SIFAT DUDUK TASYAHUD AKHIR
Oleh
Ustadz Haidir Rahmân
Bagian Pertama
Bagian Kedua
AH = {shalat satu tasyahhud, shalat dua tasyahhud}
Dalil kami adalah:
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri, 631.
[2]. Al-Hujjah ‘ala Ahli Madinah, Bab: al-Julus fish-Shalah.
[3]. Al-Mudawwanah, Bab: Julus fish-Shalah.
[4]. HR Mâlik dalam Muwatha`, 201, Bab: al-Amal fil-Julus fish-Shalah.
[5]. Al-Hawi al-Kabir, Bab: Sifat Shalat, tentang Fa Idza Qa’ada fir-Rabi’ati.
[6]. HR Bukhari, 785, Bab: Sunnatul-Julus fit-Tasyahhud.
[7]. Masa-il Imam Ahmad, riwayat Ibnihi Abdillâh, masalah no. 284.
[8]. Irsyadul-Fuhul, Masalah 28 dalam Bab: Takhshish; Takhshish bis-Siyaq.
[9]. HR Nasa-i, Bab: Sifatil-Julus fir-Rak’atil-lati Yaqdhi fihash-Shalah.
[10]. Lihat Jarh waTa’dil, 6/10, tarjamah Abdul-Hamid bin Ja’far.
[11]. Lihat Tahdzibul-Kamal, tarjamah Abdul-Hamid bin Ja’far.
[12]. Lihat perkataan Imam Nasa-i di Tahdzibul-Kamal.
[13]. Al-Istidzkar libni Abdil-Barr, 1/480.
Oleh
Ustadz Haidir Rahmân
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat[1]
Demikian wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kaum Muslim
senantiasa menjadikan shalatnya semirip mungkin dengan shalat yang
dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini
sekaligus merupakan kaidah agung yang menunjukkan bahwa pijakan utama
dalam hal shalat adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bukan madzhab ataupun golongan tertentu dalam Islam. Tidak halal bagi
seorang Muslim ketika mendapatkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk menolaknya dan membenturkan Sunnah tersebut dengan pendapat
gurunya, syaikhnya, kiainya, atau siapapun juga.
Namun adakalanya ketika Sunnah dipahami dari berbagai sisi, pemahaman
yang berbeda tersebut melahirkan berbagai pendapat atau madzhab dalam
agama ini. Di antara contoh perbedaan pendapat yang lahir karena
perbedaan cara pandang terhadap Sunnah adalah permasalahan sikap duduk
tasyahhud akhir.
Dalam permasalahan ini para Ulama berbeda pendapat, apakah duduk
tasyahhud akhir ini dilakukan dengan sikap tawarruk atau dengan sikap
iftirâsy? Sebelum memulai pembahasan ini, ada baiknya jika kita
mengetahui terlebih dahulu apa itu duduk tawarruk dan duduk iftirâsy.
DUDUK TAWARRUK
Tawarruk berasal dari kata al-warik yang berarti pangkal paha. Disebut
duduk tawarruk karena seorang yang duduk dengan sikap demikian
menjadikan pangkal paha kirinya sebagai sandaran. Sebagaimana disebutkan
dalam salah satu riwayat hadits Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu :
وَفِي آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di akhir beliau duduk dengan pangkal paha kirinya. [HR Ahmad, 4382].
Dalam riwayat lain dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu sikap duduk tawarruk adalah sebagai berikut:
وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِه
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di raka’at
akhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya, menegakkan kaki yang lain
kemudian duduk pada tempatnya. [HR al-Bukhâri, 828].
DUDUK IFTIRASY
Iftirâsy, berasal dari kata farasya yang berarti membentangkan. Sikap
duduk ini dilakukan dengan cara duduk beralaskan telapak kaki kiri
kemudian menegakkan kaki kanan, berdasarkan hadits Abu Humaid as-Sa’idi
Radhiyallahu anhu :
جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.
SIFAT DUDUK TASYAHUD AKHIR
Para Ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Berikut ini pendapat mereka beserta sandaran dalilnya.
