Tanya : Bagaimana sikap kita dalam menghadapi
pemimpin/penguasa yang dhalim dimana ia menjalankan pemerintahannya tidak
sesuai tuntunan Islam dan menyia-nyiakan hak rakyat ?
Jawab : Hakekat kepemimpinan adalah amanat yang
harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ta’ala. Allah ta’ala telah
memerintahkan siapa saja yang dipasrahi amanah (termasuk kepemimpinan) agar
menunaikannya serta tidak menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya :
يَأَيّهَا
الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرّسُولَ وَتَخُونُوَاْ
أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Anfaal : 27].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan
telah memberikan peringatan yang sangat keras bagi para pemimpin yang
menyia-nyiakan amanah Allah dalam mengurus rakyatnya, sebagaimana sabdanya :
مَا مِنْ
عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ
لِرَعِيَّتِهِ إِلّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidak ada seorang hamba pun yang mendapat amanah dari Allah
untuk memimpin rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dimana
keadaan mengkhianati rakyatnya kecuali Allah telah mengharamkan atasnya surga” [HR.
Al-Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142].
Lantas, bagaimana sikap kita jika kita menemui pemimpin yang
dhalim lagi menyia-nyiakan amanat Allah kepada rakyatnya ? Untuk menjawab hal
ini, sudah barang tentu harus kita kembalikan kepada Al-Qur’an, As-Sunnah
Ash-Shahiihah, serta pengamalan para shahabat dan para ulama setelahnya.
Fenomena tentang munculnya para pemimpin dhalim ini sebenarnya telah ditegaskan
oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam semenjak empatbelas abad
silam. Hal ini bukan baru terjadi di abad 19 atau 20 saja, melainkan telah ada
dalam sejarah perjalanan Daulah Islam. Sikap pertama yang diperintahkan oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menghadapi
penguasa-penguasa seperti itu adalah bersabar dengan tetap mendengar dan taat.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى
تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu :
pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat – AbuAl-Jauzaa’). Maka
bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl” [HR. Al-Bukhari no.
7057 dan Muslim no. 1845].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه
من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه،
ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan
taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka
berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan
darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan
diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan
darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat
kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].
عن علقمة بن وائل الحضرمي عن أبيه قال سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول
الله صلى الله عليه وسلم فقال : يَا نَبِيَّ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ
عَلَيْنَا أمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهمْ وَيَمْنَعُوْنَا حَقَّنَا فَمَا
تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ
فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَه اْلأَشْعَثُ بْنِ قَيْسِ
وَقَالَ اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهمْ مَا حَمَلُوْا
وَعَلَيْكُمْ مَا حَمَلْتُمْ
Dari ‘Alqamah bin Wail Al-Hadlrami dari ayahnya ia berkata :
Salamah bin Yazid Al-Ju’fiy pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Wahai Nabiyullah, bagaimana pendapatmu jika kami
punya pemimpin yang menuntut pemenuhan atas hak mereka dan menahan (tidak
menunaikan) hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami ?”. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya, dan
Salamah kembali mengulangi pertanyaannya. Dan hal itu berulang hingga dua atau
tiga kali. Kemudian Al-Asy’ats bin Qais menariknya (Salamah). Dan akhirnya
beliau menjawab : “(Hendaklah kalian) mendengar dan taat kepada mereka.
Karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat dan atas kalian apa yang
kalian perbuat” [HR. Muslim no. 1846].
Hadits di atas merupakan jawaban yang sangat gamblang bagi
para pecinta Sunnah (Ahlus-Sunnah), yaitu tetap sabar atas kedhaliman penguasa
serta tetap mendengar dan taat kepada mereka dalam perkara-perkara yang ma’ruf.[1] Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ
أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada
penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila
penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk
berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [HR.
Al-Bukhari no. 2955,7144; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707; Ibnu Majah no.
2864]. [2]
Al-‘Allamah Al-Mubarakfury berkata :
وفيه :
أن الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب . قال المطهر على هذا الحديث : (( يعني :سمع
كلام الحاكم وطاعته واجب على كل مسلم، سواء أمره بما يوافق طبعه أو لم يوافقه،
بشرط أن لا يأمره بمعصية فإن أمره بها فلا تجوز طاعته لكن لا يجوز له محاربة
الإمام ))
“Dalam hadits ini (yaitu Sunan At-Tirmidzi no. 1707)
terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk
mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya.
Al-Muthahhar mengomentari hadits ini : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa
dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah
kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya
adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika
penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam
perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi
penguasa tersebut” [Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 5/365, Cet.
As-Salafiyyah, Madinah].
Al-Harb berkata dalam kitabnya Al-‘Aqidah dengan
menukil perkataan dari sejumlah ulama salaf :
وإن أمرك
السلطان بأمر فيه لله معصية فليس لك أن تطعه البتة وليس لك أن تخرج عليه ولا تمنعه
حقه
“Jika sulthan (penguasa) memerintahkanmu tentang satu
perkara kemaksiatan di sisi Allah, maka tidak ada ketaatan bagimu kepadanya.
Akan tetapi, engkau juga tidak boleh keluar dari ketaatannya dan menahan
haknya” [Lihat Haadil-Arwaah oleh Ibnul-Qayyim hal. 401].
Dan inilah contoh praktek nyata dari salah satu Imam kaum
muslimin, yaitu Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, ketika terjadi
fitnah di masanya. Ketika itu semarak pemahaman kufur Mu’tazillah dan Jahmiyyah
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Para penguasa banyak
menumpahkan darah dan memenjarakan para ulama dan kaum muslimin, termasuk di
antaranya Imam Ahmad. Kisah kesabaran dan sikap Imam Ahmad terhadap penguasa
yang dhalim ini sudah sedemikian masyhur [3]. Al-Imam Hanbal rahimahullah mengisahkan
:
أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي
عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد
تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا
سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا
تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة
أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجروقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار
“Para ahli fiqh Baghdad bersepakat menemui Abu ‘Abdillah –
yaitu Imam Ahmad bin Hanbal – untuk membicarakan kepemimpinan Al-Watsiq (yaitu
karena penyimpangan dan kedhalimannya terhadap hak-hak kaum muslimin). Mereka
mengadu : “Sesungguhnya perkara ini telah memuncak dan tersebar, yaitu ucapan: Al-Qur’an
adalah makhluk [4] dan perkara yang lainnya (yaitu
kedhalimannya terhadap kaum muslimin). Kami tidak ridla dengan kepemimpinannya
dan kekuasaannya”. Maka beliau (Al-Imam Ahmad) mendebat mereka dan berkata:
“Wajib atas kalian mengingkarinya hanya dalam hati kalian. Janganlah kalian
melepaskan tangan kalian dari ketaatan (kepada pemerintah), janganlah kalian
memecah-belah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah
kalian dan darah kaum muslimin. Renungkanlah oleh kalian akibat yang akan
ditimbulkan dari apa yang hendak kalian lakukan. Dan bersabarlah kalian sampai
orang yang baik hidup tentram dan selamat dari orang yang jahat”. Lalu beliau
melanjutkan : “Hal ini (yaitu keluar dari ketaatan penguasa/pemimpin) bukanlah
suatu kebaikan. Ini adalah tindakan yang menyelisihi atsar” [Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh
Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196. Kisah ini juga dikeluarkan oleh Al-Khallal
dalam As-Sunnah hal. 133].
Bersabar dan tidak keluar dari ketaatan bukan berarti kita
meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Kita tetap diwajibkan untuk beramar
ma’ruf nahi munkar kepada siapapun – termasuk kepada penguasa/pemimpin – sesuai
dengan kemampuan yang kita miliki. Namun, tidak boleh bagi kita dengan
mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar untuk menjelek-jelekkan
penguasa di muka umum, seperti mengatakan kalimat-kalimat provokatif : “Penguasa
kita ini adalah penguasa yang korup; Penguasa kita dan kabinetnya telah
terpengaruh pada ide-ide kafir; Kebijakan penguasa kita telah membuat rakyat
sengsara; Para pemimpin kita telah menyia-nyiakan amanat ; dan yang
semisalnya. Pernyataan-pernyataan seperti itu (walau dengan alasan
nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar) akan menimbulkan fitnah yang besar.
