Islam Pedoman Hidup: Ikhtilaf (Perbedaan Pendapat Ulama) Dalam Hukum Islam

Minggu, 08 Mei 2016

Ikhtilaf (Perbedaan Pendapat Ulama) Dalam Hukum Islam

Image result for beda pendapat dalam islam


A. Pengertian ikhtilaf (perbedaan pendapat)
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah : khalafa- yakhlifu-khilafan ( (خلف- يخلف-خلافا ), maknanya lebih umum daripada al-dhiddu (الضد), sebab setiap hal yang berlawanan : al diddain (الضدين ), pasti akan saling bertentangan (mukhtalifan) (مختلفا ).
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk tidak sama ataupun bertentangan secara deamitral.
Jadi yang dimaksud ihtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap satu obyek hukum.
Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan ini disini, adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fukahaq) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain. Misalnya perbedaan pendapat fukahaq tentang hukum wudu’ seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah al-Fatihah bagi ma’mum dalam sholat, dan lain-lain.
Perbedaan pendapat dalam hukum islam (الإختلافة الفقهية)
Bagaikan buah yang banyak yang berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan sunnah, bukan sebagai buah yang banyak yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalah al-Qur’an dan sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil-dalil naqli dan aqli, sedangkan buahnya adalah hukum islam (fiqh) meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya.
Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara orang awam dari kaum Muslimin dan Ahlul kitab yang mengikuti pendapat pendeta mereka. Orang awam dari Kaum Muslimin yang mengikuti pendapat imam-imam mereka, pendapatnya diistinbatkan dari al-Qur’an dan sunnah, sebagaimana diperintahkan Allah dalam firmannya:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, ( Q.S. AL-Nahl: 43)
Sedangkan Ahlul kitab yang di dalam beragama mengikuti pendapat-pendapat para pendeta dan ulama mereka, sumbernya adalah dari diri para pendeta sendiri yang menurut al-Qur’an banyak yang bertentangan dengan perintah Tuhan mereka. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmannya:
ٱتَّخَذُوٓا۟ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَٰنَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.(Q.S. al-Taubah: 31)
Diterangkan dalam hadits bahwa ketika datang Adiy bin Hatim al- Tha’iy kepada Rasulullah SAW. Dan beliau membaca ayat ini, lalu Adiy berkata, saya berpendapat bahwa mereka itu tidak menyembah mereka (orang-orang yang alim atau rahib-rahib mereka) Maka Rasulullah SAW. Bersabda, Tentu saja mereka itu menyembahnya, bahwasanya mereka (orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka) telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram kepada mereka, kemudian mereka (ahlu al-kitab) itu mengikutinya, begitulah cara penyembahan mereka kepadanya. Hal ini dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir.
B. Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Dalam sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum beberapa masalah hukum, telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW. Ketika beliau masih hidup. Tetapi perbedaan pendapat itu segera dapat dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rasululla SAW. Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum terhadap masalah (kasus) tertentu, misalnya Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para saudara si mayat, karena kakek dia jadikan seperti ayah, dimana nash menyatakan, bahwa ayah menghijab (menghalagi) kewarisan para saudara. Sedang Umar bin Khathtab memberikan warisan dari si mayat kepada para saudara tersebut, karena kakek termasuk dalam kata-kata ayah yang dinyatakan dalam nash.
Perbedaan pendapat dikalangan Shahabat Nabi itu, tidak banyak jumlahnya, karena masalah yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak yang timbul pada generasi berikutnya. Disamping itu, perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan sahabat dan Tabiin (setelah masa sahabat) serta para ulama mujtahidin tidak menyentuh masalah yang tergolong sebagai dasar-dasar agama yang termasuk ما علم من الدين باالضرورة (yang telah diketahui dalam agama tanpa perlu dalil) dan hal-hal yang telah diijmakan serta ditunjukan oleh nash-nash yang qath’i.
Terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di samping disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjang sejarah hukum islam, sehingga kadang-kadang menimbulakan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang-orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu dipersoalkan lagi, apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang terjadi karena perbedaan dalam berijtihad.
Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menemukan hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka yang pokok adalah sama, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Tetapi terkadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai denga hasil ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.
Syekh Muhammad al-Madany dalam bukunya Asbab ikhtilaf al-fuqaha membagi sebab-sebab ikhtilaf itu kepada empat macam yaitu: 1. Pemahaman al-Qur’an da sunnah Rasulullah SAW. 2. Sebab-sebab khusus tentang sunnah Rasulullah SAW. 3. Sebab-sebab yang berkenaan dengan qaidah-qaidah ushuliyyah atau fiqhiyyah 4. Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Penjelasan dari masing-masing penyebab ikhtilaf itu adalah sebagai berikut:
1) Pemahaman Al-Qur’an dan Al-Sunnah
Seperti dmaklumi, sumber utama Syari’at Islam adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul. Keduanya berbahsa Arab. Diantara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu (musytarak). Selain itu dalam ungkapannya terdapat kata am (umum) tetapi yang dimaksudkanya “khusus” . adapun perbedaan tinjauan dari segi Lughwi dan urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.
.berikut ini dikemukakan dua contoh mengenai kata musytarak (مشترك) dalam nash al-Qur’an yang menimbulkan ikhtilaf tersebut.
Pertama kata يعفو, kata ini mengandung dua arti musytarak yaiatu يسقط (menggugurkan), dan يهب (menghibahkan). Konsekuensinya, para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan siapakah yang berhak membebaskan sebagian mahar yang telah ditentukan, apakah wali ataupun suami.
Nash al-Qur’an mengenai masalah tersebut adalah:
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.( QS.al-Baqarah:237)
Kata الذي بيده عقدة النكاح dapat diartikan wali nikah dan dapat pula diartikan suami. Kalau kata يعفو diartikan يسقطه, lebih sesuai kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah wali, yaitu sebagai wali yang membebaskan kepada suami dari keharusan membayar mahar yang separuhnya lagi yang merupakan hak anaknya; artinya dibebaskan. Tetapi kalau kata يعفو diartikan dengan يهب maka sesuailah kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah suami, karena suami dalam kasus perceraian seperti itu hanya diwajibkan membayar separuh dari mahar yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan ia membayar mahar penuh. Dan jika suami itu membayar mahar penuh, berarti ia (suami) menghibahkan haknya yang separuhnya lagi kepada istrinya.
Pendapat pertama dipelopori oleh ibrahim , alqamah, hasan, malik dan imm syafi’i, dalam qaul qadimnya. Pendapat kedua dipelopori oleh ali bian abi tahalib, syuraih, sa’id bin al- musayyab, abu hanifah dan imam syafi’i dalam qaul jadidnya.
Alasan ataupun dalil dari kedua pendapat tersebuat, baik dari al-Qur’an, maupun dari Sunnah Rasul secara lebih luas, insyaallah akan dijelaskan dalam materi kuiah perbandingan mazhab secara praktis. Disini sebagai sekedar contoh perbedaan pendapat dari kata musytarak.
Kedua, kata al-nafsyu dalam bentuk kata ينفو pada ayat al-Qur’an. Kata ini mengandung dua arti: majazi (kiasan atau metapora) dan hakiki. Sebab itu para mujtahid berbeda pendapat dalam menafsirkan firman allah AWT:
إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar( QS. al-Maidah:33
Jumhur fuqaha’ berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kalimat أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ adalah di keluarkan dari permukiman bumi. Sdangkan ulama’ hanafiyah berpendapat lain, bahwa kalimat tersebut tidak dimaksudkan secara hakiki, akan tetapi majazi. Dengan demikian, mereka menafsirkan secara hakiki (dikeluarkan dari permukaan bumi), itu berarti hukuman mati, sedangkan hukuman mati sudah ada ketentuannya secara jelas.
2) Sebab-sebab khusus mengenai sunnah Rasulullah SAW.