Pendapat pertama; Duduk pada raka’at terakhir dilakukan dengan duduk iftirâsy
Pendapat ini dipegang oleh madzhab Hanafiyyah. Mereka berpendapat bahwa
semua duduk dalam shalat di setiap raka’at dilakukan dengan cara
iftirâsy. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani menukilkan pendapat
Imam Abu Hanifah rahimahullah , “Imam Abu Hanifah mengatakan, ‘Duduk di
dalam shalat semuanya sama, baik pada raka’at kedua ataupun raka’at
terakhir. Yaitu dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri
(iftirâsy).[2]
Pendapat ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang
sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata:
وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. [HR Muslim, 240].
Pendapat kedua; Pendapat yang menyatakan bahwa seluruh duduk (?=Tahiyat-dass) dalam shalat adalah tawarruk.
Pendapat ini dipegang oleh madzhab Mâlikiyyah. Pendapat ini merupakan kebalikan dari pendapat Ulama Hanafiyyah.
Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Sikap duduk di antara dua sujud
sama dengan duduk tasyahud, yaitu dengan meletakkan pantat (kiri) di
atas tanah, menegakkan kaki kanannya serta mengeluarkan kaki
kirinya.”[3]
Pendapat ini berdasarkan hadits Abdillâh bin Umar Radhiyallahu anhuma
yang diriwayatkan Imam Mâlik rahimahullah sendiri dalam al-Muwatha`.
Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata :
إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَن تَنْصِبَ رِجْلَكَ اليُمْنَى وَتُثْنِيَ رِجْلَكَ اليُسْرَى
Sunnah shalat adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menjulurkan kaki kirimu (keluar melewati kaki kanan).[4]
Pendapat Ketiga; Pendapat yang mengatakan bahwa duduk akhir pada
shalat dilakukan dengan cara tawarruk sedangkan selain raka’at akhir
dilakukan dengan cara iftirâsy
Ini pendapat madzhab Syâfi’iyyah. Disebutkan oleh Imam sl-Mawardi
dalam Syarh Mukhtashar Muzani, ketika mengomentari ucapan Imam Syâfi’i
tentang duduk di raka’at terakhir, ia mengatakan, “Adapun duduk ketika
itu (tasyahud akhir, Pen.), dilakukan dengan cara tawarruk sebagaimana
yang telah kami jelaskan. Sedangkan ketika tasyahhud awal dilakukan
dengan cara iftirâsy sebagaimana telah kami sebutkan.”[5]
Pendapat ini didasarkan pada hadits Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu
anhu yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Humaid as-Sa’idi berkata :
أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Akulah yang paling hafal shalat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian berkaitan dengan sifat duduk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Radhiyallahu anhu berkata :
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى
وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ
رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada raka’at
kedua, (maka) beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya. Kemudian ketika duduk di raka’at terakhir, Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengeluarkan kaki kirinya, menegakkan kaki kanannya,
kemudian duduk di atas tempatnya.[6]
Pendapat Keempat; Duduk tawarruk hanya dilakukan dalam shalat yang
terdapat dua tasyahhud saja, yaitu shalat tiga raka’at (Maghrib), dan
empat raka’at (Zhuhur, ‘Ashar, dan ‘Isya). Adapun shalat yang hanya
memiliki satu kali tasyahhud, maka duduknya adalah iftirâsy.
Pendapat ini dipegang oleh madzhab Hanabilah. Berkenaan dengan hal
ini, perhatikanlah percakapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dengan
putranya Abdullah berikut ini.
Abdullah mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku tentang duduk tawarruk di dalam shalat.
Ayahku mengatakan, “Hadits Abu Humaid menyatakan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam duduk tawarruk pada raka’at yang keempat.”
Aku katakan, “Bagaimana dengan shalat Fajar dan Jum’at, apakah duduknya juga tawarruk ?”
Ayahku menjawab, “Tidak! Untuk shalat Fajar dan Jum’at, duduknya bukan tawarruk karena duduk (tasyahhud)-nya hanya satu.”