Antara pemimpin dan rakyat semakin terbuka jurang pemisah. Tuntutan syari’at
untuk mendengar dan taat pada perkara yang mubah dan ma’ruf pun
akhirnya ditinggalkan karena kebencian mereka terhadap para pemimpin. Apabila
itu berlanjut, api fitnah semakin menyala-nyala, diangkatlah senjata, dan
akhirnya tumpahlah darah. Imbasnya pula, muncullah kelompok-kelompok sempalan
yang mengkafirkan negeri-negeri Islam, para penguasa muslim, dan bahkan kaum
muslimin secara umum. Ini bukanlah prediksi fiktif tanpa bukti.....
Islam sebagai agama yang hanif telah memberikan kaifiyah (cara)
menasihati dan beramar-ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, sebagaimana sabda
Rasulullahshallallaahu ’alaihi wa sallam:
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً
وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ
وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum
muslimin) tentang satu perkara, maka janganlah ia menampakkannya secara
terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri
(untuk menyampaikan nasihat).Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat
tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau
menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang
dibebankan kepadanya” [HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no.
1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi].
Realisasi petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam di atas tercermin dari apa yang dilakukan Usamah bin Zaid radliyallaahu
‘anhu ketika banyak kaum muslimin terpengaruh hembusan fitnah kaum
munafikin pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu
‘anhu, dimana beliau dan para pejabat yang mendampinginya dituduh telah banyak
melakukan penyelewengan (dan sungguh jauh sangkaan mereka itu – Abu
Al-Jauzaa’).
عن أسامة بن زيد قال قيل له ألا تدخل على
عثمان فتكلمه فقال أترون أني لا أكلمه إلا أسمعكم والله لقد كلمته فيما بيني وبينه
ما دون أن أفتتح أمرا لا أحب أن أكون أول من فتحه
Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ia
berkata : Seseorang berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman
(bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”. Maka Usamah menjawab: “Apakah engkau
memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu?
Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak
akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah
orang pertama yang membukanya” [HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no.
2989]. [5]
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :
ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض
المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث
أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله وقد قدمنا في أول
كتاب السير هذا أنه لا يجوز الخروج على الأئمة وإن بغوا في الظلم أي مبلغ ما
أقاموا الصلاة ولم يظهر منهم الكفر البواح والأحاديث الواردة في هذا المعنى
متواترة ولكن على المأموم أن يطيع الإمام في طاعة الله ويعصيه في معصية الله فإنه
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق.
“Akan tetapi, barangsiapa yang mengetahui kesalahan
seorang imam (penguasa) dalam sebagian permasalahan, sudah selayaknya
menasihati tanpa mempermalukannya di hadapan khalayak umum. Namun caranya
adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits: “Hendaklah ia
mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan
nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”. Telah kami paparkan
diawal buku As-Siyar bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam
(pemerintah) kaum muslimin walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun selama mereka
menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari mereka.
Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah mutawatir.
Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk menta'ati imam dalam keta'atan kepada
Allah dan mendurhakainya bila ia mengajak bermaksiat kepada Allah. Sebab tidak
ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq” [As-Sailul-Jarar, hal.
965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].
Inilah petunjuk Nabawi tentang nasihat dan amar-ma’ruf
nahi munkar terhadap penguasa muslim. Hadits di atas sekaligus sebagai
penafsir hadits lain yang berbunyi:
إن من أعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر
“Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah kalimat ‘adil
(benar) yang disampaikan di sisi penguasa yang dhalim/jahat” [HR. Abu
Dawud no. 4344, At-Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011, Al-Khathiib dalam Taariikh-nya
7/28, dan yang lainnya; shahih].
Mengapa disebut jihad yang paling besar ? Tidak lain karena
ia telah berani menyampaikan kebenaran langsung di hadapan penguasa dengan cara
menemuinya empat mata. Bisa jadi ia ditangkap, dipenjara, atau bahkan dibunuh
karena nasihat yang disampaikannya. Dan itulah jihad baginya.
Kita tetap dituntut untuk menjelaskan kepada umat bahwa yang
haq itu adalah haq dan yang bathil adalah bathil. Misalnya saja, jika penguasa
kita menerapkan sistem perekonomian kapitalis ala Yahudi yang
menyuburkan praktek riba. Maka, tidak ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa
riba itu haram. Kita tetap menjelaskan kepada umat tentang hal tersebut dan
memperingatkan mereka agar menjauhi riba dengan segala macam jenis dan
cabangnya; tanpa perlu kita mengeluarkan perkataan-perkataan yang bernada
mencela pemerintah/penguasa yang memprovokasi massa serta membakar emosi
khalayak. Kita ucapkan perkataan-perkataan yang mulia kepada penguasa
tanpa ada kesan menjilat. Tetap tegas, akan tetapi sesuai Sunnah.
Kesimpulan : Bila kita mendapatkan penguasa
melakukan kemaksiatan – baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan
rakyatnya – maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam
hal yang ma’ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di
mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mencela
penguasa/pemimpin secara khusus dalam haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah
akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan
kedudukan pemimpin/penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa
yang dhalim/jahat bukan berarti ridla dengan kemaksiatan yang ia lakukan.
Apabila seseorang ingin menasihati seorang pemimpin/penguasa terkait dengan kemaslahatan
kaum muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara pribadi (empat mata). Itulah
petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang banyak ditinggalkan oleh
sebagian kaum muslimin. Hendaknya kita senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia
memberikan petunjuk kepada para pemimpin kita untuk selalu kembali pada
kebenaran dan istiqamah di atasnya. Penguasa pada hakekatnya merupakan
perwujudan kondisi umat. Bila umat masih bergelimang dalam kesyirikan, bid’ah,
dan maksiat; maka terangkatlah seorang pemimpin yang kondisinya tidak
jauh berbeda dengan mereka. Sangat sulit membayangkan terwujudnya kepemimpinan ala Abu
Bakar Ash-Shiddiq jika umat masih dalam keadaan seperti ini. Ini merupakan
bagian dari ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti petunjuk Nabi, maka
ia akan selamat; dan siapa yang menyimpang darinya, maka ia akan binasa. Wallaahu
a’lam.
DIALOG LANJUTAN……
Tanya : Saya setuju dengan pernyataan taat kepada
pemimpin. Namun, menurut saya, semua itu terkait dengan pemimpin yang masih
berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lantas, bagaimanakah dengan pemimpin
yang tidak berhukum dengan kedua hal tersebut (sebagaimana sekarang)? Dan
tolong hubungkan dengan QS. 5 : 44,45,47 dan QS. 3 : 118 ?
Jawab : Telah disebutkan dalam uraian kami sebelumnya
tentang satu hadits tentang kemunculan atsarah. Pada kesempatan ini
akan kami tuliskan riwayat yang lain tentang atsarah :
إنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَة
وأُمُوْر تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا يَا رَسُْولَ الله كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ
أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ
وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada “atsarah” dan banyak
perkara yang kalian ingkari dari mereka”. Para shahabat bertanya : “Wahai
Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami yang menemuinya ?”. Beliau
menjawab : “Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas kalian, dan
mintalah hak kalian kepada Allah” [HR. Muslim no. 1843].
Imam An-Nawawi berkata :
والأثرة
: الاستئثار والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء
بالدنيا، ولم يوصلوكم حقكم مما عندهم
“Al-Atsarah adalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang
terhadap kalian dalam urusan dunia. Jadi arti hadits itu (yaitu hadits atsarah)
adalah: dengar dan taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka
lebih mengutamakan dan mengutamakan urusan dunia mereka di atas kalian" [Syarh
Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/225].[6]
Beliau kemudian melanjutkan :
فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي
ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله
– تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits atsarah) ini terdapat anjuran untuk
mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan
sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan,
tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan
yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh
lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan
gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya
(kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [idem, 12/232].
