannya.
عن سعيد بن زيد عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:من أحيا أرضا ميتة فهي له (روه الثلاثة)
Barang siapa menganggap tanah mati,
maka dialah pemiliknya.
Mengenai hadis ini ulama
berbeda pendapat tentang apakah hal itu dinyatakan oleh Rasul sebagai kepala
negara. Jika demikian, tidak setiap pemilikan tanah yang belum ada pemiliknya
itu secara otomatis menjadi miliknya, melainkan harus melalui prosedur yang
berlaku pada waktu itu dan pada negara di mana orang itu masih hidup.
Sebaliknya jumhur fuqaha yang memandang hadits itu dinyatakan Rasul dalam
kedudukannya sebagai Rasul, berpendapat bahwa kepemilikan tanah mati itu tidak
lagi harus melalui prosedur-prosedur negara tertentu, tetapi secara otomatis
menjadi milik penggarap.
Demikian pula dengan hadits
Rasul berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :من قتل قتيلا عليه بينة فله سلبه.
Barang siapa yang membunuh
musuh dan memiliki keterangan (bukti-bukti) yang lengkap, maka dialah yang
berhak terhadap apa yang ada pada terbunuh (rampasan)
3. Perbedaan Mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id
Fiqhiyyah
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan
kaidah-kaidah ushul di antaranya adalah mengenai istisna yakni: apakah istisna
yang terdapat sudah beberapa jumlah yang di athafkan satu sama lainnya, kembali
kepada semuanya ataukah kepada jumlah terakhirnya saja.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa istisna (pengecualian)
itu kembali kepada keseluruhannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, istisna itu
hanya kembali kepada jumlah terakhirnya saja.
Perbedaan kaidah ini jelas sekali pengaruhnya dalam
menafsirkan firman Allah SWT.
وَٱلَّذِينَ يَرْمُونَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ثُمَّ
لَمْ يَأْتُوا۟ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجْلِدُوهُمْ ثَمَٰنِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا۟ لَهُمْ
شَهَٰدَةً أَبَدًا ۚ
وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka
Itulah orang-orang yang fasik.(Q.S.
al-Nur. 4)
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa hukuman
bagi orang yang menuduh zina tanpa membuktikan dengan empat orang saksi, adalah
sebagai berikut:
a. Dera delapan puluh kali
b. Dicabut haknya untuk menjadi saksi apapun
c. Orang itu dinyatakan fasik
Kemudian datang istisna (pengecualian) bagi
orang-orang yang bertaubat, yaitu pada ayat berikutnya:
إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُوا۟ مِنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوا۟ فَإِنَّ
ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Kecuali orang-orang yang bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(Q.S. al-Nur. 5)
Bagi orang yang berpendapat bahwa istisna (pengecualian) itu kembali kepada jumlah
terakhir saja, maka bila orang itu telah bertaubat, tidak lagi
dinyatakan fasik, dan tetap harus dikenakandera serta belum bisa dijadikan
saksi. Adapun pendapat kedua, yang menyatakan bahwa istisnakembali kepada semuanya, orang yang sedang
bertaubat itu tidak lagi dinyatakan fasik, dan juga dikembalikan haknya untuk
menjadi saksi, tetapi masih tetap dihukum dera, karena hukuman dera ini
menyangkut hak manusia yang tidak bisa digugurkan dengan taubat.
Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang
berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah contohnya antara lain sebagai berikut:
Mazhab Syafi’i menggunakan kaidah:
الاصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم.
Hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah boleh,
sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan menurut kaidah dalam mazhab Hanafi adalah:
الأصل في الأشياء التحريم حتى يدل الدليل على الإباحة
Hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah haram,
sehingga ada dalil yang menunjukan kebolehannya.
