Islam Pedoman Hidup: Bolehkah Mengambil Kebaikan Setiap Firqah ?

Senin, 12 Desember 2016

Bolehkah Mengambil Kebaikan Setiap Firqah ?


Oleh
Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani

Kata Pengantar
Sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani hafizhahullah, seorang ulama Ahlus Sunnah di Ma’rib, Yaman, murid Muhaddits Diyarul Yaman Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy Hafizhahullah. Diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsari Al-Maidani dari Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah, soal no. 54 dan dimuat di Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M hal.28-30]
Pertanyaan
Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani ditanya : Kami pernah mendengar dari sebagian orang yang cinta kepada kebaikan bahwa menjamurnya jama’ah-jama’ah Islamiyah sekarang ini adalah fenomena yang sehat. Bahwa jama’ah-jama’ah tersebut menegakkan pilar-pilar Islam dalam bidang masing-masing. Jika kita menghendaki ilmu, ambillah dari Salafiyun. Jika kita menghendaki jihad, ambillah dari Jama’atul Jihad. Kalau kita ingin politik, ambillah dari Ikhwanul Muslimin. Kalau kita menghendaki manajemen hati, ambillah dari Jama’ah Tabligh.
Mereka mengatakan : “Kondisinya seperti orang-orang yang sakit matanya, tentu ia tidak berkonsultasi dengan dokter sepesialis saraf. Bagi yang sakit dadanya, tentu ia tidak memeriksskan dirinya kepada dokter spesialis tulang”. Apakah ucapan seperti ini dapat dibenarkan ..?
Jawaban
Orang yang mengatakan ucapan diatas sebenarnya tidak mengerti hakikat dak’wah Ilallah. Dan juga tidak memahami hakekat perbedaan yang terjadi antara jama’ah-jama’ah tersebut . Mustahil sebuah perpecahan dapat menegakan Islam! padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang perpecahan.
“Artinya : Sesungguhnya orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”.[Al-An’am: 159]
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Artinya : Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. [Ar-Ruum: 31-32]
Dan Allah juga berfirman
“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya dengan tali Allah (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. [Al-Imran: 103]
Realita yang ada menunjukan bahwa jumlah jama’ah-jama’ah itu terus bertambah dari waktu ke waktu. Dan bertambah lebar juga jurang perselisihan dan pertikaian.
Kekeliruan diatas dapat kita jabarkan sebagai berikut :
Pertama.
Kami tidak menampik adanya spesialisasi dalam disiplin ilmu dan pada beberapa aspek dak’wah. Namun hal itu tidak akan baik bila masing-masing kelompok tidak bertolak dari satu pedoman. Mereka harus bertolak dari satu dasar pemahaman dan pedoman. Serta berusaha mewujudkan tuntunan syari’at dengan cara yang dibenarkan syari’at berkaitan dengan spesialisasi masing-masing. Adapun bila pedoman berbeda, tujuan dan metoda juga berbeda, maka kondisinya seperti yang digambarkan syair berikut.
Bilakah satu istana akan sempurna bangunannya, bila kamu sibuk membangun, sementara yang lain merubuhkannya.
Kedua
Realita membuktikan bahwa hakekat perselisihan yang terjadi diantara jama’ah-jama’ah tersebut adalah dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dalam memilih wasilah (metode) dalam menuju sesuatu yang menjadi tuntunan syari’at. Persaingan, perseteruan dan permusuhan diantara jama’ah-jama’ah tersebut dapat terlihat jelas. Setiap jama’ah berusaha merubuhkan bangunan yang telah disusun oleh jama’ah lainnya. Sebagian orang berasumsi bahwa jika dia dapat mengusir sorang khatib/ustadz salafi, seolah-olah dia telah berhasil mengembalikan Masjidil Aqsha dari tangan Yahudi! Dia menganggapnya sebagai sebuah kemenangan besar
Faktor penyebabnya adalah perbedaan persepsi dalam mendiagnosa sebuah penyakit, berakibat komposisis obat yang dipakai juga berbeda. Sebagian jama’ah berpendapat bahwa problem umat sekarang ini seputar penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Mereka lantas berusaha mengenyahkan penguasa itu atau berusaha menyaingi kekuasaan mereka, baik penguasa itu kafir ataupun muslim. Sebagian jama’ah lainnya berpandangan bahwa penyakit hati telah begitu mewabah di tengah-tengah umat. Mereka beranggapan dengan memperbaiki hati selesailah semua problem. Mereka mengerahkan segala upaya untuk menyembuhkan penyakit-penyakit hati. Ironinya mereka mengabaikan penyakit hati yang paling berbahaya yaitu syirik, bid’ah