Al-Atsarah sebagaimana yang terdapat dalam hadits itu
merupakan gambaran penguasa dhalim yang menyia-nyiakan amanah kepemimpinan yang
diberikan Allah untuk ditunaikan kepada rakyatnya. Ia adalah tipe penguasa yang
sewenang-wenang. Dalam realitas kehidupan kita, maka al-atsarah tergambar
pada diri seorang pemimpin yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan
perbuatan maksiat lainnya. Pendek kata, ia merupakan tipe penguasa yang
menjalankan kepemimpinannya dengan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah
(pada beberapa permasalahan). Lantas, apa yang mesti diperbuat oleh kaum
muslimin ketika menemui atsarah ini? Keluar dari ketaatan? atau
bahkan memberontak (kudeta)? Ternyata tidak. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam – dan beliaulah orang yang paling tahu tentang syari’at
Islam – tetap memerintahkan untuk sabar, mendengar dan taat pada hal-hal yang ma’ruf,
selama pemimpin tersebut masih berstatus sebagai seorang muslim (tidak kafir)
dan masih menegakkan shalat.
عَن عبَادَةَ ابن الصَامت – رَضيَ الله عَنه
-، قَالَ : دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ
فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا
ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من
الله فيه برهان
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami,
maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah
untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam
keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa
kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu
penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Kecuali
bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari
Allah” [HR. Al-Bukhari no. 7005 dan Muslim no. 1709]. [7]
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ
تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ
وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا
نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا
رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا
تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu
mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun
mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya
dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”.
Dikatakan: Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang?”. Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah
kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci,
maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” [HR.
Muslim no. 1855, Ahmad no. 24027 dan lainnya]. [8]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan barometer menegakkan shalat sebagai tolok-ukur ketaatan terhadap
penguasa adalah karena shalat merupakan ibadah amali paling agung (setelah
ucapan syahadat) yang jika ditinggalkan dapat menjerumuskan seseorang pada
kekafiran.[9] Pada asalnya, ketaatan tidaklah
diberikan kecuali pada seorang muslim.
Adapun tentang firman Allah ta’ala :
وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [QS.
Al-Maidah:44] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. [QS.
Al-Maidah:45] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”[QS. Al-Maidah:47] [10]
Maka ayat di atas juga tidak memutlakkan setiap orang yang
tidak berhukum dengan hukum Allah adalah kufur akbar yang
mengeluarkannya dari Islam (murtad) yang dengan itu kita boleh keluar dari
ketaatan kepadanya (bahkan memberontak/angkat senjata kepadanya). Kita semua
paham – insyaAllah – bahwasannya berhukum dengan hukum Allah itu
mencakup segala hal (aqidah, hukum, akhlaq, dan yang sebagainya); karena
kalimat maa anzalallah (apa-apa yang diturunkan Allah) meliputi semua
isi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah, maka hal itu dinamakan ghairu maa anzalallaah (selain
yang diturunkan Allah).
Jika ada orang yang berpandangan dengan pemutlakan kekafiran
(kufur akbar) terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka
konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, dan mungkin
juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan pada setiap pelaku kemaksiatan
seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang lain-lain. Tidak diragukan lagi
ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang merupakan warisan kaum
sesat Khawarij dan Mu’tazillah.
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah telah mengisyaratkan
hal ini dengan perkataannya :
فإن الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل
الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم
يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن
يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله
“Sesungguhnya Allah telah berfirman : Barangsiapa yang
tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ;Barangsiapa yang tidak berhukum
dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Maka
konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku
kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku kemaksiatan itu
tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz 3 hal.
234]. [11]
Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa bahwa orang yang
tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh padanya kufur
akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan tersebut
merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama
(tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat).
Para ulama telah menjelaskan makna dari ayat di atas sebagai berikut :
Abul-’Abbas Al-Qurthubi rahimahullah (guru dari mufassir Abu
’Abdillah Al-Qurthubirahimahullah penulis Al-Jaami’
li-Ahkaamil-Qur’an) berkata :
وقوله تعالى : { ومن لم يحكم بما أنزل الله
فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا
حجَّة لهم فيه ؛ لأنَّ هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى ، كما
جاء في هذا الحديث ، وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب نزولها .
وبيان هذا : أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛
فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ كان
عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ،
لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ،
وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه.
”Firman Allah ta’ala : Barangsiapa yang tidak
berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir [QS. Al-Maaidah : 44]. Dhahir ayat ini
dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa (yaitu
khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat tersebut. Karena
ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi yang menyelewengkan firman Alah ta’ala,
sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits, dan mereka adalah orang-orang
kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan mereka yang menjadi sebab turun
ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya adalah : Sesungguhnya seorang
muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu,
kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena
pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak
diperselisihkan lagi. Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia
termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum
tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia
bermaksiat dengan meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara
yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini seperti shalat
dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah.
[Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim, 5/117].
Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :
أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو
يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى
من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق، وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من
جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكم به؛ فهو ظالم فاسق
"Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum
dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan
kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang
menurunkannya – seperti orang Yahudi –maka orang ini kafir. Dan barangsiapa
yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong
pada hawa nafsunya - tanpa adanya pengingkaran –maka dia itu dhalim dan
fasiq. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas
bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan
Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak
berhukum dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq" [lihat Zaadul-Masiir 2/366].
Dan lain-lain[12].
Jika ada orang yang berkata : "Bukankah para
penguasa kita telah ‘mengganti’ hukum Allah dengan hukum-hukum lain seperti
demokrasi sehingga dengan itu mereka telah kafir?". Maka kita
jawab : "Tidak diragukan bahwa hukum demokrasi merupakan hukum kufur.
Namun perlu dicatat bahwa «mengganti» atau tabdiil (تَبْدِيْلٌ) yang
dijelaskan para ulama Ahlus-Sunnah maknanya adalah keadaan seorang yang membuat
hukum selain hukum Allah dengan menganggap bahwa itu adalah hukum Allah atau
seperti hukum Allah. Adapun jika tidak demikian, maka bukan dinamakan tabdil (yang
menyebabkan kufur akbar).
Al-Imam Ibnul-‘Arabi rahimahullah berkata :
وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند
الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على
أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين
"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum
dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti)
yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari
dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih
bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang
yang berdosa" [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624].
Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi ini sama seperti yang
dikatakan oleh Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (6/191) dan Ibnu Taimiyyah
dalam Majmu’ Fatawa (3/268). Kita harus berhati-hati dalam masalah
ini. Jika kita tidak bisa menetapkan dengan satu kepastian, maka tidak boleh
kita menghilangkan sifat iman dan Islam dari seorang muslim (sehingga
menghukuminya menjadi seorang kafir). [13]
Inti dari penjelasan di atas adalah bahwa tidak berhukumnya
seseorang dengan satu atau beberapa bagian dari hukum Allah tidaklah selalu
mengharuskan adanya kekafiran baginya. Hal itu sangat selaras dengan
hadits :
لينقضن عرا الإسلام عروة عروة فكلما انتقضت
عروة تشبت الناس بالتي تليها وأولهن نقضا الحكم وأخرهن الصلاة
“Sungguh akan lepas tali Islam seutas demi seutas. Maka
setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama kali
terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat.” [HR. Ahmad no.
22214; shahih].
Perhatikanlah! Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak menghilangkan Islam secara keseluruhan (hingga menjadi kafir)
hanya karena sebab tidak berhukum dengan hukum Allah pada beberapa bagiannya. Nash
ini berlaku umum, baik amir (penguasa) maupun ma’mur (rakyat). Perinciannya
adalah sebagaimana telah dituliskan. Jika hal ini telah menjadi pemahaman bagi
kita semua, maka ayat selanjutnya dari yang ditanyakan (yaitu QS. Aali Imran :
118) menjadi sangat mudah. Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ
خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا
تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan
kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” [QS. Aali-‘Imraan :
118].
Dalam ayat tersebut hanyalah mengandung larangan untuk
menjadikan teman kepercayaan (bithaanah) selain dari kalanganmu (min duunikum). Kalimat min
duunikum di sini maknanya adalah selain dari kaum muslimin, yaitu orang
kafir. Jadi larangan pada ayat tersebut adalah larangan untuk menjadikan orang
kafir sebagai teman dekat yang kita [lihat Tafsir Ibnu Katsir QS. Aali
‘Imran : 118].
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa penguasa yang tidak
berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu berkonsekuensi kafir, maka
menerapkan ayat tersebut dalam pembahasan adalah kurang tepat. Kita tetap
diperintahkan untuk mendengar dan taat pada penguasa selama ia masih berstatus
Islam dan menegakkan shalat.