Sebab khusus mengenai sunnah rasulullah SAW. yang menonjol antara lain:
a. Perbedaan dalam penerimaan hadist, sampai atau tidaknya suatu hadist kepada sebagian sahabat,
b. Perbedaan dalam menilai periwayatan hadist (sahih atau tidaknya)
c. Perbedaan mengenai kedudukan syakhsiyyah rasul.
Penjelasan hal tersebut sebagai berikut:
a. Perbedaan dalam penerimaan hadist
Seperti dima’lumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan hadist), kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majlis rasul, tentunya mereka inilah yang banya menerima hadistsekaligus meriwayatkannya. Tetapi banyak pula diantara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan peribadunya, sehingga jarang menghadiri majlis rasul, padhal biasanya dalam majlis itula rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerentah atau melarang dan menganjurkan sesuatu contoh mengenai ini adaalah sebagai berikut:
أن ابن عمر كان يأمر النساء إذا غتسلن أن ينقضن رؤوسهن
Ibnu Umar memberi fatwa, bahwa bila wanita mandi junub hendaklah membuka (mengudar) sanggulnya, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim. Setelah mendengar fatwa itu, Siti Aisyah RA. Merasa heran dan berkata:
عجبا لابن عمر هذا يأمر النساء إذا اغتسلن أن ينقضن رؤوسهن أفلا يأمرهن يحلقن
رؤوسهن
Sungguh aneh Ibnu Umar ini memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi janabah untuk mengudar sanggul. Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk mencukur rambut saja.
Kemudian Aisyah meriwayatkan hadits mengenai soal itu sebagai berikut:
لقد كنت أغتسل مع رسول الله صلى الله عليه وسلم من إناء واحد وما أزيد علي أن أفرغ على رأسي ثلاث إفراغات
Sungguh aku pernah menjadi bersama Rasulullah SAW. Dari satu bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga siraman.
Contoh lain adalah riwayat al-Zuhri, bahwa Hindun belum mendengar (mengetahui) hukum shalat mustahadhah, sehingga ia senantiasa menangis karena tidak dapat melaksanakan shalat:
أن هندا لم تبلغها رخصة رسول الله صلى الله عليه وسلم في المستحاضة وهي التي ينزل عليها الدم بعد أقص مدة الحيض فكانت تبكي لانها لاتصلي
Bahwa Hindun belum sampai kepadanya hukum rukhshah shalat mustahadhah (orang yang keluar darah sesudah batas maksimal haid), sehingga ia senantiasa menangis karena tidak bisa melakukan shalat.
Padahal ada hadis mengenai rukhshah shalat bagi mustahadhah sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها قا لت: جائت فاطمة بنت أبي حبيش إلى النبي الله عليه وسلم فقالت يا سول الله إني امرأة استحاض فلا أطهر أفأدع الصلاة قال: لاإنما ذالك عرق وليس بحيض فإذا أقبلت حيضتك فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم ثم صلي (متفق عليه)
Dari Aisyah RA. Ia berkata, bahwa fathimah binti Hubaisy menghadap Rasulullah SAW. Seraya berkata, Ya Rasulullah aku adalah seorang wanita mustahadhah, bolehkah aku meninggalkan shalat? Rasul menjawab, Tidak, sesungguhnya darah tersebut penyakit, bukan darah haid, maka bila datang waktu haid, tinggalkanlah shalat, dan bila selesai waktu haid, cucilah darah itu, kemudian shalatlah. (H.R. AL-Bukhari dan Muslim).
b. Perbedaan dalam menilai periwayatan Hadis
Adakalanya sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadits shahih, sedangkan menurut ulama yang lain tidak, misalnya karena tidak memenuhi semua persyaratan yang telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad, maupun matannya.
