Islam Pedoman Hidup: Sifat Duduk Tasyahud Akhir

Rabu, 14 Juni 2017

Sifat Duduk Tasyahud Akhir



SIFAT DUDUK TASYAHUD AKHIR

Oleh
Ustadz Haidir Rahmân


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat[1] 

Demikian wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kaum Muslim senantiasa menjadikan shalatnya semirip mungkin dengan shalat yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini sekaligus merupakan kaidah agung yang menunjukkan bahwa pijakan utama dalam hal shalat adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan madzhab ataupun golongan tertentu dalam Islam. Tidak halal bagi seorang Muslim ketika mendapatkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menolaknya dan membenturkan Sunnah tersebut dengan pendapat gurunya, syaikhnya, kiainya, atau siapapun juga. 

Namun adakalanya ketika Sunnah dipahami dari berbagai sisi, pemahaman yang berbeda tersebut melahirkan berbagai pendapat atau madzhab dalam agama ini. Di antara contoh perbedaan pendapat yang lahir karena perbedaan cara pandang terhadap Sunnah adalah permasalahan sikap duduk tasyahhud akhir. 

Dalam permasalahan ini para Ulama berbeda pendapat, apakah duduk tasyahhud akhir ini dilakukan dengan sikap tawarruk atau dengan sikap iftirâsy? Sebelum memulai pembahasan ini, ada baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu apa itu duduk tawarruk dan duduk iftirâsy.

DUDUK TAWARRUK 

Tawarruk berasal dari kata al-warik yang berarti pangkal paha. Disebut duduk tawarruk karena seorang yang duduk dengan sikap demikian menjadikan pangkal paha kirinya sebagai sandaran. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat hadits Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu : 

وَفِي آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di akhir beliau duduk dengan pangkal paha kirinya. [HR Ahmad, 4382].

Dalam riwayat lain dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu sikap duduk tawarruk adalah sebagai berikut:

وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِه

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di raka’at akhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya, menegakkan kaki yang lain kemudian duduk pada tempatnya. [HR al-Bukhâri, 828].

DUDUK IFTIRASY 

Iftirâsy, berasal dari kata farasya yang berarti membentangkan. Sikap duduk ini dilakukan dengan cara duduk beralaskan telapak kaki kiri kemudian menegakkan kaki kanan, berdasarkan hadits Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu :

جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.

SIFAT DUDUK TASYAHUD AKHIR 

Para Ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Berikut ini pendapat mereka beserta sandaran dalilnya.

Pendapat pertama; Duduk pada raka’at terakhir dilakukan dengan duduk iftirâsy

Pendapat ini dipegang oleh madzhab Hanafiyyah. Mereka berpendapat bahwa semua duduk dalam shalat di setiap raka’at dilakukan dengan cara iftirâsy. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani menukilkan pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah , “Imam Abu Hanifah mengatakan, ‘Duduk di dalam shalat semuanya sama, baik pada raka’at kedua ataupun raka’at terakhir. Yaitu dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri (iftirâsy).[2]

Pendapat ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata:

وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. [HR Muslim, 240].

Pendapat kedua; Pendapat yang menyatakan bahwa seluruh duduk (?=Tahiyat-dass) dalam shalat adalah tawarruk. 

Pendapat ini dipegang oleh madzhab Mâlikiyyah. Pendapat ini merupakan kebalikan dari pendapat Ulama Hanafiyyah. 

Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Sikap duduk di antara dua sujud sama dengan duduk tasyahud, yaitu dengan meletakkan pantat (kiri) di atas tanah, menegakkan kaki kanannya serta mengeluarkan kaki kirinya.”[3] 

Pendapat ini berdasarkan hadits Abdillâh bin Umar Radhiyallahu anhuma yang diriwayatkan Imam Mâlik rahimahullah sendiri dalam al-Muwatha`. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata :

إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَن تَنْصِبَ رِجْلَكَ اليُمْنَى وَتُثْنِيَ رِجْلَكَ اليُسْرَى
Sunnah shalat adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menjulurkan kaki kirimu (keluar melewati kaki kanan).[4]