Terakhir, kami tutup pembicaraan ini dengan hadits :
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ
بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ
قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ
أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ
وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ
وَأَطِعْ
“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak
mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul
pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan
dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya: “Apa yang harus aku lakukan
jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab:“(Hendaknya) kalian mendengar dan
taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah
mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847].[14]
Wallaahu a’lam.
[Abu Al-Jauzaa’ di tengah keheningan malam pada tanggal 23 Jumadits-Tsani
1430 H].
إنما
الطاعة في المعروف
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf
(kebajikan)” [HR. Al-Bukhari no. 4340,7257; Muslim no. 1840; Abu Dawud no.
2625; dan lain-lain].
[2] Sebagian orang
ada yang mempunyai pemahaman bahwa jika ada seorang pemimpin yang memerintahkan
kemaksiatan atau berbuat kemaksiatan, maka otomatis gugurlah ketaatan kepadanya
secara keseluruhan berdasarkan hadits tersebut. Pemahaman tersebut adalah tidak
benar. Sudah menjadi pengetahuan yang jamak di kalangan ulama dan penuntut ilmu
bahwa yang gugur itu hanyalah pada hal perintah maksiat saja. Adapun ketaatan
secara umum kepadanya masih tetap ada dan wajib dilakukan. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallambersabda :
ألا من
ولي عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا
ينزعن يدا من طاعة
“Ketahuilah, barangsiapa diperintah atasnya (oleh) seorang
wali (imam/pemimpin), kemudian dia melihat (imam/pemimpin tersebut melakukan)
kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membenci kemaksiatan kepada Allah
(yang dilakukan imam/pemimpin tersebut). Dan tidak boleh baginya melepaskan
tangan (keluar) dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855].
[3] Misalnya dapat
dibaca dalam kitab Siyaru A’lamin-Nubalaa’ karya Imam Adz-Dzahabi
yang tersebar dalam beberapa juznya.
[4] Perkataan ini
adalah perkataan kufur menurut kesepakatan ulama Ahlus-Sunnah; karena Al-Qur’an
adalah Kalamullah, bukan makhluk – Abu Al-Jauzaa’.
[5] Ibnu Hajar
berkata [أي باب الإنكار على
الأئمة علانية خشية ان تفترق الكلمة] “Yaitu pintu mengingkari para penguasa
dengan cara terang-terangan (di hadapan khalayak), karena aku mengkhawatirkan
persatuan kaum muslimin akan tercerai-berai.” [Fathul Bari juz 13
penjelasan hadits nomor 6685].
[6] Pengertian atsarah yang
diterangkan oleh An-Nawawi adalah sama dan semakna sebagaimana yang diterangkan
oleh ulama yang lainnya, seperti Ibnul-Atsir (An-Nihayah fii Gharibil-Hadits),
As-Suyuthi (Ad-Diibaaj ‘alaa Shahih Muslim), Abul-‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim
lima Asykala min-Talkhiisi Kitaabi Muslim), Al-Qadli ‘Iyadl (Ikmaalul-Mu’lim
Syarh Shahih Muslim), Ibnu Barjas (Mu’ammalatul-Hukkam), dan yang lainnya.
Sebagai contoh Al-Hafidh As-Suyuthi rahimahullah menerangkan
makna Atsarah : “Monopoli dan berbuat sewenang-wenang dalam urusan
dunia, dan menghalang-halangi sampai kebenaran dari apa-apa yang berada di
tangannya (tanggung jawabnya)” [Ad-Diibaaj, penjelasan hadits no. 1846].
[7] Kekufuran yang
nyata/jelas yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah kekufuran yang didasari
atas nash yang dapat menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam (kufur
akbar), secara yakin tanpa adanya kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat
memalingkannya dari kekufuran tersebut. Vonis kufur ini tidak bisa dilakukan
kecuali setelah ditegakkannya hujjah kepada pelaku (dan si pelaku paham dengan
hujjah yang diberikan) serta terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran.
Syarat-syarat pengkafiran adalah mengetahui (dengan jelas), dilakukan dengan
sengaja, tidak ada paksaan. Sebagai contoh, para ulama telah mengatakan kafir
hukumnya orang yang menghina dan mencela syari’at Allah. Namun kekafiran tersebut
tidaklah bisa langsung kita voniskan secara individu kepada setiap orang yang
melakukannya. Barangkali saja orang tersebut tidak tahu bahwa apa yang
dicelanya tersebut adalah syari’at Allah, atau mungkin ia melakukannya karena
terpaksa/dipaksa. Jika keadaannya seperti itu, maka vonis kafir bagi orang
tersebut tidaklah berlaku.
[8] Sebagian orang
menganggap bahwa yang dimaksudkan dengan “shalat” di sini adalah kinayah dari
menegakkan hukum secara keseluruhan, sebagaimana hadits :
لو
استعمل عليكم عبد يقودكم بكتاب الله، فاسمعوا له وأطيعوا
“Seandainya yang memerintah kalian seorang budak Habsyi
berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838].
Maka kita jawab: Pertama, Satu lafadh harus kita
pahami sesuai dengan hakikatnya. Tidak boleh kita ubah lafadh hakiki dengan
lafadh majaz (kinayah) kecuali setelah diterangkan kemusykilannya. Oleh karena
itu, lafadh shalat di sini adalah lafadh yang hakiki, bukan majaz.
Tidak ada penghalang sama sekali untuk memahaminya dengan makna hakiki. Kedua, Lafadh
“Kitabulah” dalam hadits tersebut adalah lafadh yang muthlaq (yaitu
lafadh yang mengandung pengertian umum pada jenisnya). Menegakkan Kitabullah itu
secara dhahir mengandung makna menegakkan seluruh dari apa yang termaktub di
dalamnya baik dalam masalah aqidah, hukum, akhlaq, dan yang lainnya. Dan hal
ini tidaklah mungkin ada kecuali pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan
era Khulafaur-Rasyidin. Adapun setelah itu, maka hukum Islam tidaklah
ditegakkan secara sempurna sampai dengan hari ini. Dan memang, bukanlah makna
ini yang dimaui oleh syari’at. Makna menegakkan Kitabullah itu di-taqyid (dibatasi
pengertiannya) dengan kata “shalat” sebagaimana hadits yang telah disebutkan.
Dalam ilmu Ushul-Fiqh hal ini disebut Taqyid Munfashil. Jika ada
dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai
kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq
‘alal-muqayyad wajibun) [silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah]. Intinya, bahwa seorang pemimpin itu
harus tetap didengar dan ditaati serta tidak boleh keluar (dari ketaatan) jika
ia masih menegakkan shalat. Inilah barometer amali dari seorang pemimpin.
عَنْ
جَابِر يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku
mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya
batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan
shalat” [HR. Muslim no. 81, Abu Dawud no. 4678, dan yang lainnya].
[10] Sebenarnya kalimat { لَمْ يَحْكُم بِمَآ
أَنزَلَ اللّهُ} tidak hanya mempunyai arti : “tidak memutuskan hukum
dengan apa-apa yang diturunkan Allah”. Akan tetapi ia mempunyai makna lebih
umum, yaitu mempunyai arti “tidak berhukum dengan apa-apa yang diputuskan
Allah”. Kalimat Lam Yahkum terjemahannya adalah “tidak berhukum”.
Jadi ancaman pada ayat di atas lebih umum dari sekedar pada orang yang
memutuskan hukum (hakim/penguasa), namun juga kaum muslimin yang tidak berhukum
dengan hukum Allah.
[11] Namun anehnya,
mereka (yang memutlakkan kekafiran pada setiap orang yang tidak berhukum dengan
hukum Allah) cenderung mengkhususkan pada pemimpin/penguasa negara saja.
Bukankah jika ada diantara ayah-ayah mereka yang membagi warisan tidak sesuai
dengan syari’at Islam (sebagaimana hal ini umum terjadi di masa sekarang)
dinamakan tidak berhukum atau memutuskan hukum selain dengan hukum Allah?
[12] Apabila tidak
khawatir akan penjangnya pembicaraan, niscaya akan kami tuliskan semua yang
kami ketahui dari perkataan para ulama dan mufassirin. Sebagai bahan
rujukan, silakan dilihat pada Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Khazin (atauMukhtashar-nya), Tafsir
As-Samarqandi, Al-Mufhim (oleh Abul-‘Abbas Al-Qurthubi), Tafsir
Abi Su’ud, Ahkaamul-Qur’an (oleh Abu Bakr Al-Jashshash), Tafsir
Al-Baidlawi, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah (oleh Ibnu Abil-‘Izz
Al-Hanafy), dan lain-lain.