Contoh dari segi sanad, adaah seperti hadist yang dijadikan dasar oleh imam syafi’i tentang wajibnya membaca al-fatihah bagi ma’mum dalam shalat:
عن عبادة بن صامت قال : صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصبح فثقلت عليه القراءة فلما انصرف قال: إني أراكم تقرؤون وراء إمامكم . قال، قلنا يا رسول الله، والله، قال: لا تفعلوا إلا بأم القرآن فإنه لا صلاة لمن لم يقرأ بها (رواه داود)
Dari ubadah bin shamit, ia berkata bahwa rasulullah SAW.Telah sholat subuh agak panjang bacaannya, maka setelah selsai shalat, rasulullah berkata,’’ aku memperhatikan kalian membaca dibelakang imam.’’kami menjawab, ‘’ya rasul, demi allah memang kami baca. ‘’rasulullah berkata, ‘’jangan lah kmu membaca, kecuali ummul Qur’an (al-fatihah) karena sesungguhnya tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca. (H. R. Abu daud).
Menurut ibnu qudamah al-maqdisi al-hanbali dalam kitabnya, al-mughni menyatakan, bahwa hadis ubadah ini tidak ada yang meriwayatkan kecuali ibnu ishaq dan naf’i bin mahmud bin al-rabi. Sedangkan ibnu ishaq adalah mudallis, dan naf’i lebih rendah lagi, (lebih buruk lagi) keadaanya dari ibnu ishaq. Contoh dari segi matan hadist adalah seperti yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من ترك مالا أو حقا فلورثته ومن ترك كلا أو عيالا فإلي.
Barang siapa meninggalkan harta kekayaan atau hak, maka ia untuk ahli warisnya, dan barangsiapa yang meninggalkan harta kekayaan tanpa ahli waris (kalalh) atau sebaliknya( meninggalkan ahli waris tanpa harta kekeyaan) maka itu dalah tanggunganku.
Imam abu Hanifah tidak mengakui adanya hak,( حقا) dalam muatan hadist tersebut, sehingga beliau tidak memasukan sebagai tirkah, hak cipta, khiyar, syufah, dan sebagainya. Sedangkan jumhur fuqaha’( safi’i, maliki, ahmad bin hambal) Menetapkan adanya kata’’haqqn’’ dalam hadits tersebut, sehingga mereka memasukan dalam tirkah: hak cipta, khiyar, syufah dan sebagainya.
c. Ikhtilaf tentang kedudukan Rasulullah SAW.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa Rasul di samping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa (Q.S. al-Kahfi:110). Kadang-kadang beliau bertindak sebagai panglima perang, sebagai kepala negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika melakukannya.
عن سعيد بن زيد عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:من أحيا أرضا ميتة فهي له (روه الثلاثة)
Barang siapa menganggap tanah mati, maka dialah pemiliknya.
Mengenai hadis ini ulama berbeda pendapat tentang apakah hal itu dinyatakan oleh Rasul sebagai kepala negara. Jika demikian, tidak setiap pemilikan tanah yang belum ada pemiliknya itu secara otomatis menjadi miliknya, melainkan harus melalui prosedur yang berlaku pada waktu itu dan pada negara di mana orang itu masih hidup. Sebaliknya jumhur fuqaha yang memandang hadits itu dinyatakan Rasul dalam kedudukannya sebagai Rasul, berpendapat bahwa kepemilikan tanah mati itu tidak lagi harus melalui prosedur-prosedur negara tertentu, tetapi secara otomatis menjadi milik penggarap.
Demikian pula dengan hadits Rasul berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :من قتل قتيلا عليه بينة فله سلبه.
Barang siapa yang membunuh musuh dan memiliki keterangan (bukti-bukti) yang lengkap, maka dialah yang berhak terhadap apa yang ada pada terbunuh (rampasan)
3. Perbedaan Mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul di antaranya adalah mengenai istisna yakni: apakah istisna yang terdapat sudah beberapa jumlah yang di athafkan satu sama lainnya, kembali kepada semuanya ataukah kepada jumlah terakhirnya saja.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa istisna (pengecualian) itu kembali kepada keseluruhannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, istisna itu hanya kembali kepada jumlah terakhirnya saja.
Perbedaan kaidah ini jelas sekali pengaruhnya dalam menafsirkan firman Allah SWT.