Aku katakan, “Tapi Imam asy-Syâfi’i mengatakan bahwa duduknya tetap tawarruk, karena duduk tawarruk itu dijadikan untuk duduk dalam waktu yang lebih lama.”
Ayahku menjawab, “Bagiku tidak demikian, seorang hamba hanya duduk tawarruk dalam shalat yang memiliki dua duduk (tasyahhud). Shalat ‘Isya duduk (akhirnya) tawarruk juga, karena di dalamnya terdapat dua duduk tasyahhud.”[7]
Aku katakan, “Bagaimana dengan shalat Fajar dan Jum’at, apakah duduknya juga tawarruk ?”
Ayahku menjawab, “Tidak! Untuk shalat Fajar dan Jum’at, duduknya bukan tawarruk karena duduk (tasyahhud)-nya hanya satu.”
Aku katakan, “Tapi Imam asy-Syâfi’i mengatakan bahwa duduknya tetap tawarruk, karena duduk tawarruk itu dijadikan untuk duduk dalam waktu yang lebih lama.”
Ayahku menjawab, “Bagiku tidak demikian, seorang hamba hanya duduk tawarruk dalam shalat yang memiliki dua duduk (tasyahhud). Shalat ‘Isya duduk (akhirnya) tawarruk juga, karena di dalamnya terdapat dua duduk tasyahhud.”[7]
Dalil Imam Ahmad rahimahullah yang mendasari pendapat beliau ini
sama dengan dalil yang digunakan oleh Imam Syâfi’i rahimahullah
sebelumnya, yaitu hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu, hanya saja Imam
Ahmad rahimahullah memandang bahwa hadits Abu Humaid itu khusus bagi
shalat yang memiliki dua tasyahhud saja, yaitu Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib,
dan ‘Isya. Sedangkan Imam Syâfi’i rahimahullah memandang bahwa hadits
Abu Humaid Radhiyallahu anhu ini umum berlaku bagi semua shalat, baik
shalat yang memiliki satu tasyahhud maupun dua tasyahhud.
MANAKAH PENDAPAT YANG LEBIH KUAT?
Dari keempat pendapat di atas, yang paling mendekati kebenaran adalah
pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah. Untuk lebih mempermudah
penjelasannya, kami akan membagi khilaf Ulama ini menjadi dua bagian.
Yang pertama antara madzhab Syâfi’iyyah dengan mazhab Hanafiyyah dan
Mâlikiyyah. Dan yang kedua, antara madzhab Syâfi’iyyah dengan Hanâbilah.
Madzhab Syafi’iyyah lebih dekat kepada kebenaran daripada mazhab
Hanafiyyah dan Mâlikiyyah karena dalil yang digunakan lebih menjelaskan
(cara) duduk yang dimaksud dengan gamblang. Abu Humaid Radhiyallahu anhu
menjelaskan duduk mana saja yang iftirâsy, dan duduk mana yang
tawarruk. Sedangkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang merupakan
sandaran Ulama Hanafiyyah, tidak ada keterangan di dalamnya terkait
duduk iftirâsy tersebut, apakah dilakukan ketika tasyahhud awal atau
tasyahhud akhir ? Yang Nampak adalah hadits Abu Humaid-lah yang
menjelaskan bahwa duduk yang dimaksud dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma tersebut adalah duduk tasyahhud awal dan duduk-duduk lainnya
selain duduk raka’at terakhir.
Demikian juga dengan madzhab Mâlikiyyah, dalilnya juga masih
menggantung; apakah duduk yang dimaksud adalah semua duduk, ataukah
duduk akhir saja ? Kemudian datanglah hadits Abu Humaid Radhiyallahu
anhu sebagai penjelas, bahwa duduk tawarruk yang masih menggantung itu
adalah duduk tasyahhud akhir.