[13] Sesuai dengan kaidah
dalam syari’at : Al-Yaqiinu laa Yuzallu bi-Syakk (sebuah keyakinan
tidak hilang/berubah hanya karena keraguan).
[14] Hadits ini merupakan
puncak pendalilan yang paling jelas dalam masalah ini. Sekali lagi perlu
kami tekankan bahwa ketaatan ini hanya pada hal yang ma’ruf. Apa yang kami
jelaskan ini bukan untuk mendukung kemaksiatan yang telah dilakukan
oleh sebagian pemimpin/penguasa. Kita tetap wajib melakukan amar ma’ruf nahi
munkar sesuai dengan kemampuan menurut cara-cara yang telah digariskan oleh
Sunnah …….
from=http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/menyikapi-penguasa-yang-dhalim-tanya.html
Tanya : Bagaimana sikap kita dalam menghadapi
pemimpin/penguasa yang dhalim dimana ia menjalankan pemerintahannya tidak
sesuai tuntunan Islam dan menyia-nyiakan hak rakyat ?
Jawab : Hakekat kepemimpinan adalah amanat yang
harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ta’ala. Allah ta’ala telah
memerintahkan siapa saja yang dipasrahi amanah (termasuk kepemimpinan) agar
menunaikannya serta tidak menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya :
يَأَيّهَا
الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرّسُولَ وَتَخُونُوَاْ
أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Anfaal : 27].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan
telah memberikan peringatan yang sangat keras bagi para pemimpin yang
menyia-nyiakan amanah Allah dalam mengurus rakyatnya, sebagaimana sabdanya :
مَا مِنْ
عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ
لِرَعِيَّتِهِ إِلّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidak ada seorang hamba pun yang mendapat amanah dari Allah untuk memimpin rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dimana keadaan mengkhianati rakyatnya kecuali Allah telah mengharamkan atasnya surga” [HR. Al-Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142].
Lantas, bagaimana sikap kita jika kita menemui pemimpin yang
dhalim lagi menyia-nyiakan amanat Allah kepada rakyatnya ? Untuk menjawab hal
ini, sudah barang tentu harus kita kembalikan kepada Al-Qur’an, As-Sunnah
Ash-Shahiihah, serta pengamalan para shahabat dan para ulama setelahnya.
Fenomena tentang munculnya para pemimpin dhalim ini sebenarnya telah ditegaskan
oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam semenjak empatbelas abad
silam. Hal ini bukan baru terjadi di abad 19 atau 20 saja, melainkan telah ada
dalam sejarah perjalanan Daulah Islam. Sikap pertama yang diperintahkan oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menghadapi
penguasa-penguasa seperti itu adalah bersabar dengan tetap mendengar dan taat.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى
تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat – AbuAl-Jauzaa’). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl” [HR. Al-Bukhari no. 7057 dan Muslim no. 1845].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه
من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه،
ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].
عن علقمة بن وائل الحضرمي عن أبيه قال سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول
الله صلى الله عليه وسلم فقال : يَا نَبِيَّ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ
عَلَيْنَا أمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهمْ وَيَمْنَعُوْنَا حَقَّنَا فَمَا
تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ
فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَه اْلأَشْعَثُ بْنِ قَيْسِ
وَقَالَ اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهمْ مَا حَمَلُوْا
وَعَلَيْكُمْ مَا حَمَلْتُمْ
Dari ‘Alqamah bin Wail Al-Hadlrami dari ayahnya ia berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju’fiy pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Nabiyullah, bagaimana pendapatmu jika kami punya pemimpin yang menuntut pemenuhan atas hak mereka dan menahan (tidak menunaikan) hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami ?”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya, dan Salamah kembali mengulangi pertanyaannya. Dan hal itu berulang hingga dua atau tiga kali. Kemudian Al-Asy’ats bin Qais menariknya (Salamah). Dan akhirnya beliau menjawab : “(Hendaklah kalian) mendengar dan taat kepada mereka. Karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat dan atas kalian apa yang kalian perbuat” [HR. Muslim no. 1846].
Hadits di atas merupakan jawaban yang sangat gamblang bagi
para pecinta Sunnah (Ahlus-Sunnah), yaitu tetap sabar atas kedhaliman penguasa
serta tetap mendengar dan taat kepada mereka dalam perkara-perkara yang ma’ruf.[1] Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ
أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [HR. Al-Bukhari no. 2955,7144; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707; Ibnu Majah no. 2864]. [2]
Al-‘Allamah Al-Mubarakfury berkata :
وفيه :
أن الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب . قال المطهر على هذا الحديث : (( يعني :سمع
كلام الحاكم وطاعته واجب على كل مسلم، سواء أمره بما يوافق طبعه أو لم يوافقه،
بشرط أن لا يأمره بمعصية فإن أمره بها فلا تجوز طاعته لكن لا يجوز له محاربة
الإمام ))
“Dalam hadits ini (yaitu Sunan At-Tirmidzi no. 1707) terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya. Al-Muthahhar mengomentari hadits ini : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa tersebut” [Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 5/365, Cet. As-Salafiyyah, Madinah].
Al-Harb berkata dalam kitabnya Al-‘Aqidah dengan
menukil perkataan dari sejumlah ulama salaf :
وإن أمرك
السلطان بأمر فيه لله معصية فليس لك أن تطعه البتة وليس لك أن تخرج عليه ولا تمنعه
حقه
“Jika sulthan (penguasa) memerintahkanmu tentang satu perkara kemaksiatan di sisi Allah, maka tidak ada ketaatan bagimu kepadanya. Akan tetapi, engkau juga tidak boleh keluar dari ketaatannya dan menahan haknya” [Lihat Haadil-Arwaah oleh Ibnul-Qayyim hal. 401].
Dan inilah contoh praktek nyata dari salah satu Imam kaum
muslimin, yaitu Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, ketika terjadi
fitnah di masanya. Ketika itu semarak pemahaman kufur Mu’tazillah dan Jahmiyyah
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Para penguasa banyak
menumpahkan darah dan memenjarakan para ulama dan kaum muslimin, termasuk di
antaranya Imam Ahmad. Kisah kesabaran dan sikap Imam Ahmad terhadap penguasa
yang dhalim ini sudah sedemikian masyhur [3]. Al-Imam Hanbal rahimahullah mengisahkan
:
أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي
عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد
تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا
سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا
تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة
أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر
وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار
“Para ahli fiqh Baghdad bersepakat menemui Abu ‘Abdillah – yaitu Imam Ahmad bin Hanbal – untuk membicarakan kepemimpinan Al-Watsiq (yaitu karena penyimpangan dan kedhalimannya terhadap hak-hak kaum muslimin). Mereka mengadu : “Sesungguhnya perkara ini telah memuncak dan tersebar, yaitu ucapan: Al-Qur’an adalah makhluk [4] dan perkara yang lainnya (yaitu kedhalimannya terhadap kaum muslimin). Kami tidak ridla dengan kepemimpinannya dan kekuasaannya”. Maka beliau (Al-Imam Ahmad) mendebat mereka dan berkata: “Wajib atas kalian mengingkarinya hanya dalam hati kalian. Janganlah kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan (kepada pemerintah), janganlah kalian memecah-belah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Renungkanlah oleh kalian akibat yang akan ditimbulkan dari apa yang hendak kalian lakukan. Dan bersabarlah kalian sampai orang yang baik hidup tentram dan selamat dari orang yang jahat”. Lalu beliau melanjutkan : “Hal ini (yaitu keluar dari ketaatan penguasa/pemimpin) bukanlah suatu kebaikan. Ini adalah tindakan yang menyelisihi atsar” [Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196. Kisah ini juga dikeluarkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah hal. 133].