وَٱلَّذِينَ يَرْمُونَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا۟ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجْلِدُوهُمْ ثَمَٰنِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا۟ لَهُمْ شَهَٰدَةً أَبَدًا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.(Q.S. al-Nur. 4)
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa hukuman bagi orang yang menuduh zina tanpa membuktikan dengan empat orang saksi, adalah sebagai berikut:
a. Dera delapan puluh kali
b. Dicabut haknya untuk menjadi saksi apapun
c. Orang itu dinyatakan fasik
Kemudian datang istisna (pengecualian) bagi orang-orang yang bertaubat, yaitu pada ayat berikutnya:
إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُوا۟ مِنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. al-Nur. 5)
Bagi orang yang berpendapat bahwa istisna (pengecualian) itu kembali kepada jumlah terakhir saja, maka bila orang itu telah bertaubat, tidak lagi dinyatakan fasik, dan tetap harus dikenakandera serta belum bisa dijadikan saksi. Adapun pendapat kedua, yang menyatakan bahwa istisnakembali kepada semuanya, orang yang sedang bertaubat itu tidak lagi dinyatakan fasik, dan juga dikembalikan haknya untuk menjadi saksi, tetapi masih tetap dihukum dera, karena hukuman dera ini menyangkut hak manusia yang tidak bisa digugurkan dengan taubat.
Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah contohnya antara lain sebagai berikut:
Mazhab Syafi’i menggunakan kaidah:
الاصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم.
Hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan menurut kaidah dalam mazhab Hanafi adalah:
الأصل في الأشياء التحريم حتى يدل الدليل على الإباحة
Hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang menunjukan kebolehannya.
Jadi menurut mazhab Syafi’i, asal hukum sesuatu adalah di bolehkan mengerjakannya, sehingga ada dalil yang mengharamkannya atas dasar bahwa Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (Q.S. al-Baqarah:29)
Dan Sabda Nabi SAW:
عن أبي الدرداء قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ما أحل الله فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبوا من الله عافيته فإن الله لم يكن ينسى شيئا (أخرجه البزار ولطبراني)
Apa yang telah dihalalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang telah diharamkan Allah adalah haram serta apa yang didiamkan oleh Allah adalah dimaafka maka terimalah kemaafan dari Allah itu, sesungguhya Allah tidak akan lupa pada sesuatu.
Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat bahwa asal hukum sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang membolehkanya, kebalikan dari pendapat mazhab Syafi’i bahwa asal sesuatu adalah boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya. Hal seperti ini dapat menimbulkan perbedaan dalam menetapkan hukum.
4. Perbedaan penggunaan Dalil di luar al-Qur’an
Ulama terkadang berbeda pendapat pula mengenai fiqh, disebabkan perbedaan pengguna dalil di luar al-Qur’an dan sunnah, seperti: Amal Ahli Madinah dijadikan dasar fiqh oleh imam malik, tidak dijdikan dasar oleh para imam yang lainnya. Begitu pula perbedaan dalam penggunaan Ijma, Qiyas, Mashlahah Mursalah, Istihsan, Sad al—Dzari’ah, Istishb, Urf dan sebagainya, Yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar, sedang sebagian ulama lain tidak menjadikan dasar dalam mengistinbatkan hukum, sekalipun sebenarnya perbedaan itu hanyalah dalam tingkat penggunaan saja.
Dari uraian di atas tentang sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) dapat di simpulkan bahwa:
a. Perbedaan ulama mengenai sumber hukum yang utama (al-Qur’an) adalah dari segi pemahaman semata-mata terhadap nash-nash yang zhanny (tidak pasti)   dalalah-nya.
b. Perbedaan ulama mengenai sumber hukum yang kedua, yakni sunnah Rasul, yakni dari segi wurud (penilaian terhadap sanad dan sebagian matan hadits) di samping segi dalalahnya, serta perbedaan mengenai kedudukan sunnah Rasul sesudah dikaitkan dengan Syakhshiyyah Rasul (sebagai Rasul atau insaniyyahnya).
