Beberapa
waktu lalu (dan juga sampai sekarang), bahasan partisipasi kaum
muslimin dalam Pemilu sempat menghangat. Menghangat karena memunculkan
satu hal yang dianggap ‘baru’ – walau sebenarnya
tidak baru – yang ‘dianggap’ berlawanan dengan
mayoritas sikap kaum muslimin (salafiyyun) tanah air yang
memutuskan untuk tidak turut berpartisipasi dalam Pemilu.
Dimunculkanlah beberapa fatwa yang kurang ‘populer’ dari
para ulama Ahlus-Sunnah. Padahal, fatwa-fatwa tersebut benar adanya dan punya landasan yang layak untuk dipertimbangkan.
Tidak perlu hati ini bergegas angkat bicara kontra. Taruhlah misal
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shaalih
Al-Fauzan, ataupun para ulama yang tergabung dalam Lajnah Daaimah Saudi
Arabia yang memang memfatwakan kebolehan berpartisipasi dalam Pemilu.
Sedangkan di sisi lain, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Muqbil,
Asy-Syaikh Rabi’, dan yang lainnya berlainan pendapat dengan para
ulama tersebut.
Berbicara
tentang Pemilu, saya pikir tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai
demokrasi. Pemilu merupakan salah satu produk utama sistem demokrasi
yang meletakkan rakyat sebagai satu kekuatan utama dalam proses
pengambilan keputusan dengan prinsip mayoritas-minoritas. Demokrasi
sangat bertentangan dengan Tauhid Rububiyyah dalam hal hukum dimana Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak membuat dan menetapkan hukum (syari’at). Allah ta’ala telah berfirman :
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah” [QS. Yusuf : 40].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44].
Saya
yakin kita semua sepakat dengan bathilnya sistem demokrasi menurut kaca
mata syari’at jika ditilik dari sisi ini. Pun jika kita lihat
dari Pemilu itu sendiri, tidak akan jauh berbeda dari demokrasi. Pemilu
adalah satu mekanisme dalam memilih wakil-wakil rakyat yang akan
merumuskan beberapa hukum dan peraturan yang akan diterapkan terhadap
warga negara.
Jika kita telah sepakat bahwa demokrasi itu haram, maka segala wasilah (perantara) yang dapat mewujudkannya pun otomatis dihukumi haram. Bukankah kaidah telah mengatakan “hukum sarana itu sesuai dengan hukum tujuan”. Belum lagi prinsip mayoritas-minoritas yang menjadikan semua manusia dalam satu kedudukan yang sama, bertentangan dengan ‘aql (akal), apalagi naql (dalil).
Pemilu (dan juga demokrasi) telah menyamakan semua golongan dalam satu
kedudukan, apakah ia seorang laki-laki, wanita, ‘alim, jahil,
shalih, atau fajir.
وَاسْتَشْهِدُوا
شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ
وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di
antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridlai” [QS. Al-Baqarah : 282].
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
“Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran” [QS. Az-Zumar : 9].
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ
“Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama”[QS. As-Sajdah : 18].
Ketika
‘suara’ dari orang-oang tersebut dikumpulkan, diumumkanlah
pemenang berdasarkan suara terbanyak. Apabila suara preman lebih
banyak, jadilah ia pemimpin dan apa yang ia tetapkan dapat menjadi
hukum yang berlaku bagi manusia. Jarang rasanya didapatkan – dari
pengalaman yang ada – bahwa suara seorang ‘alim (ulama) itu menang dalam sistem mayoritas-minoritas, karena Allah telah menjelaskan kehendak kauniy-nya bahwa secara kuantitas, orang-orang beriman itu lebih sedikit daripada orang-orang yang tidak beriman.
إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يُؤْمِنُونَ
“”Sesungguhnya (Al Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman” [QS. Huud : 17].
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” [QS. Al-An’am : 116].
Bathilnya
Pemilu hampir bisa ditetapkan secara aklamasi. Tidak lain karena faktor
yang menjelaskan kebathilannya sudah sedemikian terang.
Namun
perkaranya menjadi ‘panjang’ (untuk didiskusikan) ketika
pendapat yang menyatakan kebolehan ikut Pemilu adalah dengan alasan
memilih mafsadat yang paling ringan di antara dua mafsadat. Mafsadat yang dianggap lebih ringan adalah keikutsertaan dalam Pemilu, dan mafsadat yang
lebih berat adalah terwujudnya peraturan hukum yang tidak sesuai dengan
syari’at Islam atau terpilih seorang pemimpin kuffar. Dengan kata
lain, ikut serta dalam Pemilu adalah sebuah alasan yang bersifat dlaruriy.