Bersabar dan tidak keluar dari ketaatan bukan berarti kita
meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Kita tetap diwajibkan untuk beramar
ma’ruf nahi munkar kepada siapapun – termasuk kepada penguasa/pemimpin – sesuai
dengan kemampuan yang kita miliki. Namun, tidak boleh bagi kita dengan
mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar untuk menjelek-jelekkan
penguasa di muka umum, seperti mengatakan kalimat-kalimat provokatif : “Penguasa
kita ini adalah penguasa yang korup; Penguasa kita dan kabinetnya telah
terpengaruh pada ide-ide kafir; Kebijakan penguasa kita telah membuat rakyat
sengsara; Para pemimpin kita telah menyia-nyiakan amanat ; dan yang
semisalnya. Pernyataan-pernyataan seperti itu (walau dengan alasan
nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar) akan menimbulkan fitnah yang besar.
Antara pemimpin dan rakyat semakin terbuka jurang pemisah. Tuntutan syari’at
untuk mendengar dan taat pada perkara yang mubah dan ma’ruf pun
akhirnya ditinggalkan karena kebencian mereka terhadap para pemimpin. Apabila
itu berlanjut, api fitnah semakin menyala-nyala, diangkatlah senjata, dan
akhirnya tumpahlah darah. Imbasnya pula, muncullah kelompok-kelompok sempalan
yang mengkafirkan negeri-negeri Islam, para penguasa muslim, dan bahkan kaum
muslimin secara umum. Ini bukanlah prediksi fiktif tanpa bukti.....
Islam sebagai agama yang hanif telah memberikan kaifiyah (cara)
menasihati dan beramar-ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, sebagaimana sabda
Rasulullahshallallaahu ’alaihi wa sallam:
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً
وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ
وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat).Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya” [HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi].
Realisasi petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam di atas tercermin dari apa yang dilakukan Usamah bin Zaid radliyallaahu
‘anhu ketika banyak kaum muslimin terpengaruh hembusan fitnah kaum
munafikin pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu
‘anhu, dimana beliau dan para pejabat yang mendampinginya dituduh telah banyak
melakukan penyelewengan (dan sungguh jauh sangkaan mereka itu – Abu
Al-Jauzaa’).
عن أسامة بن زيد قال قيل له ألا تدخل على
عثمان فتكلمه فقال أترون أني لا أكلمه إلا أسمعكم والله لقد كلمته فيما بيني وبينه
ما دون أن أفتتح أمرا لا أحب أن أكون أول من فتحه
Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Seseorang berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”. Maka Usamah menjawab: “Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya” [HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 2989]. [5]
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :
ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض
المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث
أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله وقد قدمنا في أول
كتاب السير هذا أنه لا يجوز الخروج على الأئمة وإن بغوا في الظلم أي مبلغ ما
أقاموا الصلاة ولم يظهر منهم الكفر البواح والأحاديث الواردة في هذا المعنى
متواترة ولكن على المأموم أن يطيع الإمام في طاعة الله ويعصيه في معصية الله فإنه
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق.
“Akan tetapi, barangsiapa yang mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian permasalahan, sudah selayaknya menasihati tanpa mempermalukannya di hadapan khalayak umum. Namun caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits: “Hendaklah ia mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”. Telah kami paparkan diawal buku As-Siyar bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam (pemerintah) kaum muslimin walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun selama mereka menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah mutawatir. Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk menta'ati imam dalam keta'atan kepada Allah dan mendurhakainya bila ia mengajak bermaksiat kepada Allah. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq” [As-Sailul-Jarar, hal. 965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].
Inilah petunjuk Nabawi tentang nasihat dan amar-ma’ruf
nahi munkar terhadap penguasa muslim. Hadits di atas sekaligus sebagai
penafsir hadits lain yang berbunyi:
إن من أعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر
“Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah kalimat ‘adil (benar) yang disampaikan di sisi penguasa yang dhalim/jahat” [HR. Abu Dawud no. 4344, At-Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011, Al-Khathiib dalam Taariikh-nya 7/28, dan yang lainnya; shahih].
Mengapa disebut jihad yang paling besar ? Tidak lain karena
ia telah berani menyampaikan kebenaran langsung di hadapan penguasa dengan cara
menemuinya empat mata. Bisa jadi ia ditangkap, dipenjara, atau bahkan dibunuh
karena nasihat yang disampaikannya. Dan itulah jihad baginya.
Kita tetap dituntut untuk menjelaskan kepada umat bahwa yang
haq itu adalah haq dan yang bathil adalah bathil. Misalnya saja, jika penguasa
kita menerapkan sistem perekonomian kapitalis ala Yahudi yang
menyuburkan praktek riba. Maka, tidak ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa
riba itu haram. Kita tetap menjelaskan kepada umat tentang hal tersebut dan
memperingatkan mereka agar menjauhi riba dengan segala macam jenis dan
cabangnya; tanpa perlu kita mengeluarkan perkataan-perkataan yang bernada
mencela pemerintah/penguasa yang memprovokasi massa serta membakar emosi
khalayak. Kita ucapkan perkataan-perkataan yang mulia kepada penguasa
tanpa ada kesan menjilat. Tetap tegas, akan tetapi sesuai Sunnah.
Kesimpulan : Bila kita mendapatkan penguasa
melakukan kemaksiatan – baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan
rakyatnya – maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam
hal yang ma’ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di
mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mencela
penguasa/pemimpin secara khusus dalam haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah
akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan
kedudukan pemimpin/penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa
yang dhalim/jahat bukan berarti ridla dengan kemaksiatan yang ia lakukan.
Apabila seseorang ingin menasihati seorang pemimpin/penguasa terkait dengan kemaslahatan
kaum muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara pribadi (empat mata). Itulah
petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang banyak ditinggalkan oleh
sebagian kaum muslimin. Hendaknya kita senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia
memberikan petunjuk kepada para pemimpin kita untuk selalu kembali pada
kebenaran dan istiqamah di atasnya. Penguasa pada hakekatnya merupakan
perwujudan kondisi umat. Bila umat masih bergelimang dalam kesyirikan, bid’ah,
dan maksiat; maka terangkatlah seorang pemimpin yang kondisinya tidak
jauh berbeda dengan mereka. Sangat sulit membayangkan terwujudnya kepemimpinan ala Abu
Bakar Ash-Shiddiq jika umat masih dalam keadaan seperti ini. Ini merupakan
bagian dari ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti petunjuk Nabi, maka
ia akan selamat; dan siapa yang menyimpang darinya, maka ia akan binasa. Wallaahu
a’lam.
DIALOG LANJUTAN……
Tanya : Saya setuju dengan pernyataan taat kepada
pemimpin. Namun, menurut saya, semua itu terkait dengan pemimpin yang masih
berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lantas, bagaimanakah dengan pemimpin
yang tidak berhukum dengan kedua hal tersebut (sebagaimana sekarang)? Dan
tolong hubungkan dengan QS. 5 : 44,45,47 dan QS. 3 : 118 ?
Jawab : Telah disebutkan dalam uraian kami sebelumnya
tentang satu hadits tentang kemunculan atsarah. Pada kesempatan ini
akan kami tuliskan riwayat yang lain tentang atsarah :
إنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَة
وأُمُوْر تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا يَا رَسُْولَ الله كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ
أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ
وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada “atsarah” dan banyak perkara yang kalian ingkari dari mereka”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami yang menemuinya ?”. Beliau menjawab : “Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah” [HR. Muslim no. 1843].
Imam An-Nawawi berkata :
والأثرة
: الاستئثار والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء
بالدنيا، ولم يوصلوكم حقكم مما عندهم
“Al-Atsarah adalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan dunia. Jadi arti hadits itu (yaitu hadits atsarah) adalah: dengar dan taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka lebih mengutamakan dan mengutamakan urusan dunia mereka di atas kalian" [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/225].[6]
Beliau kemudian melanjutkan :
فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي
ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله
– تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits atsarah) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [idem, 12/232].
Al-Atsarah sebagaimana yang terdapat dalam hadits itu
merupakan gambaran penguasa dhalim yang menyia-nyiakan amanah kepemimpinan yang
diberikan Allah untuk ditunaikan kepada rakyatnya. Ia adalah tipe penguasa yang
sewenang-wenang. Dalam realitas kehidupan kita, maka al-atsarah tergambar
pada diri seorang pemimpin yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan
perbuatan maksiat lainnya. Pendek kata, ia merupakan tipe penguasa yang
menjalankan kepemimpinannya dengan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah
(pada beberapa permasalahan). Lantas, apa yang mesti diperbuat oleh kaum
muslimin ketika menemui atsarah ini? Keluar dari ketaatan? atau
bahkan memberontak (kudeta)? Ternyata tidak. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam – dan beliaulah orang yang paling tahu tentang syari’at
Islam – tetap memerintahkan untuk sabar, mendengar dan taat pada hal-hal yang ma’ruf,
selama pemimpin tersebut masih berstatus sebagai seorang muslim (tidak kafir)
dan masih menegakkan shalat.