c. Perbedaan pendapat dalam islam, bukanlah mengenai persoalan dasar (pokok) baik dikalangan Ahlu al-Sunnah, maupun Syi’ah dan Mu’tazilah, melainkan perbedaan pandangan dan penilaian terhadap nushush (al-Qur’an dan sunnah) yang memungkinkan dan memberi celah-celah adanya perbedaan penafsiran. Karena itu, penganut mazhab tertentu sering menentang mazhabnya sendiri, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu l- Qayyim terhadap Imam Ahmad Ibnu Hambal, serta Abi Yusuf dan Muhammad al-Hasan al-Syaibany terhadap Imam Abi Hanifah.
d. Perbedaan yang disebabkan penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan Sunnah seperti: Ijma, Qiyas, Istihsan, Mashahah, Mursalah dan lain-lain.
C. Hikmah Adanya Ikhtilaf dan Implikasinya dalam Kehidupan Masyarakat
Khilafiyah dalam hukum islam adalah merupakan khazanah. Bagi orang yang kurang memahami watak kitab-kitab fiqh yang banyak memuat masalh-masalah hukum yang diperselisihkan hukumnya, sering beranggapan bahwa fiqh itu sebagai pendapat pribadi yang ditrasfer ke dalam agama. Padahal jika mereka mau mengkaji secara mendalam, pasti mereka menemukan bahwa ketentuan hukum islam itu bersumber dari kitabullah dan Sunnah Rasu SAW.
Syaekh al-Bayanuny menyebutkan dalam suatu kitabnya, دراسات في الاختلافات الفقهية bahwa keragaman pendapat dalam berbagai furu, sebenarnya merupakan buah yang bermacam-macam dari sebatang pohon, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul, bukan buah yang bermacam-macam dari berbagai macam pohon seperti dugaan sementara orang. Batang pohonnya adalah al-Qur’an dan sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil Syara dan metode analisis yang beragam, sedang buahnya adalah hukum fiqh dengan segala coraknya.
Fiqh, sebagai hasil ijtihad ulama dan tidak lepas dari sumbernya (al-Qur’an dan al-Sunnah) otomatis akan mengandung keragaman hasil ijtihad itu. Namun demikian, nampak pada jati diri para ulama mazhab adanya sika sportif dan toleran apabila dihadapkan pada penomena tersebut, serta tetap konsesten kepada prinsip firman Allah SWT. Yaitu:
فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
Jika kamu berlainan pendapat kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya.(Q.S. al-Nisa 59).
Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut ini:
a. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
b. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
c. Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan bermuamalah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.
Faedah dan manfaat dari ikhtilaf dapat diperoleh bila dalam berikhtilaf itu berpijak pada ketentuan dan adab yang terkandung di dalamnya. Namun jika ketentuan dan batasan itu dilanggar, maka sudah pasti akan menimbulkan perpecahan. Hal ini akan melahirkan kesulitan dan kejahatan, sehingga dapat mengganggu kehidupan ummat. Jika begitu keadaannya, maka ikhtilaf akan berubah menjadi ajang kehancuran.
Perbedaan pendapat dalam menetapkan sebagian hukum masalah furu’ adalah suatu kemestian. Sehubungan dengan ini, DR. Yusuf al- Qardhawy mengomentari, bahwa orang yang ingin menyatukan kaum muslimin dalam satu pendapat tentang hukum ibadat, mua’malat dan cabang hukum lainnya, hendaklah ia menyadari dan mengetahui, bahwa mereka sebenarnya menginginkan suatu yang nihil. Upaya mereka untuk menghapuskan perbedaan (khilafiah fiqhiyah) ini tidak akan menghasilkan apa-apa, selain dari bertambah luas perbedaan dan perselisihan itu sendiri. Aksi semacam itu hanyalah menunjukan kesan kedunguan mereka, oleh karena perbedaan dalam memahami hukum-hukum syar’iat yang tidak prinsipil ini adalah suatu kemestian(darurat) dan tidak dapat dihindari. Lebih jauh beliau mengemukakan beberapa faktor adanya kemestian dari hal diatas sebagai berikut:
1. Tabiat agama
Allah swt. Menghendaki diantar hukum-hukumnya ada yang ditegaskan secara eksplisit (manshush ‘alaih) dan yang secara implisit(maskut anhu). Diantara yang ditegaskan secara eksplisit pun terdapat hal yang qath’iyah(pasti) dan zanniyah (tidak pasti) secara sharih (jelas) dan mu’awwal ( kemungkinan adanya interperetasi). Berkenaan dengan hal yang memungkinkan ijtihad dan istinbath, maka ia dituntut untuk melakukannya. Sedang kan yang berkenaan dengan hal-hal yang memungkinkan, kita dituntut untuk menerima dan meyakininya (ta’abbudi).