Jadi menurut mazhab Syafi’i, asal hukum sesuatu adalah
di bolehkan mengerjakannya, sehingga ada dalil yang mengharamkannya atas dasar
bahwa Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu (Q.S.
al-Baqarah:29)
Dan Sabda Nabi SAW:
عن أبي الدرداء قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ما أحل الله فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبوا من الله عافيته فإن الله لم يكن ينسى شيئا (أخرجه البزار ولطبراني)
Apa yang telah dihalalkan oleh Allah
adalah halal dan apa yang telah diharamkan Allah adalah haram serta apa yang
didiamkan oleh Allah adalah dimaafka maka terimalah kemaafan dari Allah itu,
sesungguhya Allah tidak akan lupa pada sesuatu.
Sedangkan mazhab Hanafi
berpendapat bahwa asal hukum sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang
membolehkanya, kebalikan dari pendapat mazhab Syafi’i bahwa asal sesuatu adalah
boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya. Hal seperti ini dapat menimbulkan
perbedaan dalam menetapkan hukum.
4. Perbedaan penggunaan Dalil di luar al-Qur’an
Ulama terkadang berbeda
pendapat pula mengenai fiqh, disebabkan perbedaan pengguna dalil di luar
al-Qur’an dan sunnah, seperti: Amal Ahli Madinah dijadikan dasar fiqh oleh imam
malik, tidak dijdikan dasar oleh para imam yang lainnya. Begitu pula perbedaan
dalam penggunaan Ijma, Qiyas, Mashlahah Mursalah, Istihsan, Sad al—Dzari’ah,
Istishb, Urf dan sebagainya, Yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar, sedang
sebagian ulama lain tidak menjadikan dasar dalam mengistinbatkan hukum,
sekalipun sebenarnya perbedaan itu hanyalah dalam tingkat penggunaan saja.
Dari uraian di atas tentang
sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) dapat di simpulkan bahwa:
a. Perbedaan ulama mengenai
sumber hukum yang utama (al-Qur’an) adalah dari segi pemahaman semata-mata
terhadap nash-nash yang zhanny (tidak pasti) dalalah-nya.
b. Perbedaan ulama mengenai
sumber hukum yang kedua, yakni sunnah Rasul, yakni dari segi wurud (penilaian
terhadap sanad dan sebagian matan hadits) di samping segi dalalahnya, serta
perbedaan mengenai kedudukan sunnah Rasul sesudah dikaitkan dengan Syakhshiyyah
Rasul (sebagai Rasul atau insaniyyahnya).
c. Perbedaan pendapat dalam
islam, bukanlah mengenai persoalan dasar (pokok) baik dikalangan Ahlu
al-Sunnah, maupun Syi’ah dan Mu’tazilah, melainkan perbedaan pandangan dan
penilaian terhadap nushush (al-Qur’an dan sunnah) yang memungkinkan dan memberi
celah-celah adanya perbedaan penafsiran. Karena itu, penganut mazhab tertentu
sering menentang mazhabnya sendiri, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu l- Qayyim
terhadap Imam Ahmad Ibnu Hambal, serta Abi Yusuf dan Muhammad al-Hasan
al-Syaibany terhadap Imam Abi Hanifah.
d. Perbedaan yang disebabkan
penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan Sunnah seperti: Ijma, Qiyas, Istihsan,
Mashahah, Mursalah dan lain-lain.
C. Hikmah Adanya Ikhtilaf dan Implikasinya dalam
Kehidupan Masyarakat
Khilafiyah dalam hukum islam adalah merupakan
khazanah. Bagi orang yang kurang memahami watak kitab-kitab fiqh yang banyak
memuat masalh-masalah hukum yang diperselisihkan hukumnya, sering beranggapan
bahwa fiqh itu sebagai pendapat pribadi yang ditrasfer ke dalam agama. Padahal
jika mereka mau mengkaji secara mendalam, pasti mereka menemukan bahwa
ketentuan hukum islam itu bersumber dari kitabullah dan Sunnah Rasu SAW.