عَن عبَادَةَ ابن الصَامت – رَضيَ الله عَنه
-، قَالَ : دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ
فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا
ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من
الله فيه برهان
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah” [HR. Al-Bukhari no. 7005 dan Muslim no. 1709]. [7]
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ
تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ
وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا
نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا
رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا
تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan: Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang?”. Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855, Ahmad no. 24027 dan lainnya]. [8]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan barometer menegakkan shalat sebagai tolok-ukur ketaatan terhadap
penguasa adalah karena shalat merupakan ibadah amali paling agung (setelah
ucapan syahadat) yang jika ditinggalkan dapat menjerumuskan seseorang pada
kekafiran.[9] Pada asalnya, ketaatan tidaklah
diberikan kecuali pada seorang muslim.
Adapun tentang firman Allah ta’ala :
وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [QS. Al-Maidah:44] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. [QS. Al-Maidah:45] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”[QS. Al-Maidah:47] [10]
Maka ayat di atas juga tidak memutlakkan setiap orang yang
tidak berhukum dengan hukum Allah adalah kufur akbar yang
mengeluarkannya dari Islam (murtad) yang dengan itu kita boleh keluar dari
ketaatan kepadanya (bahkan memberontak/angkat senjata kepadanya). Kita semua
paham – insyaAllah – bahwasannya berhukum dengan hukum Allah itu
mencakup segala hal (aqidah, hukum, akhlaq, dan yang sebagainya); karena
kalimat maa anzalallah (apa-apa yang diturunkan Allah) meliputi semua
isi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah, maka hal itu dinamakan ghairu maa anzalallaah (selain
yang diturunkan Allah).
Jika ada orang yang berpandangan dengan pemutlakan kekafiran
(kufur akbar) terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka
konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, dan mungkin
juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan pada setiap pelaku kemaksiatan
seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang lain-lain. Tidak diragukan lagi
ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang merupakan warisan kaum
sesat Khawarij dan Mu’tazillah.
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah telah mengisyaratkan
hal ini dengan perkataannya :
فإن الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل
الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم
يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن
يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله
“Sesungguhnya Allah telah berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ;Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz 3 hal. 234]. [11]
Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa bahwa orang yang
tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh padanya kufur
akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan tersebut
merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama
(tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat).
Para ulama telah menjelaskan makna dari ayat di atas sebagai berikut :
Abul-’Abbas Al-Qurthubi rahimahullah (guru dari mufassir Abu
’Abdillah Al-Qurthubirahimahullah penulis Al-Jaami’
li-Ahkaamil-Qur’an) berkata :
وقوله تعالى : { ومن لم يحكم بما أنزل الله
فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا
حجَّة لهم فيه ؛ لأنَّ هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى ، كما
جاء في هذا الحديث ، وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب نزولها .
وبيان هذا : أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛
فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ كان
عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ،
لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ،
وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه.
”Firman Allah ta’ala : Barangsiapa yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir [QS. Al-Maaidah : 44]. Dhahir ayat ini dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa (yaitu khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat tersebut. Karena ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi yang menyelewengkan firman Alah ta’ala, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits, dan mereka adalah orang-orang kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan mereka yang menjadi sebab turun ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya adalah : Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu, kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi. Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia bermaksiat dengan meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini seperti shalat dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim, 5/117].
Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :
أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو
يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى
من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق، وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من
جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكم به؛ فهو ظالم فاسق
"Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi –maka orang ini kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya - tanpa adanya pengingkaran –maka dia itu dhalim dan fasiq. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq" [lihat Zaadul-Masiir 2/366]. Dan lain-lain[12].
Jika ada orang yang berkata : "Bukankah para
penguasa kita telah ‘mengganti’ hukum Allah dengan hukum-hukum lain seperti
demokrasi sehingga dengan itu mereka telah kafir?". Maka kita
jawab : "Tidak diragukan bahwa hukum demokrasi merupakan hukum kufur.
Namun perlu dicatat bahwa «mengganti» atau tabdiil (تَبْدِيْلٌ) yang
dijelaskan para ulama Ahlus-Sunnah maknanya adalah keadaan seorang yang membuat
hukum selain hukum Allah dengan menganggap bahwa itu adalah hukum Allah atau
seperti hukum Allah. Adapun jika tidak demikian, maka bukan dinamakan tabdil (yang
menyebabkan kufur akbar).
Al-Imam Ibnul-‘Arabi rahimahullah berkata :
وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند
الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على
أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين
"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624].
Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi ini sama seperti yang
dikatakan oleh Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (6/191) dan Ibnu Taimiyyah
dalam Majmu’ Fatawa (3/268). Kita harus berhati-hati dalam masalah
ini. Jika kita tidak bisa menetapkan dengan satu kepastian, maka tidak boleh
kita menghilangkan sifat iman dan Islam dari seorang muslim (sehingga
menghukuminya menjadi seorang kafir). [13]
Inti dari penjelasan di atas adalah bahwa tidak berhukumnya
seseorang dengan satu atau beberapa bagian dari hukum Allah tidaklah selalu
mengharuskan adanya kekafiran baginya. Hal itu sangat selaras dengan
hadits :
لينقضن عرا الإسلام عروة عروة فكلما انتقضت
عروة تشبت الناس بالتي تليها وأولهن نقضا الحكم وأخرهن الصلاة
“Sungguh akan lepas tali Islam seutas demi seutas. Maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat.” [HR. Ahmad no. 22214; shahih].
Perhatikanlah! Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak menghilangkan Islam secara keseluruhan (hingga menjadi kafir)
hanya karena sebab tidak berhukum dengan hukum Allah pada beberapa bagiannya. Nash
ini berlaku umum, baik amir (penguasa) maupun ma’mur (rakyat). Perinciannya
adalah sebagaimana telah dituliskan. Jika hal ini telah menjadi pemahaman bagi
kita semua, maka ayat selanjutnya dari yang ditanyakan (yaitu QS. Aali Imran :
118) menjadi sangat mudah. Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ
خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا
تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” [QS. Aali-‘Imraan : 118].
Dalam ayat tersebut hanyalah mengandung larangan untuk
menjadikan teman kepercayaan (bithaanah) selain dari kalanganmu (min duunikum). Kalimat min
duunikum di sini maknanya adalah selain dari kaum muslimin, yaitu orang
kafir. Jadi larangan pada ayat tersebut adalah larangan untuk menjadikan orang
kafir sebagai teman dekat yang kita [lihat Tafsir Ibnu Katsir QS. Aali
‘Imran : 118].
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa penguasa yang tidak
berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu berkonsekuensi kafir, maka
menerapkan ayat tersebut dalam pembahasan adalah kurang tepat. Kita tetap
diperintahkan untuk mendengar dan taat pada penguasa selama ia masih berstatus
Islam dan menegakkan shalat.
Terakhir, kami tutup pembicaraan ini dengan hadits :
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ
بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ
قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ
أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ
وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ
وَأَطِعْ
“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya: “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab:“(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847].[14]
Wallaahu a’lam.
[Abu Al-Jauzaa’ di tengah keheningan malam pada tanggal 23 Jumadits-Tsani
1430 H].
إنما
الطاعة في المعروف
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf (kebajikan)” [HR. Al-Bukhari no. 4340,7257; Muslim no. 1840; Abu Dawud no. 2625; dan lain-lain].