dan lainnya. Sedangkan sebagian jama’ah yang lain memahami bahwa penyakit kronis yang menggerogoti umat ini adalah kejahilan mereka tentang Dinul Islam. Baik yang berkaitan dengan masalah tauhid/aqidah, ibadah dan lainnya. Mereka juga menyadari bahwa di antara panyakit yang menimpa umat ini adalah fenomena perpecahan dan bergolong-golongan. Merekapun berusaha menghidupkan kembali sunnah-sunnah yang sudah dilupakan. Mereka sebarkan aqidah yang benar dan sunnah yang shahih, sekaligus memerangi syirik dengan berbagai macam dan bentuknya. Mereka peringatkkan umat dari bahaya berpecah belah dan fanatik jahiliyah. Namun sayangnya jama’ah ini justru ditentang oleh jama’ah-jama’ah lainnya !, Wallahul Musta’an.
Ketiga
Kita tidak dapat menerima sangkaan (yang berpendapat) bahwa jama’ah-jama’ah tersebut layak diambil ilmunya-kecuali salafiyun meskipun ada kekurangan pada pribadi-pribadi sebagian mereka-. Sebagi buktinya masalah jihad, di dalam Islam jihad disyari’atkan untuk memerangi kaum musyrikin supaya Dienullah menjadi yang paling tinggi. Dan supaya tidak terjadi kemusyrikan sebagaimana firman Allah.
“Artinya : Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah” [Al-Anfal : 39]
Namun kenyataan yang kita jumpai, seruan jihad itu ditujukan untuk melawan kaum muslimin -walaupun mungkin mereka menyimpang-. Akibatnya terjadilah fitnah (kekacauan) dan kaum musliminpun tercerai berai. Akhirnya musuh-musuh Allah mendapat kesempatan untuk menimpakan berbagai penindasan terhadap wali-wali Allah (orang-orang yang shalih). Demikian pula masalah politik, pada asalnya yang dibolehkan adalah politik yang sejalan dengan kaidah-kaidah syari’at (siyasah syar’iyyah), bukan politik praktis yang menyimpang dari kaidah-kaidah syari’at (seperti turut serta dalam pesta demokrasi). Sungguh jauh berbeda antara keduanya. Namun kendatipun membandel tetap berkecimpung dalam praktek politik yang menyimpang itu, jama’ah Ikhwanul Muslimin tidak menghasilkan faedah apapun darinya. Kenyataan yang ada cukup sebagai buktinya. Demikain pula Jama’ah Tabligh, sekalipun pada mereka terdapat sisi-sisi positif, namun mereka mengabaikan sisi yang paling urgen, yaitu pembenahan aqidah dan menuntut ilmu hadits 1)
Secara jujur kami katakan, hanya dari salafiyun sajalah yang layak diambil ilmu yang berguna. Ilmu yang mereka miliki telah memimpin dunia. Ulama merekalah yang menjadi panutan umat dan menjadi tempat bertanya tentang Dienullah. Setiap orang berusaha mengikuti pedoman mereka dan bangga menisbatkan diri kepada mereka. Kecuali sekelompok kecil yang tidak begitu dipandang. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mencurahkan hidayah kepada kita semua.
Keempat
Sekiranya kita anggap jama’ah-jama’ah itu memiliki ilmu-ilmu tersebut, masalahnya adalah : “Apakah kaidah dasar dan pijakan bagi yang ingin beramal .? Bukankah bagi yang ingin berjihad, berkecimpung dalam bidang politik atau berdakwah wajib merujuk kepada ulama terlebih dahulu ..?
Sebelumnya telah kalian sebutkan bahwa salafiyun adalah rujukan dalam masalah ilmu. Sebab salafiyun mengetahui perkara-perkara yang tersamar atas jama’ah-jama’ah tersebut ..? Lalu mengapa mereka tidak merujuk kepada salafiyun yang secara khusus mengetahui masalah ? Menanyakan bolehkah berjihad sementara keadaan kami seperti ini ? atau bolehkah berkecimpung dalam kancah politik modern (demokrasi) .?
Realita membuktikan bahwa mereka pada hakikatnya tidak merujuk secara jujur kepada ulama dakwah salafiyah dalam banyak masalah. Masing-masing jama’ah sudah merasa cukup dengan orang yang dianggap ulama diantara mereka. Sekalipun sangat jauh kualitas ilmunya dengan ulama salafiyun. Sekiranya mereka bertanya kepada ulama dakwah salafiyah, maka pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dipolitisir sedemikian rupa supaya jawabannya sesuai dengan kehendak mereka. Misalnya pertanyaan yang berbunyi :
“Kami tinggal di negeri yang menerapkan undang-undang yang menyelisihi hukum Islam, jika kami tidak turut serta duduk bersama mereka di pemerintahan maka musuh-musuh Islam akan bertambah kuat. Jika kami duduk bersama mereka, maka akan dapat mewujudkan maslahat yang banyak dan dapat menolak berbagai kerusakan, bagaimanakah hukum Islam dalam masalah ini ..?”
