Oleh
Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani
Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani
Kata Pengantar
Sebuah
pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani
hafizhahullah, seorang ulama Ahlus Sunnah di Ma’rib, Yaman, murid
Muhaddits Diyarul Yaman Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy
Hafizhahullah. Diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsari Al-Maidani dari
Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah, soal no. 54 dan dimuat di Majalah
As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M hal.28-30]
Pertanyaan
Syaikh
Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani ditanya : Kami pernah mendengar dari
sebagian orang yang cinta kepada kebaikan bahwa menjamurnya
jama’ah-jama’ah Islamiyah sekarang ini adalah fenomena yang sehat.
Bahwa jama’ah-jama’ah tersebut menegakkan pilar-pilar Islam dalam bidang masing-masing.
Jika kita menghendaki ilmu, ambillah dari Salafiyun. Jika kita
menghendaki jihad, ambillah dari Jama’atul Jihad. Kalau kita ingin
politik, ambillah dari Ikhwanul Muslimin. Kalau kita menghendaki
manajemen hati, ambillah dari Jama’ah Tabligh.
Mereka
mengatakan : “Kondisinya seperti orang-orang yang sakit matanya, tentu
ia tidak berkonsultasi dengan dokter sepesialis saraf. Bagi yang sakit
dadanya, tentu ia tidak memeriksskan dirinya kepada dokter spesialis
tulang”. Apakah ucapan seperti ini dapat dibenarkan ..?
Jawaban
Orang
yang mengatakan ucapan diatas sebenarnya tidak mengerti hakikat dak’wah
Ilallah. Dan juga tidak memahami hakekat perbedaan yang terjadi antara
jama’ah-jama’ah tersebut . Mustahil sebuah perpecahan dapat menegakan
Islam! padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang perpecahan.
“Artinya : Sesungguhnya
orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”.[Al-An’am: 159]
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Artinya : Dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu
orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
golongan mereka”. [Ar-Ruum: 31-32]
Dan Allah juga berfirman
“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya dengan tali Allah (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. [Al-Imran: 103]
“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya dengan tali Allah (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. [Al-Imran: 103]
Realita
yang ada menunjukan bahwa jumlah jama’ah-jama’ah itu terus bertambah
dari waktu ke waktu. Dan bertambah lebar juga jurang perselisihan dan
pertikaian.
Kekeliruan diatas dapat kita jabarkan sebagai berikut :
Pertama.
Kami tidak menampik adanya spesialisasi dalam disiplin ilmu dan pada beberapa aspek dak’wah. Namun hal itu tidak akan baik bila masing-masing kelompok tidak bertolak dari satu pedoman.
Mereka harus bertolak dari satu dasar pemahaman dan pedoman. Serta
berusaha mewujudkan tuntunan syari’at dengan cara yang dibenarkan
syari’at berkaitan dengan spesialisasi masing-masing. Adapun bila
pedoman berbeda, tujuan dan metoda juga berbeda, maka kondisinya
seperti yang digambarkan syair berikut.
Bilakah satu istana akan sempurna bangunannya, bila kamu sibuk membangun, sementara yang lain merubuhkannya.
Kedua
Realita
membuktikan bahwa hakekat perselisihan yang terjadi diantara
jama’ah-jama’ah tersebut adalah dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah
dan dalam memilih wasilah (metode) dalam menuju sesuatu yang menjadi
tuntunan syari’at. Persaingan, perseteruan dan permusuhan diantara
jama’ah-jama’ah tersebut dapat terlihat jelas. Setiap jama’ah berusaha
merubuhkan bangunan yang telah disusun oleh jama’ah lainnya. Sebagian
orang berasumsi bahwa jika dia dapat mengusir sorang khatib/ustadz
salafi, seolah-olah dia telah berhasil mengembalikan Masjidil Aqsha
dari tangan Yahudi! Dia menganggapnya sebagai sebuah kemenangan besar
Faktor
penyebabnya adalah perbedaan persepsi dalam mendiagnosa sebuah
penyakit, berakibat komposisis obat yang dipakai juga berbeda. Sebagian
jama’ah berpendapat bahwa problem umat sekarang ini seputar penguasa
yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Mereka lantas berusaha
mengenyahkan penguasa itu atau berusaha menyaingi kekuasaan mereka,
baik penguasa itu kafir ataupun muslim. Sebagian jama’ah lainnya
berpandangan bahwa penyakit hati telah begitu mewabah di tengah-tengah
umat. Mereka beranggapan dengan memperbaiki hati selesailah semua
problem. Mereka mengerahkan segala upaya untuk menyembuhkan
penyakit-penyakit hati. Ironinya mereka mengabaikan penyakit hati yang
paling berbahaya yaitu syirik, bid’ah dan lainnya. Sedangkan sebagian
jama’ah yang lain memahami bahwa penyakit kronis yang menggerogoti umat
ini adalah kejahilan mereka tentang Dinul Islam. Baik yang berkaitan
dengan masalah tauhid/aqidah, ibadah dan lainnya. Mereka juga menyadari
bahwa di antara panyakit yang menimpa umat ini adalah fenomena
perpecahan dan bergolong-golongan. Merekapun berusaha menghidupkan
kembali sunnah-sunnah yang sudah dilupakan. Mereka sebarkan aqidah yang
benar dan sunnah yang shahih, sekaligus memerangi syirik dengan
berbagai macam dan bentuknya. Mereka peringatkkan umat dari bahaya
berpecah belah dan fanatik jahiliyah. Namun sayangnya jama’ah ini
justru ditentang oleh jama’ah-jama’ah lainnya !, Wallahul Musta’an.