Syaekh al-Bayanuny menyebutkan dalam suatu
kitabnya, دراسات في الاختلافات الفقهية bahwa keragaman pendapat
dalam berbagai furu, sebenarnya merupakan buah yang bermacam-macam dari
sebatang pohon, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul, bukan buah yang
bermacam-macam dari berbagai macam pohon seperti dugaan sementara orang. Batang
pohonnya adalah al-Qur’an dan sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil Syara dan
metode analisis yang beragam, sedang buahnya adalah hukum fiqh dengan segala
coraknya.
Fiqh, sebagai hasil ijtihad ulama dan tidak lepas dari
sumbernya (al-Qur’an dan al-Sunnah) otomatis akan mengandung keragaman hasil
ijtihad itu. Namun demikian, nampak pada jati diri para ulama mazhab adanya
sika sportif dan toleran apabila dihadapkan pada penomena tersebut, serta tetap
konsesten kepada prinsip firman Allah SWT. Yaitu:
فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ
وَٱلرَّسُولِ
Jika kamu berlainan pendapat
kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya.(Q.S.
al-Nisa 59).
Ikhtilaf yang mengikuti
ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal
berikut ini:
a. Niatnya jujur dan menyadari
akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian
banyak model dalil.
b. Ikhtilaf itu digunakan
untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
c. Memberikan kesempatan
berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan
bermuamalah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.
Faedah dan manfaat dari
ikhtilaf dapat diperoleh bila dalam berikhtilaf itu berpijak pada ketentuan dan
adab yang terkandung di dalamnya. Namun jika ketentuan dan batasan itu
dilanggar, maka sudah pasti akan menimbulkan perpecahan. Hal ini akan melahirkan
kesulitan dan kejahatan, sehingga dapat mengganggu kehidupan ummat. Jika begitu
keadaannya, maka ikhtilaf akan berubah menjadi ajang kehancuran.
Perbedaan pendapat
dalam menetapkan sebagian hukum masalah furu’ adalah suatu
kemestian. Sehubungan dengan ini, DR. Yusuf al- Qardhawy mengomentari, bahwa
orang yang ingin menyatukan kaum muslimin dalam satu pendapat tentang hukum
ibadat, mua’malat dan cabang hukum lainnya, hendaklah ia menyadari dan
mengetahui, bahwa mereka sebenarnya menginginkan suatu yang nihil. Upaya mereka
untuk menghapuskan perbedaan (khilafiah fiqhiyah) ini tidak akan menghasilkan
apa-apa, selain dari bertambah luas perbedaan dan perselisihan itu sendiri.
Aksi semacam itu hanyalah menunjukan kesan kedunguan
mereka, oleh karena perbedaan dalam memahami hukum-hukum syar’iat yang tidak
prinsipil ini adalah suatu kemestian(darurat) dan tidak dapat dihindari. Lebih
jauh beliau mengemukakan beberapa faktor adanya kemestian dari hal diatas
sebagai berikut:
1. Tabiat agama
Allah swt. Menghendaki diantar
hukum-hukumnya ada yang ditegaskan secara eksplisit (manshush ‘alaih) dan yang
secara implisit(maskut anhu). Diantara yang ditegaskan secara eksplisit pun
terdapat hal yang qath’iyah(pasti) dan zanniyah (tidak pasti) secara sharih
(jelas) dan mu’awwal ( kemungkinan adanya interperetasi). Berkenaan dengan hal
yang memungkinkan ijtihad dan istinbath, maka ia dituntut untuk melakukannya.
Sedang kan yang berkenaan dengan hal-hal yang memungkinkan, kita dituntut untuk
menerima dan meyakininya (ta’abbudi).