Jika
semua umat Islam golput, lantas siapa yang akan memperjuangkan
nilai-nilai Islam di legislatif. Bukankah jika demikian, kaum kuffar
akan semakin leluasa membuat peraturan perundangan yang menguntungkan
mereka dan merugikan umat Islam ? Bukankah satu titik cahaya itu lebih
baik daripada gelap gulita sama sekali ? Atau,….. jika semua
umat Islam golput, bukankah ada kemungkinan kita akan dipimpin oleh
penguasa kafir ?
Inilah
barangkali pertanyaan yang menggelayuti pihak yang membolehkan Pemilu.
Dan pertanyaan seperti di atas pun tidak mudah untuk segera dijawab
oleh pihak yang kontra Pemilu. Sama halnya ketika Asy-Syaikh Shaalih
As-Suhaimi hafidhahullah ber-tawaquf(abstain)
ketika ditanya pertanyaan serupa, sebagaimana pernah saya dengar dalam
sesi satu tanya-jawab dalam sebuah siaran radio. Di sini ada satu mafsadat yang
berputar pada sisi yang berbeda. Pertanyaan di atas lahir akibat adanya
penerapan sistem demokrasi. Ketika kita masuk atau
‘menyepakati’ sistem tersebut, maka secara spontan
pertanyaan di atas pun lahir.
Celakanya, itu merupakan realitas yang disepakati oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Obrolan punya obrolan,…. mungkin ada beberapa musykilat yang menyertai pendapat ini. Jika ada seorang yang beralasan bahwa keikutsertaan kita adalah sebagai perwujudan kaidah memilih mafsadat yang paling ringan di antara dua mafsadat; bukankah ada kaidah lain yang juga patut kita perhatikan bahwa kerusakan/bahaya itu wajib untuk dihilangkan (الضرر يزال). Jika kita menyadari bahwa Pemilu itu pada asalnya adalah satu mafsadat dan kemudian kita memutuskan untuk mengambil mafsadattersebut dengan alasan dlarurat, tentu saja kita harus berusaha sekuat tenaga untuk segera keluar dari hal yang kita anggap dlarurat itu. Dlarurat itu harus segera dihilangkan, bukannya malah dilanggengkan. Kita gunakan hal mafsadat tersebut
sekedarnya saja, seperti halnya kita terpaksa memakan bangkai. Kita
memakannya dengan penuh keengganan dan kebencian, dan kemudian terus
berusaha mencari jalan mendapatkan makanan halal. Kalau kita lihat
kenyataan yang ada, banyak orang yang berkecimpung dalam Pemilu justru
menjadi lupa. Bahasa tubuh mereka seolah-olah menyiratkan bahwa apa
yang mereka lakukan adalah mubah (atau bahkan disyari’atkan) secara asal. Perkataan bahwa mereka melakukannya dengan alasan dlarurat, mengambil mafsadat yang paling ringan diantara dua mafsadat hanya
sebagai penghias bibir dan bahan debat ketika berhadapan dengan orang
yang berseberangan dengannya. Iya apa iya ? Tentu saja ini di luar yang
dikehendaki para ulama. Ini sudah keluarpakem menurut saya.
Taruhlah kita terima bahwa kita mengambil pendapat untuk ikut serta pada kancah Pemilu adalah untuk mengambil mafsadat yang paling ringan diantara dua mafsadatdalam kerangka dlarurat –
yang bersamaan dengan itu kita tetap berusaha keluar dari sistem bathil
tersebut; inipun juga mustahil bisa terwujud. Mengapa ? Ketika kita
ikut serta dalam Pemilu, maka dengan itu kita telah berpartisipasi
untuk melestarikan sistem yang bathil tersebut. Betapa tidak ? Suara
yang kita berikan tersebut akan menghasilkan seseorang yang duduk badan
legislatif yang di situ poros demokrasi hukum dilaksanakan. Mewujudkan
seorang perwakilan di badan legislatif berarti kita
‘setuju’ dengan segala aturan main di dalamnya. Tentu saja
ikhwah semua menyadari bahwa dalam demokrasi, semua paham dan pendapat
itu diperbolehkan, kecuali ketidaksepakatan akan demokrasi itu sendiri.
Keberadaan ‘wakil rakyat’ pilihan kita itu saja sudah
merupakan kemustahilan untuk melenyapkan sistem demokrasi dengan segala
turunannya. Keberadaannya justru merupakan satu upaya legal terhadap
kelanggengan sistem demokrasi.
Tentu saja pertanyaan menjadi : “Bagaimana
kita bisa menghilangkan kemudlaratan sedangkan di sisi lain kita
sepakat untuk melestarikan kemudlaratan itu ?”. Padahal demokrasi itu satu kemunkaran yang sangat besar di sisi syari’at.