Ketiga
Kita
tidak dapat menerima sangkaan (yang berpendapat) bahwa jama’ah-jama’ah
tersebut layak diambil ilmunya-kecuali salafiyun meskipun ada
kekurangan pada pribadi-pribadi sebagian mereka-. Sebagi buktinya
masalah jihad, di dalam Islam jihad disyari’atkan untuk memerangi kaum musyrikin supaya Dienullah menjadi yang paling tinggi. Dan supaya tidak terjadi kemusyrikan sebagaimana firman Allah.
“Artinya : Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah” [Al-Anfal : 39]
Namun kenyataan yang kita jumpai, seruan jihad itu ditujukan untuk melawan kaum muslimin
-walaupun mungkin mereka menyimpang-. Akibatnya terjadilah fitnah
(kekacauan) dan kaum musliminpun tercerai berai. Akhirnya musuh-musuh
Allah mendapat kesempatan untuk menimpakan berbagai penindasan terhadap
wali-wali Allah (orang-orang yang shalih). Demikian pula masalah
politik, pada asalnya yang dibolehkan adalah politik yang sejalan
dengan kaidah-kaidah syari’at (siyasah syar’iyyah), bukan politik
praktis yang menyimpang dari kaidah-kaidah syari’at (seperti turut
serta dalam pesta demokrasi). Sungguh jauh berbeda antara keduanya.
Namun kendatipun membandel tetap berkecimpung dalam praktek politik
yang menyimpang itu, jama’ah Ikhwanul Muslimin tidak menghasilkan
faedah apapun darinya. Kenyataan yang ada cukup sebagai buktinya.
Demikain pula Jama’ah Tabligh, sekalipun pada mereka terdapat sisi-sisi
positif, namun mereka mengabaikan sisi yang paling urgen, yaitu
pembenahan aqidah dan menuntut ilmu hadits 1)
Secara
jujur kami katakan, hanya dari salafiyun sajalah yang layak diambil
ilmu yang berguna. Ilmu yang mereka miliki telah memimpin dunia. Ulama
merekalah yang menjadi panutan umat dan menjadi tempat bertanya tentang
Dienullah. Setiap orang berusaha mengikuti pedoman mereka dan bangga
menisbatkan diri kepada mereka. Kecuali sekelompok kecil yang tidak
begitu dipandang. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mencurahkan hidayah
kepada kita semua.
Keempat
Sekiranya
kita anggap jama’ah-jama’ah itu memiliki ilmu-ilmu tersebut, masalahnya
adalah : “Apakah kaidah dasar dan pijakan bagi yang ingin beramal .?
Bukankah bagi yang ingin berjihad, berkecimpung dalam bidang politik
atau berdakwah wajib merujuk kepada ulama terlebih dahulu ..?
Sebelumnya
telah kalian sebutkan bahwa salafiyun adalah rujukan dalam masalah
ilmu. Sebab salafiyun mengetahui perkara-perkara yang tersamar atas
jama’ah-jama’ah tersebut ..? Lalu mengapa mereka tidak merujuk kepada
salafiyun yang secara khusus mengetahui masalah ? Menanyakan bolehkah
berjihad sementara keadaan kami seperti ini ? atau bolehkah
berkecimpung dalam kancah politik modern (demokrasi) .?
Realita
membuktikan bahwa mereka pada hakikatnya tidak merujuk secara jujur
kepada ulama dakwah salafiyah dalam banyak masalah. Masing-masing
jama’ah sudah merasa cukup dengan orang yang dianggap ulama diantara
mereka. Sekalipun sangat jauh kualitas ilmunya dengan ulama salafiyun.
Sekiranya mereka bertanya kepada ulama dakwah salafiyah, maka
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dipolitisir sedemikian rupa supaya
jawabannya sesuai dengan kehendak mereka. Misalnya pertanyaan yang
berbunyi :
“Kami
tinggal di negeri yang menerapkan undang-undang yang menyelisihi hukum
Islam, jika kami tidak turut serta duduk bersama mereka di pemerintahan
maka musuh-musuh Islam akan bertambah kuat. Jika kami duduk bersama
mereka, maka akan dapat mewujudkan maslahat yang banyak dan dapat
menolak berbagai kerusakan, bagaimanakah hukum Islam dalam masalah ini
..?”