[2] Sebagian orang
ada yang mempunyai pemahaman bahwa jika ada seorang pemimpin yang memerintahkan
kemaksiatan atau berbuat kemaksiatan, maka otomatis gugurlah ketaatan kepadanya
secara keseluruhan berdasarkan hadits tersebut. Pemahaman tersebut adalah tidak
benar. Sudah menjadi pengetahuan yang jamak di kalangan ulama dan penuntut ilmu
bahwa yang gugur itu hanyalah pada hal perintah maksiat saja. Adapun ketaatan
secara umum kepadanya masih tetap ada dan wajib dilakukan. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallambersabda :
ألا من
ولي عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا
ينزعن يدا من طاعة
“Ketahuilah, barangsiapa diperintah atasnya (oleh) seorang wali (imam/pemimpin), kemudian dia melihat (imam/pemimpin tersebut melakukan) kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membenci kemaksiatan kepada Allah (yang dilakukan imam/pemimpin tersebut). Dan tidak boleh baginya melepaskan tangan (keluar) dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855].
[3] Misalnya dapat
dibaca dalam kitab Siyaru A’lamin-Nubalaa’ karya Imam Adz-Dzahabi
yang tersebar dalam beberapa juznya.
[4] Perkataan ini
adalah perkataan kufur menurut kesepakatan ulama Ahlus-Sunnah; karena Al-Qur’an
adalah Kalamullah, bukan makhluk – Abu Al-Jauzaa’.
[5] Ibnu Hajar
berkata [أي باب الإنكار على
الأئمة علانية خشية ان تفترق الكلمة] “Yaitu pintu mengingkari para penguasa
dengan cara terang-terangan (di hadapan khalayak), karena aku mengkhawatirkan
persatuan kaum muslimin akan tercerai-berai.” [Fathul Bari juz 13
penjelasan hadits nomor 6685].
[6] Pengertian atsarah yang
diterangkan oleh An-Nawawi adalah sama dan semakna sebagaimana yang diterangkan
oleh ulama yang lainnya, seperti Ibnul-Atsir (An-Nihayah fii Gharibil-Hadits),
As-Suyuthi (Ad-Diibaaj ‘alaa Shahih Muslim), Abul-‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim
lima Asykala min-Talkhiisi Kitaabi Muslim), Al-Qadli ‘Iyadl (Ikmaalul-Mu’lim
Syarh Shahih Muslim), Ibnu Barjas (Mu’ammalatul-Hukkam), dan yang lainnya.
Sebagai contoh Al-Hafidh As-Suyuthi rahimahullah menerangkan
makna Atsarah : “Monopoli dan berbuat sewenang-wenang dalam urusan
dunia, dan menghalang-halangi sampai kebenaran dari apa-apa yang berada di
tangannya (tanggung jawabnya)” [Ad-Diibaaj, penjelasan hadits no. 1846].
[7] Kekufuran yang
nyata/jelas yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah kekufuran yang didasari
atas nash yang dapat menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam (kufur
akbar), secara yakin tanpa adanya kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat
memalingkannya dari kekufuran tersebut. Vonis kufur ini tidak bisa dilakukan
kecuali setelah ditegakkannya hujjah kepada pelaku (dan si pelaku paham dengan
hujjah yang diberikan) serta terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran.
Syarat-syarat pengkafiran adalah mengetahui (dengan jelas), dilakukan dengan
sengaja, tidak ada paksaan. Sebagai contoh, para ulama telah mengatakan kafir
hukumnya orang yang menghina dan mencela syari’at Allah. Namun kekafiran tersebut
tidaklah bisa langsung kita voniskan secara individu kepada setiap orang yang
melakukannya. Barangkali saja orang tersebut tidak tahu bahwa apa yang
dicelanya tersebut adalah syari’at Allah, atau mungkin ia melakukannya karena
terpaksa/dipaksa. Jika keadaannya seperti itu, maka vonis kafir bagi orang
tersebut tidaklah berlaku.
[8] Sebagian orang
menganggap bahwa yang dimaksudkan dengan “shalat” di sini adalah kinayah dari
menegakkan hukum secara keseluruhan, sebagaimana hadits :
لو
استعمل عليكم عبد يقودكم بكتاب الله، فاسمعوا له وأطيعوا
“Seandainya yang memerintah kalian seorang budak Habsyi berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838].
Maka kita jawab: Pertama, Satu lafadh harus kita
pahami sesuai dengan hakikatnya. Tidak boleh kita ubah lafadh hakiki dengan
lafadh majaz (kinayah) kecuali setelah diterangkan kemusykilannya. Oleh karena
itu, lafadh shalat di sini adalah lafadh yang hakiki, bukan majaz.
Tidak ada penghalang sama sekali untuk memahaminya dengan makna hakiki. Kedua, Lafadh
“Kitabulah” dalam hadits tersebut adalah lafadh yang muthlaq (yaitu
lafadh yang mengandung pengertian umum pada jenisnya). Menegakkan Kitabullah itu
secara dhahir mengandung makna menegakkan seluruh dari apa yang termaktub di
dalamnya baik dalam masalah aqidah, hukum, akhlaq, dan yang lainnya. Dan hal
ini tidaklah mungkin ada kecuali pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan
era Khulafaur-Rasyidin. Adapun setelah itu, maka hukum Islam tidaklah
ditegakkan secara sempurna sampai dengan hari ini. Dan memang, bukanlah makna
ini yang dimaui oleh syari’at. Makna menegakkan Kitabullah itu di-taqyid (dibatasi
pengertiannya) dengan kata “shalat” sebagaimana hadits yang telah disebutkan.
Dalam ilmu Ushul-Fiqh hal ini disebut Taqyid Munfashil. Jika ada
dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai
kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq
‘alal-muqayyad wajibun) [silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah]. Intinya, bahwa seorang pemimpin itu
harus tetap didengar dan ditaati serta tidak boleh keluar (dari ketaatan) jika
ia masih menegakkan shalat. Inilah barometer amali dari seorang pemimpin.
عَنْ
جَابِر يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” [HR. Muslim no. 81, Abu Dawud no. 4678, dan yang lainnya].
[10] Sebenarnya kalimat { لَمْ يَحْكُم بِمَآ
أَنزَلَ اللّهُ} tidak hanya mempunyai arti : “tidak memutuskan hukum
dengan apa-apa yang diturunkan Allah”. Akan tetapi ia mempunyai makna lebih
umum, yaitu mempunyai arti “tidak berhukum dengan apa-apa yang diputuskan
Allah”. Kalimat Lam Yahkum terjemahannya adalah “tidak berhukum”.
Jadi ancaman pada ayat di atas lebih umum dari sekedar pada orang yang
memutuskan hukum (hakim/penguasa), namun juga kaum muslimin yang tidak berhukum
dengan hukum Allah.
[11] Namun anehnya,
mereka (yang memutlakkan kekafiran pada setiap orang yang tidak berhukum dengan
hukum Allah) cenderung mengkhususkan pada pemimpin/penguasa negara saja.
Bukankah jika ada diantara ayah-ayah mereka yang membagi warisan tidak sesuai
dengan syari’at Islam (sebagaimana hal ini umum terjadi di masa sekarang)
dinamakan tidak berhukum atau memutuskan hukum selain dengan hukum Allah?
[12] Apabila tidak
khawatir akan penjangnya pembicaraan, niscaya akan kami tuliskan semua yang
kami ketahui dari perkataan para ulama dan mufassirin. Sebagai bahan
rujukan, silakan dilihat pada Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Khazin (atauMukhtashar-nya), Tafsir
As-Samarqandi, Al-Mufhim (oleh Abul-‘Abbas Al-Qurthubi), Tafsir
Abi Su’ud, Ahkaamul-Qur’an (oleh Abu Bakr Al-Jashshash), Tafsir
Al-Baidlawi, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah (oleh Ibnu Abil-‘Izz
Al-Hanafy), dan lain-lain.
[13] Sesuai dengan kaidah
dalam syari’at : Al-Yaqiinu laa Yuzallu bi-Syakk (sebuah keyakinan
tidak hilang/berubah hanya karena keraguan).
[14] Hadits ini merupakan
puncak pendalilan yang paling jelas dalam masalah ini. Sekali lagi perlu
kami tekankan bahwa ketaatan ini hanya pada hal yang ma’ruf. Apa yang kami
jelaskan ini bukan untuk mendukung kemaksiatan yang telah dilakukan
oleh sebagian pemimpin/penguasa. Kita tetap wajib melakukan amar ma’ruf nahi
munkar sesuai dengan kemampuan menurut cara-cara yang telah digariskan oleh
Sunnah …….
from=http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/menyikapi-penguasa-yang-dhalim-tanya.html