Seandainya Allah menghendaki konsensus kaum muslimin dalam segala hal, niscaya dia
menurunkan kitabnya dalam bentuk nash-nash yang semuanya mhkamah serta jelas
menunjukan (dalalahnya), sehingga tidak akan menimbulkan perbedaan pemahaman
dan interpertasi. Tetapi allah menghendaki didalam kitabnya ada yang muhkamat
dan ada yang mutasyabihat. Bagian-bagian yang mutasyabihat ini disamping
sebagai ujuan, juga merupakan motivasi bagi akal untuk melakukan analisis
secara maksimal (ijtihad).
2. Tabiat bahasa
Al-Qur’an adalah wahyu ilhi
yang diaplikasikan dalam wujud teks-teks bahasa dan lafal. Demikian pula
sebagian besar sunnah dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan sunnah ini, harus
mengikuti kaedah-kaedah bahasanya. Didalam bahasa al-Qur’an adalafal yang multi
makna ( musytarak) yaitu yang mengandung lebih dari satu arti, majaz (arti
kiasan), am (umum) dan khash (tertentu), muthlaq dan muqayyad.
3. Tabiat manusia
Allah menciptakan manusia
dalam bentuk yang beragam. Setiap insan berbeda bentuk wajahnya, tekanan
suaranya, sidik jarinya dan lain sebgainya. Demikian pula pola pemikiran,
pribadi,sikap, profesinya, kecendrungan dan pandangannya terhadap sesuatu.
Perbedaan karakter manusia
serta kecendrungan psikologisnya itu akan mengakibatkan perbedaan mereka dalam
menilai sesutau dari berbagai aspek, baik fiqhiyah atu politik dan sbagainya.
Sehubunga dengan masalah
diatas, ibnu taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang mengikuti sebagian
ulama’ dalam permasalahan ijtihadiyah. ‘’apakah dia harus diingkari?’’
jawabanya. Demikian pula tentang orang yang melaksanakan salah satu dari dua pendapat.
Beliau menjawab. ‘’ segala puji bagi allah, seorang yang dalam persoalan
ijtihadnya mengamalkan sebagian pendapat ulama’, tidak boleh diingkari ataupun
dihindari, demikian pula orang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat,
maka bagi orang yang telah nampak mana mana yang lebih akurat, boleh beramal
sesuai dengnya, tetapi jika tidak, maka dia boleh mengikuti sebgian ulama’ yang
dapat dipercayanya dalam menjelaskan pada kondisi dan lingkungan sosial
tertentu.
DR. Yusuf al-kardhaway
mengatakan , bahwa allah SWT. Telah manitipkan sifat kelenturan, fleksibilitas
dan keluasan yang menakjubkan, sehingga membuat syari’at islam dapat dirasakan
sebagai rahmat bagi pemeluknya orang yang mempelajari syari’at dan fiqh, akan
merasakan luasnya ruang kemaafan (manthikah al-afw) atau ruang kosong yang
sengaja oleh nash-nash agama dibiarkan demikian, sebagai ruang gerak bagi para
mujtahid untuk diisi dengan hal-hal yang paling baik bagi umat, sesuai dengan
zaman dan kondisinya, dengan selalu memperhatikan tujuan-tujuan (maqasid)
syari’at yang umum.
Berkaitan dengan masalah
tersebut disebutkan oleh Nabi SAW. Dalam sebuah hadisnya:
عن أبي ثعلبت الخشني جرثوم بن ناشر رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أن الله تعالى فرض فرائض فلا تضيعوها وحد حدودا فلا تعتدوها وحرم أشياء فلا
تنتهكوها وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها (رواه الدارقطني وغيره)
Dari Abi Tsa labah Jurtsun bin
Nasyir, Rasulullah bersabda, sesungguhnya Allah SWT. Telah mewajibkan sejumlah
kewajiban, maka janganlah kamu abaikan: telah membuat ketentuan-ketentuan, maka
janganlah kamu melanggarnya: telah mendiamkan banyak beberapa masalah, sebagai
rahmat bagimu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu membahasnya. (H.R. Dar
al-Quthny dan lainnya)
Dalam hadis tersebut,
terdapat kata, وسكت عن أشياء (mendiamkan beberapa masalah). Disinilah
para pakar berusaha mengisi kevakuman tersebut yang disesuaikan dengan
kecenderungan masing-masing. Ada yang cenderung kepada urf, sebagian yang lain
cenderung menggunakan istishlah : ada juga yang menggunakan istihsan atau
maslahah mursalah dan lain-lain. Dengan adanya perbedaan
kecenderungan-kecenderungan ini, tentu mengakibatkan perbedaan pendapat pula
dalam menentukan hukum.
