Islam Pedoman Hidup: Perhatikanlah hal-hal berikut sebelum engkau menyampaikan sebuah hadits!

Rabu, 31 Agustus 2016

Perhatikanlah hal-hal berikut sebelum engkau menyampaikan sebuah hadits!


Sebelum mengutipkan hadits, ingatlah dua kaedah berikut, Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya,
‎كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
‘Cukuplah seseorang disebut pendusta bila ia menyampaikan seluruh apa yang ia dengar.’
dan juga sabda beliau yang lain:
‎مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
‘Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia MENYANGKA bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.’
(Kedua hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam muqaddimahnya)
Hadits pertama menyebutkan, bahwa kita tidak boleh sembarangan menyampaikan suatu informasi yang belum kita verifikasi kebenarannya dan keshåhihannya.
Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
(Al-Israa: 36)
Imam Malik –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan,
”Ketahuilah, sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika dia menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang imam (yang menjadi panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya.
(Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani; dari rumaysho.com).
Imam Ibnu Hibban berkata dalam kitab adh- Dhu’afa’ (I/9):
“Di dalam hadits ini (–hadits pertama diatas–) ada ancaman bagi seseorang yang menyampaikan setiap apa yang dia dengar sehingga ia tahu dengan seyakin-yakinnya bahwa hadits atau riwayat itu shahih.”
[Lihat Tamaamul Minnah fii Ta’liq ‘alaa Fiqhis Sunnah hal. 33.]
Imam an-Nawawi pernah berkata:
“Bahwa tidak halal berhujjah bagi orang yang tidak mengerti hadits hingga ia tahu (akan keshahiihan hadits tersebut), dia harus bertanya kepada orang yang ahli.”
[Lihat Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits hal. 115 oleh Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, tahqiq dan ta’liq Muhammad Bahjah al-Baithar]
[Lihat kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah]
Lebih lanjut tentang hal ini, simak artikel berikut: “Telitilah terhadap berita yang sampai padamu!
Hadits kedua menyebutkan, larangan untuk menyampaikan suatu hal dan apabila kita ragu terhadapnya.
‎(يُرَى) artinya (يُظَنُّ), yaitu “diperkirakan”.
Maka, perhatikanlah! Sekedar menyangka/mengira saja (sudah dianggap dusta)! Apalagi orang yang jahil (tidah tahu-menahu) terhadap hadits tersebut!
Orang yang berkata: “Saya belum yakin, apakah hadits ini shahih atau tidak shahih?”.
Hanya sekedar mengira-ngira saja, dan belum pasti dalam mengetahui apakah hadits tersebut shahih atau tidak shahih, hal ini telah memasukkan pelakunya ke dalam golongan orang-orang yang tertuduh berdusta atas Nabi.
Oleh karena itu, Al Imam Ibnu Hibban rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam muqaddimah kitabnya Al Majruuhiin dan muqaddimah kitab Ash Shahih-nya, beliau berkata:
“Maka, orang yang ragu-ragu terhadap apa yang diriwayatkannya, sama seperti orang yang berdusta atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam”.
(Sumber: Salafiy Unpad)
Jika salah satu dari dua pedoman diatas kita langgar, maka kita termasuk pendusta (jika telah paham masalah ini), walaupun kita tidak meniatkan untuk melakukannya.
Maka jagalah LISAN dan TULISAN kita..
Jika salah satu kaedah diatas kita langgar, maka kita termasuk pendusta (jika telah paham masalah ini), walaupun kita tidak meniatkan untuk melakukannya..
Lantas, apa konsekuensi apabila kita yang telah TAHU dan PAHAM masalah ini, tapi tetap merasa acuh-tak-acuh?
Jika ia perkara agama, maka konsekuensinya berat:
1. Berdusta atas nama Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam:
Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‎إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama seseorang, barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka.”
(HR Bukhari [103] dan Muslim dalam al-Muqaddimah [3])
2. Mengakibatkan berdusta atas nama Allåh subhanahu wa ta’ala, karena hadits adalah wahyu
Sebagaimana dalam firman-Nya:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tidak lain melainkan WAHYU yang diwahyukan kepadanya
(An-Najm: 3-4)
Maka terkena-lah ia dengan firman-Nya:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan,”
(Al-An’aam: 93)
Wallåhul musta’aan

from=https://abuzuhriy.wordpress.com/2009/09/08/perhatikanlah-hal-hal-berikut-sebelum-engkau-menyampaikan-sebuah-hadits/