Seandainya Allah menghendaki konsensus kaum muslimin dalam segala hal, niscaya dia menurunkan kitabnya dalam bentuk nash-nash yang semuanya mhkamah serta jelas menunjukan (dalalahnya), sehingga tidak akan menimbulkan perbedaan pemahaman dan interpertasi. Tetapi allah menghendaki didalam kitabnya ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat. Bagian-bagian yang mutasyabihat ini disamping sebagai ujuan, juga merupakan motivasi bagi akal untuk melakukan analisis secara maksimal (ijtihad).
2. Tabiat bahasa
Al-Qur’an adalah wahyu ilhi yang diaplikasikan dalam wujud teks-teks bahasa dan lafal. Demikian pula sebagian besar sunnah dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan sunnah ini, harus mengikuti kaedah-kaedah bahasanya. Didalam bahasa al-Qur’an adalafal yang multi makna ( musytarak) yaitu yang mengandung lebih dari satu arti, majaz (arti kiasan), am (umum) dan khash (tertentu), muthlaq dan muqayyad.
3. Tabiat manusia
Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang beragam. Setiap insan berbeda bentuk wajahnya, tekanan suaranya, sidik jarinya dan lain sebgainya. Demikian pula pola pemikiran, pribadi,sikap, profesinya, kecendrungan dan pandangannya terhadap sesuatu.
Perbedaan karakter manusia serta kecendrungan psikologisnya itu akan mengakibatkan perbedaan mereka dalam menilai sesutau dari berbagai aspek, baik fiqhiyah atu politik dan sbagainya.
Sehubunga dengan masalah diatas, ibnu taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang mengikuti sebagian ulama’ dalam permasalahan ijtihadiyah. ‘’apakah dia harus diingkari?’’ jawabanya. Demikian pula tentang orang yang melaksanakan salah satu dari dua pendapat. Beliau menjawab. ‘’ segala puji bagi allah, seorang yang dalam persoalan ijtihadnya mengamalkan sebagian pendapat ulama’, tidak boleh diingkari ataupun dihindari, demikian pula orang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat, maka bagi orang yang telah nampak mana mana yang lebih akurat, boleh beramal sesuai dengnya, tetapi jika tidak, maka dia boleh mengikuti sebgian ulama’ yang dapat dipercayanya dalam menjelaskan pada kondisi dan lingkungan sosial tertentu.
DR. Yusuf al-kardhaway mengatakan , bahwa allah SWT. Telah manitipkan sifat kelenturan, fleksibilitas dan keluasan yang menakjubkan, sehingga membuat syari’at islam dapat dirasakan sebagai rahmat bagi pemeluknya orang yang mempelajari syari’at dan fiqh, akan merasakan luasnya ruang kemaafan (manthikah al-afw) atau ruang kosong yang sengaja oleh nash-nash agama dibiarkan demikian, sebagai ruang gerak bagi para mujtahid untuk diisi dengan hal-hal yang paling baik bagi umat, sesuai dengan zaman dan kondisinya, dengan selalu memperhatikan tujuan-tujuan (maqasid) syari’at yang umum.