Pendapat Ketiga; Pendapat yang mengatakan bahwa duduk akhir pada shalat dilakukan dengan cara tawarruk sedangkan selain raka’at akhir dilakukan dengan cara iftirâsy 

Ini pendapat madzhab Syâfi’iyyah. Disebutkan oleh Imam sl-Mawardi dalam Syarh Mukhtashar Muzani, ketika mengomentari ucapan Imam Syâfi’i  tentang duduk di raka’at terakhir, ia mengatakan, “Adapun duduk ketika itu (tasyahud akhir, Pen.), dilakukan dengan cara tawarruk sebagaimana yang telah kami jelaskan. Sedangkan ketika tasyahhud awal dilakukan dengan cara iftirâsy sebagaimana telah kami sebutkan.”[5] 

Pendapat ini didasarkan pada hadits Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Humaid as-Sa’idi berkata :

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Akulah yang paling hafal shalat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 
Kemudian berkaitan dengan sifat duduk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Radhiyallahu anhu berkata :

فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ

Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada raka’at kedua, (maka) beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Kemudian ketika duduk di raka’at terakhir, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kaki kirinya, menegakkan kaki kanannya, kemudian duduk di atas tempatnya.[6] 

Pendapat Keempat; Duduk tawarruk hanya dilakukan dalam shalat yang terdapat dua tasyahhud saja, yaitu shalat tiga raka’at (Maghrib), dan empat raka’at (Zhuhur, ‘Ashar, dan ‘Isya). Adapun shalat yang hanya memiliki satu kali tasyahhud, maka duduknya adalah iftirâsy. 

Pendapat ini dipegang oleh madzhab Hanabilah. Berkenaan dengan hal ini, perhatikanlah percakapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dengan putranya Abdullah berikut ini.

Abdullah mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku tentang duduk tawarruk di dalam shalat.
Ayahku mengatakan, “Hadits Abu Humaid menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tawarruk pada raka’at yang keempat.
Aku katakan, “Bagaimana dengan shalat Fajar dan Jum’at, apakah duduknya juga tawarruk ?
Ayahku menjawab, “Tidak! Untuk shalat Fajar dan Jum’at, duduknya bukan tawarruk karena duduk (tasyahhud)-nya hanya satu.”
Aku katakan, “Tapi Imam asy-Syâfi’i mengatakan bahwa duduknya tetap tawarruk, karena duduk tawarruk itu dijadikan untuk duduk dalam waktu yang lebih lama.”
Ayahku menjawab, “Bagiku tidak demikian, seorang hamba hanya duduk tawarruk dalam shalat yang memiliki dua duduk (tasyahhud). Shalat ‘Isya duduk (akhirnya) tawarruk juga, karena di dalamnya terdapat dua duduk tasyahhud.[7] 
 
Dalil Imam Ahmad rahimahullah yang mendasari pendapat beliau ini sama dengan dalil yang digunakan oleh Imam Syâfi’i rahimahullah sebelumnya, yaitu hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu, hanya saja Imam Ahmad rahimahullah memandang bahwa hadits Abu Humaid itu khusus bagi shalat yang memiliki dua tasyahhud saja, yaitu Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya. Sedangkan Imam Syâfi’i rahimahullah memandang bahwa hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu ini umum berlaku bagi semua shalat, baik shalat yang memiliki satu tasyahhud maupun dua tasyahhud.

MANAKAH PENDAPAT YANG LEBIH KUAT? 

Dari keempat pendapat di atas, yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah. Untuk lebih mempermudah penjelasannya, kami akan membagi khilaf Ulama ini menjadi dua bagian. Yang pertama antara madzhab Syâfi’iyyah dengan mazhab Hanafiyyah dan Mâlikiyyah. Dan yang kedua, antara madzhab Syâfi’iyyah dengan Hanâbilah. 