Redaksi
pertanyaan seperti ini jawabannya mudah ditebak. Namun sekalipun
demikian, dalam memberikan jawabannya para ulama pasti menyebutkan
persyaratan-persyaratan yang ketat. demi terciptanya maslahat dan
tertolaknya mudharat. Kenyataan telah membuktikan bahwa mafsadat yang
terjadi lebih banyak daripada maslahat yang hendak di raih. Tanyakan
saja kepada pentolan-pentolan politik tersebut di Mesir, Syam, Asia
Timur, Aljazair dan Yaman, apa yang mereka dapatkan dari tindakan
mereka itu ? Tidak lain hanyalah fitnah (kekacauan), provokasi,
terhalangnya proses menuntut ilmu, atau pelecehan terhadap ilmu agama
dan ulama, tersebarnya buruk sangka terhadap dakwah dan para da’i,
tercerai-berainya barisan kaum muslimin, tersamarnya kebenaran di
tengah-tengah manusia, tersia-sianya tenaga, waktu dan harta umat untuk
perkara-perkara semu bagaikan fatamorgana. maslahat yang dihasilkan
tidaklah seberapa dibandingkan mafsadat yang timbul.
Kendatipun
pada awal mulanya mereka sulit memprediksi maslahat dan mafsadat dalam
masalah ini, namun dalih tersebut tidak mungkin dikemukakan pada hari
ini, setelah berlalu lebih dari setengah abad. Kenyatannya, keburukan
yang timbul dari waktu ke waktu menjadi lebih jelas.
Seandainya
pembagian yang tersebut di dalam pertanyaan di atas dapat di terima,
maka kewajiban bagi kita semua adalah merujuk kepada ahli ilmu dengan
sejujur-jujurnya, menerima fatwa ulama beserta dalilnya, dan
menceritakan kepada mereka segala sesuatunnya. Namun yang terjadi
umumnya tidak seperti itu !
Kelima
Kita
tidak bisa menerima bulat-bulat, bahwa seorang yang terserang suatu
penyakit tidak boleh bertanya kepada selain dokter spesialis penyakit
itu. Sering kita dengar seorang yang akan menjalani operasi tulang,
terlebih dahulu meminta pertimbangan dari dokter spesialis penyakit
dalam, untuk mengetahui apakah ia sanggup menjalani operasi atau tidak,
karena sebuah badan itu apabila menderita sakit, maka seluruh anggota
tubuh akan merasakan panas dan meriang. Demikian pula da’wah ilallah,
harus dilakukan dengan ilmu dan hujah yang nyata. Dan harus merujuk
kepada ulama Ahli Sunnah. Jika tidak, maka seluruh usaha akan gagal dan
sia-sia. Hendaklah kita bertakwa kepada Allah dalam mengemban amanat
da’wah. Dan senantiasa berpegang teguh dengan pedoman salafus-Sholih.
CATATAN (Syaikh Abul Hasan Musthafa):
1.Uraian
yang kami cantumkan dalam fatwa ini belum meliput seluruh dalil-dalil
yang ada.Untuk lebih luasnya silahkan merujuk kepada buku-buku yang
memuat dalil-dalil tersebut secara rinci.
2.Jawaban
ini sama sekali tidak bertujuan untuk meremehkan sisi positif yang ada
pada jama’ah lain. Namun hanya menampilkan realita yang terjadi di
lapangan. dan untuk membuka pandangan aktifis da’wah. Supaya mereka
mengetahui kesalahan-kesalahan yang ada, lalu segera memperbaikinya.
Dan supaya mereka benar-benar kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
sesuai pemahaman As-Salafus-Sholih, dengan demikian akan terbuka
pintu-pintu kebaikan dan tertutup pintu-pintu keburukan. Dan supaya
mereka dapat mengeluarkan umat dari kejahilan dan perpecahan . Kami
sungguh merasa pilu dan prihatin terhadap kondisi kaum muslimin. Semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala melapangkan dada kita untuk menerima manhaj
Salafus-Sholih, baik dalam bidang aqidah, ibadah maupun da’wah. Dan
semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyingkap mendung yang menaungi umat
ini dan menyatukan barisan mereka. Sesungguhnya Dia maha berkuasa atas
segala sesuatu . Sholawat dan salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad
ShalaAllahu ‘Alaihi wa Salam, atas keluarga dan segenap sahabat beliau.
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M hal.28-30. Syaikh
Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani hafizhahullah, seorang ulama Ahlus
Sunnah di Ma’rib, Yaman. Diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsari
Al-Maidani dari Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah, soal no. 54]
_________
Foote Note
Foote Note
[1].Sebenarnya
tidak tampak sisi-sisi positif pada Jama’ah Tabligh sebagaimana yang
disebutkan, bila dibandingkan dengan sisi negatif yang mereka
timbulkan. Salah satunya adalah berupa banyak orang awam yang terkecoh
dengan penampilan lahir mereka kemudian menganggap Jama’ah seperti
itulah yang dibutuhkan umat. Tanpa memerperhatikan penyimpangan aqidah
yang ada pada Jama’ah itu. Apakah ada kesesatan yang lebih berbahaya
daripada penyimpangan aqidah?
Sumber: https://almanhaj.or.id/179-bolehkah-mengambil-kebaikan-setiap-firqah.html