Apabila kita hanya berpegang pada hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
saja -yang dalam hal ini merupakan pendapat Ulama Hanafiyyah- maka kita
harus menolak hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma. Sebaliknya bila
hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma saja yang kita amalkan -yang dalam
hal ini sebagai pendapat Mâlikiyyah- maka konsekwensinya hadits ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma harus ditolak. Dengan adanya hadits Abu Humaid
Radhiyallahu anhu tersebut, maka kita dapat mengamalkan semua hadits di
atas tanpa ada pertentangan. Kita bisa mengamalkan hadits ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma, dan juga bisa mengamalkan hadits Ibnu Umar
Radhiyallahu anhuma.
Yaitu khilaf antara Imam Syâfi’i dengan Imam Ahmad bin Hambal.
Mereka berdua sama, bersandar kepada hadits yang sama, yaitu hadits Abu
Humaid Radhiyallahu anhu. Namun perbedaannya, Imam Ahmad rahimahullah
memandang hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu hanya khusus bagi shalat
empat raka’at dan tiga raka’at, karena konteks hadits Abu Humaid
Radhiyallahu anhu menyebutkan bahwa beliau sedang menceritakan shalat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki dua tasyahhud.
Pengkhususan makna suatu hadits dengan berdasarkan konteks hadits
seperti ini dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh dinamakan dengan at-takhshîsh
bis-siyâq atau at-takhshîsh bil-qarînah.
Agar lebih jelas lagi mengenai proses takhshish ini, kami akan
menggambarkannya dengan bahasa matematika khususnya bahasa himpunan.
Hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu berlaku umum untuk shalat yang
memiliki satu tasyahhud dan dua tasyahhud. Maka kita tulis Hadits Abu
Humaid Radhiyallahu anhu ini sebagai himpunan AH dengan 2 anggota
himpunan, yaitu shalat satu tasyahhud dan shalat dua tasyahhud.
Jika Imam Ahmad mengkhususkan hadits Abu Humaid hanya untuk shalat
dua tasyahhud saja, artinya beliau mengeluarkan “shalat satu tasyahhud”
dari anggota himpunan AH. Proses pengeluaran anggota himpunan inilah
yang dinamakan takhshish. Kemudian untuk mengeluarkan atau
mengecualikan sesuatu dari pernyataan yang bersifat umum, maka harus ada
sebab yang mendasarinya. Sebab inilah yang di dalam ilmu Ushul-Fiqh
disebut mukhashish. Dalam proses takhshish ini Imam Ahmad menggunakan
konteks hadits sebagai mukhashish untuk mengeluarkan shalat satu
tasyahhud dari keumuman pernyataan Abu Humaid Radhiyallahu anhu.
Ketika mengomentari takhshish seperti ini, al-Allamah asy-Syaukani rahimahullah dalam Irsyadul-Fuhul-nya mengatakan, “
وَالْحَقُّ: أَنَّ دَلَالَةَ السِّيَاقِ إِنْ قَامَتْ مَقَامَ
الْقَرَائِنِ الْقَوِيَّةِ الْمُقْتَضِيَةِ لِتَعْيِينِ الْمُرَادِ، كَانَ
الْمُخَصِّصُ هُوَ مَا “اشْتَمَلَ” عَلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ، وَإِنْ لَمْ
يَكُنِ السِّيَاقُ بِهَذِهِ الْمَنْزِلَةِ وَلَا أفاد هذا المفاد فليس
بمخصص.
(Yang benar adalah, apabila konteks kalimat memiliki indikator yang
kuat untuk menentukan makna yang dituju, maka seluruh cakupan konteks
tersebut adalah mukhashish. Namun, jika konteksnya tidak demikian, serta
tidak berfaidah sama sekali, maka konteks tersebut bukanlah
mukhashish).[8]
Sehingga dalam permasalahan ini, Imam Ahmad rahimahullah seharusnya
memiliki qarînah atau indikasi yang kuat kalau memang yang diinginkan
Abu Humaid Radhiyallahu anhu ketika mengisahkan shalat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah shalat yang memiliki dua tasyahhud saja. Namun
tidak ada indikasi kuat yang mengarah kepada makna yang diinginkan oleh
Imam Ahmad rahimahullah. Menurut hemat kami, itu hanya dugaan dan
ijtihad semata dari Imam Ahmad. Boleh jadi beliau benar dan boleh jadi
beliau keliru. Oleh karena tidak adanya indikasi yang kuat, maka
pengkhususan dengan konteks hadits ini tidak dapat diterima. Dengan
demikian, hadits ini berlaku umum bagi semua shalat, baik itu shalat
yang memiliki dua tasyahhud maupun yang hanya memiliki satu tasyahhud.