Bagian Pertama
 
Madzhab Syafi’iyyah lebih dekat kepada kebenaran daripada mazhab Hanafiyyah dan Mâlikiyyah karena dalil yang digunakan lebih menjelaskan (cara) duduk yang dimaksud dengan gamblang. Abu Humaid Radhiyallahu anhu menjelaskan duduk mana saja yang iftirâsy, dan duduk mana yang tawarruk. Sedangkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang merupakan sandaran Ulama Hanafiyyah, tidak ada keterangan di dalamnya terkait duduk iftirâsy tersebut, apakah dilakukan ketika tasyahhud awal atau tasyahhud akhir ? Yang Nampak adalah hadits Abu Humaid-lah yang menjelaskan bahwa duduk yang dimaksud dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tersebut adalah duduk tasyahhud awal dan duduk-duduk lainnya selain duduk raka’at terakhir. 
 
Demikian juga dengan madzhab Mâlikiyyah, dalilnya juga masih menggantung; apakah duduk yang dimaksud adalah semua duduk, ataukah duduk akhir saja ? Kemudian datanglah hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu sebagai penjelas, bahwa duduk tawarruk yang masih menggantung itu adalah duduk tasyahhud akhir. 

Apabila kita hanya berpegang pada hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma saja -yang dalam hal ini merupakan pendapat Ulama Hanafiyyah- maka kita harus menolak hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma. Sebaliknya bila hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma saja yang kita amalkan -yang dalam hal ini sebagai pendapat Mâlikiyyah- maka konsekwensinya hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma harus ditolak. Dengan adanya hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu tersebut, maka kita dapat mengamalkan semua hadits di atas tanpa ada pertentangan. Kita bisa mengamalkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dan juga bisa mengamalkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma. 

Bagian Kedua
 
Yaitu khilaf antara Imam Syâfi’i dengan Imam Ahmad bin Hambal. Mereka berdua sama, bersandar kepada hadits yang sama, yaitu hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu. Namun perbedaannya, Imam Ahmad rahimahullah memandang hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu hanya khusus bagi shalat empat raka’at dan tiga raka’at, karena konteks hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu menyebutkan bahwa beliau sedang menceritakan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki dua tasyahhud. Pengkhususan makna suatu hadits dengan berdasarkan konteks hadits seperti ini dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh dinamakan dengan at-takhshîsh bis-siyâq atau at-takhshîsh bil-qarînah. 
 
Agar lebih jelas lagi mengenai proses takhshish ini, kami akan menggambarkannya dengan bahasa matematika khususnya bahasa himpunan.

Hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu berlaku umum untuk shalat yang memiliki satu tasyahhud dan dua tasyahhud. Maka kita tulis Hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu ini sebagai himpunan AH dengan 2 anggota himpunan, yaitu shalat satu tasyahhud dan shalat dua tasyahhud.

AH = {shalat satu tasyahhud, shalat dua tasyahhud}

Jika Imam Ahmad mengkhususkan hadits Abu Humaid hanya untuk shalat dua tasyahhud saja, artinya beliau mengeluarkan “shalat satu tasyahhud” dari anggota himpunan AH. Proses pengeluaran anggota himpunan inilah yang dinamakan takhshish. Kemudian untuk mengeluarkan atau mengecualikan sesuatu dari pernyataan yang bersifat umum, maka harus ada sebab yang mendasarinya. Sebab inilah yang di dalam ilmu Ushul-Fiqh disebut mukhashish. Dalam proses takhshish ini Imam Ahmad menggunakan konteks hadits sebagai mukhashish untuk mengeluarkan shalat satu tasyahhud dari keumuman pernyataan Abu Humaid Radhiyallahu anhu. 

Ketika mengomentari takhshish seperti ini, al-Allamah asy-Syaukani rahimahullah dalam Irsyadul-Fuhul-nya mengatakan, “

وَالْحَقُّ: أَنَّ دَلَالَةَ السِّيَاقِ إِنْ قَامَتْ مَقَامَ الْقَرَائِنِ الْقَوِيَّةِ الْمُقْتَضِيَةِ لِتَعْيِينِ الْمُرَادِ، كَانَ الْمُخَصِّصُ هُوَ مَا “اشْتَمَلَ” عَلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنِ السِّيَاقُ بِهَذِهِ الْمَنْزِلَةِ وَلَا أفاد هذا المفاد فليس بمخصص.
(Yang benar adalah, apabila konteks kalimat memiliki indikator yang kuat untuk menentukan makna yang dituju, maka seluruh cakupan konteks tersebut adalah mukhashish. Namun, jika konteksnya tidak demikian, serta tidak berfaidah sama sekali, maka konteks tersebut bukanlah mukhashish).[8] 