Berkaitan dengan masalah tersebut disebutkan oleh Nabi SAW. Dalam sebuah hadisnya:
عن أبي ثعلبت الخشني جرثوم بن ناشر رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أن الله تعالى فرض فرائض فلا تضيعوها وحد حدودا فلا تعتدوها وحرم أشياء فلا تنتهكوها وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها (رواه الدارقطني وغيره)
Dari Abi Tsa labah Jurtsun bin Nasyir, Rasulullah bersabda, sesungguhnya Allah SWT. Telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka janganlah kamu abaikan: telah membuat ketentuan-ketentuan, maka janganlah kamu melanggarnya: telah mendiamkan banyak beberapa masalah, sebagai rahmat bagimu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu membahasnya. (H.R. Dar al-Quthny dan lainnya)
Dalam hadis tersebut, terdapat kata, وسكت عن أشياء (mendiamkan beberapa masalah). Disinilah para pakar berusaha mengisi kevakuman tersebut yang disesuaikan dengan kecenderungan masing-masing. Ada yang cenderung kepada urf, sebagian yang lain cenderung menggunakan istishlah : ada juga yang menggunakan istihsan atau maslahah mursalah dan lain-lain. Dengan adanya perbedaan kecenderungan-kecenderungan ini, tentu mengakibatkan perbedaan pendapat pula dalam menentukan hukum.
Jumhur ulama, baik dari golongan ulama salaf, maupun dari golongan ulama khalaf telah memahami hakikat perbedaan pendapat dan hikmahnya. Bahkan mereka telah menulis buku-buku yang menjelaskan hal itu dan menerangkan hakikatnya serta mencegah para imam mazhab(para ulama) untuk mencelah pendapat yang berbeda dengan pendapatnya dalam menetapkan hukum.
Sehubungan dengan hikmah atau manfaat ikhtilaf ini, seorang ulama dan ahli hukum (faqih) Madinah AL-Munawarah pada zaman tabi’in,Imam al-Qasim bin Muhammad, mengatakan, Sungguh Allah telah memberi manfaat dengan adanya ikhtilaf dalam amal perbuatan Sahabat-sahabat Nabi SAW. Tidak ada orang yang beramal mengikuti amalan salh seorang dari mereka itu, melainkan ia berpendapat bahwa di dalam kekuasaan, dan menurutnya bahwa itu adalah yang baik yang telah dikerjakannya.
Selain itu Umar bin Abd Aziz mengatakan, saya tidak senang kalau sahabat Rasul SAW. Tidak berbeda pendapat(ikhtilaf), karena jika mereka hanya satu pendapat, maka manusia akan berada dalam kesempitan, sedangkan mereka itu merupakan Imam-imam yang dijadikan panutan, kalau seorang muslim mengikuti pendapat salah seorang dari sahabat-sahabat itu, maka dia berada dalam keluasan.
D. Tujuan Mengetahui Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para Imam Mazhab dan para ulama fiqh, sangat penting untuk membantu kita, agar keluar dari taqlid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam menetapkan hukum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan, meliputi sistem dan cara yang lebih baik serta tepat dalam mengistinbatkan hukum, juga dapat mengembangkan kemampuan dalam hukumfiqh, bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.
Di samping itu, apabila diketahui bahwa sebab yang menimbulkan perbedaan tersebut kurang dapat dijadikan alasan, maka akan diusahakan untuk mendudukannya pada proporsi yang tepat. Sebagaimana telah diketahui, bahwa sebagian dasar yang mereka pergunakan adalah hadits. Sedangkan hadits di kala itu msih belum dibukukan sehingga mungkin saja masih banyak hadits yang tidak diterima oleh mereka dan ada hadist yang sudah mereka peroleh, tetapi mereka menolaknya, karena diragukan kebenarannya dari nabi SAW. Setelah generasi mana hadist yang sahih dan mana hadist yang dha’if. Jadi kalu ternyata ada fatwa sahabat atau generasi sahabat itu didasarkan pada ra’yu saja karena tiada ditemukan hadist dalam suatu masalah, maka dengan adanya hadist sahih yang bertalian dengan masalah tersebut, tentu hukum yang telah mereka tetapkan boleh ditinjau kembali dan tidak perlu di cari-cari alasan untuk membela alasan mereka, karena merka sendiri sepakat, bahwa sepanjang ada hadist (nash)-terutama yang sahih-maka ra’yu harus dikesampingkan.