Redaksi pertanyaan seperti ini jawabannya mudah ditebak. Namun sekalipun demikian, dalam memberikan jawabannya para ulama pasti menyebutkan persyaratan-persyaratan yang ketat. demi terciptanya maslahat dan tertolaknya mudharat. Kenyataan telah membuktikan bahwa mafsadat yang terjadi lebih banyak daripada maslahat yang hendak di raih. Tanyakan saja kepada pentolan-pentolan politik tersebut di Mesir, Syam, Asia Timur, Aljazair dan Yaman, apa yang mereka dapatkan dari tindakan mereka itu ? Tidak lain hanyalah fitnah (kekacauan), provokasi, terhalangnya proses menuntut ilmu, atau pelecehan terhadap ilmu agama dan ulama, tersebarnya buruk sangka terhadap dakwah dan para da’i, tercerai-berainya barisan kaum muslimin, tersamarnya kebenaran di tengah-tengah manusia, tersia-sianya tenaga, waktu dan harta umat untuk perkara-perkara semu bagaikan fatamorgana. maslahat yang dihasilkan tidaklah seberapa dibandingkan mafsadat yang timbul.
Kendatipun pada awal mulanya mereka sulit memprediksi maslahat dan mafsadat dalam masalah ini, namun dalih tersebut tidak mungkin dikemukakan pada hari ini, setelah berlalu lebih dari setengah abad. Kenyatannya, keburukan yang timbul dari waktu ke waktu menjadi lebih jelas.
Seandainya pembagian yang tersebut di dalam pertanyaan di atas dapat di terima, maka kewajiban bagi kita semua adalah merujuk kepada ahli ilmu dengan sejujur-jujurnya, menerima fatwa ulama beserta dalilnya, dan menceritakan kepada mereka segala sesuatunnya. Namun yang terjadi umumnya tidak seperti itu !
Kelima
Kita tidak bisa menerima bulat-bulat, bahwa seorang yang terserang suatu penyakit tidak boleh bertanya kepada selain dokter spesialis penyakit itu. Sering kita dengar seorang yang akan menjalani operasi tulang, terlebih dahulu meminta pertimbangan dari dokter spesialis penyakit dalam, untuk mengetahui apakah ia sanggup menjalani operasi atau tidak, karena sebuah badan itu apabila menderita sakit, maka seluruh anggota tubuh akan merasakan panas dan meriang. Demikian pula da’wah ilallah, harus dilakukan dengan ilmu dan hujah yang nyata. Dan harus merujuk kepada ulama Ahli Sunnah. Jika tidak, maka seluruh usaha akan gagal dan sia-sia. Hendaklah kita bertakwa kepada Allah dalam mengemban amanat da’wah. Dan senantiasa berpegang teguh dengan pedoman salafus-Sholih.
CATATAN (Syaikh Abul Hasan Musthafa):
1.Uraian yang kami cantumkan dalam fatwa ini belum meliput seluruh dalil-dalil yang ada.Untuk lebih luasnya silahkan merujuk kepada buku-buku yang memuat dalil-dalil tersebut secara rinci.
2.Jawaban ini sama sekali tidak bertujuan untuk meremehkan sisi positif yang ada pada jama’ah lain. Namun hanya menampilkan realita yang terjadi di lapangan. dan untuk membuka pandangan aktifis da’wah. Supaya mereka mengetahui kesalahan-kesalahan yang ada, lalu segera memperbaikinya. Dan supaya mereka benar-benar kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman As-Salafus-Sholih, dengan demikian akan terbuka pintu-pintu kebaikan dan tertutup pintu-pintu keburukan. Dan supaya mereka dapat mengeluarkan umat dari kejahilan dan perpecahan . Kami sungguh merasa pilu dan prihatin terhadap kondisi kaum muslimin. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melapangkan dada kita untuk menerima manhaj Salafus-Sholih, baik dalam bidang aqidah, ibadah maupun da’wah. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyingkap mendung yang menaungi umat ini dan menyatukan barisan mereka. Sesungguhnya Dia maha berkuasa atas segala sesuatu . Sholawat dan salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad ShalaAllahu ‘Alaihi wa Salam, atas keluarga dan segenap sahabat beliau.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M hal.28-30. Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani hafizhahullah, seorang ulama Ahlus Sunnah di Ma’rib, Yaman. Diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsari Al-Maidani dari Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah, soal no. 54]
_________
Foote Note
[1].Sebenarnya tidak tampak sisi-sisi positif pada Jama’ah Tabligh sebagaimana yang disebutkan, bila dibandingkan dengan sisi negatif yang mereka timbulkan. Salah satunya adalah berupa banyak orang awam yang terkecoh dengan penampilan lahir mereka kemudian menganggap Jama’ah seperti itulah yang dibutuhkan umat. Tanpa memerperhatikan penyimpangan aqidah yang ada pada Jama’ah itu. Apakah ada kesesatan yang lebih berbahaya daripada penyimpangan aqidah?


Sumber: https://almanhaj.or.id/179-bolehkah-mengambil-kebaikan-setiap-firqah.html