Sehingga dalam permasalahan ini, Imam Ahmad rahimahullah seharusnya memiliki qarînah atau indikasi yang kuat kalau memang yang diinginkan Abu Humaid Radhiyallahu anhu ketika mengisahkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah shalat yang memiliki dua tasyahhud saja. Namun tidak ada indikasi kuat yang mengarah kepada makna yang diinginkan oleh Imam Ahmad rahimahullah. Menurut hemat kami, itu hanya dugaan dan ijtihad semata dari Imam Ahmad. Boleh jadi beliau benar dan boleh jadi beliau keliru. Oleh karena tidak adanya indikasi yang kuat, maka pengkhususan dengan konteks hadits ini tidak dapat diterima. Dengan demikian, hadits ini berlaku umum bagi semua shalat, baik itu shalat yang memiliki dua tasyahhud maupun yang hanya memiliki satu tasyahhud. Dalil atau mukhashish yang digunakan Imam Ahmad tidak cukup kuat untuk mengeluarkan shalat satu tasyahhud dari keumuman hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu.

Dalil kami adalah:

Hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu namun dari jalur lain yang diriwayatkan oleh Imam Nasa-i rahimahullah dalam kitabnya, al-Mujtaba atau yang lebih dikenal dengan Sunan Nasa-i ash-Shughra. Dalam hadits tersebut Abu Humaid mengatakan :
 
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلاَةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى ، وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ، ثُمَّ سَلَّمَ.
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya dengan dua raka’at, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan duduk pada sisi pantatnya dengan cara tawarruk, kemudian beliau salam[9]. 

Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu tidak khusus hanya untuk shalat yang memiliki dua tasyahhud saja, namun berlaku umum, karena riwayat ini mengatakan bahwa di dalam shalat yang memiliki satu tasyahhud pun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tawarruk pada raka’at terakhir. Dengan demikian, gugurlah anggapan bahwa hadits ini khusus bagi shalat yang memiliki dua tasyahhud saja. Pendapat ini didukung kebenarannya oleh kaidah ahli hadits yang mengatakan ar-riwayatu tufassiru ba’dhaha ba’dhan (riwayat itu saling menafsirkan satu sama lain). Dalam hal ini, kami menafsirkan riwayat hadits Abu Humaid -yang sebelumnya diduga khusus hanya untuk shalat dua tasyahhud saja- dengan riwayat dari Sunan Nasa-i ini. Ternyata dugaan bahwa hadits tersebut khusus untuk shalat dua tasyahhud saja keliru.

Apabila ada yang mengatakan riwayat Nasa-i ini lemah, maka alasan mereka yang ingin melemahkan hadits ini adalah Abdul-Hamid bin Ja’far Radhiyallahu anhu, salah seorang perawi di dalam sanad riwayat ini. Di antara para ulama Jarh wa Ta’dil ada yang melemahkan beliau, yaitu Imam Sufyan ats-Tsauri. Alasannya, karena Abdul-Hamid memiliki bid’ah qadariyyah. Maka kami katakan, kritik Anda terhadap Abdul-Hamid bin Ja’far tidak dapat diterima dengan alasan sebagai berikut:

1. Sebagian besar ulama Jarh wa Ta’dil, baik kalangan mutasyaddidin maupun mu’tadilin telah menta’dil dan mentsiqahkan beliau. Dengan demikian, tentunya pendapat mayoritas lebih diterima ketimbang pendapat personal. Di antara ulama mutasyaddidin yang menganggap beliau tsiqah adalah Yahya bin Ma’in. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahmân bin Abi Hatim dari Ibnu Abi Khaitsamah, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: Abdul-Hamid bin Ja’far ditsiqahkan oleh Yahya bin Sa’id al-Qathan dan didhaifkan oleh Sufyan ats-Tsauri. Kemudian Ibnu Abi Khaitsamah bertanya kepada Yahya bin Ma’in: “Kemudian apa pendapat Anda?” Tidak ada masalah dengan haditsnya, beliau shalih.[10] Artinya riwayat beliau direkomendasikan untuk diterima.