Ingat
ikhwah,…. di majelis tersebut tercampur juga Yahudi, Nashrani,
atheis, penyembah berhala, filosof, sosialis, dan yang lainnya. Bisakah
nilai-nilai Islam diperjuangkan dan nilai-nilai kekufuran dihilangkan
di majelis demokrasi tersebut ? Merembet-merembetnya juga akhirnya ke
masalah Pemilu juga kan ?
Kembali ke pertanyaan sebelumnya :
Jika
semua umat Islam golput, lantas siapa yang akan memperjuangkan
nilai-nilai Islam di legislatif. Bukankah jika demikian, kaum kuffar
akan semakin leluasa membuat peraturan perundangan yang menguntungkan
mereka dan merugikan umat Islam ? Bukankah satu titik cahaya itu lebih
baik daripada gelap gulita sama sekali ? Atau,….. jika semua
umat Islam golput, bukankah ada kemungkinan kita akan dipimpin oleh
penguasa kafir ?
Jika kita berpikir on the spot, maka kita akan paham fatwa sebagian ulama yang membolehkan berpartisipasi dalam Pemilu beresensi amar ma’ruf nahi munkar atau memilih mafsadat terkecil di antara dua mafsadat.
Satu fatwa yang lahir untuk menyikapi kenyataan yang berlaku di banyak
negara Islam akibat kebodohan manusia di dalamnya dimana mereka
menerapkan atau menyepakati satu sistem yang salah. Namun, ini juga
tidaklah mutlak berlaku dalam semua keadaan.
Jikalau
saja partai yang ada hanya ada dua, yaitu partai Islam dan partai
Kafir; tentu opsi ini bisa lebih mudah dipertimbangkan. Atau kasus
serupa, jika ada dua calon pemimpin, yang satu muslim, dan yang lain
kafir. Tapi kenyataan yang ada kan tidak seperti itu kan ? Apalagi
ditambah track-record dari
para wakil rakyat yang terpilih melalui Pemilu/demokrasi yang tidak
bisa dikatakan bagus, menambah semakin rumit dan kompleksnya pembahasan
ini.
Adapun sebagian ulama yang tidak membolehkannya, mereka melihat asal hukum dankemustahilan dihilangkannya mafsadat ketika kita sudah berkecimpung di dalamnya.
Sebenarnya
pembahasan mengenai ini tidaklah seringkas dan sesederhana di atas.
Banyak saling-silang pendapat, bantahan sana dan sini, sebagaimana yang
telah beredar di banyak buku dan halaman web. Saya tidak hendak
menambah runyam perselisihan yang ada. Bagi ikhwah yang mengikuti
pendapat sebagian ulama yang membolehkan mengikuti Pemilu, saya harap
antum jangan tinggalkan peringatan kepada umat bahwa demokrasi dan
pemilu itu adalah bathil. Peringatkan pula penyakit yang lazim
menyertai hal ini, yaitu : tahazzub dan ta’ashub. Silakan
dijelaskan dengan seterang-terangnya sehingga tidak membuat orang
terlena dengan menganggap hal itu sebagai satu hal yang mubah secara
asal. Dan bagi ikhwah yang mengikuti pendapat tidak bolehnya ikut serta
dalam Pemilu, maka satu saat – jika ada maslahat yang benar-benar jelas dannyata (bukan
hanya sekedar dugaan tanpa melihat pengalaman dan realitas yang telah
terjadi, berdasarkan keterangan dari para ulama) – pendapat
(ijtihad) yang membolehkan Pemilu dapat dipertimbangkan sebagai satu
pilihan.
Adapun
saya – melihat kondisi dan realitas sosial politik serta
orang-orang yang telah berkecimpung di dalamnya – rasanya lebih
nyaman untuk tidak ikut Pemilu. Minimal untuk sementara waktu ini.
Akhirnya,………
tidak diperbolehkan adanya perpecahan dan sikap saling cela kepada
orang yang berseberangan, karena permasalahan ini adalah permasalahan ijtihadiyyahyang membuka ruang perbedaan pendapat.
Wallaahu a’lam.
Abul-Jauzaa’ – di Sardjito, Yogyakarta, Rabi’ul-Awwal 1430 H.
NB : Apa yang tertulis di sini tentu saja tidak hendak menyokong sebagian harakiyyun
yang juga menganjurkan mengikuti Pemilu. Perbedaannya jelas. Mereka
mengatakan demokrasi sesuai itu sesuai dengan syari’at Islam.
Mereka pun mengajak bertahazzub dan berta’ashub melalui
perantaraan itu. Walaupun di satu sisi mereka dan ulama Ahlus-Sunnah
mempunyai kesamaan; namun di sisi lain, perbedaan mereka jauh lebih
besar dan mendasar.
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/03/pemilu-satu-pilihan-yang-ekstra-sulit.html