Dalil atau mukhashish yang digunakan Imam Ahmad tidak cukup kuat untuk
mengeluarkan shalat satu tasyahhud dari keumuman hadits Abu Humaid
Radhiyallahu anhu.
Hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu namun dari jalur lain yang
diriwayatkan oleh Imam Nasa-i rahimahullah dalam kitabnya, al-Mujtaba
atau yang lebih dikenal dengan Sunan Nasa-i ash-Shughra. Dalam hadits
tersebut Abu Humaid mengatakan :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي
الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلاَةُ أَخَّرَ
رِجْلَهُ الْيُسْرَى ، وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ، ثُمَّ
سَلَّمَ.
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan
shalatnya dengan dua raka’at, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan duduk
pada sisi pantatnya dengan cara tawarruk, kemudian beliau salam[9].
Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa hadits Abu Humaid Radhiyallahu
anhu tidak khusus hanya untuk shalat yang memiliki dua tasyahhud saja,
namun berlaku umum, karena riwayat ini mengatakan bahwa di dalam shalat
yang memiliki satu tasyahhud pun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam duduk tawarruk pada raka’at terakhir. Dengan demikian, gugurlah
anggapan bahwa hadits ini khusus bagi shalat yang memiliki dua tasyahhud
saja. Pendapat ini didukung kebenarannya oleh kaidah ahli hadits yang
mengatakan ar-riwayatu tufassiru ba’dhaha ba’dhan (riwayat itu saling
menafsirkan satu sama lain). Dalam hal ini, kami menafsirkan riwayat
hadits Abu Humaid -yang sebelumnya diduga khusus hanya untuk shalat dua
tasyahhud saja- dengan riwayat dari Sunan Nasa-i ini. Ternyata dugaan
bahwa hadits tersebut khusus untuk shalat dua tasyahhud saja keliru.
Apabila ada yang mengatakan riwayat Nasa-i ini lemah, maka alasan
mereka yang ingin melemahkan hadits ini adalah Abdul-Hamid bin Ja’far
Radhiyallahu anhu, salah seorang perawi di dalam sanad riwayat ini. Di
antara para ulama Jarh wa Ta’dil ada yang melemahkan beliau, yaitu Imam
Sufyan ats-Tsauri. Alasannya, karena Abdul-Hamid memiliki bid’ah
qadariyyah. Maka kami katakan, kritik Anda terhadap Abdul-Hamid bin
Ja’far tidak dapat diterima dengan alasan sebagai berikut:
1. Sebagian besar ulama Jarh wa Ta’dil, baik kalangan mutasyaddidin
maupun mu’tadilin telah menta’dil dan mentsiqahkan beliau. Dengan
demikian, tentunya pendapat mayoritas lebih diterima ketimbang pendapat
personal. Di antara ulama mutasyaddidin yang menganggap beliau tsiqah
adalah Yahya bin Ma’in. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahmân
bin Abi Hatim dari Ibnu Abi Khaitsamah, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan:
Abdul-Hamid bin Ja’far ditsiqahkan oleh Yahya bin Sa’id al-Qathan dan
didhaifkan oleh Sufyan ats-Tsauri. Kemudian Ibnu Abi Khaitsamah bertanya
kepada Yahya bin Ma’in: “Kemudian apa pendapat Anda?” Tidak ada masalah
dengan haditsnya, beliau shalih.[10] Artinya riwayat beliau
direkomendasikan untuk diterima.