2. Satu-satunya alasan mengapa beliau dilemahkan atau didhaifkan -sepanjang pengetahuan kami- kerena beliau memiliki pemikiran Qadariyyah.[11] Inilah alasan Imam Sufyan ketika melemahkan beliau. Namun tuduhan Qadariyyah tersebut bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Andaikata hal tersebut benar, maka hal tersebut tidak berpengaruh terhadap riwayat ini. Karena riwayat hadits Abu Humaid dalam Sunan Nasa-i ini sama sekali tidak mendukung bid’ah Qadariyyah. Salah satu sebab ditolaknya riwayat ahli bid’ah adalah karena riwayatnya terkesan mendukung bid’ahnya. Namun riwayat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan bid’ah Qadariyyah

3. Imam Bukhari dalam Shahîh-nya menjadikan riwayat Abdul-Hamid sebagi syahid untuk memperkuat hadits: “Innakum satahrishuna ‘alal-imarah”. Hal ini sama dengan yang kami lakukan bahwa riwayat Abdul-Hamid ini kami bawakan sebagai syahid untuk memperkuat pendapat bahwa hadits Abu Humaid tidak khusus untuk shalat yang memiliki dua tasyahhud saja. Artinya riwayat Abdul-Hamid ini layak untuk dijadikan sebagai syahid atau penguat.

4. Abdul-Hamid bin Ja’far adalah salah satu perawi pilihan Imam Muslim di dalam Shahîh-nya. Ada banyak riwayat Abdul-Hamid di dalam Shahîh Muslim. Jika Anda menolak riwayat hadits Abu Humaid ini dengan Abdul-Hamid bin Ja’far sebagai alasan, maka konsekwensinya seluruh riwayat Abdul-Hamid dalam Shahîh Muslim seharusnya juga ditolak

5. Imam Nasa-i sendiri yang membawakan hadits ini di dalam Sunan-nya mengatakan bahwa Abdul-Hamid bin Ja’far “laisa bihi ba’sun”, yaitu tidak ada masalah dengannya atau tidak ada masalah dengan riwayatnya.[12] Dan Imam Nasa-i tarmasuk di antara imam mutasyadidin dalam permasalahan Jarh wa Ta’dil. Ini berarti Imam Nasa-i sendiri memandang bahwa hadits Abu Humaid riwayat Abdul-Hamid ini layak diterima. Dan sebagaimana diketahui bahwa syarat Imam Nasa-i dalam penshahihan hadits termasuk yang ketat. Beliau adalah Imam Ilal. Jika memang riwayat Abdul-Hamid ini memiliki illah atau cacat, tentunya Imam Nasa-i sudah menjelaskannya. 

Cukuplah lima alasan ini sebagai jawaban bagi mereka yang ingin melemahkan hadits ini. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menerima riwayat Abdul-Hamid ini. Dan tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk membela pendapatnya bahwa hadits Abu Humaid khusus untuk shalat yang memiliki dua tasyahhud saja. 

Apabila ada yang beralasan bahwa duduk asal shalat adalah duduk iftirâsy, tidak dikeluarkan sebuah hukum dari asalnya kecuali dengan dalil yang jelas. Dalam hal ini Anda mengatakan tidak ada dalil yang jelas teNtang sikap duduk akhir pada shalat dua raka’at maka hal tersebut kembali pada asalnya yaitu duduk iftirâsy.

Jawaban bagi alasan Anda ini dari dua sisi, sebagai berikut.