Jumhur ulama, baik dari
golongan ulama salaf, maupun dari golongan ulama khalaf telah memahami hakikat
perbedaan pendapat dan hikmahnya. Bahkan mereka telah menulis buku-buku yang
menjelaskan hal itu dan menerangkan hakikatnya serta mencegah para imam mazhab(para
ulama) untuk mencelah pendapat yang berbeda dengan pendapatnya dalam menetapkan
hukum.
Sehubungan dengan hikmah atau
manfaat ikhtilaf ini, seorang ulama dan ahli hukum (faqih) Madinah AL-Munawarah
pada zaman tabi’in,Imam al-Qasim bin Muhammad, mengatakan, Sungguh Allah telah
memberi manfaat dengan adanya ikhtilaf dalam amal perbuatan Sahabat-sahabat
Nabi SAW. Tidak ada orang yang beramal mengikuti amalan salh seorang dari
mereka itu, melainkan ia berpendapat bahwa di dalam kekuasaan, dan menurutnya
bahwa itu adalah yang baik yang telah dikerjakannya.
Selain itu Umar bin Abd Aziz
mengatakan, saya tidak senang kalau sahabat Rasul SAW. Tidak berbeda
pendapat(ikhtilaf), karena jika mereka hanya satu pendapat, maka manusia akan
berada dalam kesempitan, sedangkan mereka itu merupakan Imam-imam yang dijadikan
panutan, kalau seorang muslim mengikuti pendapat salah seorang dari
sahabat-sahabat itu, maka dia berada dalam keluasan.
D. Tujuan Mengetahui Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Mengetahui sebab-sebab
terjadinya perbedaan pendapat para Imam Mazhab dan para ulama fiqh, sangat
penting untuk membantu kita, agar keluar dari taqlid buta, karena kita akan
mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka
dalam menetapkan hukum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka
kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan, meliputi
sistem dan cara yang lebih baik serta tepat dalam mengistinbatkan hukum, juga
dapat mengembangkan kemampuan dalam hukumfiqh, bahkan akan terbuka kemungkinan
untuk menjadi mujtahid.
Di samping itu, apabila
diketahui bahwa sebab yang menimbulkan perbedaan tersebut kurang dapat
dijadikan alasan, maka akan diusahakan untuk mendudukannya pada proporsi yang
tepat. Sebagaimana telah diketahui, bahwa sebagian dasar yang mereka pergunakan
adalah hadits. Sedangkan hadits di kala itu msih belum dibukukan sehingga
mungkin saja masih banyak hadits yang tidak diterima oleh mereka dan ada hadist
yang sudah mereka peroleh, tetapi mereka menolaknya, karena diragukan
kebenarannya dari nabi SAW. Setelah generasi mana hadist yang sahih dan mana
hadist yang dha’if. Jadi kalu ternyata ada fatwa sahabat atau generasi sahabat
itu didasarkan pada ra’yu saja karena tiada ditemukan hadist dalam suatu
masalah, maka dengan adanya hadist sahih yang bertalian dengan masalah
tersebut, tentu hukum yang telah mereka tetapkan boleh ditinjau kembali dan
tidak perlu di cari-cari alasan untuk membela alasan mereka, karena merka
sendiri sepakat, bahwa sepanjang ada hadist (nash)-terutama yang sahih-maka
ra’yu harus dikesampingkan.