2. Satu-satunya alasan mengapa beliau dilemahkan atau didhaifkan
-sepanjang pengetahuan kami- kerena beliau memiliki pemikiran
Qadariyyah.[11] Inilah alasan Imam Sufyan ketika melemahkan beliau.
Namun tuduhan Qadariyyah tersebut bisa jadi benar, bisa jadi tidak.
Andaikata hal tersebut benar, maka hal tersebut tidak berpengaruh
terhadap riwayat ini. Karena riwayat hadits Abu Humaid dalam Sunan
Nasa-i ini sama sekali tidak mendukung bid’ah Qadariyyah. Salah satu
sebab ditolaknya riwayat ahli bid’ah adalah karena riwayatnya terkesan
mendukung bid’ahnya. Namun riwayat ini tidak ada hubungannya sama sekali
dengan bid’ah Qadariyyah.
3. Imam Bukhari dalam Shahîh-nya menjadikan riwayat Abdul-Hamid
sebagi syahid untuk memperkuat hadits: “Innakum satahrishuna
‘alal-imarah”. Hal ini sama dengan yang kami lakukan bahwa riwayat
Abdul-Hamid ini kami bawakan sebagai syahid untuk memperkuat pendapat
bahwa hadits Abu Humaid tidak khusus untuk shalat yang memiliki dua
tasyahhud saja. Artinya riwayat Abdul-Hamid ini layak untuk dijadikan
sebagai syahid atau penguat.
4. Abdul-Hamid bin Ja’far adalah salah satu perawi pilihan Imam
Muslim di dalam Shahîh-nya. Ada banyak riwayat Abdul-Hamid di dalam
Shahîh Muslim. Jika Anda menolak riwayat hadits Abu Humaid ini dengan
Abdul-Hamid bin Ja’far sebagai alasan, maka konsekwensinya seluruh
riwayat Abdul-Hamid dalam Shahîh Muslim seharusnya juga ditolak.
5. Imam Nasa-i sendiri yang membawakan hadits ini di dalam Sunan-nya
mengatakan bahwa Abdul-Hamid bin Ja’far “laisa bihi ba’sun”, yaitu tidak
ada masalah dengannya atau tidak ada masalah dengan riwayatnya.[12]
Dan Imam Nasa-i tarmasuk di antara imam mutasyadidin dalam permasalahan
Jarh wa Ta’dil. Ini berarti Imam Nasa-i sendiri memandang bahwa hadits
Abu Humaid riwayat Abdul-Hamid ini layak diterima. Dan sebagaimana
diketahui bahwa syarat Imam Nasa-i dalam penshahihan hadits termasuk
yang ketat. Beliau adalah Imam Ilal. Jika memang riwayat Abdul-Hamid ini
memiliki illah atau cacat, tentunya Imam Nasa-i sudah menjelaskannya.
Cukuplah lima alasan ini sebagai jawaban bagi mereka yang ingin
melemahkan hadits ini. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menerima
riwayat Abdul-Hamid ini. Dan tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk
membela pendapatnya bahwa hadits Abu Humaid khusus untuk shalat yang
memiliki dua tasyahhud saja.
Apabila ada yang beralasan bahwa duduk asal shalat adalah duduk
iftirâsy, tidak dikeluarkan sebuah hukum dari asalnya kecuali dengan
dalil yang jelas. Dalam hal ini Anda mengatakan tidak ada dalil yang
jelas teNtang sikap duduk akhir pada shalat dua raka’at maka hal tersebut
kembali pada asalnya yaitu duduk iftirâsy.
Jawaban bagi alasan Anda ini dari dua sisi, sebagai berikut.
Pertama, jika Anda mengatakan duduk asal pada setiap shalat adalah
iftirâsy, maka duduk asal untuk duduk akhir adalah duduk tawarruk; baik
itu shalat dengan satu tasyahhud maupun dua tasyahhud. Berdasarkan qaid
dalam hadits Abu Humaid dari berbagai riwayat: “allati yanqadhi fihat
taslim” (raka’at yang selesai dengan salam), “allati takunu
khatimatash-shalah” (raka’at yang menjadi penutup shalat). Dengan
demikian ada dua asal. Asal untuk duduk shalat secara umum, dan asal
untuk duduk akhir di setiap shalat.