Pertama, jika Anda mengatakan duduk asal pada setiap shalat adalah iftirâsy, maka duduk asal untuk duduk akhir adalah duduk tawarruk; baik itu shalat dengan satu tasyahhud maupun dua tasyahhud. Berdasarkan qaid dalam hadits Abu Humaid dari berbagai riwayat: “allati yanqadhi fihat taslim” (raka’at yang selesai dengan salam), “allati takunu khatimatash-shalah” (raka’at yang menjadi penutup shalat). Dengan demikian ada dua asal. Asal untuk duduk shalat secara umum, dan asal untuk duduk akhir di setiap shalat. 

Kedua, alasan Anda bahwa tidak ada dalil yang jelas bagi sikap duduk akhir shalat dua raka’at tidaklah benar. Hadits Abu Humaid riwayat Abdul-Hamid ini adalah Sunnah yang jelas bahwa shalat dua raka’at sekalipun duduk akhirnya adalah duduk tawarruk.

MASING-MASING MEMILIKI SALAF 

Bagi yang ingin duduk iftirâsy pada raka’at terakhir mereka memiliki Salaf, yakni: Imam Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan para fuqaha dari Kufah. Demikian juga bagi yang ingin duduk tawarruk pada raka’at terakhir pada setiap shalat juga memiliki Salaf. Yaitu, yang pertama –tentunya- Abu Humaid Radhiyallahu anhu, perawi hadits sifat shalat Nabi itu sendiri, kemudian Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Sedangkan bagi yang ingin duduk iftirâsy pada duduk akhir shalat dua raka’at, juga dipersilahkan, dan mereka juga memiliki Salaf, yaitu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Masing-masing memiliki Salaf, dan masing-masing berhak untuk dikatakan Salafi. 

Menyikapi perbedaan pendapat ini, Imam Thabari rahimahullah berkata:

إِنْ فَعَلَ هَذَا فَحَسَنٌ وَإِنْ فَعَلَ هَذَا فَحَسَنٌ، كُلُّ ذَلِكَ قَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلَامُ
Yang ini benar dan yang itu benar, semuanya ada riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[13] 

Artinya, dalam permasalahan ini sikap toleransilah yang mesti dikedepankan. Terkadang kita mendapati fenomena dakwah yang kurang menyenangkan. Ketika permasalahan khilafiyah ijtihadiyyah seperti ini dijadikan tolak ukur dalam hal wala` dan barra`. Ada kesan bahwa duduk isftirasy pada shalat satu tasyahhud adalah pendapat Salafi. Sementara yang duduk tawarruk pada shalat satu tasyahhud bukan pendapat Salafi. Hal ini tidak dapat dibenarkan. Karena masing-masing memiliki Salaf. Masing-masing telah berusaha untuk mengikuti Salaf mereka. Tidak benar jika kita mengatakan fulan bukan Salafi hanya karena ia tidak duduk iftirâsy pada raka’at terakhir shalat yang memiliki satu tasyahhud. 


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri, 631.
[2]. Al-Hujjah ‘ala Ahli Madinah, Bab: al-Julus fish-Shalah.
[3]. Al-Mudawwanah, Bab: Julus fish-Shalah.
[4]. HR Mâlik dalam Muwatha`, 201, Bab: al-Amal fil-Julus fish-Shalah.
[5]. Al-Hawi al-Kabir, Bab: Sifat Shalat, tentang Fa Idza Qa’ada fir-Rabi’ati.
[6]. HR Bukhari, 785, Bab: Sunnatul-Julus fit-Tasyahhud.
[7]. Masa-il Imam Ahmad, riwayat Ibnihi Abdillâh, masalah no. 284.
[8]. Irsyadul-Fuhul, Masalah 28 dalam Bab: Takhshish; Takhshish bis-Siyaq.
[9]. HR Nasa-i, Bab: Sifatil-Julus fir-Rak’atil-lati Yaqdhi fihash-Shalah.
[10]. Lihat Jarh waTa’dil, 6/10, tarjamah Abdul-Hamid bin Ja’far.
[11]. Lihat Tahdzibul-Kamal, tarjamah Abdul-Hamid bin Ja’far.
[12]. Lihat perkataan Imam Nasa-i di Tahdzibul-Kamal.
[13]. Al-Istidzkar libni Abdil-Barr, 1/480.