Kedua, alasan Anda bahwa tidak ada dalil yang jelas bagi sikap duduk
akhir shalat dua raka’at tidaklah benar. Hadits Abu Humaid riwayat
Abdul-Hamid ini adalah Sunnah yang jelas bahwa shalat dua raka’at
sekalipun duduk akhirnya adalah duduk tawarruk.
MASING-MASING MEMILIKI SALAF
Bagi yang ingin duduk iftirâsy pada raka’at terakhir mereka memiliki
Salaf, yakni: Imam Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan para fuqaha dari
Kufah. Demikian juga bagi yang ingin duduk tawarruk pada raka’at
terakhir pada setiap shalat juga memiliki Salaf. Yaitu, yang pertama
–tentunya- Abu Humaid Radhiyallahu anhu, perawi hadits sifat shalat
Nabi itu sendiri, kemudian Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Sedangkan bagi
yang ingin duduk iftirâsy pada duduk akhir shalat dua raka’at, juga
dipersilahkan, dan mereka juga memiliki Salaf, yaitu Imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah. Masing-masing memiliki Salaf, dan masing-masing
berhak untuk dikatakan Salafi.
Menyikapi perbedaan pendapat ini, Imam Thabari rahimahullah berkata:
إِنْ فَعَلَ هَذَا فَحَسَنٌ وَإِنْ فَعَلَ هَذَا فَحَسَنٌ، كُلُّ ذَلِكَ قَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلَامُ
Yang ini benar dan yang itu benar, semuanya ada riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[13]
Artinya, dalam permasalahan ini sikap toleransilah yang mesti
dikedepankan. Terkadang kita mendapati fenomena dakwah yang kurang
menyenangkan. Ketika permasalahan khilafiyah ijtihadiyyah seperti ini
dijadikan tolak ukur dalam hal wala` dan barra`. Ada kesan bahwa duduk
isftirasy pada shalat satu tasyahhud adalah pendapat Salafi. Sementara
yang duduk tawarruk pada shalat satu tasyahhud bukan pendapat Salafi.
Hal ini tidak dapat dibenarkan. Karena masing-masing memiliki Salaf.
Masing-masing telah berusaha untuk mengikuti Salaf mereka. Tidak benar
jika kita mengatakan fulan bukan Salafi hanya karena ia tidak duduk
iftirâsy pada raka’at terakhir shalat yang memiliki satu tasyahhud.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05Tahun XVII/1434H/2013.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______Footnote
[1]. HR al-Bukhâri, 631.
[2]. Al-Hujjah ‘ala Ahli Madinah, Bab: al-Julus fish-Shalah.
[3]. Al-Mudawwanah, Bab: Julus fish-Shalah.
[4]. HR Mâlik dalam Muwatha`, 201, Bab: al-Amal fil-Julus fish-Shalah.
[5]. Al-Hawi al-Kabir, Bab: Sifat Shalat, tentang Fa Idza Qa’ada fir-Rabi’ati.
[6]. HR Bukhari, 785, Bab: Sunnatul-Julus fit-Tasyahhud.
[7]. Masa-il Imam Ahmad, riwayat Ibnihi Abdillâh, masalah no. 284.
[8]. Irsyadul-Fuhul, Masalah 28 dalam Bab: Takhshish; Takhshish bis-Siyaq.
[9]. HR Nasa-i, Bab: Sifatil-Julus fir-Rak’atil-lati Yaqdhi fihash-Shalah.
[10]. Lihat Jarh waTa’dil, 6/10, tarjamah Abdul-Hamid bin Ja’far.
[11]. Lihat Tahdzibul-Kamal, tarjamah Abdul-Hamid bin Ja’far.
[12]. Lihat perkataan Imam Nasa-i di Tahdzibul-Kamal.
[13]. Al-Istidzkar libni Abdil-Barr, 1/480.